My Soulmate

My Soulmate

Pembenci Matematika

Kinan Abhipraya atau sapaan akrabnya Kinan, beliau adalah seorang siswa putih abu yang kini menduduki bangku terakhir. Kinan lahir dari keluarga kaya raya, ayahnya adalah seorang pemilik perusahaan Abhipraya yang sudah bercabang di berbagai kota Indonesia. Meskipun begitu, Kinan memiliki sifat benci terhadap pelajaran matematika bahkan setiap kali ada pelajaran itu, Kinan selalu punya alasan untuk tidak masuk.

Melihat anaknya benci terhadap matematika, membuat kedua orang tuanya menjodohkan anak bungsunya dengan teman kakaknya di mana usia itu terpaut lima tahun dan lelaki itu adalah seorang guru pelajaran matematika pling populer karena memiliki rupa yang menawan.

"Ayah, aku masih sekolah bahkan belum lulus. Kenapa malah disuruh nikah? Kan, kalau ketahuan bisa-bisanya aku dikeluarin!" Kinan menolak tawaran itu dengan tegas, ogah dijodohin karena menurutnya ini bukan zaman Siti Nurbaya.

"Ini tidak akan mengeluarkanmu dari sekolah, lagian tamu undangannya juga keluarga dekat bukan teman sekolahmu, Kinan," papar ayah kinan bernama Ibha Adhipraya.

"Pokonya enggak mau, Ayah!" tolak Kinan kedua kalinya dengan tegas.

Ibha melirik Harsa istrinya agar Kinan menerima semua itu demi kebaikannya, karena sudah dua tahun Kinan belum pernah mendapatkan nilai bagus dalam pelajaran matematika. "Asal kamu tau, Kinan. Ibu menjodohkan kamu, karena ibu sudah capek urusin kamu. Lagian, pelajaran matematika saja kamu engga pernah masuk."

"Cuman gara-gara matematika doang dijodohin, toh aku benci pelajaran itu!" ketus Kinan.

"Maka dari itu, tidak ada penolakan! Tiga hari lagi akan diadakan pernikahan kamu dengan teman kakakmu!" tegas Harsa.

Kinan memutar bola matanya malas, padahal dia sudah mendapatkan nilai paling baik dari semua mata pelajaran kecuali matematika. "Jika Ibu dan Ayah menjodohkan aku dengannya, aku tidak akan mencintainya!"

"Siapa bilang tidak akan mencintainnya? Jutaan wanita tergila-gila padanya, apa kamu tidak?" sindir lelaki yang tak lain adalah kakak Kinan, Alsaki Abhipraya.

"Enggak!" tegas Kinan dan beralih lagi dengan tatapan sayu kepada dua orang tuanya. "Ayolah, Ibu dan Ayah! Apa tidak kasihan kepada putrimu? Menikahkannya dengan seorang lelaki hanya karena perkara engga bisa matematika dan membencinya? Padaha aku paling hebat di pelajaran lain, bahkan aku mendapatkan nilai seratus untuk pelajaran geografi!"

"Hahahaha! Kinan, oh Kinan adikku yang malang! Setiap pelajaran selalu menggunakan rumus matematika, bahkan pelajaran geografi pun sama! Coba kamu jawab pertanyaan kakak jika pintar," tutur Alsaki menantang.

"Apa?" tanya Kinan.

"Dalam kegiatan perencanaan pembangunan, rencana pembangunan jangka pendek disusun untuk masa waktu berapa tahun?"

"Tentu saja lima tahun!" jawab Kinan sebal.

"Dan apa kamu tahu, bahwa angka lima itu termasuk kedalam matematika?" Alsaki menanyakan perkataan untuk membungkam Kinan yang terlalu benci matematika dengan cara yang bodoh.

Kinan menarik nafas panjang. "Engga gitu juga konsepnya!"

"Sudah-sudah, intinya tidak ada penolakan untuk pernikahan ini dan ini juga demi kebaikan kamu, Kinan." Harsa menghentikan pertikaian antara kedua anaknya yang sama-sama tidak berubah semenjak Alsaki bahagia memiliki adik perempuan bahkan selalu menjahilinya.

Karena keputusan sudah bulat, tidak ada lagi kata untuk membantah. Kinan merasa takdir sedang mempermainkan dirinya, yang memiliki cita-cita menjadi seorang Hukum. Seakan kedua orang tuanya tidak mengerti dibalik bencinya Kinan terhadap matematika, padahal dulu Kinan menyukainya bahkan dijuluki pencinta rumus.

