NovelToon NovelToon

Accidental Spy

Prolog

“Elizabet menitikan air mata sembari meresapi kesalahannya yang telah terlanjur mengkhianati Frans. Tiba-tiba sebuah tangan terulur sembari menyodorkan sapu tangan putih berinisial A.H. Saat mendongakan kepala, Alfonso berdiri di hadapannya sembari memandangnya lekat. Alfonso berusaha menenangkan Elizabet yang tidak bisa berhenti menangis.Hingga kemudian menyatakan cintanya dan meminta Elizabet melupakan Frans…”

Untuk sesaat, aku tidak mendengar jawaban apa pun di seberang telepon. Membuatku merasa mulai tidak sabar dan penasaran. “Gimana, Pak?” tanyaku untuk meminta tanggapan.

“Kok, jadinya sama Alfonso? Bukannya gak ada planting-an apa-apa soal Alfonso sama Elizabet? Nanti malah jadi aneh kalau terlalu tiba-tiba gini. Kamu revisi ya.”

Kalimat terakhir yang kudengar seakan menjelma menjadi serangan petir di tengah hari bolong. Sejak awal memang aku sudah punya feeling buruk soal editor yang menangani komikku kali ini. Bukan pertama kalinya dia mendadak menyuruhku revisi. Memangnya dia pikir revisi itu secepat berkurangnya saldo rekeningku apa?

“Yah, Pak, saya sudah terlanjut bikin rough sketch pakai trek yang sekarang.”

“Ya salah kamu sendiri. Kan saya belum approve kenapa sudah mulai? Pokoknya besok saya sudah harus terima draft outline baru ya.”

Telepon diputus sepihak.

“Editor kampret!!!” umpatku sembari merebahkan tubuh di atas lantai.

Sebenarnya ada banyak kata makian yang ingin aku ucapkan. Tapi buat apa aku menghabiskan energi untuk editor sialan itu? Bahkan jatah makan pagiku sekarang sudah langsung lenyap di dalam lambung, terbakar oleh emosi.

Kalau dipikir lagi, harusnya aku menyalahkan diri sendiri sih, yang dengan sadar memilih pekerjaan seperti ini. Awalnya aku pikir jadi komikus komik online itu menyenangkan. Bisa kerja di rumah, tidak perlu capek pergi ke kantor, dan bisa menjauhi lingkungan kerja dengan orang-orang toxic. Ternyata tetap saja aku berakhir mengeluh, seperti para pekerja korporat yang selalu mengeluhkan situasi bekerjanya, tapi tidak pernah berani resign.

Aku pikir juga, dengan menjadi komikus berarti bisa bebas membuat cerita yang aku sukai. Ternyata apa yang aku suka belum tentu laku di pasaran. Sekarang, aku yang bermimpi ingin jadi komikus komik action pun harus bertahan menggarap cerita romance yang lebih menjual. Padahal tiap menggambarnya saja bikin aku merinding. Membayangkan kisah cinta yang bahkan aku sendiri belum pernah merasakannya. Pernah sih sekali aku pacaran sewaktu SMA, tapi baru seminggu sudah langsung putus.

“Haaah… Hidup… Hidup…”

Padahal ini masih awal bulan, tapi langsung dimulai dengan awal yang sangat buruk!

Aku pun bangkit dan berdiri sembari meregangkan otot-otot tangan. Lalu melihat ke sekeliling ruangan kosanku yang tampak berantakan. Sampah makanan yang selalu kupesan melalui aplikasi sudah bertumpuk. Cucian pun belum sempat kucuci dari lima hari lalu.

Kalau saja bisa, aku ingin memutar waktu. Kembali ke masa SMA dan belajar dengan giat supaya bisa lolos tes CPNS. Lalu aku punya pekerjaan yang stabil, gaji yang tidak seberapa tapi cukup untuk hidup. Kemudian menikah dengan wanita yang biasa saja, tapi setia dan mau menerima aku yang seperti ini.

Andai saja bisa… aku ingin hidup yang biasa saja, tidak terlalu seru, tapi tidak semembosankan sekarang.

