Mr. Abdi Negara
...######...
Gadis itu duduk di dalam kafe miliknya yang baru satu bulan dibuka. Bukan tanpa alasan ia memilih duduk di salah satu meja dan berbaur dengan beberapa pengunjung dalam satu ruangan. Di depannya, secangkir kopi hitam tanpa gula masih terlihat mengepulkan asap. Pun segelas tinggi es cappucino yang belum tersentuh oleh pemiliknya.
Sudah terhitung tiga menit kedua minuman berbeda rasa itu dihidangkan, pun tujuh menit sudah ia duduk di salah satu meja. Namun, sosok yang tadi membuat janji dengannya masih belum menunjukkan batang hidung. Jujur, sebenarnya gadis itu malas meladeni seseorang yang tak bisa tepat waktu. Hanya saja, sosok yang kini sedang ia tunggu adalah sosok spesial dalam hidupnya sejak beberapa tahun lalu.
Entah, ada hal apa sehingga seseorang yang sedang ia tunggu memaksa untuk menemuinya disini. Yang jelas, sejak sosok itu mengatakan ingin berbicara serius dengannya, tak perlu berpikir lama gadis itu langsung mengiyakan.
Sembari membunuh rasa bosan dengan bermain ponsel, sesekali tangan kanannya bergerak untuk mengambil cangkir kopi tanpa gula, meniupnya perlahan sebelum mulai meminumnya sedikit demi sedikit.
"Maaf, ada urusan tadi di kantor," seorang pemuda dengan kemeja warna abu duduk di depan gadis itu. Tanpa malu, pemuda itu langsung meneguk es cappucino hingga nyaris kosong. "kamu.... udah lama, Zho?" tanyanya kemudian.
Gadis yang dipanggil Zho itu mendongak, memperhatikan penampilan pemuda di hadapannya, "Lumayan. Sampai kopi pesananku menjadi dingin," jawabnya acuh.
Pemuda itu meringis, "Kan tadi udah minta maaf,"
Zho menggumam, "Jadi... hal penting apakah yang mau Kak Hasan bicarakan?"
Pemuda itu tampak salah tingkah, terlihat dari warna telinga yang berubah merah, "Emm... Zho? Menurut kamu... aku udah cocok belum jadi... emm, suami?"
Deg!
Zho tertegun. Mengapa tiba-tiba pemuda di hadapannya ini berbicara seperti itu? Jantung Zho rasanya mau lepas dari tempatnya. Bolehkah ia berharap?
"Ekhem!" Zho membetulkan posisi duduknya, "Kak Hasan udah 26 tahun, punya pekerjaan mapan juga. Kalau soal agama, aku yakin Kak Hasan juga ngerti. Jadi... selama Kak Hasan yakin dan siap. Juga calonnya sudah ada.... kenapa enggak?"
Pemuda yang dipanggil Kak Hasan itu tampak sumringah, "Gak salah emang aku cerita ini sama kamu, Zho. Sekarang aku jadi semakin yakin untuk meminang gadis pujaanku."
Hati Zho mendesir mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Hasan. Dalam benaknya terlintas adegan romantis ketika Hasan menyatakan perasaan. Tak sadar, pikiran itu membuat Zho mengulum senyum di bibirnya, membuat satu lesung nampak mengintip samar di balik pipi kanannya.
"Oh ya? Siapa perempuan beruntung itu?"
Telinga Hasan semakin memerah, "Dia ada disini kok. Di kafe ini."
Deg!
Sungguh demi apapun, jantung Zho bertalu-talu. Hatinya mendesir pun dengan perutnya yang tiba-tiba terasa melilit. Tapi anehnya, perasaan itu membuat hatinya..... senang.
"Aina. Aku akan segera melamar Aina. Bagaimana menurut kamu?"
Bagai tersambar petir di siang bolong. Zho meremas rok nya kuat-kuat. Jantungnya terasa berhenti berdetak pun dengan napasnya yang tertahan. Menolehkan kepala ke arah kasir, Zho memperhatikan perempuan yang juga memakai kerudung pashmina seperti dirinya. Disana, gadis itu tersenyum manis kala pandangannya dengan Hasan bertemu. Mereka benar-benar terlihat sedang kasmaran.
Entah mengapa mata Zho tiba-tiba memanas. Mungkin karena ada bulu mata yang jatuh dan masuk ke dalam matanya. Atau mungkin, karena meratapi kisah cintanya?
Zho, patah hati.
Ah, mungkin ini memang salahnya. Zho terlalu memupuk harapan kepada manusia. Mungkin seandainya Zho tidak jatuh cinta pada pemuda di hadapannya sejak bertahun-tahun lalu, mungkin seandainya ia membunuh perasaannya saat baru tumbuh, mungkin.... ah, terlalu banyak mungkin yang kini terasa sudah terlambat.
