Audi melangkahkan kakinya memasuki rumah. Ia baru saja pulang kuliah dengan setumpuk buku di tangan. Sebagai mahasiswi semester akhir jelas ritme kesibukan pun meningkat. Hampir tak ada waktu bermain atau nongkrong bersama teman-teman seperti biasa, yang ada setiap hari ia olahraga nafas untuk persiapan wisuda.
Itu pun kalau Audi berhasil menyelesaikan skripsi. Gimana mau selesai kalau pengajuan judul saja ditolak terus?
Menghela nafas, bahu Audi meluruh gontai. Kentara sekali gadis itu tengah kelelahan. Keringat membanjiri tubuhnya yang mungkin sudah bau apek seharian di luar. Rasa lengket menjijikan membuat Audi tanpa sadar mengerutkan hidung sendiri.
Menyebalkan. Ia bahkan tak memiliki waktu untuk perawatan. Me time pun hanya sebentar-sebentar. Terang saja, setiap kali ia ingin bersantai pikiran mengenai skripsi yang belum selesai terus berputar-putar memenuhi kepala, membuat Audi stress seolah beban berat menumpuk di pundak.
Kadang ia bertanya-tanya kenapa kecerdasan sang ayah tak satu pun turun padanya. Kepintaran sang ibu seolah tumpul enggan menghinggapinya.
Hey, orang tuanya bukan orang sembarangan. Ayahnya seorang pengusaha besar dengan cabang bisnis di mana-mana, ibunya mantan manager perusahaan ternama. Mereka kebanggaan keluarga. Kakeknya salah satu orang terkaya di Jakarta.
Intinya, keluarga besar Audi orang hebat semua. Jika diibaratkan Audi adalah seekor domba yang menyempil di antara para penguasa rimba.
"Assalamualaikum ..." Audi mengucap salam begitu memasuki rumah.
"Waalaikumussalam ... Cantiknya Mama sudah pulang. Gimana kuliahnya, Sayang?"
Seorang wanita cantik tinggi semampai menghampiri Audi dengan senyum anggun keibuan. Audi lekas mencium tangannya menyalimi wanita tersebut.
"Kok lesu banget? Kenapa?"
"Capek," sahut Audi malas sambil berjalan gontai menaiki tangga.
Lalisa menggeleng kepala menatap punggung putrinya dengan iba. Sepertinya selesai kuliah nanti Audi perlu diajak liburan.
Audi membuka pintu kamarnya, menyimpan tas dan buku-bukunya di atas meja sebelum melemparkan diri ke atas ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar setengah terpejam.
Ia mengantuk. Nyamannya kasur membelai punggung membuat Audi enggan untuk sekedar mandi atau berganti pakaian. Padahal saat di luar ia misuh-misuh kepanasan, tapi setelah berbaring seperti ini Audi malah larut dalam rasa nyaman.
Dengung halus suara mobil mengurungkan niat Audi yang sebelumnya hendak terlelap. Awalnya ia tak peduli, tapi sedetik kemudian rasa penasaran muncul membuat Audi perlahan bangkit dan berjalan mendekati jendela.
Keningnya berkerut melihat Pajero hitam yang familiar parkir di seberang rumahnya. Cepat-cepat ia turun ke lantai bawah mencari Lalisa yang ternyata tengah sibuk membuat puding di dapur.
"Ma, Mas Ibra pulang dari Jakarta?"
Lalisa menoleh sejenak lalu kembali fokus memindahkan puding ke sebuah wadah kristal cantik yang biasanya dipakai saat acara tertentu. Hal itu membuat Audi sedikit bertanya-tanya.
"Iya. Emangnya kamu gak tahu?"
Audi terdiam sejenak. "Enggak," gumamnya heran.
"Mungkin lupa, atau memang dia gak sempat kasih tahu kamu. Kayaknya sibuk persiapan juga."
Kening Audi semakin berkerut dalam. "Persiapan apa?"
"Kemarin Tante kamu bilang anaknya mau pulang ke Bandung. Mama diminta bikin puding karena katanya bakal ada tamu."
"Tamu? Tamu siapa? Mas Ibra bawa temannya?"
"Bukan. Masmu itu bawa pacarnya. Kabarnya sebentar lagi mereka mau lamaran. Ke sini mau ngenalin calon."
