"Tolong beri saya sedikit waktu Bu!" Seorang gadis sedang menunduk menahan kepedihan di hadapan wanita yang sedang menagih uang kontrakan rumah yang dia tempati bersama kedua orang tuanya.
"Maaf ya Nai, Ibu kali ini tidak bisa lagi memberi kelonggaran waktu. Ibu juga sangat butuh uang, Pak Dayat harus segera di rawat di rumah sakit."
Gadis bernama Naia itu menitihkan air matanya. Dia harus bagaimana? sedangkan waktu gajian masih seminggu lagi.
"Nai, Ibu cuma bisa kasih kamu waktu dua jam dari sekarang untuk beberes, karena sebentar lagi penghuni baru akan datang."
Naia meremas gamis lusuhnya. Dia bingung ingin berbuat apa. Setelah kepergian Ibu Laila Nai buru-buru menghubungi Kaka sulungnya.
"Halo, Assalamualaikum Mas Wahid."
"Waalaikumsalam, Nai."
"Mas, Nai bisa minta tolong tidak? Nai gajian masih satu minggu lagi, sedangkan Nai harus membayar kontrakan rumah sekarang juga, kalau tidak Kami harus mengosongkan isi...."
"Aduh Nai maaf ya, Mas nggak bisa bantu. Kamu tau sendiri Mbak mu lagi hamil muda dikit-dikit pingin makan ini-itu. Kalau uangnya kamu pinjam kalau Mbakmu pas mau apa-apa bagaimana? Coba deh kamu pinjam Duwi." Ucapan Naia yang belum selesai langsung dipotong oleh si sulung.
Setelah Wahid menutup teleponnya, Naia segera menghubungi Kaka keduanya.
"Halo, Assalamualaikum Mba." Sapa Nai ketika panggilannya sudah di angkat oleh Duwi.
Naia juga langsung menyampaikan tujuannya menghubungi Kaka nya itu, dan lagi-lagi Naia harus menelan kekecewaan.
"Aduh Nai, Suami Mbak nggak ngebolehin sembarangan hutangin orang apalagi kalau tidak ada jaminan."
"Tapi Mba, aku kan adiknya Mbak." Naia dibuat terkejut oleh perkataan Duwi.
"Uang itu bukan saudara Nai, lagian siapa suruh kamu nggak nikah-nikah biar ada yang belikan kamu rumah kayak Mbak mu ini." bukannya membantu Kaka kedua Naia justru memberi petuah sesatnya.
"Mba kasihan Bapak sama Ibu kalau sampai kami harus keluar kontrakan." Iba Naia.
"Maaf ya Nai, itu urusan kamu. Kamu kan anak terakhir jadi warisan Ibu dan Bapak itu milik kamu sudah menjadi tugasmu mengurus orang tua, sudah ya, mba mau arisan."
Begitu panggilan di tutup. Nai langsung menghela napasnya dalam.
Kini harapan satu-satunya adalah Trianto Kaka ketiganya. Sebelum menekan nama yang tertera di layar ponselnya Naia berdoa dengan segenap harapan.
Ya Allah bantu hamba mu ini.
Tut
Tut
Tut
"Halo," Nai mengernyit mendengar suara perempuan di sebrang sana.
"Halo, Assalamualaikum mba, Mas Trio ada?" Mendengar Kaka iparnya yang mengangkat panggilannya Naia bertanya keberadaan Trianto.
"Mas Trio ada nih di samping lagi dengerin suara kamu, kenapa Nai?"
"Anu, Mba, Nai mau ... "
"Kalau kamu telpon cuma mau minta uang maaf ya Nai, kami ini bukan tempat meminta sumbangan."
"Astagfirullah, Mba. Nai memang butuh uang, tapi niat Nai mau pinjam bukan minta sumbangan, Nai belum gajian dan kami harus membayar uang sewa kontrakan, kalau tidak kami harus meninggalkan rumah."
"Nah, dengarkan? Kalau adikmu telpon pasti ada maunya."
Naia mengelus dada saat terdengar keributan di sebrang sana, Harapan Naia pupus sudah. Karena tidak mau mendengar suara bising Kaka iparnya yang sedang mengamuk akhirnya Naia memilih mematikan panggilan.
Naia menarik napas lalu menghembuskan pelan. Wajahnya mendongak dengan mata yang berkaca-kaca.
