Audi berjalan santai ke halaman belakang usai mengambil sepiring nasi dan lauk. Audi menginginkan suasana tenang yang jauh dari kebisingan untuk makan, makanya ia melipir ke sini.
Melihat kolam ikan dari atas teras, Audi menyeret sebuah kursi dan menempatkannya di pinggir pembatas dekat tangga. Rumah Tante Erina memang cenderung condong ke bawah, tak heran begitu banyak tangga yang bisa ditemukan.
Audi mengaduk isi piringnya dan mulai menyendok makan. Suasana sejuk dengan udara segar seolah melengkapi keheningan. Samar-samar masih terdengar suara dari dalam, acara baru selesai beberapa saat lalu, dan kini para tamu sedang diarahkan ke prasmanan.
"Hai?"
Sebuah sapaan menarik perhatian Audi. Audi mengalihkan atensinya ke samping, mendapati seorang pria berperawakan cukup tinggi, berdiri setengah canggung menatapnya.
"Oh, hai," balas Audi sedikit bingung.
"Boleh saya duduk di sini? Di dalam berisik soalnya."
Audi mengerjap sebentar. "Boleh, kok. Ini kan rumah Tante Erina, aku mana berhak melarang."
Pria itu mengatupkan bibir membentuk senyum lurus. "Mana tahu kamu gak nyaman. Saya bisa cari tempat lain."
"Gak papa di sini aja. Aku ke sini juga bukan untuk menyendiri. Di dalam pasti penuh, makanya aku inisiatif keluar."
Pria itu mengangguk-angguk, "Gitu."
Ia mulai duduk di kursi lain tak jauh dari Audi.
"Ngomong-ngomong, Mas kayaknya bukan warga sini?"
Audi bertanya begitu karena tidak mungkin ada tetangga yang nyelonong begitu saja sampai ke halaman belakang.
Mungkin ada, tapi Tante Erina sudah mengkhususkan ruang tengah untuk keluarga dan kerabat dekat saja.
"Oh, saya temannya Hasan. Kamu sepupunya, kan?"
"Iya. Kok tahu?"
"Nebak aja, Hehe."
Sesaat mereka tak saling bicara karena fokus dengan piring masing-masing. Audi bukan tipikal orang yang menyukai sayur, tapi entah kenapa setiap makan di prasman dia tak pernah melewatkan menu satu itu.
Bagaimana Audi mengatakannya, makan saat acara-acara tertentu rasanya sedikit berbeda. Ada satu kenikmatan yang tak bisa dijelaskan. Enak. Hanya satu kata itu yang bisa Audi ungkapkan.
"Mas ini teman kantornya Bang Hasan?"
Pria itu mendongak sebentar, "Iya, tapi kami juga satu kampus sih dulu. Cuma emang saya akrab sama dia pas udah kerja."
"Oh ... Like another one from the same place?" cetus Audi sedikit geli.
Pria itu terkekeh sembari menggeleng pelan. "Yeah ... thats it."
Mereka sama-sama tertawa sebentar, lalu lanjut makan sambil sesekali membuka percakapan. Satu yang Audi lihat dari teman Hasan ini, dia cukup menyenangkan dengan cara yang santai, tanpa gembar-gembor mengeluarkan candaan yang kadang membuat Audi risih sebagai orang yang baru pertama kali kenal.
Mungkin bisa dibilang sok akrab? Tapi setiap orang beda-beda, sih. Mungkin itu cara mereka berbaur di tengah sosial. Tapi tetap saja kadang Audi hilang respek pada orang-orang seperti itu.
Sulit dijelaskan, orang yang murni bercanda dari hati dengan orang yang mati-matian berusaha terlihat humor rasanya berbeda.
Dari perbincangan itu Audi juga tahu pria tersebut bernama Fariz.
"Kerja di mana?"
Audi menoleh sebentar. "Enggak di mana-mana."
"Gak kerja?"
"Kerja."
"Oh, freelance?"
"Uhm ..." Audi berpikir sejenak sebelum kemudian mengangkat bahu. "Konten kreator?"
Sesaat Fariz terdiam, lalu ia mengangguk-angguk mengerti. "Ah, i see."
"Pantas kayak pernah lihat kamu di mana gitu. Punya kanal YouTube, kan?" tambah Fariz.
Audi mengangguk. "Iya, tapi semua video-ku khusus berisi kecantikan. Aku rada sangsi kalau Mas Fariz pernah nonton."
