"Apa kabar?"
Audi kebingungan harus bersikap bagaimana. Mendadak ia menyesal telah membiarkan Jeno dan Fariz masuk duluan. Alhasil Audi kelabakan sendiri menghadapi Ibra.
Mau dibolak-balik seperti apa pun hubungan mereka jelas tak lagi sama. Ada jarak yang membentang menimbulkan kecanggungan.
Tiga tahun Audi hampir tak pernah bertemu dengan Ibra. Rasanya aneh jika Audi bersikap sok akrab sementara ia yakin betul raut wajahnya tak bisa berbohong. Audi bukan lagi gadis remaja yang selalu menempeli Ibra. Jika bukan karena pertalian keluarga, mereka tak lebih dari sekedar orang asing sekarang.
"Alhamdulillah, baik. Mas Ibra sehat? Makin sibuk pastinya, kan?" Meski begitu Audi tetap berupaya bersikap ramah.
Ibra mengulas senyum hangat yang membuat Audi terpaku sesaat. Ekspresi itu, Audi kerap mendapatkannya beberapa tahun lalu. Pria itu tak berubah, masih ramah seperti biasa. Hanya hubungan mereka yang berubah, mustahil Ibra tak merasakan kensenjangan yang jelas terpampang.
"Mas rasa justru kamu yang semakin sibuk, Cla."
Cla.
Hati Audi berdesir. Itu panggilan kecil yang hanya digunakan Ibra padanya.
"Setiap kali Mas pulang ke Bandung kamu pasti tidak ada di rumah."
Audi mungkin salah lihat ketika melihat raut Ibra yang samar-samar meredup. Karena sedetik kemudian bola mata itu kembali bersinar cerah.
Audi mengalihkan pandangan berlagak mengamati kakinya yang telanjang di atas lantai. Jari jemarinya bergerak random menekan satu sama lain. Ia berdehem. "Mas Ibra tahu sendiri kerjaan Audi."
Ibra mengangguk, wajahnya menerawang ke depan menatap kolam ikan di bawah tangga. "Kamu sering ke Jakarta, tapi kita jarang bertemu."
Karena aku tak ingin menemui Mas.
"Wajar lah. Mas ikut Pak Presiden ke mana-mana. Mana sempat ketemu aku."
"Aku juga di sana kerja, bukannya main," tambah Audi.
Ibra tersenyum. "Iya tahu kamu artis. Sibuk banget, ya?" selorohnya sambil menoleh menatap Audi.
Audi berdecak kecil. "Siapa yang artis?"
Sekarang Ibra yang tertawa lirih. "Artis Youtube. Model juga, maybe? Mas pernah lihat kamu iklan Nivea. Glowing banget kamu di sana. Apa karena efek, ya?"
"Yee ... aku emang glowing, ya. Tanpa harus pake efek." Tanpa sadar Audi menyambar kesal.
Senyum Ibra melembut. Tanpa Audi duga sebelumnya tiba-tiba tangan pria itu terangkat menyentuh kepala Audi, mengusap pelan seperti yang dulu sering ia lakukan. "Iya. Aslinya lebih glowing dan cantik. Apalagi kalau berhijab seperti ini."
Audi diam mematung. Ia masih kesulitan mencerna sikap Ibra. Terlebih perasaan Audi seolah bergoyang dalam kapal, berayun seakan diterpa ombak mematikan yang siap menenggelamkannya kapan saja.
Tersadar, Audi menepis tangan Ibra. "Mas Ibra apaan, sih?"
Audi memalingkan muka mengusap gugup kepalanya yang terbalut hijab. Sebenarnya Audi bukan tipe orang yang menutup aurat dengan sempurna. Ia memakai jilbab saat acara-acara tertentu saja.
Ibra menjauhkan tangannya pelan. Ia tersenyum tipis menanggapi kecanggungan yang tiba-tiba mendera mereka. Nafasnya terhela panjang ketika tangannya bertumpu di atas lutut.
Ibra sedikit menunduk memainkan jarinya yang terpaut. "Sepertinya memang sulit, ya," bisiknya hampir tak terdengar.
Audi sendiri mengernyit dengan perubahan mendadak itu. Beberapa kali Audi mendapati Ibra membuang nafas. Suasana kembali diliputi keheningan, persis seperti saat Jeno dan Fariz meninggalkan mereka beberapa saat lalu.
Ibra menoleh menatap Audi lagi. Sorot mata yang tadi hangat kini bercampur sesuatu yang tidak Audi mengerti. Seperti resah dan ... menyesal?
Entahlah, mungkin itu hanya halusinasi Audi saja. Memangnya apa yang harus Ibra sesalkan? Hubungan baik mereka yang kini merenggang? Jika perlu diingatkan Ibra lah yang memulai duluan.
