"Saya enggak tau ini takdir atau mungkin cuma kebetulan," Adji mengantongi ponselnya lagi, "tapi saya cuma mau menuhin wasiat orang yang percaya sama saya. Kakek saya, dia dulu nunggu kamu dewasa tapi saya malah nikah duluan."
"...."
"Atau mungkin kamu punya alasan lain nolak?"
Entah kenapa rasanya jadi jual diri. Itu yang Juwita pikirkan. Tapi setelah mendengar penjelasan orang ini, sedikit saja perasaan itu terobati.
Benarkah ini pertolongan? Entah takdir atau kebetulan, tapi mungkinkah ini yang dimaksud pertolongan akan dibalas pertolongan?
Kalau Juwita menolak maka orang ini akan membantunya tanpa balasan. Yang berarti Juwita seperti mengemis.
Kalau Juwita terima rasanya juga seperti jual diri. Makanya Ayah dan Ibu tidak mau.
Keram perutnya datang lagi. Mungkin merespons pikiran Juwita yang berbelit-belit. Aliran darahnya terasa lancar, panas, mengganggu.
"Kalau," Juwita mengembuskan napas panjang namun samar, "kalau saya mau, bisa kasih saya mahar berapa pun saya minta?"
Pria di depannya mengangguk. "Berapa pun."
Jual diri, kah? Kalau dipikir ulang, orang tuanya sudah jual diri berapa kali agar Juwita hidup?
Juwita baru mengerti rasanya begitu susah mencari uang yang begitu mudah dihabiskan. Entah berapa kali Ayah disuruh-suruh orang agar dapat upah, entah berapa kali Ibu membuat sesuatu hanya untuk digaji sedikit.
Rasanya tidak tahu diri kalau sekarang ia berpikir ulang untuk menjual dirinya juga.
"Saya mau jadi matre kalau gitu." Juwita tersenyum kecut. "Tolong sebutin nomilal maksimalnya. Saya ambil semua."
".... Jaminan sepuluh tahun orang tua kamu."
Juwita tersentak. Dia tahu?
"Jaminan rumah sakit, operasi, dokter, apa pun sampai Ibu kamu baikan. Rumah, makanan, dan sokongan usaha. Sepuluh tahun."
Adji tersenyum samar.
"Sepuluh tahun bangun usaha baru di antara itu, gampang buat Ayah kamu, kan? Itu mahar saya."
Bibir Juwita bergetar. Rasa sakit di perutnya masih luar biasa, tapi perasaan hangat banjir di dadanya.
Memberi sesuatu yang bukan hanya mengundang rasa terima kasih melainkan perasaan cukup pada orang tuanya ... apa ada hal lain yang harus Juwita harapkan lagi?
...*...
Pagi setelah itu, Juwita dalam kondisi jauh lebih parah dari kemarin. Sakit di perutnya malah tambah luar biasa hingga jangankan ke rumah sakit, bangun ke kamar mandi pun setengah mati.
Tapi, pagi ia menatap langit-langit kamarnya, Juwita sadar kemarin bukan mimpi. Kesepakatan untuk ibu dan ayahnya bukan mimpi.
Juwita mengecek ponsel, menemukan ada pesan masuk dari Adji.
Saya lupa tanya.
Kamu mau resepsi?
Dalam kondisi ibunya di rumah sakit dan istrinya Adji baru meninggal? Tidak. Juwita tidak sedang bernafsu menghadapi cibiran orang.
^^^Kalau bisa langsung ke KUA aja.^^^
^^^Saya enggak mau pesta.^^^
Lagipula, dia pasti juga sudah berat dengan menanggung biaya Ibu, kan? Juwita tidak mau jadi parasit untuk kebahagiaannya sendiri.
Memang apa yang bahagia dari duduk berjam-jam di pelaminan, ditonton banyak orang macam topeng monyet?
Yasudah.
Nanti saya bantu ngurus surat-suratnya.
Kontrak saya sama kamu juga sekalian.
Menikah, kah? Orang menikah itu melakukan apa, yah?
...*...
Adji menatap pesannya yang hanya terbaca oleh Juwita.
Di awal Adji pikir dia masih anak-anak. Umurnya juga masih dua puluh dua. Jelas tidak akan mampu mengemban tugas sebagai ibu dengan baik.
Tapi, setelah melihat dia merelakan punggungnya beku demi kehangatan sang Ibu dan Ayah, Adji jadi paham kenapa Melisa memilih gadis itu.
Dia ... dari jauh pun terlihat bisa diandalkan.
"Papa udah jelasin semua sama kalian, kan?"
Adji memutar kursi kerjanya, menatap tiga anak laki-laki yang sekarang berkumpul di ruangan itu.
"Ini Mama yang minta. Wasiat Mama. Suka enggak suka, kalian mesti hormatin. Juga, istri baru Papa juga terpaksa, jadi jangan sampe mikir dia ngerebut posisi Mama atau apa pun soal itu. Paham?"