Tubuh Audi seolah melemas. Indera pendengarannya seketika berdenging mendengar informasi tersebut. Lebih-lebih hati Audi seakan disiram air panas. Rasanya sesak dan mendidih.
Mas Ibra punya pacar? Kok, aku gak tahu?
Lelaki itu tak pernah bilang sedang menjalin asmara dengan seseorang. Padahal mereka cukup sering berkomunikasi kendati jarak jauh. Apa yang sudah Audi lewatkan? Kenapa Ibra tak sekali pun memberi tahunya mengenai hal sepenting ini? Apa benar karena lupa akibat terlalu sibuk? Atau memang Ibra sengaja dan tak berniat memberitahu tentang lamaran itu?
Hati Audi ngilu. Sebelum Lalisa memergokinya menangis bodoh, ia segera berbalik dan kembali naik ke kamar.
"Lho, lho, Audi kamu mau ke mana?"
"Kamar. Istirahat. Audi capek."
"Yah, padahal tadinya Mama mau suruh kamu antar ini ke rumah Tante Safa, sekalian kamu nyapa Masmu dan kenalan sama calonnya."
"Audi mager! Mama aja sana!" teriak Audi menyahut.
Tidak ada yang tahu ia tengah mati-matian menahan bulir air mata yang mendadak memaksa ingin keluar. Sama seperti perasaannya, hanya Audi dan Tuhan yang tahu bagaimana ia diam-diam mengagumi seorang Ibra.
Tapi, sepertinya sekarang harapan itu sudah pupus. Audi mau tak mau harus mengubur perasaan sepihaknya pada sang sepupu.
Bahkan setelah dua hari kemudian Ibra dan orang tuanya bertolak ke Jakarta untuk mempersunting gadis tersebut, lelaki itu masih bungkam tak berkata sepatah kata pun pada Audi.
Setidaknya, bukankah Audi cukup pantas menerima informasi langsung sebagai keluarga terdekat? Atau selama ini Audi telah salah mengira, bahwa sebenarnya mereka tak sedekat itu?
Hati Audi patah. Di tengah kesibukan menghadapi wisuda, ia sangat berharap hari istimewanya itu dihadiri oleh orang-orang spesial, termasuk Ibra.
Tapi, agaknya keinginan tersebut hanya sekedar angan belaka. Karena mulai saat ini dan seterusnya Audi tidak mau lagi melibatkan pria itu dalam momen apa pun di hidupnya.
Ini janji Audi. Jika Ibra bisa mengabaikannya sebagai keluarga, maka ia pun bisa melakukan hal yang sama. Ibra sendiri yang menuai jarak di antara mereka, Audi hanya menggunakan instingnya sebagai wanita.
Meski mereka tumbuh kecil bersama dan Ibra tak ubahnya seorang teman sekaligus kakak bagi Audi, juga cinta pertama, lelaki pertama yang berhasil menggetarkan insting puber dalam diri Audi, tapi apa yang Ibra lakukan saat ini sukses membuat Audi merasa tak dihargai.
Jika pria itu tak pernah menatapnya sebagai wanita, setidaknya apa Audi seorang adik di mata Ibra?
Audi dan patah hatinya, ia mengubur dalam-dalam semua kenangan yang sebelumnya terlukis bersama Ibra. Menguncinya dalam kotak dan mengurungnya di sudut terpencil yang sampai kapan pun tak ingin ia buka.
Ibra adalah kisah lama, dan Audi adalah satu dari sekian orang yang tak suka ketinggalan zaman. Sekalipun antik dan mahal, Audi lebih suka sesuatu yang baru karena sejujurnya ia cepat bosan.
"Di ... Audi ..."
"Iya, Ma ..."
"Coba lihat ke dapur, lalu tanya apa kue putunya sudah siap semua? Acaranya bentar lagi dimulai. Nanti orang-orang keburu dateng!" seru Lalisa yang kini sibuk menyusun dan membagi makanan di setiap piring.
"Oh, oke!"
Gadis bernama Audi itu lekas berlari ke belakang guna memastikan. Sesaat ia berdiri di ambang pintu mengamati kesibukan yang terjadi di dapur, kemudian menghampiri salah satu orang di sana.
"Te, kata Mama kue putunya udah siap belum?"
Wanita yang dipanggil Tante itu menoleh. "Sudah, kok. Ini kukusan yang terakhir," ucapnya sembari memindahkan satu persatu kue mungil tersebut ke atas baki.
