NovelToon NovelToon

Menikahi Duda Beranak Tiga

1. Kesempatan Besar

"Kondisi Ibu kamu semakin hari semakin buruk." Dokter Helmi berbicara dengan suara rendah agar hanya Juwita yang mendengar. "Saya mau bantu sebisa saya, tapi prosedur tetap prosedur. Kalau bisa secepatnya Ibu kamu harus operasi."

Juwita mengerutkan bibir, dilanda oleh perasaan tak menentu. Gadis dua puluh dua tahun itu menoleh ke belakang, ruangan di mana ibunya sedang dirawat, ditemani oleh Ayah.

Jadi anak satu-satunya dari Ayah dan Ibu membuat Juwita juga menjadi satu-satunya harapan baru dalam mencari nafkah keluarga. Terlebih beberapa tahun terakhir, ibunya sakit keras hingga harus bolak-balik dilarikan ke rumah sakit.

Ayah yang sejak awal memang bukan pengusaha besar semakin hari juga semakin tercekik. Dan Juwita lelah melihat ayahnya lelah, juga lelah melihat ibunya sakit.

"Oke, Dok." Juwita mengangguk, berusaha tegar. "Saya usahain secepatnya. Terima kasih."

Dokter Helmi yang sudah mengenalnya pun tersenyum. Menepuk lengan Juwita sebagai penyemangat sebelum beliau pergi.

Juwita memejamkan mata dalam keheningan itu. Merasa punggungnya dingin oleh rasa takut dan terdesak.

Uang untuk operasi cangkok hati harus ia dapatkan dari mana? Sedangkan uang untuk perawatan seadanya di rumah sakit pun ia harus banting tulang.

Rasanya mau menyerah saja, tapi kalau ia menyerah, Ibu dan Ayah mau dibawa ke mana?

"Bu." Juwita datang dengan senyum, seolah tak ada masalah apa-apa di luar sana. "Ibu gimana? Udah sehat?"

"Sehat." Ibu menjawab lemah. "Ibu sehat begini malah dibawa ke rumah sakit. Pulang aja yuk, ah. Enggak suka Ibu tidur di sini."

"Sabar-sabarin. Ibu tidur dulu di sini. Lagian enak kali di sini. Warung bakso kesukaan Ibu deket."

Ayah tak bersuara, tapi menepuk punggung Juwita seolah berkata 'maaf sudah merepotkan'. Dan Juwita tersenyum, ikut menepuk punggung ayahnya.

Kata orang, ayah itu pahlawan. Juwita setuju. Makanya ketika sekarang pahlawan sudah pensiun, giliran generasi baru yang berusaha jadi pahlawan.

"Aku tadi ada panggilan. Ibu sama Ayah di sini berdua enggak pa-pa, kan?"

Ayah sekali lagi menepuk punggungnya lembut. "Makan yang bener."

"Iya."

Begitu keluar dari sana, Juwita merasa nyawanya juga setengah tercabut. Tapi ia terus berjalan, berusaha terus berpikir dari mana ia harus dapat uang.

*

Di saat kepalanya akan pecah memikirkan biaya rumah sakit, esok hari justru Juwita terkapar di kamar. Wajahnya pucat pasi menahan sakit, badannya menggigil antara panas tapi dingin.

Datang bulan. Datang bulan yang serasa membikin mati.

Ketika air mata menggenang di pelupuk mata Juwita karena sakit dan gelisah, bel rumah tiba-tiba berbunyi.

Juwita tak mau membuka, tapi bel terus berbunyi hingga justru jadi mengganggu.

Demi Tuhan, siapa pun itu, bisakah dia datang besok saja? Besok atau lusa atau sekalian tidak usah datang selamanya.

Juwita harus beranjak, bahkan kalau dirinya tak mau.

"Juwita Padmavati?"

Juwita mau menggigil, karena ia dingin. Tapi juga panas. Meski begitu, haruskah ia bilang kalau orang di depannya ini tampan?