Usai penjelasannya diterima dengan penuh kecewa, Kinan lebih memilih menyibukkan diri di kamar guna meluapkan semua emosi dengan cara menyeburkan diri kedalam kolam, tak peduli jika waktunya sudah malam. Toh, belum tengah malam hanya saja waktu itu menunjukan pukul 19.05 malam, jadi tidak terlalu malam bagi seorang Kinan.

Dinginnya air kolam, membuat Kinan menenggelamkan diri tanpa memperdulikan semuanya seakan air akan menenangkan diri bersamaan dengan itu sinar purnama menemani waktu malam.

Lima menit Kinan menghabiskan pemberhentian nafas melalui air, ia segera keluar menghirup kembali udara segar. Sampai tak menyadari bahwa Alsaki masuk kedalam kamar tanpa permisi dan mengejutkan Kinan dengan muka tak berdosa. "Sudah puas kamu menenggelamkannya?"

"Bikin kaget saja!" sebal Kinan dengan diri yang refleks terkejut.

"Betapa malangnya adikku! Tapi, jika boleh tahu kenapa kamu membenci matematika?" tanya Alsaki sembari duduk di tepi balkon menenggelamkan kaki bersihnya kedalam air sedikit dingin.

Kinan tidak menjawab itu, ia mengangkat bahunya acuh dan kembali lagi menenggelamkan dirinya guna menenangkan pikiran yang kacau.

Alsaki mengambil nafas panjang. "Baiklah jika itu maumu, tapi jangan sungkan untuk menceritakannya kepadaku. Aku ke kamar dulu, jangan terlalu lama berendam dan cepatlah tidur!"

Tidak ada respon dari Kinan, wanita itu mungkin tidak akan mendengar celoteh yang barusan dilontarkan. Bagi Alsaki, jika Kinan sudah betah dan fanatik terhadap air dirinya tidak akan peduli, seakan air itu memeluk dan menahan Kinan agar tetap mengeluarkan emosinya.

Bangkit dari air setelah tiga kali menenggelamkan diri, mengeluarkan semua beban yang ditanggung. Luapan emosi mengalir dengan lancar tapi tidak dengan ucapan tentang pernikahan. Usia 17 tahun adalah usia remaja yang harus dihabiskan seperti yang lain, tapi takdir berkata lain. Semua itu tidak berjalan dengan mulusnya hanya perkara membenci matematika.

Mungkin kebanyakan dari mereka tidak menyukai matematika sebab, ketika mengerjakan soal dan ketika hendak diberi nilai selalu saja nol karena pengerjaannya tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan, padahal itu sama saja. Benar-benar aneh bukan? Bahkan pengejaran aljabar, logaritma, hingga rumus geometri pun harus sesuai dengan arahan. Tapi, Kinan berbeda dia membenci matematika karena satu alasan yang membuatnya muak.

Pantulan cermin memperhatikan wajah Kinan yang berblasteran, dirinya bercermin seakan bertanya kepada diri sendiri. Tidak ada senyum yang tergambar dari wajahnya, hanya otak yang terus bertanya dan mengeluarkan kata.

"Kalau bisa, kenapa waktu itu gue enggak melawan guru? Hanya karena perkara gue tidak juara waktu olimpiade, padahal gue bener-bener ngerjainnya. Tapi, kenapa yang menang si Dara? Padahal dia salam empat sedangkan gue tidak?"

"Gue sudah mati-matian belajar demi juara olimpiade tingkat Nasional, tapi kenapa si Dara anaknya Kepsek si al an yang juara? Anehnya, pas dia masuk tingkat Internasional dia tidak bawa piala kejuaraan dan mereka nyalahin gue? Sekarang, dia malah sekelas sama gue?"

"Sangat mem ba ngg ong kan bukan? Hahaha ...," kata Kinan kepada pantulan cermin. "Gue engga bisa melupakan masa lalu itu, itu sangat berharga bagi gue! Tapi, ah sudahlah gue udah muak!"

"Dan ... yang paling ferguso di hidup gue betapa malangnya gue malah dipaksa nikah sama guru itu." Kinan mengakhiri ucapan tidak jelasnya itu. "Sudah ah, bobo ah!"

Dia pun bangkit dari meja rias, dan merebahkan badannya di kasur berukuran besar dan menenggelamkan wajahnya di atas bantal. Malam ini sangat lelah untuk menjalaninya, jika bisa bisakah takdir berpihak sekali saja? Kinan ingin bebas meski hanya satu detik saja.