"Cla ..." Ibra melipat bibirnya sesaat. "Mas rasa kita sama-sama mengerti apa yang sedang terjadi di antara kita."
Audi menatap diam, membalas raut Ibra yang kini terlihat serius.
"Jika Mas tidak salah mengira, tiga tahun ini kamu sengaja menghindar?" tanya lelaki itu dengan sangat hati-hati.
Hening. Keduanya saling tatap satu sama lain sebelum Audi mengalihkan matanya ke seberang kolam. "Menghindari apa?"
Mungkin Audi tidak menyadari suaranya terdengar sedikit datar.
"Menghindari Mas."
Mendengar jawaban Ibra yang terkesan percaya diri, Audi pun mendengus tersenyum sumir. "Apa yang membuat Mas Ibra berpikir begitu?"
"Memangnya kenapa aku harus menghindari Mas Ibra?" Audi menatap teguh lelaki itu.
"Kamu tidak hadir di pernikahan Mas dan Shireen."
Sakit. Kata pernikahan membuat hati Audi merenyut tanpa bisa dicegah.
Audi bodoh, kekonyolan apa yang sedang kamu lakukan? Kamu sudah berjanji melepas tali apa pun yang berhubungan dengan Ibra.
Lama mereka beradu pandang sampai akhirnya Audi membuka mulutnya untuk bicara. "Seseorang tidak diwajibkan hadir saat tak ada undangan resmi," ucapnya telak membuat Ibra terdiam.
"Mas tidak memberiku undangan, jadi aku pikir Mas Ibra memang tidak mau aku datang." Audi mengangkat bahu. Matanya kembali memindai sekitar.
Beranda belakang tampak sepi hanya ada mereka berdua, hingga sunyi mencengkram jelas kemelut yang terasa mencekik.
Ibra sendiri bergeming dengan raut termenung. Keduanya bungkam melengkapi hening yang menyapa. Kehangatan yang dulu ada kini seakan membeku.
"Mas salah," ucap Ibra tiba-tiba. "Mas salah karena mengabaikanmu. Mas minta maaf."
"Tapi, Cla. Kamu harus tahu Mas tidak bermaksud begitu."
Audi tersenyum singkat memainkan jemarinya di atas baju gamis yang dipakai.
Lalu seperti apa? Bisakah Mas Ibra menjelaskannya? Jelaskan kenapa hanya aku yang tidak mendapat undangan?
Mungkin Audi akan bertanya begitu saat kewarasannya sudah hilang.
"Mas Ibra tidak salah apa pun. Hanya karena perihal tak memberi undangan bukan lantas Mas Ibra harus meminta maaf."
"Lagian itu hak Mas Ibra dan istri mau mengundangku atau tidak. Harusnya aku cukup sadar diri sebagai keluarga yang bisa datang tanpa diundang. Benar, kan?"
"Tapi memang saat itu Audi sibuk banget. Salah Mas Ibra kenapa nikahnya gak di hari libur? Aku jadi gak bisa nolak saat dosbing tiba-tiba minta bertemu."
Ibra menatap perempuan di sampingnya dengan lekat, mencari binar menyala yang dulu kerap dijumpai. Juga keceriaan yang Ibra sukai, mungkin sampai sekarang pun masih.
Sayangnya sorot itu tak lagi sama ketika menatapnya, membuat Ibra merasa asing dan hampa.
Tuhan, apa yang sebelumnya ia lakukan?
Audi berdiri menepuk pelan pakaiannya. Ia menoleh sebentar pada Ibra yang setia termenung. "Mungkin juga Mas Ibra tidak mau aku datang karena takut merepotkan. Bukannya memang begitu?"
"Sebenarnya Mas Ibra tidak perlu melakukan penghiburan hanya karena merasa bersalah tidak mengundangku. Hal itu hanya akan menguatkan alasan bahwa aku memang sengaja tak diundang."
"Diundang ataupun tidak yang pasti aku tetap berdoa dan mengirimkan hadiah untuk kalian."
"Mungkin aku belum sempat mengucapkan secara langsung. Selamat atas pernikahannya. Semoga langgeng dan bahagia."
Setelah itu Audi pergi meninggalkan Ibra. Wanita itu memasuki rumah di bawah tatapan Ibra yang tanpa diketahuinya menyorot sendu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Fatimah Azzaa88
ya ampun audi gk diundang?tega banget
2025-01-17
0
💜 Cindy Cantik 💜
😥😥😥
2024-03-26
0
Wirda Wati
sedikit sakit bc bab ini thort
2023-06-24
0