Menikahi Duda Beranak Tiga
"Kondisi Ibu kamu semakin hari semakin buruk." Dokter Helmi berbicara dengan suara rendah agar hanya Juwita yang mendengar. "Saya mau bantu sebisa saya, tapi prosedur tetap prosedur. Kalau bisa secepatnya Ibu kamu harus operasi."
Juwita mengerutkan bibir, dilanda oleh perasaan tak menentu. Gadis dua puluh dua tahun itu menoleh ke belakang, ruangan di mana ibunya sedang dirawat, ditemani oleh Ayah.
Jadi anak satu-satunya dari Ayah dan Ibu membuat Juwita juga menjadi satu-satunya harapan baru dalam mencari nafkah keluarga. Terlebih beberapa tahun terakhir, ibunya sakit keras hingga harus bolak-balik dilarikan ke rumah sakit.
Ayah yang sejak awal memang bukan pengusaha besar semakin hari juga semakin tercekik. Dan Juwita lelah melihat ayahnya lelah, juga lelah melihat ibunya sakit.
"Oke, Dok." Juwita mengangguk, berusaha tegar. "Saya usahain secepatnya. Terima kasih."
Dokter Helmi yang sudah mengenalnya pun tersenyum. Menepuk lengan Juwita sebagai penyemangat sebelum beliau pergi.
Juwita memejamkan mata dalam keheningan itu. Merasa punggungnya dingin oleh rasa takut dan terdesak.
Uang untuk operasi cangkok hati harus ia dapatkan dari mana? Sedangkan uang untuk perawatan seadanya di rumah sakit pun ia harus banting tulang.
Rasanya mau menyerah saja, tapi kalau ia menyerah, Ibu dan Ayah mau dibawa ke mana?
"Bu." Juwita datang dengan senyum, seolah tak ada masalah apa-apa di luar sana. "Ibu gimana? Udah sehat?"
"Sehat." Ibu menjawab lemah. "Ibu sehat begini malah dibawa ke rumah sakit. Pulang aja yuk, ah. Enggak suka Ibu tidur di sini."
"Sabar-sabarin. Ibu tidur dulu di sini. Lagian enak kali di sini. Warung bakso kesukaan Ibu deket."
Ayah tak bersuara, tapi menepuk punggung Juwita seolah berkata 'maaf sudah merepotkan'. Dan Juwita tersenyum, ikut menepuk punggung ayahnya.
Kata orang, ayah itu pahlawan. Juwita setuju. Makanya ketika sekarang pahlawan sudah pensiun, giliran generasi baru yang berusaha jadi pahlawan.
"Aku tadi ada panggilan. Ibu sama Ayah di sini berdua enggak pa-pa, kan?"
Ayah sekali lagi menepuk punggungnya lembut. "Makan yang bener."
"Iya."
Begitu keluar dari sana, Juwita merasa nyawanya juga setengah tercabut. Tapi ia terus berjalan, berusaha terus berpikir dari mana ia harus dapat uang.
*
Di saat kepalanya akan pecah memikirkan biaya rumah sakit, esok hari justru Juwita terkapar di kamar. Wajahnya pucat pasi menahan sakit, badannya menggigil antara panas tapi dingin.
Datang bulan. Datang bulan yang serasa membikin mati.
Ketika air mata menggenang di pelupuk mata Juwita karena sakit dan gelisah, bel rumah tiba-tiba berbunyi.
Juwita tak mau membuka, tapi bel terus berbunyi hingga justru jadi mengganggu.
Demi Tuhan, siapa pun itu, bisakah dia datang besok saja? Besok atau lusa atau sekalian tidak usah datang selamanya.
Juwita harus beranjak, bahkan kalau dirinya tak mau.
"Juwita Padmavati?"
Juwita mau menggigil, karena ia dingin. Tapi juga panas. Meski begitu, haruskah ia bilang kalau orang di depannya ini tampan?
Agak ... agak terlalu tampan untuk nyasar ke depan rumah, terus terang. Apa debt collector sekarang juga diseleksi dari tampang?
"Mbak?"
Juwita berdehem. "Iya, saya, ummm ... Pak?"
"Adji Wibowo," kata dia singkat. "Kalau bisa saya masuk dulu?"
Juwita terpaksa mengangguk, mempersilakan dia masuk. Waktu Juwita duduk, ekspresinya berusaha ditahan. Akh, banjir sudah.
"Jadi saya denger Ibu kamu masuk rumah sakit."
"Bapak kenalan Ibu saya?" tanya Juwita, berusaha santai.
"Kakek saya sama nenek kamu saudara, tapi kayaknya kamu enggak kenal."
Kepala Juwita langsung blank. Jangan salahkan dirinya kalau ia tak kenal siapa saudara Nenek. Karena, Nenek sudah meninggal sebelum Juwita bisa punya kenangan indah dengan seorang nenek seperti umumnya orang.