Sepertinya kamar kosan membuatku jadi memikirkan hal yang tidak mungkin. Jadi, kuputuskan untuk keluar dan berjalan-jalan untuk menghirup udara segar. Meski baru saja melangkah keluar kosan, yang kuhirup hanyalah gas buangan dari kendaraan yang berlalu-lalang. Benar-benar tidak mendukung untuk memperbaiki mood.

Ponsel dalam saku celanaku mendadak bergetar. Hampir saja aku langsung memutus panggilan yang masuk, kalau saja tidak menyadari kalau telepon itu dari Arya, sahabatku.

“Ya, kenapa, bro?”

“Masih idup lo? Lagi di mana? Sibuk gak?”

“Perlu gue jawab gak nih? Pake basa basi segala.”

Arya tertawa. “Gue beres ngantor cepet nih. Nongkrong yuk. Gue traktir.”

“Halah, sombong amat yang banyak duit. Yuk, cus. Lo shareloc aja, nanti gue ke sana.”

Bisa dibilang Arya satu-satunya temanku yang tersisa. Entah kenapa jadi dewasa justru membuat kita semakin merasa kesepian. Aku jadi sadar kalau ternyata satu per satu orang akan pergi dan menghilang, dan mencari teman baru jadi sesuatu yang sulit. Aku masih bersyukur karena sejak SMA Arya tidak pernah bosan berteman denganku.

Setelah mendapatkan shareloc dari Arya, aku pun melesat menggunakan ojek online. Masih menggunakan kaos oblong, kolor dan sendal jepit. Rambutku yang gondrong saja belum sempat kurapikan. Harusnya aku ingat kalau Arya ini teman yang kurang ajar. Dia bahkan hanya share titik di pinggir jalan, dan malah membawaku masuk ke dalam kafe hits yang biasa didatangi anak muda. Aku jadi terpaksa masuk dengan dandanan seperti gembel. Semua cewek yang ada di sana langsung menatapku dengan pandangan jijik.

“Heh, emang kampret lo ya!” umpatku dengan agak berbisik.

Kulihat Arya menahan tawanya. Membuatku semakin yakin kalau dia sengaja melakukan ini semua.

“Ya udah sih emangnya kenapa. Kan elo selalu pede sama muka lo yang katanya ganteng itu.”

“Halah, bacot lo!”

“Udah, minum tuh kopi. Biar kepala lo dingin.”

Aku pun menyeruput segelas ice cappuccino yang dibelikan Arya. “Gimana kerjaan lo? Kok, kayaknya lancar-lancar aja. Gak pernah ada masalah gitu?”

“Kayaknya lo pengen banget gue kena masalah ya? Syukurnya sih lancar-lancar aja. Malah baru naek gaji.”

Hampir saja aku tersedak mendengarnya. Kalau tidak salah baru minggu lalu Arya cerita kalau dia naik jabatan, sekarang dia naik gaji. Kenapa hidup rasanya tidak adil?

“Pantesan langsung traktir gue.”

“Gak sih. gue traktir bukan karena itu. Tapi gue baru aja jadian sama si Nadia.”

Oke, aku yakin hidup pilih kasih atau mungkin sedang menghukumku atas kesalahan yang aku lupa. Apa ya kira-kira kejahatan yang pernah aku perbuat selain nunggak bayar kosan, makan gorengan lima cuma bayar tiga, makan makanan anak kos lain tapi tidak bilang… Harusnya kesalahanku tidak separah itu sampai harus dapat hukuman seberat ini.

“Balik ah. Badmood gue…”

Arya kembali tertawa. “Kenapa sih lo hari ini sensi banget kayaknya. Pasti habis ditelepon editor lo itu ya?”

Aku hanya mengangguk.

“Bro… hidup tuh bakal berjalan tergantung sama keputusan dan usaha kita. Kalau emang lo ngerasa kerjaan lo, hidup lo gak sesuai ekspektasi, ya lo pikirin cara buat cari kehidupan yang lebih baik lah! Gue liat lo tuh terlalu terjebak di zona nyaman. Lo takut buat ngelangkah dan masuk ke lingkungan baru.”

