Accidental Spy
“Elizabet menitikan air mata sembari meresapi kesalahannya yang telah terlanjur mengkhianati Frans. Tiba-tiba sebuah tangan terulur sembari menyodorkan sapu tangan putih berinisial A.H. Saat mendongakan kepala, Alfonso berdiri di hadapannya sembari memandangnya lekat. Alfonso berusaha menenangkan Elizabet yang tidak bisa berhenti menangis.Hingga kemudian menyatakan cintanya dan meminta Elizabet melupakan Frans…”
Untuk sesaat, aku tidak mendengar jawaban apa pun di seberang telepon. Membuatku merasa mulai tidak sabar dan penasaran. “Gimana, Pak?” tanyaku untuk meminta tanggapan.
“Kok, jadinya sama Alfonso? Bukannya gak ada planting-an apa-apa soal Alfonso sama Elizabet? Nanti malah jadi aneh kalau terlalu tiba-tiba gini. Kamu revisi ya.”
Kalimat terakhir yang kudengar seakan menjelma menjadi serangan petir di tengah hari bolong. Sejak awal memang aku sudah punya feeling buruk soal editor yang menangani komikku kali ini. Bukan pertama kalinya dia mendadak menyuruhku revisi. Memangnya dia pikir revisi itu secepat berkurangnya saldo rekeningku apa?
“Yah, Pak, saya sudah terlanjut bikin rough sketch pakai trek yang sekarang.”
“Ya salah kamu sendiri. Kan saya belum approve kenapa sudah mulai? Pokoknya besok saya sudah harus terima draft outline baru ya.”
Telepon diputus sepihak.
“Editor kampret!!!” umpatku sembari merebahkan tubuh di atas lantai.
Sebenarnya ada banyak kata makian yang ingin aku ucapkan. Tapi buat apa aku menghabiskan energi untuk editor sialan itu? Bahkan jatah makan pagiku sekarang sudah langsung lenyap di dalam lambung, terbakar oleh emosi.
Kalau dipikir lagi, harusnya aku menyalahkan diri sendiri sih, yang dengan sadar memilih pekerjaan seperti ini. Awalnya aku pikir jadi komikus komik online itu menyenangkan. Bisa kerja di rumah, tidak perlu capek pergi ke kantor, dan bisa menjauhi lingkungan kerja dengan orang-orang toxic. Ternyata tetap saja aku berakhir mengeluh, seperti para pekerja korporat yang selalu mengeluhkan situasi bekerjanya, tapi tidak pernah berani resign.
Aku pikir juga, dengan menjadi komikus berarti bisa bebas membuat cerita yang aku sukai. Ternyata apa yang aku suka belum tentu laku di pasaran. Sekarang, aku yang bermimpi ingin jadi komikus komik action pun harus bertahan menggarap cerita romance yang lebih menjual. Padahal tiap menggambarnya saja bikin aku merinding. Membayangkan kisah cinta yang bahkan aku sendiri belum pernah merasakannya. Pernah sih sekali aku pacaran sewaktu SMA, tapi baru seminggu sudah langsung putus.
“Haaah… Hidup… Hidup…”
Padahal ini masih awal bulan, tapi langsung dimulai dengan awal yang sangat buruk!
Aku pun bangkit dan berdiri sembari meregangkan otot-otot tangan. Lalu melihat ke sekeliling ruangan kosanku yang tampak berantakan. Sampah makanan yang selalu kupesan melalui aplikasi sudah bertumpuk. Cucian pun belum sempat kucuci dari lima hari lalu.
Kalau saja bisa, aku ingin memutar waktu. Kembali ke masa SMA dan belajar dengan giat supaya bisa lolos tes CPNS. Lalu aku punya pekerjaan yang stabil, gaji yang tidak seberapa tapi cukup untuk hidup. Kemudian menikah dengan wanita yang biasa saja, tapi setia dan mau menerima aku yang seperti ini.
Andai saja bisa… aku ingin hidup yang biasa saja, tidak terlalu seru, tapi tidak semembosankan sekarang.
Sepertinya kamar kosan membuatku jadi memikirkan hal yang tidak mungkin. Jadi, kuputuskan untuk keluar dan berjalan-jalan untuk menghirup udara segar. Meski baru saja melangkah keluar kosan, yang kuhirup hanyalah gas buangan dari kendaraan yang berlalu-lalang. Benar-benar tidak mendukung untuk memperbaiki mood.
Ponsel dalam saku celanaku mendadak bergetar. Hampir saja aku langsung memutus panggilan yang masuk, kalau saja tidak menyadari kalau telepon itu dari Arya, sahabatku.
“Ya, kenapa, bro?”
“Masih idup lo? Lagi di mana? Sibuk gak?”
“Perlu gue jawab gak nih? Pake basa basi segala.”
Arya tertawa. “Gue beres ngantor cepet nih. Nongkrong yuk. Gue traktir.”
“Halah, sombong amat yang banyak duit. Yuk, cus. Lo shareloc aja, nanti gue ke sana.”
Bisa dibilang Arya satu-satunya temanku yang tersisa. Entah kenapa jadi dewasa justru membuat kita semakin merasa kesepian. Aku jadi sadar kalau ternyata satu per satu orang akan pergi dan menghilang, dan mencari teman baru jadi sesuatu yang sulit. Aku masih bersyukur karena sejak SMA Arya tidak pernah bosan berteman denganku.