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

Sinar matahari menerobos masuk melalui celah jendela yang ditutupi gorden, membangunkan Kinan yang masih terlelap dalam mimpinya ditambah lagi suara alarm berbunyi dengan sangat nyaring. Kinan bangun dengan matanya masih tertutup dan tangannya mencari jam alarm yang berdiri di atas laci dekat lampu tidur dan mematikannya. Ia segera bangun merenggangkan badan dan melangkah ke kamar mandi membersihkan badan, saat itu air terasa begitu dingin dan sejuk sehingga membuat Kinan sedikit bersemangat.

Sepuluh menit melaksanakan aktivitas seperti orang sekolahan, kini jam menunjukan pukul 06.30 dan itu adalah waktunya makan. Mengenakan seragam batik dengan rok panjang, tak lupa juga Kinan menguncir rambut lurus dan panjangnya dengan karet yang senada. Polesan make up tipis membuat Kinan seperti anak SMA, ia mengenakan jam tangan di tangan kirinya dan sedikit tersenyum.

Setelah beradu dengan semuanya, ia segera turun dari kamar atasnya untuk menyapa keluarga yang tengah menikmati sarapan. Harsa dan Ibha sudah stay di sana, aroma nasi goreng mengugah selera dan perut mulai tak sabar untuk diisi. Kinan duduk di sebelah Alsaki dan mengambil piring setelah menyapa mereka dengan perasaan belum sepenuhnya membaik, diambilkannya nasi sekitar satu cetong dan telur mata sapi diletakan di piring dan mulai melahapnya.

Tidak ada yang bersuara, hening itulah yang tercipta dan hanya suara geting sendok dan piring. Setelah Kinan puas mengisi perut, ia mulai mengalirkan sisa makanan dikeronggokan supaya masuk kedalam lambung agar dicerna dengan segelas air putih sisanya segelas suau yang dibuat oleh Harsa.

"Apa kamu mau sekolah?" tanya Ibha memecahkan hening.

"Iya," jawab Kinan singkat.

"Selama satu minggu kamu izin saja, kakakmu Alsaki sudah mengurus surat izinnya dan sudah dititipkan kepada temanmu," terang Ibha.

"Padahal tiga hari lagi, toh masih ada waktu pas besoknya kenapa harus sekarang? Tapi, ah yah sudah aku balik lagi ke kamar buat ganti baju." Kinan segera bangkit dari kursi makan dan kembali lagi ke atas sesuai ucapannya, seakan kejadian kemarin hanyalah mimpi nyatanya tidak.

Merebahkan kembali bobot dan menutup wajahnya menggunakan lengan, rasanya belum cukup untuk menyembuhkan kecewa. Maka, Kinan bangkit lagi dari tempat tidurnya melepaskan rok yang ia pakai sehingga Kinan hanya mengenakan celana lenjing hitam sedangkan atasannya tetap batik sekolahnya.

Membuka pintu balkon, dan menceburkan diri kedalam kolam padahal masih pagi. Tapi, yah sudahlah yang penting tenang toh hatinya. Menenggelamkan kembali diri kedalam kolam selama lima menit, lalu bangun lagi dan mendapati Alsaki datang membawa nampan berisi buah-buahan karena Kinan belum mencuci mulut.

"Apa lagi?" kesal Kinan saat melihat Alsaki datang.

"Kebiasaan terus nenggelamin diri, nyesel banget aku ajarin kamu berenang dari usia dua tahun," sebal Alsaki membuang muka.

Kinan terkekeh dan menyembunyikan wajah tawanya dengan cara menenggelamkan lagi selama beberapa detik, lalu bangun sembari mengejek, "makanya siapa suruh?"

"Entahlah." Acuh Alsaki mengangkat dua bahunya dan mulai ikut menceburkan diri kedalam kolam sampai membuat Kinan heran.

"Kenapa?"

"Aku rindu, teman satu pesantrenanmu," ceplos Alsaki tak berdosa.

"Maksud Kakak, kak Hafsah?"

"Aduh, keceplosan!"

"Wah parah! Nanti aku bilangin lho, tapi apa aku punya kontak dia enggak yah?"

Alsaki menggeleng, dan tersenyum sedikit saat mendengar Kinan seperti biasanya. Seakan sudah siap apa yang terjadi kedepannya, beruntunglah Alsaki membesarkan Kinan dengan kasih sayang dan ilmu agama. Meskipun, Kinan belum berhijab namun dirinya berharap teman yang akan menjadi suaminya bisa mendidik adiknya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!