Audi mengangguk, tangannya ikut membantu menata kue sambil sesekali mencomot untuk dirinya sendiri. Sontak hal itu mengundang tepukan ringan dari sang tante, menghadirkan cengiran lebar yang membuat wanita itu menggeleng.
"Hehe, dikit aja, Tante."
"Dikit-dikit lama-lama jadi kenyang," cibir Renata.
"Ya gak gitu juga lah, Tante. Sini, biar Audi aja yang bawa."
"Awas kalau kamu habisin."
"Gak akan. Aku lagi diet, Tante." Audi mengambil satu baki dan bersiap mengantarnya ke depan.
"Diet, diet. Terus, kemarin siapa yang bikin konten makan bakso 5 kilo?"
Audi nyengir, "Kan aku makannya dikit, Tante. Yakali cuma dimakan sendiri. Lagian itu collab, dibagi juga sama kru dan kameramen."
Setelah itu Audi lekas meninggalkan Renata yang hanya bisa menggeleng dan kembali melanjutkan pekerjaan.
"Diet? Memang kurus begitu apa yang mau dikecilin?" gumamnya.
Audi itu cantik, tak heran sebagai konten kreator karirnya cepat naik. Pada dasarnya dia memang sudah memiliki banyak pengikut di sosial media, terutama facebook, tweeter, dan instagram.
Audi seorang beauty vloger yang cukup terkenal di youtube. Video-nya kerap ditonton jutaan orang dan seringkali mendapat respon positif serta pujian.
Jika saat kuliah dulu ia kurang berteman dengan skincare dan make up, maka sekarang mereka berdua adalah kawan sejatinya dalam menghasilkan cuan.
Dari hasil kerja kerasnya itu Audi sudah bisa membeli mobil sendiri. Ia juga beberapa kali sempat membintangi sejumlah iklan di televisi. Tawaran endorse serta modeling kerap kali membanjiri, sampai-sampai Audi sering tidur terlalu malam karena harus lembur menyelesaikan pekerjaan.
Memang lelah, tapi Audi sangat menikmati itu semua. Ia tak lagi bergantung pada finansial orang tua. Meski papa dan mamanya kadang suka memaksa memberi uang bulanan, tapi semua Audi simpan dalam tabungan.
Tidak ada yang tahu nasib kehidupan seseorang. Maka dari itu kita harus pintar-pintar mengatur strategi sebagai upaya di masa depan. Bilamana mendapati masalah, setidaknya kita tak terlalu kesusahan.
"Lama banget, kamu. Sebentar lagi ashar, acara mau dimulai."
"Hehe, maaf, Ma. Tadi ngobrol dulu sama Tante."
Lalisa berdecak, "Kebiasaan."
Audi memperhatikan sang mama yang mulai sibuk mengatur letak kue di piring. Ia berinisiatif membantu mengikuti apa yang wanita tersebut lakukan.
Ruang depan rumah Tante Erina yang luas kini sudah disulap kosong tanpa perabotan. Karpet tergelar memenuhi setiap sudut lantai. Audi mengikuti sang mama yang kini mulai menata piring melingkar di setiap sisi ruangan. Sisi tersebut nanti akan ditempati para tamu yang hendak mengikuti pengajian.
Tante Erina hendak menggelar akikah untuk anak bungsunya yang lahir seminggu lalu. Hampir semua keluarga besar ikut hadir meramaikan suasana, namun beberapa dari mereka masih dalam perjalanan.
Maklum, sebagian besar memilih datang secara dadakan, berbeda dengan Audi dan mamanya yang memang menginap sejak 2 hari lalu.
"Bang Hasan, kalo orang yang gak tau pasti ngiranya ini cukuran anak Abang, bukan adek Abang," ledek Audi pada seseorang yang baru saja turun dari tangga.
Hasan mengerut tak suka, "Apaan sih, Bocil."
"Jaga ya itu mulut. Aku udah lulus sarjana dari 3 tahun lalu."
"Masa, sih? Tapi kamu gak gede gede. Minimal itu kek yang gede." Mata Hasan menunjuk bawah dagu Audi.
Sontak Audi memeluk dadanya dengan tatapan sengit. "Bang Hasan mesum!"
"Apaan mesum. Abang bukan penggemar anak SMP," dengus Hasan.
"Wah ... sialan nih orang. Bisa-bisanya—"
"Hush! Kalian apa sih berantem mulu?"
