Bab 2

Untuk beberapa saat, aku bergeming, duduk dengan perasaan bercampur aduk. Sembari memperhatikan sekitar dengan wajah yang pasti terlihat sepetti orang tolol.

Kulihat ternyata lelaki yang ada di dalam ruangan berdiri terpisah di dua sisi. Sisi satunya, tampak menggunakan jas rapi, seperti polisi. Sementara di sisi seberangnya, gerombolan orang-orang yang terlihat seperti preman. Sepertinya aku sudah menginteruspi kedua kubu yang entah sedang apa…

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Meminta maaf dan permisi untuk pulang?

“Maaf ya, Abang-abang… Permisi…” ucapku sembari perlahan bangkit dari sofa.

Namun sebuah peluru langsung melesat dan melubangi lantai tepat di depan kakiku. Aku langsung berhenti berjalan.

Seorang lelaki dari kubu preman tampak menatapku tajam.

Lelaki lain bertubuh besar yang memiliki codet di pipinya tertawa. Dia duduk santai di jajaran paling belakang para preman. Sepertinya dia bos mereka. “Emang bego lo pada. Nempatin anak buah yang gak becus buat ngintai dari luar,” ucapnya. Sepertinya dia menyangka kalau aku salah satu komplotan kubu lawannya.

Aku hanya bisa berdiri dengan dada terus berdebar. Lalu melirik perlahan kepada komplotan berjas. Kulihat lelaki yang berdiri paling depan tampak seperti berdarah campuran. Tubuhnya jangkung berisi, terlalu tampan untuk jadi seorang polisi. Aku sampai berpikir apakah mungkin mereka sedang syuting ya?

Lelaki setengah bule itu menatapku dengan tajam. Wajahnya tampak serius, sembari tetap menodongkan pistol ke arah si preman. Aku nyengir ke arahnya dengan wajah penuh harap untuk ditolong. “Sini kamu!” ucapnya.

Aku pun berusaha melangkah pelan sekali ke arah gerombolan si setengah bule. Padahal aku melangkah sepelan dan sehati-hati mungkin. Entah kenapa tiba-tiba ada panci yang menghalangi langkahku hingga membuatku terjatuh dan menabrak tumpukan alat masak di sisi ruangan.

GOMPRYANG!!!

Kumpulan alat masak yang terhantam tubuhku langsung berhamburan dan mengeluarkan suara nyaring. Seakan menjelma menjadi sebuah lonceng yang mengisyaratkan mereka semua untuk mulai berperang!

Kubu preman dan kubu si setengah bule langsung saling menembak sembari mereka bersembunyi di balik perabotan di tengah ruangan. Aku bisa mendengar  suara peluru-peluru yang melesat meski sudah dibungkam menggunakan peredam.

Sementara aku, hanya bisa meringkuk di tepi ruangan, sembari berlindung di balik alat-alat masak yang mulai berkata. Berharap tidak ada peluru nyasar menuju ke arahku.

Psyu! Psyu!!

Suara tembakan masih terus terdengar.

‘AAAAAAAAAAAA!!!’ Aku hanya bisa berteriak di dalam hati. Sembari memejamkan mata dan menutup wajah dengan kedua tangan karena tidak ingin melihat apa yang terjadi. Sesekali kudengar suara orang yang mengerang kesakitan dan terjatuh ke atas lantai. Sepertinya mulai ada korban berjatuhan.

Hingga tiba-tiba aku merasakan tubuhku diseret. Aku yang terkejut langsung membuka mata dan melihat si setengah bule menarik bagian belakang bajuku. Hingga kemudian tubuhku agak terbanting ke balik tembok.

“Jangan bikin kita repot karena harus ngurus mayat kamu!” ucapnya. Bahkan dia bicara tanpa memandangku dan terus fokus menembaki lawannya.

Keberadaanku cukup aman sekarang karena berada di balik tembok. Kini aku bisa melihat teman-teman si setengah bule yang juga sedang melindungi diri sembari terus melakukan penyerangan.

“Stop!”ucap si setengah bule sambil mengepalkan tangannya. Semua temannya langsung berhenti menembak.

Tembakan dari kubu seberang pun berhenti. Sesaat aku berpikir mungkin mereka sudah lelah saling serang dan akan kembali bernegosiasi.

Tapi tiba-tiba, sebuah benda berbentuk silinder menggelinding ke lantai di dekatku.

Glutuk…

Kulihat si bule langsung tampak terkejut dan tegang. “Move! Move! Move!” teriaknya.

Benda silinder itu pun tampak seperti meletup dan mengeluarkan gas yang tebal. Aku pikir benda itu akan meledak dan membuatku panik. “Anjir, bom!!”

Tanpa memikirkan apa pun, aku berdiri dan berlari ke sembarang arah. Padahal si setengah bule meneriakiku. “Hey, jangan ke sana!” katanya.

Namun aku sudah terlanjut panik dan tidak sadar sedang berlari menuju tempat si gerombolan preman berada.

'Uhuk uhuk!' Aku terbatuk-batuk sembari mengibaskan tangan supaya asap tebal yang ada di sekelilingku hilang. Namun sia-sia saja.

Saat itu, aku tidak sadar telah berlari dan menabrak seseorang di depanku hingga kami berdua terjatuh. Sesaat aku membeku sewaktu menyadari kalau orang itu salah satu komplotan si preman. Buktinya, ada tato di sepanjang lengan kanannya dan tampak menyeramkan!

