“Kenapa baru jadi setengah? Kan kemarin saya sudah langsung minta revisi. Harusnya bisa dong selesai, kan banyak waktu.”
“Iya, maaf, Pak. Saya selesaikan sisanya hari ini.”
“Ya sudah, sebelum jam tiga ya, saya tunggu.”
“Pak, maaf. Untuk honor kira-kira bisa turun dalam minggu ini?”
“Kamu itu kerjaan belum beres udah nanyain honor! Selesaikan dulu revisinya, baru kita bicara lagi!”
What the hell?! Kenapa pagi ini harus aku mulai dengan mendengar ocehan si editor sialan itu?!
Semua karena perkataan si nenek tua kemarin, aku sampai tidak fokus dan tidak bisa menyelesaikan revisi tepat waktu. Semalaman aku hanya uring-uringan memikirkan apa jadinya kalau ramalan itu benar? Aku akan mati akhir bulan ini?
Sekitar pukul sebelas malam aku menelepon Arya untuk menceritakan apa yang terjadi. Tapi respons dia cuma, ‘lo ngigo ya? Apa lagi teler?’ Dia malah mengira aku bercanda.
Kuembuskan napas untuk menenangkan diri. Lalu melirik ke arah kalender yang tergantung pada dinding. Setiap hari aku mencoret tanggalnya sembari memberikan catatan pada tanggal penting. Meski setiap hari memang
penting karena aku harus berkutat dengan deadline yang seakan tidak ada habisnya.
2 Februari… Tahun kabisat. Sepertinya Tuhan memberikan tambahan satu hari untukku menikmati hidup, andaikan memang benar aku akan mati akhir bulan ini.
Perutku bergemuruh sewaktu belum lama kembali berkutat dengan revisi. Memang sudah saatnya jam makan siang, dan keuangan yang semakin menipis memaksaku untuk melangkahkan kaki menuju warteg. Biasanya aku selalu memesan melalui ojek online, tapi belakangan menyebalkan sekali karena makin banyak fee yang dibebankan. Platform fee, application fee, hanya untuk beli nasi padang 30 ribu saja aku harus mengeluarkan fee sampai 20 ribu. Bodohnya lagi, sudah tahu seperti itu, aku masih tidak bisa berhenti menggunakan layanan aplikasinya. Memang yang bermasalah itu aku sendiri.
“Mas Rezky,” sapa seorang gadis cantik yang berpapasan denganku saat baru saja keluar kamar kosan. Dia baru saja menaiki tangga menuju lantai dua tempat kamarku berada. Rasanya seperti mendengar suara malaikat. Ditambah dengan wangi samponya yang semerbak, membuat mood-ku agak membaik.
“Eh, Sisil. Mau ke mana?”
“Ini biasa lah, diminta ibu nangihin uang kosan.”
Perkataan Sisil membuatku tersadar kalau aku pun masih menunggak sejak bulan kemarin. “Sil, maaf ya… aku masih nungguin honor cair. Tapi harusnya minggu ini…”
Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, tiba-tiba terdengar sebuah teriakan nyaring dari bawah.
“Rezky!! Gak ada ya nunggak lagi bulan ini! Bayar buruan!!” Suara Bu Aneu, alias ibu kos, alias ibunya Sisil langsung menggelegar.
Aku mengintip ke arah bawah sambil nyengir. Kulihat Bu Aneu berdiri bertolak pinggang sambil melotot ke arahku. Namun yang kulihat hanya rol rambut berwarna pink-nya yang entah untuk apa dipasang pada rambutnya yang sudah ikal.
“Hehe, iya, Bu. Maaf ya, Bu.”
"Bayar ya sama yang bulan lalu!"
"Iya, Bu."
"Gak pake nunggak-nunggak!"
"Iyaa, siap, Bu Aneu yang cantik..."
Setelahnya, aku langsung berbisik kepada Sisil. “Sil maaf ya, tungguin akhir minggi ini.”
Sisil balas berbisik padaku. “Iya tenang aja, Mas. Hati-hati aja nanti kalau ketemu ibu.”
“Makasih ya, Sil. Kamu emang baik banget. Beda sama ibu kamu yang galak gitu. Beneran ya kamu bukan anak angkat?”
Sisil tertawa kecil dengan wajahnya yang sangat manis. “Anak kandung lah, Mas Rezky ada-ada aja.”
Tiba-tiba, Sisil memegang lenganku. “Mas Rezky kalau butuh apa-apa kasih tau Sisil aja. Ada nomor Sisil, kan? Daripada beli makan pake ojek online, mending titip Sisil.”
“Hehe, jadi malu… Makasih banget ya. Kalau honor udah cair, nanti aku traktir kamu ke kafe-kafe lucu gitu.”
Sisil tampak tersenyum dengan agak tersipu. Rasanya membuat perasaanku jadi semakin membaik. Gemuruh di perutku saja sudah langsung hilang.
Kadang aku bertanya-tanya, apakah Sisil memang selalu sebaik ini kepada semua orang, atau kepadaku saja. Karena aku jarang melihat dia mengobrol akrab dengan anak kos lainnya yang berumur tidak jauh dariku. Mungkin
Tuhan memang mengirimkan malaikatnya dalam wujud Sisil untuk setidaknya memberikan secercah cahaya kepada hari-hariku yang kelam.
“Sisil! Jangan kelamaan ngobrol sama si Rezky!!” Teriakan Bu Aneu langsung menghancurkan moment yang menenangkan barusan. Seketika aku langsung tersadar kalau harus segera kembali ke dunia nyata.