Naia memikirkan bagaimana nanti mengatakan kepada Bapak dan Ibunya jika mereka harus segera pergi.
Bapak dan Ibu Naia hanya seorang petani, sedari kecil Nai dan saudaranya makan dari hasil bertani. Dari hasil bertani juga kedua orang tuanya menyekolahkan mereka hingga tamatan SMA, meskipun kadang tidak cukup uang dari hasil pertanian kedua orang tuanya rela pinjam uang sana sini untuk menyekolahkan mereka berempat.
Wahid begitu lulus SMA langsung merantau, dia bernasib baik sampai bisa melanjutkan pendidikannya hingga kuliah dan menjadi sarjana.
Setelah sukses Wahid menikah dengan wanita yang dia inginkan, tetapi tak sedikitpun mengingat kedua orang tuanya.
Duwi Kaka kedua Naia juga bernasib baik, dapat suami mapan dan katanya seorang direktur di sebuah perusahaan. Tetapi dia tidak pernah mau mengunjungi kedua orang tuanya katanya di desa kurang ramah lingkungan.
Sementara Trianto yang kerap di panggil Trio dia adalah anak kesayangan kedua orangtuanya, dulu setelah menikah dengan istrinya dia masih sempat tinggal bersama kedua orang tuanya sampai pada akhirnya Trianto berencana membuka sebuah usaha. Karena sama-sama dari keluarga tak berpunya kedua orang tuanya meminjam modal ke bank untuk modal Trianto membuka usaha.
Tetapi usaha Trianto bangkrut membuat rumah akhirnya disita oleh Bank karena tidak mampu membayar bunganya.
Dan setelah rumah di sita Bank, akhirnya Naia dan kedua orang tuanya terpaksa tinggal di kontrakan.
Sementara nasib Trianto sudah jauh lebih baik, tetapi dia juga melupakan kedua orang tuanya.
Jujur Naia jadi takut memikirkan sebuah pernikahan. Dia takut salah memilih calon suami.
Dia tidak mau seperti kedua Mas dan Mbaknya. Mereka berubah setelah menikah. Harta membuat mereka lupa akan baktinya.
Mereka lupa kehidupan susah dahulu, lupa dengan pengorbanan orang tua saat harus berhutang sana sini, rela memeras tenaga mencari nafkah demi bisa menyekolahkan anak-anaknya, memberi makanan halal dari jerih payah yang memeras tenaga.
Naia mencium punggung tangan Bapak dan Ibunya takzim. Menguatkan hati untuk mengabarkan berita yang kurang baik.
Tanpa sadar air mata Naia sudah mengalir begitu saja. Naia cepat menghapusnya.
Pak Subhan mengelus puncak kepala putrinya.
Naia mengukir senyum, dia memberikan plastik hitam yang ada di tangannya pada sang Ibu.
"Kita makan gado-gado dulu ya Pak, Bu."
Wajah kedua orang tuanya berbinar saat mendengar putrinya membeli makanan untuk makan bersama.
Ketiganya makan dengan lahap, mereka duduk lesehan dengan beralaskan tikar. Naia senang bisa menyenangkan hati orang tuanya, meski mungkin sebentar lagi mereka akan bersedih.
Selesai makan Naia memberikan obat pegel linu untuk Pak Subhan dan memberi minyak kayu putih untuk Ibu Sari.
Nai mengambilkan air minum untuk Bapaknya meminum obat dan juga memijit lengan Ibunya yang di balur minyak kayu putih.
Mau bicara saja Nai sangat sulit, kedua orang tuanya sudah sepuh. Bapak nya sudah berumur Tujuh puluh dua tahun, Sementara Ibunya berusia enam puluh delapan tahun. Usia yang semestinya tidak memikirkan beban hidup. Tetapi mau bagaimana lagi. Rumah ini bukan milik mereka.
'Bismillah' niat Naia dalam hati.
"Pak, Bu, Nai minta maaf jika Nai belum bisa membuat kalian bahagia." ucap Naia menahan tangis. "Kita tidak bisa tetap tinggal di sini, Ibu Laila tidak bisa lagi memberi kelonggaran waktu untuk kita membayar kontrakan, beliau juga sedang kesusahan, karena itu ....."
"Tidak apa-apa." Pak Subhan langsung menyela dengan suara bergetar menahan tangis.
"Jangan menangis nduk, Bapak, sama Ibu tidak apa-apa."
