...######...
Gadis itu duduk di dalam kafe miliknya yang baru satu bulan dibuka. Bukan tanpa alasan ia memilih duduk di salah satu meja dan berbaur dengan beberapa pengunjung dalam satu ruangan. Di depannya, secangkir kopi hitam tanpa gula masih terlihat mengepulkan asap. Pun segelas tinggi es cappucino yang belum tersentuh oleh pemiliknya.
Sudah terhitung tiga menit kedua minuman berbeda rasa itu dihidangkan, pun tujuh menit sudah ia duduk di salah satu meja. Namun, sosok yang tadi membuat janji dengannya masih belum menunjukkan batang hidung. Jujur, sebenarnya gadis itu malas meladeni seseorang yang tak bisa tepat waktu. Hanya saja, sosok yang kini sedang ia tunggu adalah sosok spesial dalam hidupnya sejak beberapa tahun lalu.
Entah, ada hal apa sehingga seseorang yang sedang ia tunggu memaksa untuk menemuinya disini. Yang jelas, sejak sosok itu mengatakan ingin berbicara serius dengannya, tak perlu berpikir lama gadis itu langsung mengiyakan.
Sembari membunuh rasa bosan dengan bermain ponsel, sesekali tangan kanannya bergerak untuk mengambil cangkir kopi tanpa gula, meniupnya perlahan sebelum mulai meminumnya sedikit demi sedikit.
"Maaf, ada urusan tadi di kantor," seorang pemuda dengan kemeja warna abu duduk di depan gadis itu. Tanpa malu, pemuda itu langsung meneguk es cappucino hingga nyaris kosong. "kamu.... udah lama, Zho?" tanyanya kemudian.
Gadis yang dipanggil Zho itu mendongak, memperhatikan penampilan pemuda di hadapannya, "Lumayan. Sampai kopi pesananku menjadi dingin," jawabnya acuh.
Pemuda itu meringis, "Kan tadi udah minta maaf,"
Zho menggumam, "Jadi... hal penting apakah yang mau Kak Hasan bicarakan?"
Pemuda itu tampak salah tingkah, terlihat dari warna telinga yang berubah merah, "Emm... Zho? Menurut kamu... aku udah cocok belum jadi... emm, suami?"
Deg!
Zho tertegun. Mengapa tiba-tiba pemuda di hadapannya ini berbicara seperti itu? Jantung Zho rasanya mau lepas dari tempatnya. Bolehkah ia berharap?
"Ekhem!" Zho membetulkan posisi duduknya, "Kak Hasan udah 26 tahun, punya pekerjaan mapan juga. Kalau soal agama, aku yakin Kak Hasan juga ngerti. Jadi... selama Kak Hasan yakin dan siap. Juga calonnya sudah ada.... kenapa enggak?"
Pemuda yang dipanggil Kak Hasan itu tampak sumringah, "Gak salah emang aku cerita ini sama kamu, Zho. Sekarang aku jadi semakin yakin untuk meminang gadis pujaanku."
Hati Zho mendesir mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Hasan. Dalam benaknya terlintas adegan romantis ketika Hasan menyatakan perasaan. Tak sadar, pikiran itu membuat Zho mengulum senyum di bibirnya, membuat satu lesung nampak mengintip samar di balik pipi kanannya.
"Oh ya? Siapa perempuan beruntung itu?"
Telinga Hasan semakin memerah, "Dia ada disini kok. Di kafe ini."
Deg!
Sungguh demi apapun, jantung Zho bertalu-talu. Hatinya mendesir pun dengan perutnya yang tiba-tiba terasa melilit. Tapi anehnya, perasaan itu membuat hatinya..... senang.
"Aina. Aku akan segera melamar Aina. Bagaimana menurut kamu?"
Bagai tersambar petir di siang bolong. Zho meremas rok nya kuat-kuat. Jantungnya terasa berhenti berdetak pun dengan napasnya yang tertahan. Menolehkan kepala ke arah kasir, Zho memperhatikan perempuan yang juga memakai kerudung pashmina seperti dirinya. Disana, gadis itu tersenyum manis kala pandangannya dengan Hasan bertemu. Mereka benar-benar terlihat sedang kasmaran.
Entah mengapa mata Zho tiba-tiba memanas. Mungkin karena ada bulu mata yang jatuh dan masuk ke dalam matanya. Atau mungkin, karena meratapi kisah cintanya?
Zho, patah hati.
Ah, mungkin ini memang salahnya. Zho terlalu memupuk harapan kepada manusia. Mungkin seandainya Zho tidak jatuh cinta pada pemuda di hadapannya sejak bertahun-tahun lalu, mungkin seandainya ia membunuh perasaannya saat baru tumbuh, mungkin.... ah, terlalu banyak mungkin yang kini terasa sudah terlambat.
"Oh... a-aku, ikut senang...mendengarnya." ucap Zho yang diakhiri dengan senyum terpaksa, "oh iya, Kak... aku harus kembali bekerja," Zho buru-buru bangkit. Ia ingin segera menghilang untuk menumpahkan air mata yang sejak tadi sudah ditahan.
"Eh, Zho!" Zho menoleh, memandang Hasan dengan maksut bertanya, "ini gratis, kan?"
Zho mengangguk sebelum kembali melanjutkan langkah. Menyadari kalau selama ini Hasan sering berkunjung bukan untuk bertemu dengannya membuat Zho seperti terkena tamparan tak kasat mata.
Hasan mencintai wanita lain yang akan segera diperjuangkan. Lalu, ia bisa apa? Berteriak pada Hasan kalau ia yang lebih dulu mencintai pemuda itu sejak tujuh tahun lalu?
...#####...
Sudah dua hari lamanya Zho tidak pergi ke kafe. Entahlah, rasanya malas dan masih terlalu.... sesak. Ah, pohon cinta yang telah ia jaga pertumbuhannya kini harus kandas. Tercabut hingga ke akar-akarnya dan membuat wadah penampungnya kosong.
Aina.
Kasir berkerudung yang ia terima sebulan lalu. Zho akui, gadis itu cantik dengan wajah kearab-araban. Putih juga tinggi. Hidungnya mancung khas orang Arab. Sikapnya juga dewasa dan bahasanya santun dengan suara lembutnya.
Ah, apalah Zho kalau harus dibandingkan dengan Aina. Zho tidak setinggi Aina. Tinggi Zho hanya sekitar 150 cm. Kulitnya juga tak seputih milik Aina. Hidung? Zho akui, hidungnya mancung, namun tak semancung milik Aina. Cara berbicara Zho terkesan blak-blakan tanpa kelembutan.
Kalau Aina disebut putri arab, apalah Zho yang wajahnya terlalu imut macam Aliaa Bhatt versi lokal. Dari segi fisik, jelas Zho tertinggal jauh dari Aina. Tapi, apakah harus asmara juga?
Zho mungkin tidak menangis saat Hasan mengakui perasaannya pada gadis lain. Tapi percayalah, saat Zho menatap rumah bercat biru yang kini ada di hadapannya, rasa itu kembali muncul. Rasa nyeri yang tak tau apa penangkalnya. Siapapun, bila ada obat untuk menyembuhkan patah hati, bolehkah Zho meminta?
"Assalam'alaikum," tak terlalu kuat untuk menatap kediaman cinta sekaligus patah hatinya, Zho memutuskan untuk masuk ke dalam rumahnya.
Tumben. Kata pertama yang terlintas dalam pikiran Zho. Tak biasanya banyak sandal berjejer di teras rumah. Mungkin kalau petani yang akan setor hasil panen, biasanya paling banyak berjumlah dua sampai tiga orang dalam satu waktu.
Ah ya, Ayah Zho seorang juragan sayuran di desa. Beliau memiliki beberapa sawah yang digarap oleh petani pun dengan pengepul hasil panen petani di desanya. Apa namanya? Bakul sayur?
"Halan."
Zho tersentak. Sebenarnya ada apa di rumahnya?
"Dek?"
Seorang pria ber-PDL khas tentara Angkatan Darat muncul dari balik gorden pembatas antara ruang tengah dan ruang tamu. Baret hijau lumut yang biasanya ia kenakan kini terselip di atas pundak.
"Mas Rizal?" Zho bertanya akan kemunculan kakaknya saat matahari masih cukup terik. Bukan apa, hanya saja pekerjaan Rizal sebagai anggota TNI sudah cukup menyita waktu. Ditambah, kakaknya itu kini sudah berkeluarga.
"Masuk dulu," Rizal merangkul pundak Zho yang masih terlihat bingung.
Tanpa kata, kaki Zho melangkah seiring dengan langkah kaki Rizal. Wajahnya semakin terlihat kebingungan saat melihat beberapa orang duduk di ruang tengah rumahnya. Seorang pemuda berseragam sama dengan Rizal duduk di depan ayah Zho. Beberapa tetangga juga pak RT. Demi apapun, saat ini Zho benar-benar tak dapat mencerna apa yang ada di depan matanya.
Pandangan Zho beralih pada ibunya yang nampak berkaca-kaca di samping sang ayah.
"Duduk dulu, Nak!" Ayah Zho menggeser tempat duduknya, menyisakan ruang di antara ia dan sang istri.
Masih dengan kebingungan yang sama, Zho duduk di antara ayah dan ibunya. Zho menatap sang ayah dengan wajah yang menunjukkan raut tanda tanya.
"Kenalkan, dia Arka," Ayah Zho menunjuk seseorang di depannya. Seseorang yang memakai seragam sama seperti Rizal, "suami kamu."
...########...
...#####...
"H-hah?" Zho menatap ayahnya dengan pandangan sulit diartikan.
Apa katanya tadi? Suami?
Yang benar saja! Lelucon macam apa ini? Baru tadi pagi Zho pergi dengan status single mengenaskan karena baru patah hati, dan sekarang.... istri? Hah, Zho ingin tertawa rasanya. Zho baru tahu kalau ayahnya bisa bercanda sebegini terencananya.
Zho tertawa, "Ayah sejak kapan jadi pintar bercanda kayak gini?" tanya Zho masih dengan sisa tawanya.
"Selamat ya, Zho." kata salah satu orang di ruangan itu yang ternyata adalah ayah Hasan.
"Pakde apaan lah! Pakde kan tahu kalau Zho ini masih sendiri," Zho mengusap setitik air mata yang akan menetes. Efek tertawa sampai membuat Zho ingin menitikan air mata.
"Dek, dengerin ayah dulu!" ucap Rizal tegas.
"Mas Rizal gak usah ikutan deh! Gak cocok tau pasang muka kayak gitu kalau sama Zho!"
"Nak, ayah gak bercanda dengan hal seserius ini," Ayah mengusap bahu Zho lembut, membuat Zho memfokuskan pandangan ke arahnya, "Arka.... memang suami kamu. Kalian beberapa menit lalu baru sah menjadi sepasang suami istri. Meski cuma secara agama dulu." ucap ayah Zho lembut.
Mata Zho kembali basah. Kali ini bukan karena tertawa, melainkan karena kekecewaan.
"Kenapa... Yah?" setetes air mata yang sedari tadi tergenang kini menetes melewati pipi Zho, "kenapa ayah tega lakukan ini sama Zahro? Kenapa Ayah?" Zho menunduk, menutup mukanya dengan kedua telapak tangan.
"Ayah nikahin Zahro sama orang yang bahkan gak Zahro kenal!" Zho melirik pemuda berseragam loreng yang katanya kini berstatus sebagai suaminya, "Zahro boleh kan marah sama Ayah?" tanya Zho lirih sebelum bangkit meninggalkan ayah dan ibunya yang menatap dengan pandangan sedih juga pemuda yang menatapnya dengan raut muka bersalah.
Zho menutup pintu kamarnya agak kasar. Persetan lah dengan semua tamu yang ada di ruang tengah. Yang jelas, saat ini Zho benar-benar merasa marah, kecewa, sedih dan sakit hati sekaligus. Zho telungkup di atas kasur. Wajahnya terbenam di bantal. Seketika tangisnya pecah. Tangannya mengepal, mencengkeram sarung bantal kuat-kuat.
"Zahro kurang apa jadi anak? Kenapa ayah tega sama Zahro?" monolognya setelah mengangkat wajah dari permukaan bantal.
"Kamu gak kurang apapun. Kamu putri kebanggan Ayah. Ayah yang salah... Ayah yang tiba-tiba nikahin kamu tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu."
Zho merasakan permukaan kasurnya melesak, pertanda kalau ada orang mendudukinya. Zho tahu, itu ayahnya. Tapi Zho terlalu malas untuk berbalik menatap sang ayah atau pun sekedar mengangkat kepala.
"Nak," Ayah mengelus kepala Zho dari balik kerudung, "Ayah cuma ingin kamu bahagia. Entah mengapa, saat ayah melihat Arka... ayah merasa dia bisa membuat kamu bahagia."
"Tapi, Yah! Menikah itu butuh rasa cinta! Enggak gini! Kami bahkan gak saling mengenal!" potong Zho cepat.
"Kamu salah. Kalau kamu liat cara Arka menatapmu tadi, kamu pasti bisa merasakan cinta disana."
"Tapi Zahro gak cinta, Yah!"
"Cinta bisa tumbuh saat kalian bersama. Mungkin kamu saat ini bisa bilang gak cinta sama Arka, karena memang hati kamu masih milik orang lain. Benar kan?"
Zho mengangkat kepalanya, ia memandangi ayahnya dalam seolah menanyakan bagaimana ayahnya bisa tahu.
"Nak," Ayah menghapus bekas air mata di pipi Zho, "coba ayah tanya, apa yang membuatmu cinta pada dia? Karena kalian terbiasa bersama sejak kecil. Begitu pula dengan kamu dan Arka nantinya, Ayah yakin itu."
Zho terdiam mendengar perkataan ayahnya. Mungkinkah cintanya pada Hasan selama ini karena memang mereka terbiasa bersama sejak kecil? Tapi, kenapa rasanya sakit sekali saat pemuda itu memutuskan untuk meminang gadis lain?
"Lagipula, ayah pernah baca kalimat 'obat terbaik untuk orang patah hati adalah dengan jatuh cinta lagi'. Jadi, ayo bangun dan kita obati patah hatimu itu!"
Seketika Zho bangun dari posisinya, "Ayah kok tahu kata-kata kayak gitu sih?!"
Ayah tertawa, "Ayah kan juga pernah muda." ucapnya kemudian.
Zho beringsut mendekat, ia memeluk tubuh ayahnya erat. Entah mengapa perkataan ayahnya barusan mungkin terasa benar. Mungkin saja, dengan pernikahan ini patah hatinya bisa terobati. Mungkin kata ayah benar, kalau cintanya kepada Hasan tumbuh karena mereka terbiasa bersama. Dan sekarang, pemuda itu telah memutuskan untuk bersama gadis lain. Pun dengan Zho yang kini telah memiliki pemuda lain, yang mungkin akan menjadi tempat cintanya bermuarabermuara dan juga obat untuk patah hatinya.
"Semoga apa yang ayah katakan benar," bisik Zho.
...#####...
Zho menatap pintu yang kembali tertutup setelah kepergian ayahnya. Ia menunduk, menatap kedua telapak tangannya yang gemetar sebelum beralih mengusap wajah.
Mungkin tadi ia sudah bilang pada ayahnya kalau akan mencoba menerima takdirnya saat ini, tapi tetap saja rasanya berat, seperti ada sesuatu yang direnggut paksa dari dirinya.
Huft!
Mencoba menguatkan tekad, Zho beranjak dari ranjang dan berjalan keluar dari kamar.
Suasana ruang tengah yang tadi nampak ramai kini kembali lenggang. Mungkin beberapa tamu ayahnya tadi sudah pulang. Mungkin juga sosok pemuda yang katanya telah resmi menjadi suami Zho juga sudah pergi. Siapa tadi namanya, Arga? Azka? Entahlah, Zho tak begitu mengingatnya.
"Nanti ayah akan coba bicara lagi sama Zahro."
Sayup-sayup, Zho mendengar ayahnya berbincang dari arah teras. Dengan langkah ragu, Zho pun berjalan ke arah asal suara. Zho mendapati kedua orang tuanya berdiri mrmbelakangi pintu, dengan Rizal dan pemuda yang beberapa saat lalu telah menjadi suaminya--secara agama.
Tanpa sengaja, tatapan keduanya bertemu dalam satu garis lurus. Zho yang masih tidak menerima takdirnya segera memutuskan pandangan dan berlalu pergi. Zho tau, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat suaminya itu menatap dengan pandangan nanar atau mungkin bersalah. Entahlah, Zho tak tau pasti.
"Dek!"
Zho yang hampir menggapai pintu kamar terdiam. Ia tak menoleh ataupun sekedar menyahut panggilan dari sang kakak hingga usapan pelan di bahu sebelah kanan ia rasakan.
"Dek...... kamu boleh marah. Kamu juga boleh kecewa. Tapi percayalah, keputusan ayah adalah keputusan yang terbaik buat kamu," Zho menatap Rizal dengan mata berkaca-kaca. Dalam hitungan detik, bendungan di matanya tumpah disertai isakan kecil yang lolos dari bibir.
Apa tadi Rizal bilang? keputusan Ayah? Hah! Zho juga berhak ikut andil dalam mengambil keputusan. Toh, ini juga menyangkut masa depannya. Lalu, apa tadi yang sempat Zho saksikan di ruang keluarga? Menurut Zho itu adalah keputusan spontan paling gegabah yang diambil ayahnya. Kenapa tidak ada pertimbangan terlebih dahulu? Setidaknya bertanya apakah Zho bersedia atau tidak.
Hah! Nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Apa yang Zho harapkan tak akan pernah terjadi. Kini statusnya telah berganti. Menjadi istri sah dari seorang prajurit TNI yang tak ia ketahui secara rinci selain hanya nama.
"Hei! Jangan nangis gini dong!" Rizal mengusap pipi adiknya yang basah akan air mata, "masa udah punya suami masih nangis kayak anak kecil, hm?" gurau Rizal.
"Mas Rizaaalll!!! Adek lagi sedih tahu gak sih?!" rajuk Zho.
Rizal menepuk kedua bahu Zho bersamaan, "Sekarang..... kamu temuin suamimu! Dia masih ada di teras. Melihat kamu yang seperti tadi, sepertinya dia sangat merasa bersalah."
Zho mengalihkan pandangan ke sembarang arah, "Harus?"
"Hm..... gak harus sih," Rizal pura-pura berfikir, "tapi kalau kamu mau jadi janda dalam kurun waktu yang sangat singkat, ya gak pa-pa."
Huft!
Bisa tidak sih untuk saat ini Zho menghilang saja? Sumpah demi apapun Zho benar-benar tidak siap!
"Ingat! Bicarakan baik-baik!" pesan Rizal sebelum Zho berlalu.
...#####...
...######...
Zho diam-diam mengawasi visual tegap pemuda yang duduk membelakanginya. Ia tak menampik kalau sosok pemuda yang baru ia tahu namanya saja itu lumayan untuk menjadi sosok suami impian banyak perempuan. Dengan pembawaan sikap sopan santun di depan orang tuanya, sebenarnya itu sudah menjadi poin untuk Zho menilai bahwa Arka adalah orang baik. Pun, dengan wibawa yang terpancar di sekelilingnya.
Dari segi visual pun, Arka cukup tampan. Dia mempunyai bentuk wajah oval dengan rahang cukup tegas. Bibirnya agak tebal berwarna kemerahan yang di kelilingi bayangan berewok di sekitarnya. Hidungnya bangir. Cukup bangir kalau Zho mengira Arka punya sedikit darah orang timur. Satu hal lagi yang membuat tampilan Arka bagai magnet tersendiri. Bulu mata tebal dan kelopak mata lebar dengan iris sekelam malam yang akan membuat orang yang menatapnya tersesat dalam kedalaman matanya.
Ini lah yang paling Zho rutuki, mengapa kesempurnaan wajah yang melekat pada diri Arka harus ditambah dengan tubuh tegap berotot dan warna kulit kecoklatan?? Seandainya Zho lebih dulu mengenal sosok Arka dibanding Hasan, mungkin Zho akan dengan senang hati menerima Arka di sisinya. Zho akui itu.
Ah, mata Zho kembali berkaca-kaca saat ia mengingat siapa Arka itu baginya. Menghembuskan napas dalam-dalam, Zho berjalan mendekat hingga tubuhnya berdiri tepat di samping pemuda yang kini menatapnya sebelum kemudian bangkit dari duduknya.
"Maaf," hanya kata itu yang keluar dari bibir Arka
Mengalihkan pandangan ke sembarang arah, Zho berujar, "Kita perlu bicara, tapi tidak disini. Jadi bisakah Pak----"
"Arka! Panggil saya Arka."
Zho mengangguk sekali, "Bisakah Pak Arka ikut saya sebentar? Saya ingin bicara berdua tanpa ada kemungkinan akan terdengar oleh orang lain."
Tanpa mendengar jawaban dari pemuda bernama Arka itu, Zho berlalu pergi meninggalkan rumah. Ah, anggap saja Zho sekarang sedang memerankan menjadi tokoh antagonis yang sedikit 'sombong' dalam sebuah cerita. Biarlah, nyatanya Zho belum berdamai dengan statusnya yang mendadak berubah.
Hamparan tanaman kubis menyambut langkah Zho dan Arka. Zho masih terus melangkahkan kakinya hingga berhenti di ujung sawah tepat di bawah pohon waru yang cukup rindang. Ia duduk di atas parit kecil dengan kaki yang sengaja dimasukkan ke dalam air. Zho sedikit melirik pada Arka. Rupanya pemuda itu juga melakukan hal sama seperti yang dilakukan Zho saat ini.
Semilir angin sedikit mengibarkan ujung pashmina yang Zho kenakan. Ciutan burung juga terdengar saling bersahutan entah dari arah mana. Zho memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya kasar. Entah mengapa tiba-tiba pasokan oksigen di sekitar Zho terasa menyesakkan.
"Maaf."
Zho menolehkan kepala, menatap pemuda di sampingnya yang menundukkan kepala.
"Maaf. Maafkan saya," Arka mengangkat kepala. Pandangannya lurus menatap manik sendu milik Zho. Iris sekelam malamnya entah mengapa serasa menghipnotis Zho, sehingga Zho tak mampu mengalihkan pandangan, "seharusnya saya bicara dulu sama kamu. Tidak tiba-tiba datang seperti saat ini."
Zho mengusap air mata yang jatuh tanpa permisi, "Pak Arka jujur sama saya. Ayah kan yang memaksa anda!"
Arka menggeleng pelan, "Tidak. Ini murni keputusan saya untuk mengambil langkah ini. Maaf kalau keputusan saya terlalu gegabah. Maaf kalau keputusan saya membuat kamu sakit hati dan merasa dikhianati oleh keluarga kamu. Jadi tolong, jangan marah pada mereka. Kalau kamu mau menyalahkan, sayalah di sini yang harusnya kamu salahkan."
Zho menunduk. Isakan kecil lolos dari bibirnya, "Tapi kenapa? Kenapa Pak Arka memutuskan untuk menikahi saya? Kita bahkan belum kenal sebelumya. Bahkan mungkin, kita tidak pernah berjumpa sebelumnya."
"Kita mungkin belum saling kenal. Tapi bisakah kita sedikit demi sedikit mencoba mengenal satu sama lain?"
"Kenapa saya?"
Arka tersenyum tipis, "Karena itu kamu. Kamu salah kalau bilang kita tidak pernah berjumpa sebelumya. Saat kamu datang ke Kesatuan, saya sering berjumpa dengan kamu. Mungkin kamu terlalu cuek, sehingga kamu tidak pernah melihat saya yang ada di sekitar radarmu."
Zho semakin menunduk dalam, "Bagaimana dengan orang tua Pak Arka? Apakah mereka bisa menerima keputusan anda? Menerima saya?"
Memikirkan bagaimana tanggapan orang tua Arka membuat Zho sedikit takut. Demi apapun Zho tidak ingin menikah tanpa restu orang tua. Baginya, restu orang tua kedua belah pihak adalah sesuatu yang paling utama. Meskipun pihak laki-laki menikah tanpa restu pun diperbolehkan. Toh, laki-laki yang ingin menikah tak memerlukan wali. Tapi tetap saja, restu orang tua adalah yang paling utama.
"Saya yakin orang tua saya akan dengan sangat menerima kamu.”
Huft!
Zho menghembuskan napas kasar. Entah mengapa, setiap kata yang keluar dari mulut Arka seakan dapat langsung membungkamnya.
Hening selama beberapa saat. Baik Zho maupun Arka larut dalam pikiran masing-masing.
"Saya baru saja patah hati," kata Zho pelan, "mungkin..... anak butuh waktu cukup lama untuk saya bisa menerima kehadiran Pak Arka," Zho perlahan menatap Arka yang sedari tadi hanya diam. Entah mengapa diamnya Arka membuat Zho sedikit was-was, "Saya baru saja bilang kalau saya masih mencintai laki-laki lain. Kenapa Pak Arka hanya diam saja?"
Arka tersenyum tipis, "Itu hak kamu. Lagi pula, saya gak bisa memaksa kamu untuk langsung mencintai saya saat ini juga. Saya tahu diri, saya di sini yang terlalu memaksa. Dengan kamu menerima status ini dengan lapang dada, itu sudah cukup bagi saya," Arka menatap hamparan langit di depannya, "lagi pula, saya yakin hari itu akan tiba. Hari di mana kamu hanya akan menatap saya sebagai orang yang kamu cintai dan sayangi. Tentu saja setelah ayah kamu."
Air mata Zho perlahan kembali mengalir. Entah mengapa, mendengar perkataan Arka barusan membuat hati Zho sedikit menghangat.
"Maafkan saya!" Zho tersentak saat tangan kasar Arka mengelus pipinya perlahan. Lebih tepatnya menghapus air matanya.
Zho tersenyum tipis. Dengan ragu, jemarinya menyentuh punggung tangan Arka yang masih berada di pipinya, "Saya akan belajar buat mencintai Pak Arka. Saya janji meski harus memakan waktu lama."
Sempat terkejut mendapati perlakuan Zho, Arka kemudian tersenyum lebih lebar, "Jangan!"
Deg!
Zho terkejut mendengar balasan dari Arka. Matanya menyiratkan kesenduan. Apa Zho akan patah hati untuk kesekian kali? Zho harus apa kalau Arka tak mau menerima ia apa adanya. Lalu, apa maksud dari perkataan Arka yang menghangatkan hati Zho tadi kalau akhirnya Zho harus kembali menerima hal menyakitkan berkali-kali?
"Jangan berusaha untuk mencintai saya. Biar saya saja. Biar saya yang berusaha untuk membuat kamu jatuh cinta pada saya. Kamu cukup diam di tempat dan izinkan saya yang bergerak."
...#####...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!