“Duh, baru pacaran sehari lo udah jadi sok bijak kayak gini.”

“Gue lagi serius nih. Gak usah ngeyel!” Arya menyeruput minumannya, sementara aku tertegun memikirkan perkataan Arya. “Gue tuh pengen liat lo yang dulu. Masih semangat, punya banyak mimpi. Gak terjebak di tengah kehidupan yang kayaknya bukan lo banget.”

Sebenarnya, perkataan Arya ada benarnya. Aku selama ini hanya bisa mengeluh tanpa melakukan apa pun. Kalau memang ingin mengubah kehidupan, ya aku harus mulai melakukan sesuatu.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku dipenuhi dengan berbagai hal. Hingga aku mendapatkan kesimpulan kalau mungkin aku harus mencari jalan lain untuk aku coba lewati. Selagi masih ada lima tahun lagi sebelum aku berumur 30. Karena harapanku masih selalu sama, di awal kepala tiga, aku sudah harus mendapatkan pekerjaan yang membuatku nyaman dengan penghasilan yang stabil. Tapi sekarang masalahnya… dari mana aku harus mulai? Kalau tiba-tiba berhenti jadi komikus, pasti akan  jadi masalah. Ditambah lagi aku belum punya cukup tabungan.

Terlalu banyak berpikir membuatku jadi tidak memperhatikan jalan. Hingga tiba-tiba, aku tidak sengaja menabrak seorang nenek tua yang nyaris saja terjatuh. Aku langsung memegangi lengan nenek itu, dan sesaat bertatapan dengannya. Kalau saja wanita muda dan bukan nenek-nenek yang kutabrak, ini akan jadi adegan romantis yang selalu ada di dalam komik.

“Aduh, maaf ya, Nek. Saya barusan bengong.”

Si nenek tampak terkekeh. “Gak apa-apa…” ucapnya. Lalu dia tampak memandangi aku lekat. Membuatku agak seram. Jangan sampai dia justru naksir denganku. Memang sih aku jomblo, tapi aku masih lebih suka cewek muda. Kecuali ini akhir dunia dan hanya dia wanita yang tersisa, akan aku pertimbangkan.

“Em... Permisi ya, Nek.”

“Tunggu!” sahut si nenek dengan cepat. Aku merasa semakin khawatir.

Nenek itu lalu menarik tanganku dan mengusap-usap telapak tanganku. Membuat perasaanku semakin tidak enak dan agak merinding.

“Maaf, Nek, bukannya kurang sopan. Tapi saya masih suka sama...”

Si nenek tampak mengembuskan napas lalu memandangku dengan sedih. Dia menepuk-nepuk tanganku yang masih digenggamnya. “Kasihan…” ucapnya memotong perkataanku.

“Eh, gimana, Nek?”

Aku bingung harus bereaksi seperti apa. jadi hanya bisa menunggu si nenek lanjut bicara. Meski ternyata itu pilihan yang buruk. Seharusnya aku langsung berlari pergi dari tadi.

Si nenek pun membuka mulut dan melanjutkan perkataannya, “akhir bulan ini… kamu akan mati…”

Bab 1

“Kenapa baru jadi setengah? Kan kemarin saya sudah langsung minta revisi. Harusnya bisa dong selesai, kan banyak waktu.”

“Iya, maaf, Pak. Saya selesaikan sisanya hari ini.”

“Ya sudah, sebelum jam tiga ya, saya tunggu.”

“Pak, maaf. Untuk honor kira-kira bisa turun dalam minggu ini?”

“Kamu itu kerjaan belum beres udah nanyain honor! Selesaikan dulu revisinya, baru kita bicara lagi!”

What the hell?! Kenapa pagi ini harus aku mulai dengan mendengar ocehan si editor sialan itu?!

Semua karena perkataan si nenek tua kemarin, aku sampai tidak fokus dan tidak bisa menyelesaikan revisi tepat waktu. Semalaman aku hanya uring-uringan memikirkan apa jadinya kalau ramalan itu benar? Aku akan mati akhir bulan ini?

