Calibra: Rasa Yang Tertunda
Audi melangkahkan kakinya memasuki rumah. Ia baru saja pulang kuliah dengan setumpuk buku di tangan. Sebagai mahasiswi semester akhir jelas ritme kesibukan pun meningkat. Hampir tak ada waktu bermain atau nongkrong bersama teman-teman seperti biasa, yang ada setiap hari ia olahraga nafas untuk persiapan wisuda.
Itu pun kalau Audi berhasil menyelesaikan skripsi. Gimana mau selesai kalau pengajuan judul saja ditolak terus?
Menghela nafas, bahu Audi meluruh gontai. Kentara sekali gadis itu tengah kelelahan. Keringat membanjiri tubuhnya yang mungkin sudah bau apek seharian di luar. Rasa lengket menjijikan membuat Audi tanpa sadar mengerutkan hidung sendiri.
Menyebalkan. Ia bahkan tak memiliki waktu untuk perawatan. Me time pun hanya sebentar-sebentar. Terang saja, setiap kali ia ingin bersantai pikiran mengenai skripsi yang belum selesai terus berputar-putar memenuhi kepala, membuat Audi stress seolah beban berat menumpuk di pundak.
Kadang ia bertanya-tanya kenapa kecerdasan sang ayah tak satu pun turun padanya. Kepintaran sang ibu seolah tumpul enggan menghinggapinya.
Hey, orang tuanya bukan orang sembarangan. Ayahnya seorang pengusaha besar dengan cabang bisnis di mana-mana, ibunya mantan manager perusahaan ternama. Mereka kebanggaan keluarga. Kakeknya salah satu orang terkaya di Jakarta.
Intinya, keluarga besar Audi orang hebat semua. Jika diibaratkan Audi adalah seekor domba yang menyempil di antara para penguasa rimba.
"Assalamualaikum ..." Audi mengucap salam begitu memasuki rumah.
"Waalaikumussalam ... Cantiknya Mama sudah pulang. Gimana kuliahnya, Sayang?"
Seorang wanita cantik tinggi semampai menghampiri Audi dengan senyum anggun keibuan. Audi lekas mencium tangannya menyalimi wanita tersebut.
"Kok lesu banget? Kenapa?"
"Capek," sahut Audi malas sambil berjalan gontai menaiki tangga.
Lalisa menggeleng kepala menatap punggung putrinya dengan iba. Sepertinya selesai kuliah nanti Audi perlu diajak liburan.
Audi membuka pintu kamarnya, menyimpan tas dan buku-bukunya di atas meja sebelum melemparkan diri ke atas ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar setengah terpejam.
Ia mengantuk. Nyamannya kasur membelai punggung membuat Audi enggan untuk sekedar mandi atau berganti pakaian. Padahal saat di luar ia misuh-misuh kepanasan, tapi setelah berbaring seperti ini Audi malah larut dalam rasa nyaman.
Dengung halus suara mobil mengurungkan niat Audi yang sebelumnya hendak terlelap. Awalnya ia tak peduli, tapi sedetik kemudian rasa penasaran muncul membuat Audi perlahan bangkit dan berjalan mendekati jendela.
Keningnya berkerut melihat Pajero hitam yang familiar parkir di seberang rumahnya. Cepat-cepat ia turun ke lantai bawah mencari Lalisa yang ternyata tengah sibuk membuat puding di dapur.
"Ma, Mas Ibra pulang dari Jakarta?"
Lalisa menoleh sejenak lalu kembali fokus memindahkan puding ke sebuah wadah kristal cantik yang biasanya dipakai saat acara tertentu. Hal itu membuat Audi sedikit bertanya-tanya.
"Iya. Emangnya kamu gak tahu?"
Audi terdiam sejenak. "Enggak," gumamnya heran.
"Mungkin lupa, atau memang dia gak sempat kasih tahu kamu. Kayaknya sibuk persiapan juga."
Kening Audi semakin berkerut dalam. "Persiapan apa?"
"Kemarin Tante kamu bilang anaknya mau pulang ke Bandung. Mama diminta bikin puding karena katanya bakal ada tamu."
"Tamu? Tamu siapa? Mas Ibra bawa temannya?"
"Bukan. Masmu itu bawa pacarnya. Kabarnya sebentar lagi mereka mau lamaran. Ke sini mau ngenalin calon."