Agak ... agak terlalu tampan untuk nyasar ke depan rumah, terus terang. Apa debt collector sekarang juga diseleksi dari tampang?

"Mbak?"

Juwita berdehem. "Iya, saya, ummm ... Pak?"

"Adji Wibowo," kata dia singkat. "Kalau bisa saya masuk dulu?"

Juwita terpaksa mengangguk, mempersilakan dia masuk. Waktu Juwita duduk, ekspresinya berusaha ditahan. Akh, banjir sudah.

"Jadi saya denger Ibu kamu masuk rumah sakit."

"Bapak kenalan Ibu saya?" tanya Juwita, berusaha santai.

"Kakek saya sama nenek kamu saudara, tapi kayaknya kamu enggak kenal."

Kepala Juwita langsung blank. Jangan salahkan dirinya kalau ia tak kenal siapa saudara Nenek. Karena, Nenek sudah meninggal sebelum Juwita bisa punya kenangan indah dengan seorang nenek seperti umumnya orang.

"Gitu, yah?"

"Begini, Juwita. Tiga tahun lalu, Kakek saya meninggal. Dia bilang ke saya, kalau dulu waktu kecil, dia niat mau jodohin saya sama kamu. Nenek kamu setuju."

Juwita nyaris tersedak.

"Tapi saya sudah menikah. Enam belas tahun yang lalu."

O-oke.

"Dua bulan lalu istri saya meninggal. Beliau sakit."

Juwita langsung meringis. "Turut berduka cita."

"Beliau, istri saya, ninggalin wasiat buat saya. Istri saya bilang saya mesti nepatin janji Kakek sama Nenek saya dan kamu."

Aliran darah di ************ Juwita terasa semakin deras dan banjir. Akal sehatnya setengah direbut oleh nyeri, setengah lagi oleh perkataan orang ini.

Dengan kata lain, dia mau bilang ... ayo menikah?

"Saya enggak bermaksud bilang begini tapi kalau kamu mau, saya bakal tanggung semua biaya kebutuhan orang tua kamu di rumah sakit. Kalau kamu enggak mau pun, tetep bakal saya bantu. Cuma, saya harap kamu mau."

*

Jauh di hati Juwita, tentu ada perasaan ia sedang dipermainkan. Tapi waktu Adji bertemu Ayah, mereka saling bersapa yang menandakan mereka benar kenal.

"Juwita." Panggilan itu mengalihkan Juwita dari usaha mengintip. "Enggak usah."

"Apa?"

Ibu memegang tangannya lembut. "Enggak usah. Kamu nikah sama yang kamu mau, jangan gara-gara uang apalagi Ibu. Enggak usah."

Tapi ... orang itu bermaksud membantu mereka. Membantu biaya operasi Ibu.

"Juwita." Ayah tiba-tiba datang, mengisyaratkannya untuk mendekat.

Juwita mengangguk. "Menurut Ayah gimana?"

Sama seperti Ibu, Ayah menggeleng. "Ayah tau dia anak baik. Ayah tau. Cuma, Ayah enggak mau kamu terpaksa ngelakuin sesuatu buat Ayah sama Ibu."

Juwita menatap ke belakang Ayah, pada Adji yang diam memerhatikan mereka.

Perutnya masih keram. Rasionalitas Juwita juga tidak seratus persen. Cuma, ini kesempatan besar.

"Aku ngomong sama dia dulu, Yah. Boleh, kan?"

Ayah mengangguk, membiarkan Juwita pergi. Waktu Juwita datang, Adji langsung berdiri.

"Kamu bisa antar saya ke ruang administrasi?"

"Maaf, Pak—atau saya panggil kamu Adji aja, yah? Maaf, Adji, tapi saya enggak mau dibantu cuma-cuma. Kalau nenek saya sama kakek kamu sodara, hubungan mereka enggak bikin kamu harus nolongin saya cuma-cuma."

Adji mengangguk. "Oke. Artinya kamu mau balas, kan?"