Sekitar pukul sebelas malam aku menelepon Arya untuk menceritakan apa yang terjadi. Tapi respons dia cuma, ‘lo ngigo ya? Apa lagi teler?’ Dia malah mengira aku bercanda.

Kuembuskan napas untuk menenangkan diri. Lalu melirik ke arah kalender yang tergantung pada dinding. Setiap hari aku mencoret tanggalnya sembari memberikan catatan pada tanggal penting. Meski setiap hari memang

penting karena aku harus berkutat dengan deadline yang seakan tidak ada habisnya.

2 Februari… Tahun kabisat. Sepertinya Tuhan memberikan tambahan satu hari untukku menikmati hidup, andaikan memang benar aku akan mati akhir bulan ini.

Perutku bergemuruh sewaktu belum lama kembali berkutat dengan revisi. Memang sudah saatnya jam makan siang, dan keuangan yang semakin menipis memaksaku untuk melangkahkan kaki menuju warteg. Biasanya aku selalu memesan melalui ojek online, tapi belakangan menyebalkan sekali karena makin banyak fee yang dibebankan. Platform fee, application fee, hanya untuk beli nasi padang 30 ribu saja aku harus mengeluarkan fee sampai 20 ribu. Bodohnya lagi, sudah tahu seperti itu, aku masih tidak bisa berhenti menggunakan layanan aplikasinya. Memang yang bermasalah itu aku sendiri.

“Mas Rezky,” sapa seorang gadis cantik yang berpapasan denganku saat baru saja keluar kamar kosan. Dia baru saja menaiki tangga menuju lantai dua tempat kamarku berada. Rasanya seperti mendengar suara malaikat. Ditambah dengan wangi samponya yang semerbak, membuat mood-ku agak membaik.

“Eh, Sisil. Mau ke mana?”

“Ini biasa lah, diminta ibu nangihin uang kosan.”

Perkataan Sisil membuatku tersadar kalau aku pun masih menunggak sejak bulan kemarin. “Sil, maaf ya… aku masih nungguin honor cair. Tapi harusnya minggu ini…”

Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, tiba-tiba terdengar sebuah teriakan nyaring dari bawah.

“Rezky!! Gak ada ya nunggak lagi bulan ini! Bayar buruan!!” Suara Bu Aneu, alias ibu kos, alias ibunya Sisil langsung menggelegar.

Aku mengintip ke arah bawah sambil nyengir. Kulihat Bu Aneu berdiri bertolak pinggang sambil melotot ke arahku. Namun yang kulihat hanya rol rambut berwarna pink-nya yang entah untuk apa dipasang pada rambutnya yang sudah ikal.

“Hehe, iya, Bu. Maaf ya, Bu.”

"Bayar ya sama yang bulan lalu!"

"Iya, Bu."

"Gak pake nunggak-nunggak!"

"Iyaa, siap, Bu Aneu yang cantik..."

Setelahnya, aku langsung berbisik kepada Sisil. “Sil maaf ya, tungguin akhir minggi ini.”

Sisil balas berbisik padaku. “Iya tenang aja, Mas. Hati-hati aja nanti kalau ketemu ibu.”

“Makasih ya, Sil. Kamu emang baik banget. Beda sama ibu kamu yang galak gitu. Beneran ya kamu bukan anak angkat?”

Sisil tertawa kecil dengan wajahnya yang sangat manis. “Anak kandung lah, Mas Rezky ada-ada aja.”

Tiba-tiba, Sisil memegang lenganku. “Mas Rezky kalau butuh apa-apa kasih tau Sisil aja. Ada nomor Sisil, kan? Daripada beli makan pake ojek online, mending titip Sisil.”

“Hehe, jadi malu… Makasih banget ya. Kalau honor udah cair, nanti aku traktir kamu ke kafe-kafe lucu gitu.”

Sisil tampak tersenyum dengan agak tersipu. Rasanya membuat perasaanku jadi semakin membaik. Gemuruh di perutku saja sudah langsung hilang.

Kadang aku bertanya-tanya, apakah Sisil memang selalu sebaik ini kepada semua orang, atau kepadaku saja. Karena aku jarang melihat dia mengobrol akrab dengan anak kos lainnya yang berumur tidak jauh dariku. Mungkin

Tuhan memang mengirimkan malaikatnya dalam wujud Sisil untuk setidaknya memberikan secercah cahaya kepada hari-hariku yang kelam.