Naia tidak berani menatap wajah kedua orang tuanya, dia merasa gagal menjadi seorang anak. Naia merasa tidak bisa diandalkan.
Saat ini Naia sangat mengkhawatirkan kedua orang tuanya, Naia memang selalu memprioritaskan kebahagiaan kedua orang tuanya diatas segalanya. Tapi Naia hanya bekerja di sebuah minimarket tak jauh dari tempat tinggalnya. Gajinya tidak seberapa, jauh dari kata cukup.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Naia kadang rela mengantikan jam kerja temannya, atau mencari pekerjaan lain diluar jam kerja misalnya membantu warga sekitar beberes rumah, cuci gosok dan lainnya.
Capek sih, tapi uangnya lumayan buat tambahan bayar kontrakan.
Naia ingin jika suatu hari nanti menikah, suaminya bisa mengerti kondisinya, syukur-syukur mau mengajak kedua orang tuanya untuk tinggal bersama.
Kadang Naia begitu merindukan saat mereka masih berkumpul dan tinggal bersama seperti dulu. Walaupun hidup serba pas-pasan tetapi kakak beradik hidup rukun, saling berbagi dan yang penting selalu ada untuk memikul beban hidup bersama.
Sekarang semuanya berubah setelah mereka memiliki kehidupan masing-masing. Kedua mas dan Mbanya sudah melupakan kedua orang tuanya setelah hidup berkecukupan. Memang benar, lingkungan sekitar akan merubah seseorang.
Naia mengenggam tangan kedua orang tuanya dan berpamitan mengemasi barang mereka.
Hanya sedikit perabotan karena mereka memang hidup dengan serba kekurangan.
Naia baru saja selesai mengepak kardus bekas mie instan yang berisikan pakaian kedua orang tuanya saat pintu rumah diketuk dari luar.
Nai memijit pelan keningnya yang berdenyut nyeri, sebelum melangkah membuka pintu.
Ternyata orang yang datang adalah calon penghuni baru.
"Tunggu sebentar ya Mba, ini sudah hampir selesai."
Nai berkata ramah. Padahal Bu Laila memberikan mereka waktu dua jam, tetapi penghuni baru datang setengah jam lebih cepat.
Berkali-kali Naia menghela napas panjang. Beban pikirannya mengikis wajah ceria gadis 20 tahun itu.
Naia meninggalkan kamarnya dengan lemas, begitupun kedua orang tuanya.
'Tolong beri solusi dan jalan keluarnya ya Allah.'
"Sudah selesai nduk?" tanya Bu Sari.
"Alhamdulillah sudah Bu." Naia terseyum sambil memamerkan deretan giginya yang rapi, lesung pipinya tampak cekung, menambah kecantikan bungsu Pak Subhan.
Pak Subhan melihat kearah putrinya dan bibirnya seperti ingin berkata sesuatu. Namun beliau tidak bicara malah terlihat menghela napas.
Di halaman kontrakan sudah ada mobil yang berisikan barang calon penghuni baru.
'Kemana aku harus membawa Ibu dan Bapak ya Allah.'
Saat Naia mengeluarkan barangnya yang tak seberapa, ada tetangga yang datang membantu.
"Jadi kamu akan pindah Nai?" Mba Tanti orang yang kenal dekat sama Naia kaget melihat ada mobil yang sudah terparkir di depan kontrakan Naia.
"Iya mba."
"Kamu pindah kemana, Nai?"Tanya Mba Tanti sambil membantu Pak Subhan turun dari undakan tangga.
Naia menunduk. "Masih belum tau Mba "
"Loh gimana to Nai? Jadi kalian belum memiliki tujuan?" Tanti ini seorang guru, dia kerap kali mengunakan jasa Naia untuk menyetrika baju dan juga beberes rumah.
Naia mengangguk malu. Tas di tangan Naia langsung di tarik oleh Tanti.
"Ojo edan koe, kalau nggak ada tujuan ya kasihan Pak Subhan dan Bu Sari, ini sudah mau gelap nggak lama magrib, kerumah Mba dulu, besok baru tak carikan tepat tinggal"
Mata Naia langsung berkaca-kaca mendengar ucapan Tanti, dia yang hanya orang lain saja tak tega melihat keadaan kedua orang tuanya, mengapa ketiga saudara kandungnya malah tega?