"Sebelum itu, kenapa istri kamu ngasih wasiat begitu? Maaf yah tapi itu aneh buat saya. Saya ngerasa tiba-tiba mau ditolong dari langit dan itu malah bikin curiga."

Pria itu menatapnya beberapa saat. Tiba-tiba mengeluarkan ponselnya, lalu memperlihatkan sebuah foto.

"Ini istri saya."

Mata Juwita menangkap gambar seorang wanita berwajah lembut. Hanya sesaat setelah itu, Juwita tersentak. Sekelebat ingatan muncul di kepalanya.

Kalau tidak salah, itu sekitar setengah tahun lalu.

Juwita sedang membeli makan siang waktu tiba-tiba seorang bocah melintas ke jalan raya yang ramai akan kendaraan. Semua orang berteriak histeris mengira anak itu akan tertabrak, tapi sebelum itu terjadi, Juwita sudah berlari, mengambil anak itu meski harus terpental beberapa meter.

Gara-gara melindungi anak itu, Juwita terluka. Bukan luka parah, namun ia agak pincang dan kesulitan menggunakan sikunya selama dua minggu.

Ibu anak itu adalah wanita ini.

"Makasih, Dek. Makasih banget." Dia berulang kali berterima kasih sambil menangis khawatir.

Juwita yang canggung hanya bisa menyengir. "Enggak pa-pa, Kak. Anak-anak emang suka gitu."

Wanita itu mau memberinya uang, tapi Juwita menolak.

"Saya enggak mau biasain diri nunggu dikasih sesuatu habis nolong jadi enggak usah, Kak. Pulangnya hati-hati aja."

Lalu Juwita pergi, melupakan semua itu.

*

2. Itu Mahar Saya

"Saya enggak tau ini takdir atau mungkin cuma kebetulan," Adji mengantongi ponselnya lagi, "tapi saya cuma mau menuhin wasiat orang yang percaya sama saya. Kakek saya, dia dulu nunggu kamu dewasa tapi saya malah nikah duluan."

"...."

"Atau mungkin kamu punya alasan lain nolak?"

Entah kenapa rasanya jadi jual diri. Itu yang Juwita pikirkan. Tapi setelah mendengar penjelasan orang ini, sedikit saja perasaan itu terobati.

Benarkah ini pertolongan? Entah takdir atau kebetulan, tapi mungkinkah ini yang dimaksud pertolongan akan dibalas pertolongan?

Kalau Juwita menolak maka orang ini akan membantunya tanpa balasan. Yang berarti Juwita seperti mengemis.

Kalau Juwita terima rasanya juga seperti jual diri. Makanya Ayah dan Ibu tidak mau.

Keram perutnya datang lagi. Mungkin merespons pikiran Juwita yang berbelit-belit. Aliran darahnya terasa lancar, panas, mengganggu.

"Kalau," Juwita mengembuskan napas panjang namun samar, "kalau saya mau, bisa kasih saya mahar berapa pun saya minta?"

Pria di depannya mengangguk. "Berapa pun."

Jual diri, kah? Kalau dipikir ulang, orang tuanya sudah jual diri berapa kali agar Juwita hidup?

Juwita baru mengerti rasanya begitu susah mencari uang yang begitu mudah dihabiskan. Entah berapa kali Ayah disuruh-suruh orang agar dapat upah, entah berapa kali Ibu membuat sesuatu hanya untuk digaji sedikit.

Rasanya tidak tahu diri kalau sekarang ia berpikir ulang untuk menjual dirinya juga.

"Saya mau jadi matre kalau gitu." Juwita tersenyum kecut. "Tolong sebutin nomilal maksimalnya. Saya ambil semua."

".... Jaminan sepuluh tahun orang tua kamu."

Juwita tersentak. Dia tahu?

"Jaminan rumah sakit, operasi, dokter, apa pun sampai Ibu kamu baikan. Rumah, makanan, dan sokongan usaha. Sepuluh tahun."