“Sisil! Jangan kelamaan ngobrol sama si Rezky!!” Teriakan Bu Aneu langsung menghancurkan moment yang menenangkan barusan. Seketika aku langsung tersadar kalau harus segera kembali ke dunia nyata.

“Maaf ya,” bisik Sisil sebelum pergi meninggalkanku.

Akibat kemunculan Bu Aneu yang tiba-tiba, aku mengurungkan untuk pergi ke warteg dan kembali masuk ke dalam kamar. Sebenarnya tidak tiba-tiba, sih, mengingat tempat tinggalnya memang di samping kosan. Ujungnya, aku kembali memesan makanan lewat ojek online. Supaya abang ojeknya yang antar sampai ke depan kamarku, supaya nyawaku selamat. Karena bisa jadi aku mati karena mungkin sampai akhir bulan masih menunggak kosan dan terkena bogem Bu Aneu.

‘Kamu akan mati di akhir bulan ini…’

Kalimat itu terus terngiang dan berputar dalam kepala. Tiap kali aku membaca atau mendengar apa pun, rasanya semua hal jadi berbau kematian.

Saat kunyalakan youtube untuk refreshing sejenak dari deadline, youtuber yang kusuka malah membahas soal kematian mahasiswa di dalam kosan.

Sewaktu kudengarkan spotify, muncul iklan soal pentingnya kesehatan agar tidak mati muda. Aku sampai bertanya-tanya siapa yang punya ide membuat iklan seperti itu.

Bahkan saat aku buang air di toilet, malah terdengar suara pertengkaran dari kamar sebelah. Si cewek terus berteriak dan menyumpahi pacarnya supaya mati! Padahal itu urusan mereka, tapi kenapa malah aku yang

tertekan! Arrgghh!!!

Kalau seperti ini terus bisa-bisa aku justru frustasi dan malah mati karena itu. Jadi aku coba melakukan kegiatan lain setelah mengirimkan revisi ke si editor sialan.

Aku mencuci gunungan baju kotor yang sudah mulai meresahkan. Lalu menjemutnya di tempat kosong yang memang sengaja dibuat untuk menjemur. Letaknya di bagian belakang kamar kosan lantai dua. Kalau kuperhatikan,

suasananya cukup menenangkan. Aku bisa memandang ke kejauhan, dan menyaksikan awan yang berarak perlahan. Angin yang berembus kencang berhasil mengusir rasa gerah yang setiap hari mengganggu. Sepertinya tempat ini cocok untuk dijadikan tongkrongan sewaktu kepalaku terlalu lelah dipakai berpikir. Hanya tinggal menyeduh secangkir kopi. Kini aku paham rasanya menjadi anak senja.

Saking seriusnya menikmati cuaca yang sedang bersahabat, aku sampai lupa tidak menjepit jemuran yang sudah kugantung pada tali jemuran. Tiba-tiba angin berembus kencang dan membuat beberapa bajuku terbang. Lalu hinggap di atap rumah yang ada di belakang kosan.

“Ck, ah, sial!”

Aku langsung mencari sesuatu untuk mengambil bajuku. Hingga akhirnya menemukan batang bambu yang sepertinya cukup untuk aku kunakan.

Sayangnya panjang bambu itu ternyata belum cukup panjang untuk bisa menggapai bajuku yang masih bertengger di atas atap. Ingin sekali aku masa bodo kalau saja punya banyak uang untuk membeli baju baru.

Aku pun naik ke atas benteng yang ada di pinggir lahan tempat jemuran, supaya tanganku bisa terulur lebih jauh. Aku menggunakan tnagan kiri untuk berpegangan kepada ujung benteng, supaya tidak terpeleset dan bunuh

diri sebelum waktunya. Sementara tangan kananku berusaha bertahan menggapai baju-baju yang masih menunggu kuselamatkan.

Aku merasa senang saat melihat ujung bambu sempat menyentuh permukaan baju. Tapi sialnya, baju itu kembali terlepas dari ujung bambu dan terjauh lebih jauh.