Tanti benar-benar memboyong Naia dan kedua orang tuanya. Meskipun rumah Tanti tidak besar tetapi itu rumah sendiri, tidak menyewa.
Bahkan Tanti juga membelikan mereka makan setelah mereka selesai shalat Maghrib.
"Mba ngelesin anak Pak RT dulu, nggak apa-apakan mba tinggal? Nanti sebelum jam sembilan mba udah pulang. Kunci aja pintunya dari dalam, mba bawa kunci cadangan, kamu ajak Pak Subhan dan Bu Sari nonton tv aja sambil menunggu shalat isya."
Tidak ada yang bisa Naia katakan selain terimakasih pada Tanti.
Setelah Tanti pergi Naia menghampiri kedua orang tuanya yang duduk di kursi rotan di ruang tamu.
Bu Sari memandang Naia sendu, Pak Subhan mengelus punggung tangan putrinya.
"Kalau nanti kamu sukses. Jangan lupakan Bapak - Ibu seperti Mas, Mbakmu, ya Nai. Gini-gini kami yang membesarkan kalian dengan penuh perjuangan, bahkan Bapak-Ibu reka mati untuk bisa mencukupi kebutuhan kalian semasa kecil." Suara Pak Subhan terdengar parau. Matanya berkaca-kaca dengan tangan yang gemetaran karena nelangsa.
Tangis Naia pecah di pelukan kedua orang tuanya.
Naia tau, kedua orang tuanya takut si bungsu juga akan melupakan segala pengorbanan mereka dan menganggap mereka beban yang harus di jauhi sejauh-jauhnya. Apa mereka tidak berpikir menyia-nyiakan orang tua adalah dosa? Mengapa mereka tak ingat susah nya dulu sama siapa? Setelah sukses tak ubahnya seperti kacang lupa kulitnya.
"Insyaallah, Nai nggak akan seperti itu Pak, Kalian adalah kebahagiaan Nai. Kalian prioritas Nai." Lirih Naia yang semakin mengeratkan pelukan kedua orang tuanya.
Demi Allah, lebih baik hidup miskin asal ber- akhlak mulia dari pada kaya tapi durhaka.
"Maaf kalau kami yang tua ini menjadi beban untuk mu, Nai."
Ucapan Ibunya membuat tangis Naia semakin kencang.
☘️☘️☘️☘️☘️
Nai terbiasa bangun pagi. Setelah shalat subuh Nai tidak kembali tidur, dia berzikir sebentar meraih ketenangan hatinya.
Usai melakukan kewajibannya, Nai, membersihkan rumah, memasak air panas memasukkan kedalam termos dan menyirami tanaman bunga milik Tanti.
Saat bangun tidur, Tanti sudah menemukan rumahnya yang bersih dan rapi.
"Mba memintamu tinggal disini bukan untuk beres-beres lo Nai." Suara Tanti mengejutkan Naia yang sedang membakar sampah di belakang rumah.
"Nggak apa-apa mba, mba udah mau numpang kami semalam, mungkin jika nggak ada mba, kami bisa tidur di emperan."
Tanti menghela napasnya. Tanti ini seorang Janda kembang yang di tinggal mati oleh suaminya.
Dia hidup sebatang kara di desa ini. Rumah yang di tempati nya sekarang adalah peninggalan orang tua suaminya, yang sudah berpulang jauh lebih lama dibandingkan suaminya sendiri.
Tanti pilih menetap di desa ini karena tidak ada tempatnya untuk pulang di kota kelahirannya. Kedua orang tuanya juga sudah meninggal, sedangkan Tanti anak tunggal.
"Nai, bagaimana kalau kalian tinggal disini sama aku? Aku juga kesepian sebenarnya Nai, rumah ini juga nggak terurus di tangan ku, karena rumah ini ibarat tempat singgah untuk ku yang jarang pulang ini."
"Maksud Mba Tanti bagaimana?" Naia sudah tak mampu membendung air matanya, benarkah Tanti mau menumpang mereka?
Nai tidak takut menjadi gelandangan jika dia seorang diri, tetapi ada kedua orang tuanya yang tidak bisa Nai abaikan. Bahkan jika bisa Nai rela menukar nyawanya untuk kebahagiaan Bapak dan Ibunya yang sudah sangat tua.