"Dia yang mulai."
"Abang yang mulai!"
"Heh, kamu, ya."
"Abang!"
"Terserah. Uwa, katanya Audi kepengen kawin," pungkas Hasan yang selanjutnya bergegas meninggalkan Audi.
"Dasar gak nyambung!"
Lalisa menggeleng. Ia tak menanggapi selorohan Hasan karena baginya pertengkaran mereka sudah biasa. Audi memang terbilang dekat dengan para sepupunya. Saking dekat candaan mereka kadang suka keterlaluan. Anehnya meski kurang ajar hal tersebut tak lantas membuat siapa pun tersinggung.
Adzan ashar berkumandang beberapa waktu lalu. Para tetangga sudah mulai berdatangan dan masuk mengambil tempat duduk. Pun keluarga lain sudah tiba, terlihat dari sejumlah mobil yang terparkir di sekitar bahu kiri jalan.
"Audi, apa kabar? Lama gak kelihatan." Suara lembut seseorang menyapa dari arah samping.
Audi yang tengah berdiri di ambang pintu dapur, lekas menepi karena takut menghalangi jalan.
"Eh, Tante Safa, Om Edzar? Audi baik, alhamdulillah. Tante dan Om sendiri gimana?"
Audi menyalami keduanya sambil tersenyum sopan. Sebetulnya jantung Audi mulai jedag-jedug tak karuan.
"Alhamdulillah kami baik juga. Audi jarang pulang ke Bandung ya sekarang?"
Audi meringis pelan, "Hehe, iya, Tante. Akhir-akhir ini ada banyak kerjaan di luar."
Audi tak bohong. Ia kerap berkolaborasi dengan teman-teman sesama youtuber untuk menjajal makanan yang sedang viral. Meski kiblat Audi adalah kecantikan, tapi kerja sama seperti itu ternyata cukup menyenangkan.
Dan lagi, Audi tak perlu dipusingkan oleh bobot tubuh karena mau makan sebanyak apa pun berat badannya begitu-begitu saja.
Audi termasuk orang yang susah gemuk. Padahal dulu ia pernah berusaha keras menggemukkan badan karena jengah terus dikatai anak kecil oleh sebagian orang. Tapi apa mau dikata, alih-alih gemuk ia malah makin kurus karena stress.
Ya sudah lah, terima nasib saja. Mungkin Audi akan gemuk setelah menikah dan punya anak nanti.
"Ohh ... gitu. Tante sering nonton konten-konten kamu, lho. Apalagi yang Korean Look, Tante suka banget. Kamu cantik kayak orang Korea beneran."
Audi tertawa kecil menanggapi antusias tantenya.
"Mirip banget sama Tante kamu, dia juga dulu penggiat skincare dan kecantikan. Gak nyangka kamu bakal nerusin jejaknya," timpal Om Edzar.
Audi tersenyum lebar saat tangan besar pria itu menggasak kepalanya dengan halus. Sosoknya tak lekang membuat Audi kagum. Meski sudah berumur karismanya tetap bertahan sampai sekarang.
"Uda ke sana, pengajiannya udah mau mulai." Om Edzar berkata pada Tante Safa, lalu melempar senyum pada Audi dan lantas berlalu setelah mendapat anggukan dari istrinya.
"Lho, kamu udah sampe, Dek?" Mama Audi tiba-tiba muncul.
"Iya, Mbak. Barusan jalan samping sama yang lain. Abang gak ke sini, ya?"
Lalisa menggeleng, "Mas Dava masih dinas di luar kota."
"Oh ..."
"Ya ampuunn ... kalian ngapain ngumpul di sini? Ayo ke depan, sana. Masa keluarga pada ngumpet."
Seruan tersebut membuat Audi dan dua wanita di sampingnya menguar ringisan. Mereka lantas beranjak ke ruang tengah, di mana berbatasan langsung dengan ruang depan yang dipergunakan penuh untuk acara.
Di sana pula keluarga besar yang lain sudah berkumpul. Diam-diam Audi menghela nafas lega saat tak menemukan seseorang yang tanpa sadar membuat ia khawatir sejak tadi.
Bukannya apa, Audi hanya malas melihat wajahnya.
Audi berjalan santai ke halaman belakang usai mengambil sepiring nasi dan lauk. Audi menginginkan suasana tenang yang jauh dari kebisingan untuk makan, makanya ia melipir ke sini.