Arghh! Ingin sekali aku berteriak sambil memaki-maki.

Sekali lagi aku mengulurkan tangan dan bertahan dengan tangan kiri yang mulai gemetar. Hingga sedikit lagi ujung bambu menyentuh permukaan baju. Sepertinya aku terlalu memaksakan diri. sampai akhirnya, telapak tanganku yang berkeringat malah membuat cengkramanku pada ujung benteng terlepas. Akibatnya, tubuhku langsung terjatuh menabrak genteng rumah yang ada di bawahku.

Brak!!

Rasanya tubuhku langsung merinding, berpikir kematianku akan terjadi hari ini!

Apalagi sewaktu atap rumah yang kutabrak seketika roboh dan membuatku terjatuh ke dalam rumah yang kosong sejak lama itu!

Bruagh!!

Tubuhku terjatuh dengan keras. Mataku terpejam karena tidak sanggup melihat kengerian saat tubuhku remuk menabrak lantai rumah.

Namun aku malah merasakan sesuatu yang empuk terduduki olehku. Saat kuraba, ternyata aku terjatuh ke atas sebuah sofa usang. Seketika membuatku merasa lega meski tubuhku terasa sakit-sakit akibat menabrak atap tadi.

Baru saja aku bisa bernapas lega dan berpikir sudah lepas dari kematian. Namun keadaan di sekelilingku kembali membuatku merasa tegang. Tampak banyak lelaki bertampang seram yang tengah berdiri di sekitarku, dan beberapa dari mereka terlihat menodongkan pistol ke arahku…

Bab 2

Untuk beberapa saat, aku bergeming, duduk dengan perasaan bercampur aduk. Sembari memperhatikan sekitar dengan wajah yang pasti terlihat sepetti orang tolol.

Kulihat ternyata lelaki yang ada di dalam ruangan berdiri terpisah di dua sisi. Sisi satunya, tampak menggunakan jas rapi, seperti polisi. Sementara di sisi seberangnya, gerombolan orang-orang yang terlihat seperti preman. Sepertinya aku sudah menginteruspi kedua kubu yang entah sedang apa…

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Meminta maaf dan permisi untuk pulang?

“Maaf ya, Abang-abang… Permisi…” ucapku sembari perlahan bangkit dari sofa.

Namun sebuah peluru langsung melesat dan melubangi lantai tepat di depan kakiku. Aku langsung berhenti berjalan.

Seorang lelaki dari kubu preman tampak menatapku tajam.

Lelaki lain bertubuh besar yang memiliki codet di pipinya tertawa. Dia duduk santai di jajaran paling belakang para preman. Sepertinya dia bos mereka. “Emang bego lo pada. Nempatin anak buah yang gak becus buat ngintai dari luar,” ucapnya. Sepertinya dia menyangka kalau aku salah satu komplotan kubu lawannya.

Aku hanya bisa berdiri dengan dada terus berdebar. Lalu melirik perlahan kepada komplotan berjas. Kulihat lelaki yang berdiri paling depan tampak seperti berdarah campuran. Tubuhnya jangkung berisi, terlalu tampan untuk jadi seorang polisi. Aku sampai berpikir apakah mungkin mereka sedang syuting ya?

Lelaki setengah bule itu menatapku dengan tajam. Wajahnya tampak serius, sembari tetap menodongkan pistol ke arah si preman. Aku nyengir ke arahnya dengan wajah penuh harap untuk ditolong. “Sini kamu!” ucapnya.

Aku pun berusaha melangkah pelan sekali ke arah gerombolan si setengah bule. Padahal aku melangkah sepelan dan sehati-hati mungkin. Entah kenapa tiba-tiba ada panci yang menghalangi langkahku hingga membuatku terjatuh dan menabrak tumpukan alat masak di sisi ruangan.

GOMPRYANG!!!

Kumpulan alat masak yang terhantam tubuhku langsung berhamburan dan mengeluarkan suara nyaring. Seakan menjelma menjadi sebuah lonceng yang mengisyaratkan mereka semua untuk mulai berperang!