Genap satu minggu Naia dan kedua orang tuanya tinggal bersama Tanti. Tanti sangat senang sejak memboyong keluarga Naia tinggal dirumahnya, tidak hanya rumah yang terurus, tetapi dia tak lagi kesepian, ada Pak Subhan dan Ibu Sari yang suka menemaninya menonton televisi ketika malam, ada Naia yang rajin membuatkannya sarapan. Tanti seperti mendapatkan keluarga baru. Dia sudah menganggap Naia seperti adiknya sendiri.
Naia baru pulang saat jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Rumah sudah sepi. Tanti memang sedang ada kesibukan di luar kota, dan akan datang tiga hari lagi.
Tok!
Tok!
"Pak, Bu. boleh Nai masuk?"
"Buka aja, Nduk, pintunya nggak di kunci."
Nai segera masuk kedalam kamar yang di tempati oleh kedua orang tuanya. Pak Subhan terbaring di atas ranjang, sementara Bu Sari sedang melipat pakaian.
"Nai belikan nasi padang, kita makan baru nonton tv ya Pak, Bu!"
Tampak kedua orang tuanya terseyum bahagia. Membuat hati Naia ikut senang. Pak Subhan yang dulu gagah dan kuat kini terlihat ringkih termakan usia, sejak setahun lalu Pak Subhan sering sakit-sakitan. Begitu juga dengan Bu Sari, matanya sudah tidak awas, sudah pikun, suka lupa, bahkan pada Naia sekalipun.
"Nai, boleh Bapak bertanya?" Ucap Pak Subhan sambil mengelus puncak kepala Naia yang tertutup hijab abu-abu.
Naia mengangguk pelan.
"Lelaki seperti apa yang Nai inginkan untuk jadi Suami?" tanya pak Subhan pada bungsunya.
"Nai ingin lelaki yang bisa menghormati Bapak dan Ibu. Tidak hanya mencintai Nai, tetapi harus sayang pada kedua orang tua Nai. Menerima segala kekurangan maupun kelebihan Nai dan yang paling penting dia saleh dan paham agama."
Pak Subhan mangut-mangut menarik sudut bibirnya.
"Nai, Bapak dan Ibu sudah tua.Tinggal kamu yang belum menikah. Semoga umur Bapak dan Ibu panjang agar bisa melihat mu menikah dengan laki-laki pilihanmu. Laki-laki yang baik, bertanggung jawab, saleh. Dan bisa membimbing mu menjadi istri yang shalihah menjadi pembuka pintu surga."
Dulu waktu anak-anaknya masih kecil Pak Subhan selalu menasehati putra - putrinya.
Untuk Wahid dan Trianto Pak Subhan memberi wejangan. Jika nanti punya istri, mereka harus memperlakukan istrinya dengan baik. Ajari istri untuk bisa menghargai Kedua mertuanya seperti menghargai orang tuanya sendiri. Jangan ada yang ditutupi, apalagi mengaku orang berpunya. Harus jujur jika terlahir dari keluarga sederhana dan berasal dari desa.
Untuk Duwi dan Naia Pak Subhan selalu mengingatkan pesan Rasulullah tentang empat wanita yang layak di nikahi, satu karena hartanya, dua karena nasabnya, tiga karena kecantikannya, dan yang terakhir karena agamanya. Sejak kecil Pak Subhan sudah mengajarkan agama yang baik, mengajarkan tanggung jawab pada ke empat anaknya. Tapi entah mengapa ajaran yang Pak Subhan tanamkan pada putra putrinya seolah tak bermakna.
☘️☘️☘️☘️☘️
Naia baru akan berangkat kerja dengan berjalan kaki, sedikit mengernyit melihat orang-orang berlarian kearah jalan raya.
"Ada apa Bu?" Nai bertanya pada salah seorang wanita yang terlihat akan ikut berlari.
"Ada mobil yang nabrak tukang becak, tapi yang nabrak malah yang marah-marah minta ganti rugi. Kasian Nai, tukang becaknya sudah sepuh."
Nai yang harusnya gegas bekerja malah ikut melihat kearah jalan raya.
Sayup-sayup suara seorang pria memaki dan bersikeras minta ganti rugi mulai dapat Nai dengar. Tetapi semakin dekat Naia merasa tidak asing dengan suara itu.
Nai masuk kedalam kerumunan, ikut melihat becak yang sudah ringsek, kemudian menatap pada si pengemudinya yang sudah tua, Bapak itu tampak ketakutan, kini Naia menatap si pria sombong pemilik mobil, matanya langsung terbelalak saat melihat laki-laki itu yang juga ikut menatapnya.
