Badanku mulai dipenuhi keringat dingin. Baru pertama kali aku merasa tegang hingga kakiku agak gemetar. Padahal situasiku saat ini tidak lebih gawat dibanding saat terjatuh ke dalam rumah kosong kemarin.
Tapi orang-orang yang kini berada di dekatku terasa sangat bahaya. Bahkan bisa saja mereka langsung menghabisiku detik ini juga. Mungkin mereka masih menahan diri karena lokasi saat ini tidak terlalu cocok untuk digunakan sebagai TKP. Karena bisa saja ada orang komplek yang tengah tiba-tiba muncul.
Ah, benar juga. Meski terasa sangat sepi, tapi aku berada di tengah komplek yang dipenuhi rumah penduduk. Pasti kalau aku berteriak, orang-orang langsung bergegas keluar rumah dan bisa mengusir komplotan preman ini!
Ya, benar. Aku hanya perlu berteriak meminta tolong!
Baru saja kuhela napas dalam-dalam, lelaki kurus di sampingku menempelkan mata pisaunya ke leherku. Bisa kurasakan dingin dari benda logam yang tajam itu menempel di kulitku. Siap menikamku kapan pun dia mau.
“Ckckck, gue gak suka keributan. Jadi jangan coba-coba teriak. Khekhekhe,” ucapnya sembari tertawa, seakan sedang bercanda.
Mulutku pun tidak jadi terbuka. Aku bahkan kesulitan menelan ludah.
“Woy, mau sampai kapan kita di sini. Buruan habisin aja!” sahut lelaki ber-hoodie. Ternyata dia yang lebih tidak sabar untuk menghabisiku.
“Sabar, Bro. Tugas kita cuma bawa ini anak ke bos.”
Sesuatu langsung terbesit dalam pikiranku. Perkataan barusan menandakan bahwa mereka tidak akan membunuhku! Setidaknya, tidak untuk saat ini. Itu berarti aku masih punya kesempatan untuk berbuat nekat!
“Oke, oke. Gue naik,” ucapku.
Lelaki di sampingku pun langsung melipat dan memasukkan kembali pisaunya ke dalam saku celana. Sementara aku mulai mengangkat sebelah kaki, seakan hendak naik ke dalam mobil. Namun saat semua orang lengah, aku langsung berlari sekuat tenaga, menjauh dari mereka semua!
Aku pun berlari tanpa berpikir akan menuju ke mana. Hanya berharap bisa menjauh dari orang-orang berbahaya itu. Bahkan aku tidak berani melihat ke belakang dan menyaksikan mereka kembali berlari mengejarku.
Kakiku rasanya tidak ingin berhenti. Seakan dia bekerja sendiri tanpa kuperintah. Tempat yang terpikirkan olehku hanyakan minimart tempat aku membeli koyo. Karena di dalam sana sudah pasti ada cctv kan? Jadi, harusnya aku bisa aman. Kalau-kalau komplotan itu masih nekat mengejarku.
‘Ting-tong.’ Bel pintu berbunyi saat aku masuk ke dalam minimart yang tampak sepi.
Penjaganya langsung melihat ke arahku denga nagak terkejut karena aku datang sembari berlari. “Masih kurang, Mas, koyonya?” tanyanya dengan polos.
Aku tidak bisa langsung menjawab karena napasku masih tersengal-sengal. Hal selanjutnya yang kulakukan hanyalah berjalan ke balik meja kasir dan duduk bersembunyi di bawahnya.
Si penjaga kasir tampak kebingungan. “Mas, ada apa, Mas?” Sepertinya dia mulai panik karena melihat wajahku yang pucat karena takut.
“Ikut ngumpet sebentar ya, Mas. Anggap aja saya gak ada.”
Penjaga kasir yang tampak masih lebih muda dariku itu malah berjongkok di hadapanku. Lalu bicara dengan berbisik. “Emang ada apa? Mas dikejar begal?”