Kubu preman dan kubu si setengah bule langsung saling menembak sembari mereka bersembunyi di balik perabotan di tengah ruangan. Aku bisa mendengar  suara peluru-peluru yang melesat meski sudah dibungkam menggunakan peredam.

Sementara aku, hanya bisa meringkuk di tepi ruangan, sembari berlindung di balik alat-alat masak yang mulai berkata. Berharap tidak ada peluru nyasar menuju ke arahku.

Psyu! Psyu!!

Suara tembakan masih terus terdengar.

‘AAAAAAAAAAAA!!!’ Aku hanya bisa berteriak di dalam hati. Sembari memejamkan mata dan menutup wajah dengan kedua tangan karena tidak ingin melihat apa yang terjadi. Sesekali kudengar suara orang yang mengerang kesakitan dan terjatuh ke atas lantai. Sepertinya mulai ada korban berjatuhan.

Hingga tiba-tiba aku merasakan tubuhku diseret. Aku yang terkejut langsung membuka mata dan melihat si setengah bule menarik bagian belakang bajuku. Hingga kemudian tubuhku agak terbanting ke balik tembok.

“Jangan bikin kita repot karena harus ngurus mayat kamu!” ucapnya. Bahkan dia bicara tanpa memandangku dan terus fokus menembaki lawannya.

Keberadaanku cukup aman sekarang karena berada di balik tembok. Kini aku bisa melihat teman-teman si setengah bule yang juga sedang melindungi diri sembari terus melakukan penyerangan.

“Stop!”ucap si setengah bule sambil mengepalkan tangannya. Semua temannya langsung berhenti menembak.

Tembakan dari kubu seberang pun berhenti. Sesaat aku berpikir mungkin mereka sudah lelah saling serang dan akan kembali bernegosiasi.

Tapi tiba-tiba, sebuah benda berbentuk silinder menggelinding ke lantai di dekatku.

Glutuk…

Kulihat si bule langsung tampak terkejut dan tegang. “Move! Move! Move!” teriaknya.

Benda silinder itu pun tampak seperti meletup dan mengeluarkan gas yang tebal. Aku pikir benda itu akan meledak dan membuatku panik. “Anjir, bom!!”

Tanpa memikirkan apa pun, aku berdiri dan berlari ke sembarang arah. Padahal si setengah bule meneriakiku. “Hey, jangan ke sana!” katanya.

Namun aku sudah terlanjut panik dan tidak sadar sedang berlari menuju tempat si gerombolan preman berada.

'Uhuk uhuk!' Aku terbatuk-batuk sembari mengibaskan tangan supaya asap tebal yang ada di sekelilingku hilang. Namun sia-sia saja.

Saat itu, aku tidak sadar telah berlari dan menabrak seseorang di depanku hingga kami berdua terjatuh. Sesaat aku membeku sewaktu menyadari kalau orang itu salah satu komplotan si preman. Buktinya, ada tato di sepanjang lengan kanannya dan tampak menyeramkan!

“Sorry, sorry, Bang…” ucapku spontan.

Sementara orang itu tampak geram dan berniat menyerangku. Dia melayangkan pukulan, dan aku langsung berguling ke samping untuk menghindarinya.

Dia mengayunkan kaki dan nyaris menginjak tubuhnya, tapi beruntungnya aku bisa lebih cepat berdiri menghindar.

“Kurang ajar!” Sialnya, aku justru makin menyulut emosi preman itu. “Mampus lo!”

“Bang, ampun, bang. Saya belum mau mati. Pacar aja belum punya, Bang.”

Si preman langsung berjalan cepat menuju ke arahku sambil membawa kursi kayu dan melemparkannya.

“Huwaaa!!” Aku berteriak sembari menggulingkan badan ke depan. Lalu koprol ke depan, meski malah mendarat dengan punggungku. “Argh! Uasem!!”

Pinggangku sekarang terasa nyeri. Namun langsung kuabaikan mengingat si preman masih berusaha kembali menyerang. Aku pun bangkit dan langsung waspada. Si preman masih membawa kusri itu dan berniat kembali melemparnya. Aku yang bingung harus apa dan terpikir untuk menggertak dia saja.