"Mas Wahid?"
Wahid memutar matanya melihat kedatangan Naia.
"Mas, sudah. Bapaknya kan sudah minta maaf kenapa mas maksa minta ganti rugi? Dimana-mana tetap yang nabrak yang salah." Nai ikut bersungut membela si Bapak tukang becak.
"Tau apa kamu soal beginian. Orang miskin aja belagu!" Sembur Wahid.
"Astagfirullah Mas. Istighfar, kamu terlalu sombong."
"Ada apasih Nai, kamu jangan ikut campur deh. Iri kan kamu lihat mas mu bisa naik mobil sementara kamu nyeker" Ines istri Wahid turun dari mobil dan mendorong bahu Naia kebelakang.
Naia malu sama orang-orang, dia merasa tidak enak orang lain harus melihat pertengkaran antara adik dan kakak seperti ini.
"Untuk apa aku iri mba? Aku hanya ingin mas ku punya etika dan sopan santun terhadap orang yang lebih tua. Meskipun minta ganti rugi, tidak seharusnya mas Wahid memaki dan membentak, kan bisa dibicarakan baik-baik."
Memang benar adanya. Harta bisa merenggangkan hubungan orang tua dan anak, persaudaraan juga pertemanan.
"Halah Nai-Nai, baru juga kemarin kamu ngemis-ngemis ke masmu minta di kirimkan uang, kamu marah? Karena Suamiku nggak kasih?" Ucapan istri Wahid sangat kasar dan juga ketus.
"Aku nggak minta uang sama mas Wahid." Naia membela diri.
"Suamiku sendiri yang cerita kalau adiknya suka minta uang ini dan itu. Nggak habis-habisnya untuk kebutuhan makan kalian."
Mata Naia terbelalak, sejak kapan Naia pernah meminta uang pada Wahid untuk kebutuhan makan? Dan apa katanya nggak habis-habisnya.
Mata Naia berkaca-kaca, dia berjalan menghampiri si sulung dengan hati yang patah.
Plak!!
Semua orang tercengang melihat Naia menampar saudaranya.
Meskipun setelahnya Naia langsung mendapatkan tamparan balasan dari Wahid yang jauh lebih keras dan tidak cuma sekali melainkan dua kali di kedua pipinya.
Wahid menatap tajam ke arah Naia. "Jaga sopan santun mu Naia." Bentaknya.
"Jangan ajarkan aku sopan santun sama manusia nggak ada akhlak kaya kalian!" Nai menarik napasnya dalam-dalam. "Kamu sudah membuka aib keluarga di depan umum seperti ini mas, harta sudah membutakan mata hatimu. Tega kamu memfitnah Ibu- Bapak mengemis uang padamu untuk makan. Apa kamu lupa dengan pengorbanan orang tua kita selama ini? Setelah kamu dewasa dan sukses kamu menganggap orang tua mengemis belas kasihmu? Bahkan jika pun kamu memberikan dunia dan seisinya ini pada mereka, itu masih belum cukup untuk mengembalikan darah dan air susu yang Ibu keluarkan saat melahirkan dan menyusui mu!"
Air mata Naia menetes jatuh bercampur darah yang mengalir di sudut bibirnya. Naia menatap mata Wahid dengan penuh kekecewaan. Wahid tidak hanya gagal sebagai seorang anak dan suami, dia juga gagal telak menjadi seorang Kaka yang harusnya menjaga adiknya sebagai pengganti Bapak.
"Nai ..." Wahid ingin mengulurkan tangannya ke wajah Naia, tetapi Naia buru-buru menepis tangannya.
"Demi Allah, aku tidak rela kamu mengatakan kepada istri mu jika kami pernah mengemis uang padamu. Empat tahun mas. Sejak mas menikah mas melupakan tanggung jawab mas sebagai seorang anak, sebagai seorang Kaka dan sebagai seorang keluarga."
"Jangan lancang kamu, Nai" Bentak Ines mendelik.
"Nai cuma berkata jujur." Naia masih sempat menjawab, tapi setelahnya Naia memilih pergi dengan rasa luka dan malu teramat sangat. Karena Wahid sudah mengumbar aib keluarga mereka. Bahkan rela mengambing hitamkan Ibu dan Bapaknya masalah uang. Astaghfirullah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!