“Iya… gitu lah. Pokoknya saya ikut ngumpet dulu ya.”
‘Ting-tong.’
DEGH! Jantungku langsung kembali bertabuh kencang saat mendedngar suara bel pintu berbunyi. Itu pasti mereka!
Aku pun memberikan isyarat menggunakan tangan supaya si penjaga kasir kembali berdiri dan membiarkan aku bersembunyi. Sementara aku duduk bersembunyi sembari diam-diam memperhatikan ekspresi pada wajahnya yang tampak terkejut.
‘Anjir, beneran mereka ngejar sampai ke sini! Mampus gue!’
Bisa kudengar Langkah kaki yang kian mendekat ke meja kasir. Si penjaga masih berdiri sambil terdiam tegang. “Selamat malam,” ucapnya.
Rasanya dadaku sesak akibat rasa tegang yang semakin menjadi-jadi.
‘Brak!’
Kudengar suara gebrakan pada meja kasir. Tubuhku terhenyak karena terkejut mendengarnya.
Sepertinya orang-orang itu akan bertindak anarkis dan menyakiti si penjaga kasir. Apa yang harus aku lakukan? Apa aku diam saja di sini, menyaksikan ada orang tidak bersalah terluka akibatku? Atau aku harus keluar dan mengorbankan diri? Atau justru aku harus mencoba melawan? Ah, tapi itu sama saja seperti bunuh diri!
Jantungku bertabuh semakin keras. Kali ini bercampur rasa takut karena tidak ingin ada orang lain yang terluka. Aku pun langsung berpikir untuk memberikan perlawanan.
Sesaat kukepalkan tangan sekuat tenaga, sembari mengumpulkan keberanian. Lalu aku pun berdiri dan langsung meneriaki si kawanan preman. “STOP! JANGAN MENDEKAT!!”
Orang yang ada di hadapanku dan si penjaga kasir tampak terkejut. Dan setelahnya, aku pun sama-sama terkejut. Karena yang aku lihat di sana ternyata Bu Aneu!
“Rezky!!! Lu apa-apaan ngagetin gue! Ngapain juga lu ada di situ! Sejak kapan lu kerja di sini?!”
Aku hanya bisa terdiam dengan mulut menganga. “Lho… Ibu ngapain di sini?”
Bu Aneu tampak marah lalu menatap si kasir yang ketakutan. “Lu udah gue bilangin jangan kasih si Jono top up epep epep apa lah itu! Malah ngijinin! Lu pikir duit siapa yang dipake?!”
“Waduh… maaf, Bu. Tadi Jono bilang katanya udah dikasih ijin sama ibu…”
“Alah, lu pasti alesan kan. Lu berkomplot sama si Jono. Pokoknya awas lu kalau habis ini masih ngeladenin anak gue pas mau top up!”
“Iya, Bu…”
Aku hanya bisa berdiri mematung sembari menonton Bu Aneu yang marah. Sepertinya kawanan tadi saja bisa kalah kalau berhadapan dengan dia.
“Balik lu Rezky. Udah malem malah kelayapan. Cari duit lu, biar gak nunggal kosan mulu!” ucapnya sebelum pergi dari minimarket.
Aku pun menghembuskan napas lega. Berbarengan dengan si penjaga kasir yang juga melakukan hal sama.
“Asataga, gue pikir siapa…”
“Haduh, dibanding begal, saya sih lebih takut sama Bu Aneu, Mas.”
Akhirnya aku pun memutuskan untuk pulang. Karena berpikir kalau aku berjalan tidak jauh dari Bu Aneu, harusnya kawanan tadi tidak berani mendekatiku lagi. Sepertinya mereka menjauhi ada orang lain yang memergoki aksi mereka.
Sebelum benar-benar pergi dari minimarket, aku mengintip keluar dan memastikan tidak ada yang aneh di sana. Kelihatannya tidak ada mobil van dan orang mencurigakan di dekat sini. Tapi untuk berjaga-jaga,
aku pun memesan ojol, padahal jarak minimarket dengan kosanku hanya sekitar lima ratus meter.