“AAAAAAAAA!!!!” Aku berteriak kencang, sambil si preman berhenti karena terkejut.

Kami berdua pun saling terdiam sesaat.

“Ngapain lo, Nyet!”

Si preman kembali akan menyerang. Tapi aku langsung melompat ke depan, memeluk pinggang si preman dan mendorong tubuhnya hingga membentur tembok di belakang.

DUGH!! Kepala si preman terbentur tembok hingga membuat dia mengerang tampak pusing. “Brengsek!!” gumamnya lemah.

Aku pun agak mundur memberikan jarak. Dan saat itu yang terpikir olehku hanyalah menonjok wajah si preman. “Sorry, Bang.”

BUAGH!!

Si preman pun tidak sadarkan diri.

Ini pertama kalinya aku menyakiti orang sampai tidak sadarkan diri seperti itu. Agak membuatku merasa bersalah, tapi apa boleh buat.

Sesaat kemudian, aku baru tersadar kalau keadaan di sekelilingku tampak hening. Orang-orang yang sebelumnya sedang saling serang malah tidak terlihat keberadaannya. Mereka menghilang!!

Kupikir aku sedang gila karena efek terbentur saat terjatuh dari atas kosan, sampai melihat khayalan yang begitu nyata. Tapi aku masih bisa melihat sip reman yang pingsan di hadapanku. Aku pun menampar diri sendiri. “Aw! Kampret, sakit!”

“Bukan mimpi, kok.” Sebuah suara mengejutkanku. Mendengar itu langsung membuatku spontan membalikkan badan sembari melayangkan tinju. Namun tinjuku dengan cepat ditangkap sebelah tangan oleh si lelaki setengah bule!

Aku langsung menarik tanganku dengan panik. “Ma-maaf, Bang.”

Lelaki setengah bule yang tadi kulihat berwajah serius, kini dia tersenyum dan memasang wajah ramah. Ekspresinya berubah drastis.

Lima orang temannya pun berdatangan.

“Halah, lolos lagi mereka,” ujar seorang lelaki berambut cepak.

“Siapa juga yang nyangka mereka bakal serame itu,” sahut lelaki lainnya yang berkuncir kuda.

“Salah kita juga sih yang lengah. Kayaknya mereka emang sengaja mincing kita ke sini.”

“Yang penting kita dapat satu anak buahnya,” ucap si setengah bule.

Kelima temannya pun langsung memandang ke arah preman yang pingsan, lalu melihat ke arahku. Seketika membuatku merasa tegang.

Lelaki berkaca mata mendekatiku. Lalu dia mendongak ke arah atap rumah yang bolong. “Lo manusia bukan?”

“Lo ngarep apaan? Malaikat? Di mana-mana malaikat tuh cantik, punya sayap. Kagak dekit gitu lah!” sahut si lelaki berkuncir. Agak kesal mendengarnya.

Si setengah bule menengahi mereka. “Ayo cepat siap-siap pergi. Bawa dia juga tuh, sebelum keburu sadar.”

Mereka berenam pun langsung bergerak dan bersiap pergi sembari membawa si kawanan preman yang masih tidak sadarkan diri. Sesaat keberadaanku seakan langsung mereka lupakan.

Jadi mereka itu siapa? Dan sedang apa? Lalu mau apa?

Berbagai pertanyaan yang kini bermunculan di dalam kepala membuatku tidak bisa diam saja. Aku bergegeas menghentikan si setengah bule sebelum dia melangkah pergi.

“Bang, ini ada apa sebenarnya? Kalian siapa?”

Si setengah bule berhenti berjalan dan tersenyum, “Terima kasih,” ucapnya. “Kamu sudah membantu kami menangkap salah satu komplotan dari bandar narkoba.”

What?! Untuk sesaat aku masih belum bisa mencerna perkataan yang kudengar. “Bandar narkoba?” tanyaku untuk memastikan.

“Ya. Komplotan pengedar terbesar, yang dipimpin oleh Barong. Dan kami, sedang dalam tugas untuk menangkap mereka.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!