Ketiga anak itu kompak menjawab, "Paham."
Tapi Adji memijat keningnya, tak percaya.
...*...
Tiga anak? Jadi anaknya bukan satu tapi tiga?
Juwita cuma bisa tersenyum palsu waktu di depan KUA, ia melihat Adji datang bersama tiga anaknya.
Permisi, kenapa tidak ada yang bilang? Apa jangan-jangan semua orang sudah berpikir ia tahu karena pernah menyelamatkan satu anaknya?
Juwita berdebar justru karena Adji berdiri tepat di samping anak tertuanya, laki-laki yang nampak sudah cukup dewasa. Dia tinggi, tampan, punya wajah dengan kesan 'dunia membosankan' tapi matanya terlihat nakal.
Anak kedua Adji lebih kecil, yah, setidaknya terlihat pendiam. Dan yang terkecil, anak yang Juwita selamatkan, setidaknya terlihat imut.
Oke, tidak ada tombol mundur jadi Juwita akan menghadapinya. Pura-pura sudah tahu. Pura-pura sudah tahu.
...*...
Juwita tidak tahu bagaimana perasaan orang lain yang menikahi kekasihnya, tapi bagi Juwita, menikah itu ... simpel, yah?
Yang lama malah menunggu panggilan KUA. Akad nikahnya cuma berlangsung satu menit—jika dihitung dari ucapan saja—lalu tiba-tiba berubah.
Juwita berusaha tersenyum tapi sadar jika sebenarnya tidak ada yang butuh pura-pura senyum. Ibu dan Ayah terlihat tahu Juwita menikah untuk mereka, dan Adji bersama tiga anaknya juga tidak terlihat butuh disenyumin.
Kenapa Juwita malah terjebak dengan situasi ini?
"Hari ini, kamu mau nginep sama Ibu Ayah kamu?" tanya Adji setelah mereka keluar. "Lebih baik di rumah sakit dulu. Ibu kamu baru operasi besar. Lebih baik dikontrol dulu sama dokter sampai bener-bener pulih."
Juwita mengangguk. "Ma—kamu enggak keberatan?"
"Besok saya jemput."
"Oke."
Kaku.
Kaku amat.
Sulit dibayangkan untuk dijalani. Tapi kalau dengan begini Ibu sembuh, Juwita rasa justru sangat murah.
Untuk sekarang, ayo habiskan waktu dengan—
"Tante."
Juwita terdiam kaku waktu anak pertama dan kedua tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya.
"Salam kenal," ucap si anak pertama dengan muka setengah mengejek.
Bocah ini.
"Salam kenal," balas Juwita tersenyum. "Enggak usah panggil Tante, yah."
"Terus apa? Mama?"
"Juwita aja gimana?" Anak kedua menimpali. "Juwita aja, Bang. Lagian beda berapa tahun doang sama kita. Iya kan, Juwita?"
Wah, wah, wah. Bocah brengsek ini ngajak berantem. Juwita tidak mau dipanggil tante, tidak juga mama, tapi tidak juga Juwita langsung. Kenapa tidak 'kakak' saja?
"Enggak sopan manggil orang tua namanya langsung, bego." Si Anak Pertama memukul kepala adiknya. "Gimana juga ini istrinya Papa."
"Hah? Terus apaan? Kita manggil Mama beneran? Idih, enggak pantes banget." Terang-terangan dia melirik dada Juwita. Langsung menghela napas kecewa. "Mama tuh empuk."
Urat-urat Juwita mulai bermunculan.
Hoooh, bocah ini mau merasakan tinjuan mama barunya ternyata. Membuat pelecehan seksual di pertemuan pertama, sungguh sesuatu yang harus langsung dibenahi.
Juwita nyaris melepaskan sepatu heelsnya untuk menampar keras-keras dua bocah ini. Tapi sebelum itu terjadi, Adji sudah berteriak memanggil dua anaknya.
Mereka langsung berlari pergi, sambil melambai pada Juwita.
"Dah, Papan."
Anak Kedua terang-terangan membentuk bulatan bukit di dadanya sendiri sambil berlari mundur. "Besarin yah, Juwi. Kalo udah besar, nanti gue panggil Mama. Boing boing."
Baiklah.
Sudah diputuskan.
Dua setan bajingan itu, Juwita akan pastikan mencincang mereka. Lihat saja besok, dasar bocah-bocah sialan!
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 337 Episodes
Comments
Leng Loy
Disuruh gedein dulu Juwita,baru bisa dipanggil Mama 🤣 dasar anak tiri gak ada akhlak
2023-11-13
1
kak masun
ampun dah wit,🤦🏻♀️🤦🏻♀️🤦🏻♀️ punya anak tiri macam tu🤕🤕🤕😩
2023-05-09
1