“Maaf ya,” bisik Sisil sebelum pergi meninggalkanku.
Akibat kemunculan Bu Aneu yang tiba-tiba, aku mengurungkan untuk pergi ke warteg dan kembali masuk ke dalam kamar. Sebenarnya tidak tiba-tiba, sih, mengingat tempat tinggalnya memang di samping kosan. Ujungnya, aku kembali memesan makanan lewat ojek online. Supaya abang ojeknya yang antar sampai ke depan kamarku, supaya nyawaku selamat. Karena bisa jadi aku mati karena mungkin sampai akhir bulan masih menunggak kosan dan terkena bogem Bu Aneu.
‘Kamu akan mati di akhir bulan ini…’
Kalimat itu terus terngiang dan berputar dalam kepala. Tiap kali aku membaca atau mendengar apa pun, rasanya semua hal jadi berbau kematian.
Saat kunyalakan youtube untuk refreshing sejenak dari deadline, youtuber yang kusuka malah membahas soal kematian mahasiswa di dalam kosan.
Sewaktu kudengarkan spotify, muncul iklan soal pentingnya kesehatan agar tidak mati muda. Aku sampai bertanya-tanya siapa yang punya ide membuat iklan seperti itu.
Bahkan saat aku buang air di toilet, malah terdengar suara pertengkaran dari kamar sebelah. Si cewek terus berteriak dan menyumpahi pacarnya supaya mati! Padahal itu urusan mereka, tapi kenapa malah aku yang
tertekan! Arrgghh!!!
Kalau seperti ini terus bisa-bisa aku justru frustasi dan malah mati karena itu. Jadi aku coba melakukan kegiatan lain setelah mengirimkan revisi ke si editor sialan.
Aku mencuci gunungan baju kotor yang sudah mulai meresahkan. Lalu menjemutnya di tempat kosong yang memang sengaja dibuat untuk menjemur. Letaknya di bagian belakang kamar kosan lantai dua. Kalau kuperhatikan,
suasananya cukup menenangkan. Aku bisa memandang ke kejauhan, dan menyaksikan awan yang berarak perlahan. Angin yang berembus kencang berhasil mengusir rasa gerah yang setiap hari mengganggu. Sepertinya tempat ini cocok untuk dijadikan tongkrongan sewaktu kepalaku terlalu lelah dipakai berpikir. Hanya tinggal menyeduh secangkir kopi. Kini aku paham rasanya menjadi anak senja.
Saking seriusnya menikmati cuaca yang sedang bersahabat, aku sampai lupa tidak menjepit jemuran yang sudah kugantung pada tali jemuran. Tiba-tiba angin berembus kencang dan membuat beberapa bajuku terbang. Lalu hinggap di atap rumah yang ada di belakang kosan.
“Ck, ah, sial!”
Aku langsung mencari sesuatu untuk mengambil bajuku. Hingga akhirnya menemukan batang bambu yang sepertinya cukup untuk aku kunakan.
Sayangnya panjang bambu itu ternyata belum cukup panjang untuk bisa menggapai bajuku yang masih bertengger di atas atap. Ingin sekali aku masa bodo kalau saja punya banyak uang untuk membeli baju baru.
Aku pun naik ke atas benteng yang ada di pinggir lahan tempat jemuran, supaya tanganku bisa terulur lebih jauh. Aku menggunakan tnagan kiri untuk berpegangan kepada ujung benteng, supaya tidak terpeleset dan bunuh
diri sebelum waktunya. Sementara tangan kananku berusaha bertahan menggapai baju-baju yang masih menunggu kuselamatkan.
Aku merasa senang saat melihat ujung bambu sempat menyentuh permukaan baju. Tapi sialnya, baju itu kembali terlepas dari ujung bambu dan terjauh lebih jauh.
Arghh! Ingin sekali aku berteriak sambil memaki-maki.
Sekali lagi aku mengulurkan tangan dan bertahan dengan tangan kiri yang mulai gemetar. Hingga sedikit lagi ujung bambu menyentuh permukaan baju. Sepertinya aku terlalu memaksakan diri. sampai akhirnya, telapak tanganku yang berkeringat malah membuat cengkramanku pada ujung benteng terlepas. Akibatnya, tubuhku langsung terjatuh menabrak genteng rumah yang ada di bawahku.
Brak!!
Rasanya tubuhku langsung merinding, berpikir kematianku akan terjadi hari ini!
Apalagi sewaktu atap rumah yang kutabrak seketika roboh dan membuatku terjatuh ke dalam rumah yang kosong sejak lama itu!
Bruagh!!
Tubuhku terjatuh dengan keras. Mataku terpejam karena tidak sanggup melihat kengerian saat tubuhku remuk menabrak lantai rumah.
Namun aku malah merasakan sesuatu yang empuk terduduki olehku. Saat kuraba, ternyata aku terjatuh ke atas sebuah sofa usang. Seketika membuatku merasa lega meski tubuhku terasa sakit-sakit akibat menabrak atap tadi.
Baru saja aku bisa bernapas lega dan berpikir sudah lepas dari kematian. Namun keadaan di sekelilingku kembali membuatku merasa tegang. Tampak banyak lelaki bertampang seram yang tengah berdiri di sekitarku, dan beberapa dari mereka terlihat menodongkan pistol ke arahku…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Ummu Saif
nah lo.. waktu dan tempat yang salah
2023-01-20
0