"Gitu, yah?"
"Begini, Juwita. Tiga tahun lalu, Kakek saya meninggal. Dia bilang ke saya, kalau dulu waktu kecil, dia niat mau jodohin saya sama kamu. Nenek kamu setuju."
Juwita nyaris tersedak.
"Tapi saya sudah menikah. Enam belas tahun yang lalu."
O-oke.
"Dua bulan lalu istri saya meninggal. Beliau sakit."
Juwita langsung meringis. "Turut berduka cita."
"Beliau, istri saya, ninggalin wasiat buat saya. Istri saya bilang saya mesti nepatin janji Kakek sama Nenek saya dan kamu."
Aliran darah di ************ Juwita terasa semakin deras dan banjir. Akal sehatnya setengah direbut oleh nyeri, setengah lagi oleh perkataan orang ini.
Dengan kata lain, dia mau bilang ... ayo menikah?
"Saya enggak bermaksud bilang begini tapi kalau kamu mau, saya bakal tanggung semua biaya kebutuhan orang tua kamu di rumah sakit. Kalau kamu enggak mau pun, tetep bakal saya bantu. Cuma, saya harap kamu mau."
*
Jauh di hati Juwita, tentu ada perasaan ia sedang dipermainkan. Tapi waktu Adji bertemu Ayah, mereka saling bersapa yang menandakan mereka benar kenal.
"Juwita." Panggilan itu mengalihkan Juwita dari usaha mengintip. "Enggak usah."
"Apa?"
Ibu memegang tangannya lembut. "Enggak usah. Kamu nikah sama yang kamu mau, jangan gara-gara uang apalagi Ibu. Enggak usah."
Tapi ... orang itu bermaksud membantu mereka. Membantu biaya operasi Ibu.
"Juwita." Ayah tiba-tiba datang, mengisyaratkannya untuk mendekat.
Juwita mengangguk. "Menurut Ayah gimana?"
Sama seperti Ibu, Ayah menggeleng. "Ayah tau dia anak baik. Ayah tau. Cuma, Ayah enggak mau kamu terpaksa ngelakuin sesuatu buat Ayah sama Ibu."
Juwita menatap ke belakang Ayah, pada Adji yang diam memerhatikan mereka.
Perutnya masih keram. Rasionalitas Juwita juga tidak seratus persen. Cuma, ini kesempatan besar.
"Aku ngomong sama dia dulu, Yah. Boleh, kan?"
Ayah mengangguk, membiarkan Juwita pergi. Waktu Juwita datang, Adji langsung berdiri.
"Kamu bisa antar saya ke ruang administrasi?"
"Maaf, Pak—atau saya panggil kamu Adji aja, yah? Maaf, Adji, tapi saya enggak mau dibantu cuma-cuma. Kalau nenek saya sama kakek kamu sodara, hubungan mereka enggak bikin kamu harus nolongin saya cuma-cuma."
Adji mengangguk. "Oke. Artinya kamu mau balas, kan?"
"Sebelum itu, kenapa istri kamu ngasih wasiat begitu? Maaf yah tapi itu aneh buat saya. Saya ngerasa tiba-tiba mau ditolong dari langit dan itu malah bikin curiga."
Pria itu menatapnya beberapa saat. Tiba-tiba mengeluarkan ponselnya, lalu memperlihatkan sebuah foto.
"Ini istri saya."
Mata Juwita menangkap gambar seorang wanita berwajah lembut. Hanya sesaat setelah itu, Juwita tersentak. Sekelebat ingatan muncul di kepalanya.
Kalau tidak salah, itu sekitar setengah tahun lalu.
Juwita sedang membeli makan siang waktu tiba-tiba seorang bocah melintas ke jalan raya yang ramai akan kendaraan. Semua orang berteriak histeris mengira anak itu akan tertabrak, tapi sebelum itu terjadi, Juwita sudah berlari, mengambil anak itu meski harus terpental beberapa meter.
Gara-gara melindungi anak itu, Juwita terluka. Bukan luka parah, namun ia agak pincang dan kesulitan menggunakan sikunya selama dua minggu.
Ibu anak itu adalah wanita ini.
"Makasih, Dek. Makasih banget." Dia berulang kali berterima kasih sambil menangis khawatir.
Juwita yang canggung hanya bisa menyengir. "Enggak pa-pa, Kak. Anak-anak emang suka gitu."
Wanita itu mau memberinya uang, tapi Juwita menolak.
"Saya enggak mau biasain diri nunggu dikasih sesuatu habis nolong jadi enggak usah, Kak. Pulangnya hati-hati aja."
Lalu Juwita pergi, melupakan semua itu.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 337 Episodes
Comments
Vitamincyu
...
2023-12-03
0
Leng Loy
Komen pertama Thor 🤭
2023-11-13
1