Melihat kolam ikan dari atas teras, Audi menyeret sebuah kursi dan menempatkannya di pinggir pembatas dekat tangga. Rumah Tante Erina memang cenderung condong ke bawah, tak heran begitu banyak tangga yang bisa ditemukan.
Audi mengaduk isi piringnya dan mulai menyendok makan. Suasana sejuk dengan udara segar seolah melengkapi keheningan. Samar-samar masih terdengar suara dari dalam, acara baru selesai beberapa saat lalu, dan kini para tamu sedang diarahkan ke prasmanan.
"Hai?"
Sebuah sapaan menarik perhatian Audi. Audi mengalihkan atensinya ke samping, mendapati seorang pria berperawakan cukup tinggi, berdiri setengah canggung menatapnya.
"Oh, hai," balas Audi sedikit bingung.
"Boleh saya duduk di sini? Di dalam berisik soalnya."
Audi mengerjap sebentar. "Boleh, kok. Ini kan rumah Tante Erina, aku mana berhak melarang."
Pria itu mengatupkan bibir membentuk senyum lurus. "Mana tahu kamu gak nyaman. Saya bisa cari tempat lain."
"Gak papa di sini aja. Aku ke sini juga bukan untuk menyendiri. Di dalam pasti penuh, makanya aku inisiatif keluar."
Pria itu mengangguk-angguk, "Gitu."
Ia mulai duduk di kursi lain tak jauh dari Audi.
"Ngomong-ngomong, Mas kayaknya bukan warga sini?"
Audi bertanya begitu karena tidak mungkin ada tetangga yang nyelonong begitu saja sampai ke halaman belakang.
Mungkin ada, tapi Tante Erina sudah mengkhususkan ruang tengah untuk keluarga dan kerabat dekat saja.
"Oh, saya temannya Hasan. Kamu sepupunya, kan?"
"Iya. Kok tahu?"
"Nebak aja, Hehe."
Sesaat mereka tak saling bicara karena fokus dengan piring masing-masing. Audi bukan tipikal orang yang menyukai sayur, tapi entah kenapa setiap makan di prasman dia tak pernah melewatkan menu satu itu.
Bagaimana Audi mengatakannya, makan saat acara-acara tertentu rasanya sedikit berbeda. Ada satu kenikmatan yang tak bisa dijelaskan. Enak. Hanya satu kata itu yang bisa Audi ungkapkan.
"Mas ini teman kantornya Bang Hasan?"
Pria itu mendongak sebentar, "Iya, tapi kami juga satu kampus sih dulu. Cuma emang saya akrab sama dia pas udah kerja."
"Oh ... Like another one from the same place?" cetus Audi sedikit geli.
Pria itu terkekeh sembari menggeleng pelan. "Yeah ... thats it."
Mereka sama-sama tertawa sebentar, lalu lanjut makan sambil sesekali membuka percakapan. Satu yang Audi lihat dari teman Hasan ini, dia cukup menyenangkan dengan cara yang santai, tanpa gembar-gembor mengeluarkan candaan yang kadang membuat Audi risih sebagai orang yang baru pertama kali kenal.
Mungkin bisa dibilang sok akrab? Tapi setiap orang beda-beda, sih. Mungkin itu cara mereka berbaur di tengah sosial. Tapi tetap saja kadang Audi hilang respek pada orang-orang seperti itu.
Sulit dijelaskan, orang yang murni bercanda dari hati dengan orang yang mati-matian berusaha terlihat humor rasanya berbeda.
Dari perbincangan itu Audi juga tahu pria tersebut bernama Fariz.
"Kerja di mana?"
Audi menoleh sebentar. "Enggak di mana-mana."
"Gak kerja?"
"Kerja."
"Oh, freelance?"
"Uhm ..." Audi berpikir sejenak sebelum kemudian mengangkat bahu. "Konten kreator?"
Sesaat Fariz terdiam, lalu ia mengangguk-angguk mengerti. "Ah, i see."
"Pantas kayak pernah lihat kamu di mana gitu. Punya kanal YouTube, kan?" tambah Fariz.
Audi mengangguk. "Iya, tapi semua video-ku khusus berisi kecantikan. Aku rada sangsi kalau Mas Fariz pernah nonton."