Adji tersenyum samar.

"Sepuluh tahun bangun usaha baru di antara itu, gampang buat Ayah kamu, kan? Itu mahar saya."

Bibir Juwita bergetar. Rasa sakit di perutnya masih luar biasa, tapi perasaan hangat banjir di dadanya.

Memberi sesuatu yang bukan hanya mengundang rasa terima kasih melainkan perasaan cukup pada orang tuanya ... apa ada hal lain yang harus Juwita harapkan lagi?

...*...

Pagi setelah itu, Juwita dalam kondisi jauh lebih parah dari kemarin. Sakit di perutnya malah tambah luar biasa hingga jangankan ke rumah sakit, bangun ke kamar mandi pun setengah mati.

Tapi, pagi ia menatap langit-langit kamarnya, Juwita sadar kemarin bukan mimpi. Kesepakatan untuk ibu dan ayahnya bukan mimpi.

Juwita mengecek ponsel, menemukan ada pesan masuk dari Adji.

Saya lupa tanya.

Kamu mau resepsi?

Dalam kondisi ibunya di rumah sakit dan istrinya Adji baru meninggal? Tidak. Juwita tidak sedang bernafsu menghadapi cibiran orang.

^^^Kalau bisa langsung ke KUA aja.^^^

^^^Saya enggak mau pesta.^^^

Lagipula, dia pasti juga sudah berat dengan menanggung biaya Ibu, kan? Juwita tidak mau jadi parasit untuk kebahagiaannya sendiri.

Memang apa yang bahagia dari duduk berjam-jam di pelaminan, ditonton banyak orang macam topeng monyet?

Yasudah.

Nanti saya bantu ngurus surat-suratnya.

Kontrak saya sama kamu juga sekalian.

Menikah, kah? Orang menikah itu melakukan apa, yah?

...*...

Adji menatap pesannya yang hanya terbaca oleh Juwita.

Di awal Adji pikir dia masih anak-anak. Umurnya juga masih dua puluh dua. Jelas tidak akan mampu mengemban tugas sebagai ibu dengan baik.

Tapi, setelah melihat dia merelakan punggungnya beku demi kehangatan sang Ibu dan Ayah, Adji jadi paham kenapa Melisa memilih gadis itu.

Dia ... dari jauh pun terlihat bisa diandalkan.

"Papa udah jelasin semua sama kalian, kan?"

Adji memutar kursi kerjanya, menatap tiga anak laki-laki yang sekarang berkumpul di ruangan itu.

"Ini Mama yang minta. Wasiat Mama. Suka enggak suka, kalian mesti hormatin. Juga, istri baru Papa juga terpaksa, jadi jangan sampe mikir dia ngerebut posisi Mama atau apa pun soal itu. Paham?"

Ketiga anak itu kompak menjawab, "Paham."

Tapi Adji memijat keningnya, tak percaya.

...*...

Tiga anak? Jadi anaknya bukan satu tapi tiga?

Juwita cuma bisa tersenyum palsu waktu di depan KUA, ia melihat Adji datang bersama tiga anaknya.

Permisi, kenapa tidak ada yang bilang? Apa jangan-jangan semua orang sudah berpikir ia tahu karena pernah menyelamatkan satu anaknya?

Juwita berdebar justru karena Adji berdiri tepat di samping anak tertuanya, laki-laki yang nampak sudah cukup dewasa. Dia tinggi, tampan, punya wajah dengan kesan 'dunia membosankan' tapi matanya terlihat nakal.

Anak kedua Adji lebih kecil, yah, setidaknya terlihat pendiam. Dan yang terkecil, anak yang Juwita selamatkan, setidaknya terlihat imut.

Oke, tidak ada tombol mundur jadi Juwita akan menghadapinya. Pura-pura sudah tahu. Pura-pura sudah tahu.

...*...

Juwita tidak tahu bagaimana perasaan orang lain yang menikahi kekasihnya, tapi bagi Juwita, menikah itu ... simpel, yah?