"Oh... a-aku, ikut senang...mendengarnya." ucap Zho yang diakhiri dengan senyum terpaksa, "oh iya, Kak... aku harus kembali bekerja," Zho buru-buru bangkit. Ia ingin segera menghilang untuk menumpahkan air mata yang sejak tadi sudah ditahan.
"Eh, Zho!" Zho menoleh, memandang Hasan dengan maksut bertanya, "ini gratis, kan?"
Zho mengangguk sebelum kembali melanjutkan langkah. Menyadari kalau selama ini Hasan sering berkunjung bukan untuk bertemu dengannya membuat Zho seperti terkena tamparan tak kasat mata.
Hasan mencintai wanita lain yang akan segera diperjuangkan. Lalu, ia bisa apa? Berteriak pada Hasan kalau ia yang lebih dulu mencintai pemuda itu sejak tujuh tahun lalu?
...#####...
Sudah dua hari lamanya Zho tidak pergi ke kafe. Entahlah, rasanya malas dan masih terlalu.... sesak. Ah, pohon cinta yang telah ia jaga pertumbuhannya kini harus kandas. Tercabut hingga ke akar-akarnya dan membuat wadah penampungnya kosong.
Aina.
Kasir berkerudung yang ia terima sebulan lalu. Zho akui, gadis itu cantik dengan wajah kearab-araban. Putih juga tinggi. Hidungnya mancung khas orang Arab. Sikapnya juga dewasa dan bahasanya santun dengan suara lembutnya.
Ah, apalah Zho kalau harus dibandingkan dengan Aina. Zho tidak setinggi Aina. Tinggi Zho hanya sekitar 150 cm. Kulitnya juga tak seputih milik Aina. Hidung? Zho akui, hidungnya mancung, namun tak semancung milik Aina. Cara berbicara Zho terkesan blak-blakan tanpa kelembutan.
Kalau Aina disebut putri arab, apalah Zho yang wajahnya terlalu imut macam Aliaa Bhatt versi lokal. Dari segi fisik, jelas Zho tertinggal jauh dari Aina. Tapi, apakah harus asmara juga?
Zho mungkin tidak menangis saat Hasan mengakui perasaannya pada gadis lain. Tapi percayalah, saat Zho menatap rumah bercat biru yang kini ada di hadapannya, rasa itu kembali muncul. Rasa nyeri yang tak tau apa penangkalnya. Siapapun, bila ada obat untuk menyembuhkan patah hati, bolehkah Zho meminta?
"Assalam'alaikum," tak terlalu kuat untuk menatap kediaman cinta sekaligus patah hatinya, Zho memutuskan untuk masuk ke dalam rumahnya.
Tumben. Kata pertama yang terlintas dalam pikiran Zho. Tak biasanya banyak sandal berjejer di teras rumah. Mungkin kalau petani yang akan setor hasil panen, biasanya paling banyak berjumlah dua sampai tiga orang dalam satu waktu.
Ah ya, Ayah Zho seorang juragan sayuran di desa. Beliau memiliki beberapa sawah yang digarap oleh petani pun dengan pengepul hasil panen petani di desanya. Apa namanya? Bakul sayur?
"Halan."
Zho tersentak. Sebenarnya ada apa di rumahnya?
"Dek?"
Seorang pria ber-PDL khas tentara Angkatan Darat muncul dari balik gorden pembatas antara ruang tengah dan ruang tamu. Baret hijau lumut yang biasanya ia kenakan kini terselip di atas pundak.
"Mas Rizal?" Zho bertanya akan kemunculan kakaknya saat matahari masih cukup terik. Bukan apa, hanya saja pekerjaan Rizal sebagai anggota TNI sudah cukup menyita waktu. Ditambah, kakaknya itu kini sudah berkeluarga.
"Masuk dulu," Rizal merangkul pundak Zho yang masih terlihat bingung.
Tanpa kata, kaki Zho melangkah seiring dengan langkah kaki Rizal. Wajahnya semakin terlihat kebingungan saat melihat beberapa orang duduk di ruang tengah rumahnya. Seorang pemuda berseragam sama dengan Rizal duduk di depan ayah Zho. Beberapa tetangga juga pak RT. Demi apapun, saat ini Zho benar-benar tak dapat mencerna apa yang ada di depan matanya.
Pandangan Zho beralih pada ibunya yang nampak berkaca-kaca di samping sang ayah.
"Duduk dulu, Nak!" Ayah Zho menggeser tempat duduknya, menyisakan ruang di antara ia dan sang istri.
Masih dengan kebingungan yang sama, Zho duduk di antara ayah dan ibunya. Zho menatap sang ayah dengan wajah yang menunjukkan raut tanda tanya.
"Kenalkan, dia Arka," Ayah Zho menunjuk seseorang di depannya. Seseorang yang memakai seragam sama seperti Rizal, "suami kamu."
...########...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 12 Episodes
Comments