"Ibu jangan masang muka kayak gitu, dong." Juwita meremas kedua tangan ibunya lembut. "Aku kan enggak jadi korban jual anak apa gimana. Nikah sama siapa aja kan yang penting mau dijalanin apa enggak."
Tapi sepertinya Ibu memang sudah berpikir bahwa semua dilakukan karena beliau.
Juwita berdecak, hanya bisa mengalihkan perhatian pada hal lain. Bahkan kalau ibunya tak suka, Juwita telah memutuskan ini yang terbaik.
Kembali Ibu dimasukkan ke kamar rawat dan diberi penanganan pasca operasi. Sementara Juwita pergi mengajak Ayah untuk makan sebentar di kantin, sekaligus bicara.
"Ayah kan tau dia orang baik. Kenapa Ayah juga ikut-ikutan Ibu?"
Ayah mengusap kepalanya lembut. "Ngurus anak orang lain enggak gampang, Nak. Ayah cuma enggak mau kamu malah capek sama itu."
Juwita berusaha tidak tertawa miris karena sebenarnya ia baru tahu dia punya tiga anak. Pikir Juwita cuma satu. Namun kalau diperlihatkan, jelas Ayah akan terganggu.
Yang terjadi sudah terjadi.
Juwita hanya harus siap mencincang anak-anak tirinya besok.
*
Adji datang menjemput Juwita jam setengah delapan pagi. Dia mampir sebentar berbincang dengan Ibu dan Ayah, lalu segera mengajak Juwita pulang ke rumahnya.
Dari cerita Adji, dia tinggal sendiri bersama keluarga kecilnya di Jakarta. Keluarga besarnya tinggal di Malang, namun orang tua Adji sendiri berdomisili di Amerika.
Juwita sempat bertanya-tanya kenapa Adji menikah tanpa keluarga, dan ternyata dia memang hanya hidup sendirian di kota.
"Ayah sama Ibu saya rencana mau pulang akhir tahun nanti. Sementara keluarga besar saya, mungkin idul adha nanti kita ketemu. Mereka enggak bisa dateng kecuali memang ada acara."
Juwita entah kenapa bersyukur. "Maaf. Saya kira enggak sopan malah bikin acara sekarang."
Pria itu mengangguk. "Saya justru berterima kasih. Anak-anak saya mungkin juga enggak seneng. Tapi kalau kamu mau resepsi, kita bisa lakuin tahun depan. Itu enggak masalah sama sekali."
Tidak, terima kasih.
Mungkin karena Juwita menikah bukan dengan 'orang yang ia cintai', acara pernikahan tidak terdengar semenarik itu
Hanya ada pembicaraan kaku sepanjang perjalanan ke rumah, dan Juwita sadar kalau mereka terdengar seperti 'orang asing' satu sama lain.
Mobil berhenti di depan rumah, membuat Juwita langsung mengintip penasaran.
Besar juga. Karena biaya hidup di kota itu tinggi, Juwita bisa langsung memperkirakan kekayaan Adji dari besar rumahnya. Dari satu sampai sepuluh, mungkin dia tujuh atau delapan.
Baru saja Juwita mau melangkah, sudah terdengar suara teriakan marah.
"Berisik! Lo kira gue enggak usaha apa-apa?! Selalu, selalu, selalu kayak gini! Enggak pernah berubah! Kapan menangnya kalo gini terus?!"
Di belakang, Juwita mendengar Adji msnghela napas.
"Kenapa?" tanya Juwita penasaran.
"Anak pertama saya, Abimanyu, ikut seleksi turnamen. Kayaknya timnya kalah."
"Oh."
"Saya minta maaf sekarang, Juwita. Itu anak keliatannya kalem tapi kekanakan. Sekali kalah, dia bisa ngamuk berhari-hari. Mau digimanain juga enggak peduli."
Baiklah. Bocah pertama adalah bocah songong dengan harga diri setinggi langit. Harus dicatat baik-baik.
"Dia ikut turnamen apa?"
"Voli."
Juwita mengusap dagu, berpikir baik-baik.
"Biasanya didiemin juga dia baik sendiri. Sekarang enggak usah terlalu kamu ladenin."
Adji membawanya masuk ke dalam, melihat Abimanyu kini berdiri di luar sisi kanan rumah, sebuah lapangan voli kecil untuk dia bermain.
Dari pintu kaca Juwita melihat anak itu melempar bola ke atas, melompat dengan postur sempurna dan memukul bola.
Suara 'bam' kencang terdengar dari pukulannya, sampai Juwita bergidik.
Gila. Anak dengan servis mematikan itu kenapa bisa kalah? Tim lawannya kelas internasional atau bagaimana?
...*...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 337 Episodes
Comments
Leng Loy
Sanggupkah Juwita menghadapi anak tiri dengan tipe yang berbeda" 🤔
2023-11-13
1
Moh Rifti
next
2023-08-16
1
Rita Murwanti
bab awal msh lucu
2023-06-25
1