“Masnya lagi banyak duit ya. Pake nyewa ojek segala padahal deket,” komentar si tukang ojek.
“Hehe, bagi-bagi rezeki, Pak,” jawabku. Padahal ingin sekali aku menceritakan yang sebenarnya.
Akhirnya aku pun mendarat dengan selamat di depan kosan. Lalu bergegas naik ke lantai dua dan membuka pintu kamar.
Kupikir, saat ini kosan Bu Aneu menjadi tempat teraman untukku. Ternyata salah besar.
Saat baru saja masuk dan mengunci pintu kamar, seseorang yang sudah tidak ingin kulihat keluar dari dalam kamar mandi. “Khekhekhe,” dia terkekeh dengan menyeramkan. Membuat bulu kudukku seketika berdiri. “Numpang kencing ya tadi.”
‘What de partemenstore!!!!! Halah, otakku sudah mulai kusut sakit terlalu sering diberi kejutan beberapa hari ini.’
Aku berdiri mundur, berusaha waspada dari lelaki dengan senyum menyeramkan itu. Sementara dia berdiri di depan pintu, supaya aku tidak bisa kabur.
“Sebenernya kalian mau apa sama gue?”
“Bos pengen ketemu sama elo. Katanya ada yang mau diomongin.”
“Soal apa?”
“Mana gue tau. Khekhekhe.”
Sebenarnya aku sudah bisa menebak apa yang mereka ingin bicarakan. Sudah pasti ada hubungannya dengan kasus kemarin. Sepertinya mereka mengira kalau aku kawanan si setengah bule.
“Denger ya. Gue itu bukan-”
“Wait! Ada telepon,” potong lelaki di hadapanku. Dengan santainya dia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mengangkat telepon. “Iya. Oke, Bos.”
Tidak sampai semenit, percakapan mereka pun berakhir. Setelah menaruh kembali ponselnya, lelaki itu menyeringai ke arahku.
“Bos bilang ada perubahan rencana.” Dia lalu mengeluatkan kembali pisau lipat yang semua tersimpan. “Katanya, kemungkinan besar lo cuma orang gak sengaja lewat. Jadi gue boleh bunuh elo. Khekhekhe.”
Seringai lelaki itu semakin melebar. Tangannya terangkat dan bersiap berlari mendekat untuk menerkamku. Ternyata keputusan untuk pulang ke kosan sangat buruk. Karena kini ruang gerakku terbatas. Di belakangku hanya
ada jendela yang ukurannya tidak bisa kugunakan untuk kabur!
Aku hanya bisa berdiri mematung sembari menghalangi kepala dengan kedua lengan.
Saat lelaki itu hendak mendekatiku, tiba-tiba sebuah peluru melesat dari arah luar jendela. 'PRANG!' Menembus kaca hingga mengenai bahu si lelaki menyeramkan.
Lelaki itu pun langsung menjatuhkan pisaunya dan memegangi bahunya yang berdarah.
Aku menoleh ke arah belakang, tampak lubang kecil pada kaca jendela. Ada apa lagi ini?
Ternyata kejutan yang kudapatkan tidak hanya sampai di sana. Tiba-tiba saja malaikan turun dari langit-langit kamarku dan menghajar si lelaki menyeramkan! Sinar lampu kamar menyinari tubuhnya yang bergerak dengan
lihai menyelamatkan nyawaku.
BRAKKK!! Plafon kamarku pun berjatuhan. Kini terlihat jelas lubang besar menganga di atap kamarku.
Sesaat aku mematung tidak percaya, sembari mencerna semua hal yang terjadi begitu cepat. Makin lama aku makin tersadar. Tentu saja yang barusan turun itu bukan malaikat. Ternyata itu si setengah bule yang menerobos masuk dan merusak langit-langit kamar!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments