2. Suami Dadakan

...#####...

"H-hah?" Zho menatap ayahnya dengan pandangan sulit diartikan.

Apa katanya tadi? Suami?

Yang benar saja! Lelucon macam apa ini? Baru tadi pagi Zho pergi dengan status single mengenaskan karena baru patah hati, dan sekarang.... istri? Hah, Zho ingin tertawa rasanya. Zho baru tahu kalau ayahnya bisa bercanda sebegini terencananya.

Zho tertawa, "Ayah sejak kapan jadi pintar bercanda kayak gini?" tanya Zho masih dengan sisa tawanya.

"Selamat ya, Zho." kata salah satu orang di ruangan itu yang ternyata adalah ayah Hasan.

"Pakde apaan lah! Pakde kan tahu kalau Zho ini masih sendiri," Zho mengusap setitik air mata yang akan menetes. Efek tertawa sampai membuat Zho ingin menitikan air mata.

"Dek, dengerin ayah dulu!" ucap Rizal tegas.

"Mas Rizal gak usah ikutan deh! Gak cocok tau pasang muka kayak gitu kalau sama Zho!"

"Nak, ayah gak bercanda dengan hal seserius ini," Ayah mengusap bahu Zho lembut, membuat Zho memfokuskan pandangan ke arahnya, "Arka.... memang suami kamu. Kalian beberapa menit lalu baru sah menjadi sepasang suami istri. Meski cuma secara agama dulu." ucap ayah Zho lembut.

Mata Zho kembali basah. Kali ini bukan karena tertawa, melainkan karena kekecewaan.

"Kenapa... Yah?" setetes air mata yang sedari tadi tergenang kini menetes melewati pipi Zho, "kenapa ayah tega lakukan ini sama Zahro? Kenapa Ayah?" Zho menunduk, menutup mukanya dengan kedua telapak tangan.

"Ayah nikahin Zahro sama orang yang bahkan gak Zahro kenal!" Zho melirik pemuda berseragam loreng yang katanya kini berstatus sebagai suaminya, "Zahro boleh kan marah sama Ayah?" tanya Zho lirih sebelum bangkit meninggalkan ayah dan ibunya yang menatap dengan pandangan sedih juga pemuda yang menatapnya dengan raut muka bersalah.

Zho menutup pintu kamarnya agak kasar. Persetan lah dengan semua tamu yang ada di ruang tengah. Yang jelas, saat ini Zho benar-benar merasa marah, kecewa, sedih dan sakit hati sekaligus. Zho telungkup di atas kasur. Wajahnya terbenam di bantal. Seketika tangisnya pecah. Tangannya mengepal, mencengkeram sarung bantal kuat-kuat.

"Zahro kurang apa jadi anak? Kenapa ayah tega sama Zahro?" monolognya setelah mengangkat wajah dari permukaan bantal.

"Kamu gak kurang apapun. Kamu putri kebanggan Ayah. Ayah yang salah... Ayah yang tiba-tiba nikahin kamu tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu."

Zho merasakan permukaan kasurnya melesak, pertanda kalau ada orang mendudukinya. Zho tahu, itu ayahnya. Tapi Zho terlalu malas untuk berbalik menatap sang ayah atau pun sekedar mengangkat kepala.

"Nak," Ayah mengelus kepala Zho dari balik kerudung, "Ayah cuma ingin kamu bahagia. Entah mengapa, saat ayah melihat Arka... ayah merasa dia bisa membuat kamu bahagia."

"Tapi, Yah! Menikah itu butuh rasa cinta! Enggak gini! Kami bahkan gak saling mengenal!" potong Zho cepat.

"Kamu salah. Kalau kamu liat cara Arka menatapmu tadi, kamu pasti bisa merasakan cinta disana."

"Tapi Zahro gak cinta, Yah!"

"Cinta bisa tumbuh saat kalian bersama. Mungkin kamu saat ini bisa bilang gak cinta sama Arka, karena memang hati kamu masih milik orang lain. Benar kan?"

Zho mengangkat kepalanya, ia memandangi ayahnya dalam seolah menanyakan bagaimana ayahnya bisa tahu.

"Nak," Ayah menghapus bekas air mata di pipi Zho, "coba ayah tanya, apa yang membuatmu cinta pada dia? Karena kalian terbiasa bersama sejak kecil. Begitu pula dengan kamu dan Arka nantinya, Ayah yakin itu."

Zho terdiam mendengar perkataan ayahnya. Mungkinkah cintanya pada Hasan selama ini karena memang mereka terbiasa bersama sejak kecil? Tapi, kenapa rasanya sakit sekali saat pemuda itu memutuskan untuk meminang gadis lain?

"Lagipula, ayah pernah baca kalimat 'obat terbaik untuk orang patah hati adalah dengan jatuh cinta lagi'. Jadi, ayo bangun dan kita obati patah hatimu itu!"

Seketika Zho bangun dari posisinya, "Ayah kok tahu kata-kata kayak gitu sih?!"

Ayah tertawa, "Ayah kan juga pernah muda." ucapnya kemudian.

Zho beringsut mendekat, ia memeluk tubuh ayahnya erat. Entah mengapa perkataan ayahnya barusan mungkin terasa benar. Mungkin saja, dengan pernikahan ini patah hatinya bisa terobati. Mungkin kata ayah benar, kalau cintanya kepada Hasan tumbuh karena mereka terbiasa bersama. Dan sekarang, pemuda itu telah memutuskan untuk bersama gadis lain. Pun dengan Zho yang kini telah memiliki pemuda lain, yang mungkin akan menjadi tempat cintanya bermuarabermuara dan juga obat untuk patah hatinya.

"Semoga apa yang ayah katakan benar," bisik Zho.

...#####...

Zho menatap pintu yang kembali tertutup setelah kepergian ayahnya. Ia menunduk, menatap kedua telapak tangannya yang gemetar sebelum beralih mengusap wajah.

Mungkin tadi ia sudah bilang pada ayahnya kalau akan mencoba menerima takdirnya saat ini, tapi tetap saja rasanya berat, seperti ada sesuatu yang direnggut paksa dari dirinya.

Huft!

Mencoba menguatkan tekad, Zho beranjak dari ranjang dan berjalan keluar dari kamar.

Suasana ruang tengah yang tadi nampak ramai kini kembali lenggang. Mungkin beberapa tamu ayahnya tadi sudah pulang. Mungkin juga sosok pemuda yang katanya telah resmi menjadi suami Zho juga sudah pergi. Siapa tadi namanya, Arga? Azka? Entahlah, Zho tak begitu mengingatnya.

"Nanti ayah akan coba bicara lagi sama Zahro."

Sayup-sayup, Zho mendengar ayahnya berbincang dari arah teras. Dengan langkah ragu, Zho pun berjalan ke arah asal suara. Zho mendapati kedua orang tuanya berdiri mrmbelakangi pintu, dengan Rizal dan pemuda yang beberapa saat lalu telah menjadi suaminya--secara agama.

Tanpa sengaja, tatapan keduanya bertemu dalam satu garis lurus. Zho yang masih tidak menerima takdirnya segera memutuskan pandangan dan berlalu pergi. Zho tau, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat suaminya itu menatap dengan pandangan nanar atau mungkin bersalah. Entahlah, Zho tak tau pasti.

"Dek!"

Zho yang hampir menggapai pintu kamar terdiam. Ia tak menoleh ataupun sekedar menyahut panggilan dari sang kakak hingga usapan pelan di bahu sebelah kanan ia rasakan.

"Dek...... kamu boleh marah. Kamu juga boleh kecewa. Tapi percayalah, keputusan ayah adalah keputusan yang terbaik buat kamu," Zho menatap Rizal dengan mata berkaca-kaca. Dalam hitungan detik, bendungan di matanya tumpah disertai isakan kecil yang lolos dari bibir.

Apa tadi Rizal bilang? keputusan Ayah? Hah! Zho juga berhak ikut andil dalam mengambil keputusan. Toh, ini juga menyangkut masa depannya. Lalu, apa tadi yang sempat Zho saksikan di ruang keluarga? Menurut Zho itu adalah keputusan spontan paling gegabah yang diambil ayahnya. Kenapa tidak ada pertimbangan terlebih dahulu? Setidaknya bertanya apakah Zho bersedia atau tidak.

Hah! Nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Apa yang Zho harapkan tak akan pernah terjadi. Kini statusnya telah berganti. Menjadi istri sah dari seorang prajurit TNI yang tak ia ketahui secara rinci selain hanya nama.

"Hei! Jangan nangis gini dong!" Rizal mengusap pipi adiknya yang basah akan air mata, "masa udah punya suami masih nangis kayak anak kecil, hm?" gurau Rizal.

"Mas Rizaaalll!!! Adek lagi sedih tahu gak sih?!" rajuk Zho.

Rizal menepuk kedua bahu Zho bersamaan, "Sekarang..... kamu temuin suamimu! Dia masih ada di teras. Melihat kamu yang seperti tadi, sepertinya dia sangat merasa bersalah."

Zho mengalihkan pandangan ke sembarang arah, "Harus?"

"Hm..... gak harus sih," Rizal pura-pura berfikir, "tapi kalau kamu mau jadi janda dalam kurun waktu yang sangat singkat, ya gak pa-pa."

Huft!

Bisa tidak sih untuk saat ini Zho menghilang saja? Sumpah demi apapun Zho benar-benar tidak siap!

"Ingat! Bicarakan baik-baik!" pesan Rizal sebelum Zho berlalu.

...#####...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!