Tubuh Audi seolah melemas. Indera pendengarannya seketika berdenging mendengar informasi tersebut. Lebih-lebih hati Audi seakan disiram air panas. Rasanya sesak dan mendidih.
Mas Ibra punya pacar? Kok, aku gak tahu?
Lelaki itu tak pernah bilang sedang menjalin asmara dengan seseorang. Padahal mereka cukup sering berkomunikasi kendati jarak jauh. Apa yang sudah Audi lewatkan? Kenapa Ibra tak sekali pun memberi tahunya mengenai hal sepenting ini? Apa benar karena lupa akibat terlalu sibuk? Atau memang Ibra sengaja dan tak berniat memberitahu tentang lamaran itu?
Hati Audi ngilu. Sebelum Lalisa memergokinya menangis bodoh, ia segera berbalik dan kembali naik ke kamar.
"Lho, lho, Audi kamu mau ke mana?"
"Kamar. Istirahat. Audi capek."
"Yah, padahal tadinya Mama mau suruh kamu antar ini ke rumah Tante Safa, sekalian kamu nyapa Masmu dan kenalan sama calonnya."
"Audi mager! Mama aja sana!" teriak Audi menyahut.
Tidak ada yang tahu ia tengah mati-matian menahan bulir air mata yang mendadak memaksa ingin keluar. Sama seperti perasaannya, hanya Audi dan Tuhan yang tahu bagaimana ia diam-diam mengagumi seorang Ibra.
Tapi, sepertinya sekarang harapan itu sudah pupus. Audi mau tak mau harus mengubur perasaan sepihaknya pada sang sepupu.
Bahkan setelah dua hari kemudian Ibra dan orang tuanya bertolak ke Jakarta untuk mempersunting gadis tersebut, lelaki itu masih bungkam tak berkata sepatah kata pun pada Audi.
Setidaknya, bukankah Audi cukup pantas menerima informasi langsung sebagai keluarga terdekat? Atau selama ini Audi telah salah mengira, bahwa sebenarnya mereka tak sedekat itu?
Hati Audi patah. Di tengah kesibukan menghadapi wisuda, ia sangat berharap hari istimewanya itu dihadiri oleh orang-orang spesial, termasuk Ibra.
Tapi, agaknya keinginan tersebut hanya sekedar angan belaka. Karena mulai saat ini dan seterusnya Audi tidak mau lagi melibatkan pria itu dalam momen apa pun di hidupnya.
Ini janji Audi. Jika Ibra bisa mengabaikannya sebagai keluarga, maka ia pun bisa melakukan hal yang sama. Ibra sendiri yang menuai jarak di antara mereka, Audi hanya menggunakan instingnya sebagai wanita.
Meski mereka tumbuh kecil bersama dan Ibra tak ubahnya seorang teman sekaligus kakak bagi Audi, juga cinta pertama, lelaki pertama yang berhasil menggetarkan insting puber dalam diri Audi, tapi apa yang Ibra lakukan saat ini sukses membuat Audi merasa tak dihargai.
Jika pria itu tak pernah menatapnya sebagai wanita, setidaknya apa Audi seorang adik di mata Ibra?
Audi dan patah hatinya, ia mengubur dalam-dalam semua kenangan yang sebelumnya terlukis bersama Ibra. Menguncinya dalam kotak dan mengurungnya di sudut terpencil yang sampai kapan pun tak ingin ia buka.
Ibra adalah kisah lama, dan Audi adalah satu dari sekian orang yang tak suka ketinggalan zaman. Sekalipun antik dan mahal, Audi lebih suka sesuatu yang baru karena sejujurnya ia cepat bosan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Jagad Satria
hadir Thor, semoga baca y g membosankan y ,
2023-09-27
0
fa_zhra
mampir lg di karya ke3 ka uffa,,novel nya selalu berbobot.puas kalau baca smp ending
2023-08-06
0
Imas Masripah
aku bisa merasakan bagaimana rasanya Audi,aku juga pernah mengalaminya rasanya sangat lelah,lelah badan banyak obatnya lelah hati susah di obati, Alhamdulillah Allah mengirim pengganti yang lebih baik berkali-kali lipat darinya😌
2023-07-09
0