Sebuah ringisan terukir di bibir Fariz. Ia menggaruk rahangnya sedikit ragu. "Itu ... saya pernah jagain anak bos. Dan kayaknya yang dia tonton waktu itu video kamu. Gak nyangka aja anak sekecil itu lebih tertarik sama konten make up alih-alih kartun."
"Kalau anak cewek wajar," kekeh Audi sebelum menyuap nasi.
Namun pernyataan Fariz selanjutnya membuat Audi hampir menyemburkan kembali nasinya.
"Laki-laki."
Audi sedikit tak yakin dengan reaksinya sendiri. Pantas saja wajah Fariz seperti itu. Ia pun yang mendengarnya kaget bukan main. Lebih ke tidak menyangka, sih.
"Eh, bisa gitu ya?" kekehnya bingung.
Fariz tertawa kecil, "Sudah saya duga kamu pasti kaget."
Audi menggaruk hidung setengah meringis. "Entahlah."
Audi baru tahu dari sekian juta viewers-nya ternyata ada bocah laki-laki yang nonton. Ia sendiri belum memiliki pengalaman mengurus anak secara intens. Audi hanya pernah mengasuh keponakan-keponakan yang memang beberapa dari mereka laki-laki. Jadi ia tidak tahu apa yang Fariz sebutkan wajar atau tidak.
Ia sendiri punya adik laki-laki, tapi dia sangat anti dengan hal-hal menyangkut perempuan. Keponakannya juga lebih senang bermain mobil dan puzzle, yang dia tonton sebagian besar film animasi atau konten-konten yang mengandung komedi.
Tak terasa obrolan mereka berbuntut panjang. Audi dan Fariz masih enggan meninggalkan beranda belakang kendati sudah selesai makan. Keduanya berbincang cukup lama hingga kedatangan seseorang yang tak Audi duga sebelumnya menginterupsi pembicaraan.
"Mbak! Aku cari-cari tahunya di sini. Kebiasaan suka ngumpet!"
Audi tak menanggapi dumelan itu. Ia lebih merasa heran dan penasaran.
"Jeno? Kok, kamu bisa di sini?"
"Ya bisa lah, Mbak. Jakarta Bogor doang gak sampe berjam-jam. Romannya kayak aku terbang dari Surabaya aja."
"Ya bukan gitu. Kamu bilang gak bisa dateng karena banyak tugas."
"Alah, tugas mah gampang, bisa dipikirin nanti. Sumpek lihat kampus mulu. Sekali-kali healing gak papa kali. Lihat pucuk teh doang juga gak masalah."
Audi berdecak. Healing apa? Apa datang ke acara akikah termasuk hiburan bagi adiknya? Astaga, sepertinya otak Jeno mulai mengerucut saking stress-nya hidup di ibu kota.
"Adik kamu?" Sebuah suara menginterupsi.
Audi hampir lupa masih ada Fariz di sini.
"Eh, iya. Namanya Jeno. Dia kuliah semester 6 di Jakarta."
"Siapa, Mbak?"
"Mas Fariz, temennya Bang Hasan."
"Oh ... salam kenal, Mas."
Fariz mengangguk seraya mengurai senyum ramah. "Salam kenal juga."
"Kamu kuliah di Univ mana?"
"Trisakti, Mas. Fakultas kedokteran."
"Wah ... calon dokter, nih."
"Hehe ..." Jeno tersenyum bangga.
"Kamu sama siapa ke sini?" Audi bertanya.
Jeno menoleh dan menunjuk ke belakang. "Tuh."
"Mas Ibra, sini!"
Audi mengikuti arah pandang Jeno dan seketika terpaku. Kelegaan yang semula ia rasakan justru berbalik menjadi bumerang. Audi lupa kemunculan seseorang bisa terjadi kapan saja.
Sama seperti alur novel yang tak mudah ditebak, pria yang katanya berhalangan datang sekarang mendadak sudah berdiri di hadapannya, menatap Audi lekat dengan netra menyorot penuh makna.
Ini pertemuan pertama mereka setelah tiga tahun lamanya. Audi seakan diguyur air dingin saat mata mereka tanpa sengaja bertemu pandang.
Ibrahim Maulana Edzar, pria itu masih segagah seperti yang terakhir Audi lihat. Namun, Audi juga masih sadar di mana ia harus menempatkan sikap. Ia tak bisa sebebas dulu pada Ibra karena status pria itu kini milik orang lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!