Sebuah ringisan terukir di bibir Fariz. Ia menggaruk rahangnya sedikit ragu. "Itu ... saya pernah jagain anak bos. Dan kayaknya yang dia tonton waktu itu video kamu. Gak nyangka aja anak sekecil itu lebih tertarik sama konten make up alih-alih kartun."
"Kalau anak cewek wajar," kekeh Audi sebelum menyuap nasi.
Namun pernyataan Fariz selanjutnya membuat Audi hampir menyemburkan kembali nasinya.
"Laki-laki."
Audi sedikit tak yakin dengan reaksinya sendiri. Pantas saja wajah Fariz seperti itu. Ia pun yang mendengarnya kaget bukan main. Lebih ke tidak menyangka, sih.
"Eh, bisa gitu ya?" kekehnya bingung.
Fariz tertawa kecil, "Sudah saya duga kamu pasti kaget."
Audi menggaruk hidung setengah meringis. "Entahlah."
Audi baru tahu dari sekian juta viewers-nya ternyata ada bocah laki-laki yang nonton. Ia sendiri belum memiliki pengalaman mengurus anak secara intens. Audi hanya pernah mengasuh keponakan-keponakan yang memang beberapa dari mereka laki-laki. Jadi ia tidak tahu apa yang Fariz sebutkan wajar atau tidak.
Ia sendiri punya adik laki-laki, tapi dia sangat anti dengan hal-hal menyangkut perempuan. Keponakannya juga lebih senang bermain mobil dan puzzle, yang dia tonton sebagian besar film animasi atau konten-konten yang mengandung komedi.
Tak terasa obrolan mereka berbuntut panjang. Audi dan Fariz masih enggan meninggalkan beranda belakang kendati sudah selesai makan. Keduanya berbincang cukup lama hingga kedatangan seseorang yang tak Audi duga sebelumnya menginterupsi pembicaraan.
"Mbak! Aku cari-cari tahunya di sini. Kebiasaan suka ngumpet!"
Audi tak menanggapi dumelan itu. Ia lebih merasa heran dan penasaran.
"Jeno? Kok, kamu bisa di sini?"
"Ya bisa lah, Mbak. Jakarta Bogor doang gak sampe berjam-jam. Romannya kayak aku terbang dari Surabaya aja."
"Ya bukan gitu. Kamu bilang gak bisa dateng karena banyak tugas."
"Alah, tugas mah gampang, bisa dipikirin nanti. Sumpek lihat kampus mulu. Sekali-kali healing gak papa kali. Lihat pucuk teh doang juga gak masalah."
Audi berdecak. Healing apa? Apa datang ke acara akikah termasuk hiburan bagi adiknya? Astaga, sepertinya otak Jeno mulai mengerucut saking stress-nya hidup di ibu kota.
"Adik kamu?" Sebuah suara menginterupsi.
Audi hampir lupa masih ada Fariz di sini.
"Eh, iya. Namanya Jeno. Dia kuliah semester 6 di Jakarta."
"Siapa, Mbak?"
"Mas Fariz, temennya Bang Hasan."
"Oh ... salam kenal, Mas."
Fariz mengangguk seraya mengurai senyum ramah. "Salam kenal juga."
"Kamu kuliah di Univ mana?"
"Trisakti, Mas. Fakultas kedokteran."
"Wah ... calon dokter, nih."
"Hehe ..." Jeno tersenyum bangga.
"Kamu sama siapa ke sini?" Audi bertanya.
Jeno menoleh dan menunjuk ke belakang. "Tuh."
"Mas Ibra, sini!"
Audi mengikuti arah pandang Jeno dan seketika terpaku. Kelegaan yang semula ia rasakan justru berbalik menjadi bumerang. Audi lupa kemunculan seseorang bisa terjadi kapan saja.
Sama seperti alur novel yang tak mudah ditebak, pria yang katanya berhalangan datang sekarang mendadak sudah berdiri di hadapannya, menatap Audi lekat dengan netra menyorot penuh makna.
Ini pertemuan pertama mereka setelah tiga tahun lamanya. Audi seakan diguyur air dingin saat mata mereka tanpa sengaja bertemu pandang.
Ibrahim Maulana Edzar, pria itu masih segagah seperti yang terakhir Audi lihat. Namun, Audi juga masih sadar di mana ia harus menempatkan sikap. Ia tak bisa sebebas dulu pada Ibra karena status pria itu kini milik orang lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 165 Episodes
Comments
Surati
c' mon Audi cuekin z Mas Ibra, simpan dulu perasaanmu
2023-01-14
0
Mr. G.Wiranata
jeno mau alih profesi nih ceritanya🤭 gk jdi idol kpop lagi bosen katanya😁😂
2023-01-13
1