“Sorry, sorry, Bang…” ucapku spontan.

Sementara orang itu tampak geram dan berniat menyerangku. Dia melayangkan pukulan, dan aku langsung berguling ke samping untuk menghindarinya.

Dia mengayunkan kaki dan nyaris menginjak tubuhnya, tapi beruntungnya aku bisa lebih cepat berdiri menghindar.

“Kurang ajar!” Sialnya, aku justru makin menyulut emosi preman itu. “Mampus lo!”

“Bang, ampun, bang. Saya belum mau mati. Pacar aja belum punya, Bang.”

Si preman langsung berjalan cepat menuju ke arahku sambil membawa kursi kayu dan melemparkannya.

“Huwaaa!!” Aku berteriak sembari menggulingkan badan ke depan. Lalu koprol ke depan, meski malah mendarat dengan punggungku. “Argh! Uasem!!”

Pinggangku sekarang terasa nyeri. Namun langsung kuabaikan mengingat si preman masih berusaha kembali menyerang. Aku pun bangkit dan langsung waspada. Si preman masih membawa kusri itu dan berniat kembali melemparnya. Aku yang bingung harus apa dan terpikir untuk menggertak dia saja.

“AAAAAAAAA!!!!” Aku berteriak kencang, sambil si preman berhenti karena terkejut.

Kami berdua pun saling terdiam sesaat.

“Ngapain lo, Nyet!”

Si preman kembali akan menyerang. Tapi aku langsung melompat ke depan, memeluk pinggang si preman dan mendorong tubuhnya hingga membentur tembok di belakang.

DUGH!! Kepala si preman terbentur tembok hingga membuat dia mengerang tampak pusing. “Brengsek!!” gumamnya lemah.

Aku pun agak mundur memberikan jarak. Dan saat itu yang terpikir olehku hanyalah menonjok wajah si preman. “Sorry, Bang.”

BUAGH!!

Si preman pun tidak sadarkan diri.

Ini pertama kalinya aku menyakiti orang sampai tidak sadarkan diri seperti itu. Agak membuatku merasa bersalah, tapi apa boleh buat.

Sesaat kemudian, aku baru tersadar kalau keadaan di sekelilingku tampak hening. Orang-orang yang sebelumnya sedang saling serang malah tidak terlihat keberadaannya. Mereka menghilang!!

Kupikir aku sedang gila karena efek terbentur saat terjatuh dari atas kosan, sampai melihat khayalan yang begitu nyata. Tapi aku masih bisa melihat sip reman yang pingsan di hadapanku. Aku pun menampar diri sendiri. “Aw! Kampret, sakit!”

“Bukan mimpi, kok.” Sebuah suara mengejutkanku. Mendengar itu langsung membuatku spontan membalikkan badan sembari melayangkan tinju. Namun tinjuku dengan cepat ditangkap sebelah tangan oleh si lelaki setengah bule!

Aku langsung menarik tanganku dengan panik. “Ma-maaf, Bang.”

Lelaki setengah bule yang tadi kulihat berwajah serius, kini dia tersenyum dan memasang wajah ramah. Ekspresinya berubah drastis.

Lima orang temannya pun berdatangan.

“Halah, lolos lagi mereka,” ujar seorang lelaki berambut cepak.

“Siapa juga yang nyangka mereka bakal serame itu,” sahut lelaki lainnya yang berkuncir kuda.

“Salah kita juga sih yang lengah. Kayaknya mereka emang sengaja mincing kita ke sini.”

“Yang penting kita dapat satu anak buahnya,” ucap si setengah bule.

Kelima temannya pun langsung memandang ke arah preman yang pingsan, lalu melihat ke arahku. Seketika membuatku merasa tegang.

Lelaki berkaca mata mendekatiku. Lalu dia mendongak ke arah atap rumah yang bolong. “Lo manusia bukan?”

“Lo ngarep apaan? Malaikat? Di mana-mana malaikat tuh cantik, punya sayap. Kagak dekit gitu lah!” sahut si lelaki berkuncir. Agak kesal mendengarnya.

Si setengah bule menengahi mereka. “Ayo cepat siap-siap pergi. Bawa dia juga tuh, sebelum keburu sadar.”

Mereka berenam pun langsung bergerak dan bersiap pergi sembari membawa si kawanan preman yang masih tidak sadarkan diri. Sesaat keberadaanku seakan langsung mereka lupakan.

Jadi mereka itu siapa? Dan sedang apa? Lalu mau apa?

Berbagai pertanyaan yang kini bermunculan di dalam kepala membuatku tidak bisa diam saja. Aku bergegeas menghentikan si setengah bule sebelum dia melangkah pergi.

“Bang, ini ada apa sebenarnya? Kalian siapa?”

Si setengah bule berhenti berjalan dan tersenyum, “Terima kasih,” ucapnya. “Kamu sudah membantu kami menangkap salah satu komplotan dari bandar narkoba.”

What?! Untuk sesaat aku masih belum bisa mencerna perkataan yang kudengar. “Bandar narkoba?” tanyaku untuk memastikan.

“Ya. Komplotan pengedar terbesar, yang dipimpin oleh Barong. Dan kami, sedang dalam tugas untuk menangkap mereka.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!