Setelah mendapatkan shareloc dari Arya, aku pun melesat menggunakan ojek online. Masih menggunakan kaos oblong, kolor dan sendal jepit. Rambutku yang gondrong saja belum sempat kurapikan. Harusnya aku ingat kalau Arya ini teman yang kurang ajar. Dia bahkan hanya share titik di pinggir jalan, dan malah membawaku masuk ke dalam kafe hits yang biasa didatangi anak muda. Aku jadi terpaksa masuk dengan dandanan seperti gembel. Semua cewek yang ada di sana langsung menatapku dengan pandangan jijik.
“Heh, emang kampret lo ya!” umpatku dengan agak berbisik.
Kulihat Arya menahan tawanya. Membuatku semakin yakin kalau dia sengaja melakukan ini semua.
“Ya udah sih emangnya kenapa. Kan elo selalu pede sama muka lo yang katanya ganteng itu.”
“Halah, bacot lo!”
“Udah, minum tuh kopi. Biar kepala lo dingin.”
Aku pun menyeruput segelas ice cappuccino yang dibelikan Arya. “Gimana kerjaan lo? Kok, kayaknya lancar-lancar aja. Gak pernah ada masalah gitu?”
“Kayaknya lo pengen banget gue kena masalah ya? Syukurnya sih lancar-lancar aja. Malah baru naek gaji.”
Hampir saja aku tersedak mendengarnya. Kalau tidak salah baru minggu lalu Arya cerita kalau dia naik jabatan, sekarang dia naik gaji. Kenapa hidup rasanya tidak adil?
“Pantesan langsung traktir gue.”
“Gak sih. gue traktir bukan karena itu. Tapi gue baru aja jadian sama si Nadia.”
Oke, aku yakin hidup pilih kasih atau mungkin sedang menghukumku atas kesalahan yang aku lupa. Apa ya kira-kira kejahatan yang pernah aku perbuat selain nunggak bayar kosan, makan gorengan lima cuma bayar tiga, makan makanan anak kos lain tapi tidak bilang… Harusnya kesalahanku tidak separah itu sampai harus dapat hukuman seberat ini.
“Balik ah. Badmood gue…”
Arya kembali tertawa. “Kenapa sih lo hari ini sensi banget kayaknya. Pasti habis ditelepon editor lo itu ya?”
Aku hanya mengangguk.
“Bro… hidup tuh bakal berjalan tergantung sama keputusan dan usaha kita. Kalau emang lo ngerasa kerjaan lo, hidup lo gak sesuai ekspektasi, ya lo pikirin cara buat cari kehidupan yang lebih baik lah! Gue liat lo tuh terlalu terjebak di zona nyaman. Lo takut buat ngelangkah dan masuk ke lingkungan baru.”
“Duh, baru pacaran sehari lo udah jadi sok bijak kayak gini.”
“Gue lagi serius nih. Gak usah ngeyel!” Arya menyeruput minumannya, sementara aku tertegun memikirkan perkataan Arya. “Gue tuh pengen liat lo yang dulu. Masih semangat, punya banyak mimpi. Gak terjebak di tengah kehidupan yang kayaknya bukan lo banget.”
Sebenarnya, perkataan Arya ada benarnya. Aku selama ini hanya bisa mengeluh tanpa melakukan apa pun. Kalau memang ingin mengubah kehidupan, ya aku harus mulai melakukan sesuatu.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku dipenuhi dengan berbagai hal. Hingga aku mendapatkan kesimpulan kalau mungkin aku harus mencari jalan lain untuk aku coba lewati. Selagi masih ada lima tahun lagi sebelum aku berumur 30. Karena harapanku masih selalu sama, di awal kepala tiga, aku sudah harus mendapatkan pekerjaan yang membuatku nyaman dengan penghasilan yang stabil. Tapi sekarang masalahnya… dari mana aku harus mulai? Kalau tiba-tiba berhenti jadi komikus, pasti akan jadi masalah. Ditambah lagi aku belum punya cukup tabungan.
Terlalu banyak berpikir membuatku jadi tidak memperhatikan jalan. Hingga tiba-tiba, aku tidak sengaja menabrak seorang nenek tua yang nyaris saja terjatuh. Aku langsung memegangi lengan nenek itu, dan sesaat bertatapan dengannya. Kalau saja wanita muda dan bukan nenek-nenek yang kutabrak, ini akan jadi adegan romantis yang selalu ada di dalam komik.
“Aduh, maaf ya, Nek. Saya barusan bengong.”
Si nenek tampak terkekeh. “Gak apa-apa…” ucapnya. Lalu dia tampak memandangi aku lekat. Membuatku agak seram. Jangan sampai dia justru naksir denganku. Memang sih aku jomblo, tapi aku masih lebih suka cewek muda. Kecuali ini akhir dunia dan hanya dia wanita yang tersisa, akan aku pertimbangkan.
“Em... Permisi ya, Nek.”
“Tunggu!” sahut si nenek dengan cepat. Aku merasa semakin khawatir.
Nenek itu lalu menarik tanganku dan mengusap-usap telapak tanganku. Membuat perasaanku semakin tidak enak dan agak merinding.
“Maaf, Nek, bukannya kurang sopan. Tapi saya masih suka sama...”
Si nenek tampak mengembuskan napas lalu memandangku dengan sedih. Dia menepuk-nepuk tanganku yang masih digenggamnya. “Kasihan…” ucapnya memotong perkataanku.
“Eh, gimana, Nek?”
Aku bingung harus bereaksi seperti apa. jadi hanya bisa menunggu si nenek lanjut bicara. Meski ternyata itu pilihan yang buruk. Seharusnya aku langsung berlari pergi dari tadi.
Si nenek pun membuka mulut dan melanjutkan perkataannya, “akhir bulan ini… kamu akan mati…”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Lee
Mampir ya kakk...
slam kenal dan..
semangat berkarya
2023-01-18
2