Yang lama malah menunggu panggilan KUA. Akad nikahnya cuma berlangsung satu menit—jika dihitung dari ucapan saja—lalu tiba-tiba berubah.

Juwita berusaha tersenyum tapi sadar jika sebenarnya tidak ada yang butuh pura-pura senyum. Ibu dan Ayah terlihat tahu Juwita menikah untuk mereka, dan Adji bersama tiga anaknya juga tidak terlihat butuh disenyumin.

Kenapa Juwita malah terjebak dengan situasi ini?

"Hari ini, kamu mau nginep sama Ibu Ayah kamu?" tanya Adji setelah mereka keluar. "Lebih baik di rumah sakit dulu. Ibu kamu baru operasi besar. Lebih baik dikontrol dulu sama dokter sampai bener-bener pulih."

Juwita mengangguk. "Ma—kamu enggak keberatan?"

"Besok saya jemput."

"Oke."

Kaku.

Kaku amat.

Sulit dibayangkan untuk dijalani. Tapi kalau dengan begini Ibu sembuh, Juwita rasa justru sangat murah.

Untuk sekarang, ayo habiskan waktu dengan—

"Tante."

Juwita terdiam kaku waktu anak pertama dan kedua tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya.

"Salam kenal," ucap si anak pertama dengan muka setengah mengejek.

Bocah ini.

"Salam kenal," balas Juwita tersenyum. "Enggak usah panggil Tante, yah."

"Terus apa? Mama?"

"Juwita aja gimana?" Anak kedua menimpali. "Juwita aja, Bang. Lagian beda berapa tahun doang sama kita. Iya kan, Juwita?"

Wah, wah, wah. Bocah brengsek ini ngajak berantem. Juwita tidak mau dipanggil tante, tidak juga mama, tapi tidak juga Juwita langsung. Kenapa tidak 'kakak' saja?

"Enggak sopan manggil orang tua namanya langsung, bego." Si Anak Pertama memukul kepala adiknya. "Gimana juga ini istrinya Papa."

"Hah? Terus apaan? Kita manggil Mama beneran? Idih, enggak pantes banget." Terang-terangan dia melirik dada Juwita. Langsung menghela napas kecewa. "Mama tuh empuk."

Urat-urat Juwita mulai bermunculan.

Hoooh, bocah ini mau merasakan tinjuan mama barunya ternyata. Membuat pelecehan seksual di pertemuan pertama, sungguh sesuatu yang harus langsung dibenahi.

Juwita nyaris melepaskan sepatu heelsnya untuk menampar keras-keras dua bocah ini. Tapi sebelum itu terjadi, Adji sudah berteriak memanggil dua anaknya.

Mereka langsung berlari pergi, sambil melambai pada Juwita.

"Dah, Papan."

Anak Kedua terang-terangan membentuk bulatan bukit di dadanya sendiri sambil berlari mundur. "Besarin yah, Juwi. Kalo udah besar, nanti gue panggil Mama. Boing boing."

Baiklah.

Sudah diputuskan.

Dua setan bajingan itu, Juwita akan pastikan mencincang mereka. Lihat saja besok, dasar bocah-bocah sialan!

*

3. Anak Pertama

"Ibu jangan masang muka kayak gitu, dong." Juwita meremas kedua tangan ibunya lembut. "Aku kan enggak jadi korban jual anak apa gimana. Nikah sama siapa aja kan yang penting mau dijalanin apa enggak."

Tapi sepertinya Ibu memang sudah berpikir bahwa semua dilakukan karena beliau.

Juwita berdecak, hanya bisa mengalihkan perhatian pada hal lain. Bahkan kalau ibunya tak suka, Juwita telah memutuskan ini yang terbaik.

Kembali Ibu dimasukkan ke kamar rawat dan diberi penanganan pasca operasi. Sementara Juwita pergi mengajak Ayah untuk makan sebentar di kantin, sekaligus bicara.

"Ayah kan tau dia orang baik. Kenapa Ayah juga ikut-ikutan Ibu?"

Ayah mengusap kepalanya lembut. "Ngurus anak orang lain enggak gampang, Nak. Ayah cuma enggak mau kamu malah capek sama itu."

Juwita berusaha tidak tertawa miris karena sebenarnya ia baru tahu dia punya tiga anak. Pikir Juwita cuma satu. Namun kalau diperlihatkan, jelas Ayah akan terganggu.

Yang terjadi sudah terjadi.

Juwita hanya harus siap mencincang anak-anak tirinya besok.

*

Adji datang menjemput Juwita jam setengah delapan pagi. Dia mampir sebentar berbincang dengan Ibu dan Ayah, lalu segera mengajak Juwita pulang ke rumahnya.

Dari cerita Adji, dia tinggal sendiri bersama keluarga kecilnya di Jakarta. Keluarga besarnya tinggal di Malang, namun orang tua Adji sendiri berdomisili di Amerika.

Juwita sempat bertanya-tanya kenapa Adji menikah tanpa keluarga, dan ternyata dia memang hanya hidup sendirian di kota.

"Ayah sama Ibu saya rencana mau pulang akhir tahun nanti. Sementara keluarga besar saya, mungkin idul adha nanti kita ketemu. Mereka enggak bisa dateng kecuali memang ada acara."

Juwita entah kenapa bersyukur. "Maaf. Saya kira enggak sopan malah bikin acara sekarang."

Pria itu mengangguk. "Saya justru berterima kasih. Anak-anak saya mungkin juga enggak seneng. Tapi kalau kamu mau resepsi, kita bisa lakuin tahun depan. Itu enggak masalah sama sekali."

Tidak, terima kasih.

Mungkin karena Juwita menikah bukan dengan 'orang yang ia cintai', acara pernikahan tidak terdengar semenarik itu

Hanya ada pembicaraan kaku sepanjang perjalanan ke rumah, dan Juwita sadar kalau mereka terdengar seperti 'orang asing' satu sama lain.

Mobil berhenti di depan rumah, membuat Juwita langsung mengintip penasaran.

Besar juga. Karena biaya hidup di kota itu tinggi, Juwita bisa langsung memperkirakan kekayaan Adji dari besar rumahnya. Dari satu sampai sepuluh, mungkin dia tujuh atau delapan.

Baru saja Juwita mau melangkah, sudah terdengar suara teriakan marah.

"Berisik! Lo kira gue enggak usaha apa-apa?! Selalu, selalu, selalu kayak gini! Enggak pernah berubah! Kapan menangnya kalo gini terus?!"

Di belakang, Juwita mendengar Adji msnghela napas.

"Kenapa?" tanya Juwita penasaran.

"Anak pertama saya, Abimanyu, ikut seleksi turnamen. Kayaknya timnya kalah."

"Oh."

"Saya minta maaf sekarang, Juwita. Itu anak keliatannya kalem tapi kekanakan. Sekali kalah, dia bisa ngamuk berhari-hari. Mau digimanain juga enggak peduli."

Baiklah. Bocah pertama adalah bocah songong dengan harga diri setinggi langit. Harus dicatat baik-baik.

"Dia ikut turnamen apa?"

"Voli."

Juwita mengusap dagu, berpikir baik-baik.

"Biasanya didiemin juga dia baik sendiri. Sekarang enggak usah terlalu kamu ladenin."

Adji membawanya masuk ke dalam, melihat Abimanyu kini berdiri di luar sisi kanan rumah, sebuah lapangan voli kecil untuk dia bermain.

Dari pintu kaca Juwita melihat anak itu melempar bola ke atas, melompat dengan postur sempurna dan memukul bola.

Suara 'bam' kencang terdengar dari pukulannya, sampai Juwita bergidik.

Gila. Anak dengan servis mematikan itu kenapa bisa kalah? Tim lawannya kelas internasional atau bagaimana?

...*...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!