Menikahi Putri Kecil Bestie
"Aku hamil."
Binar melempar alat tes kehamilan itu di atas meja, sementara pria itu membenahi kacamata. Belum ada air muka terpancar dari wajahnya, pria itu hanya menatap Binar datar.
"Itu sudah alat yang kelima, jadi jangan bilang kalau ada kesalahan. Haidku juga terlambat dua bulan, dan seharusnya kamu yang paling paham dengan maksudku sekarang."
Kini pria itu melepas kacamatanya. Riswan Darmawangsa, kepala eksekutif perusahaan IndoGood, pewaris tunggal Wangsa Group. Ia memandang Binar dengan kening yang dikerutkan.
"Kamu sendiri yang bilang kalau malam itu nggak terjadi sesuatu di antara kita, kenapa jadi hamil tiba-tiba?"
Binar berdecak, ia memutar bola mata malas. Hari itu ia berbohong. Binar terlalu malu mengaku pada pria itu bahwa memang terjadi sesuatu. Bodoh memang, kenapa juga ia mau bercinta dengan pria mabuk?
"Kalau nggak percaya ya sudah. Kita tes DNA saja setelah bayinya keluar!"
"Bukan begitu maksudku," Riswan bangkit dari duduknya.
Ia berjalan menuju sofa di dalam ruang kerja, sambil mengajak Binar supaya mau mengikutinya. Kini mereka duduk berhadapan. Riswan memandang perempuan yang masih berseragam sekolah itu dengan saksama.
"Kenapa bohong padaku? Ini nggak akan terjadi seandainya kamu bicara jujur."
Ya, Binar masih ingat betul. Malam ketika Riswan datang ke rumahnya dalam keadaan mabuk. Ketika itu mama dan papanya sedang sibuk, perjalanan bisnis orang tuanya melancarkan kejadian malam itu.
"Kalau tau lebih awal juga bisa apa? Mau kasih aku obat penggugur kandungan?" ketus Binar.
Riswan memijat pelipisnya, "Yakin, kamu nggak tidur sama laki-laki lain?" tuduhnya skeptis.
Binar langsung mendelik, "Itu pertama dan terakhir! Aku kan sudah bilang, kalau memang nggak percaya ya kita tunggu saja sampai lahiran!"
"Bukan masalah percaya atau tidak, Binar! Fakta bahwa kamu bohong saja, sudah membuatku ragu dengan kebenarannya!" cecar Riswan tak mau kalah.
Pandangan Binar pun menajam. Ia menatap Riswan dengan penuh amarah.
"Ini anak kita. Itu kebenaran yang perlu kamu percaya!" tandasnya.
Tak gencar dengan ucapan Binar, Riswan membuang napas panjang. Pria itu tidak pernah membayangkan bahwa beginilah akhir dari jalan hidupnya.
Binar adalah putri tunggal dari sahabatnya, bagaimana mungkin mereka bercinta? Hal itu terus mengganggu kepala Riswan.
Hari itu memang ia terbangun di kamar Binar, tapi bukan berarti terjadi sesuatu, kan? Riswan sungguh tak mengingat satupun adegan percumbuan mereka. Lantas bagaimana bisa menyebabkan kehamilan?
Kalau sudah begini, apa yang akan terjadi dengan hubungan persahabatan dirinya dengan Ned dan Tria?
Lagi-lagi Riswan mendengus berat. Ia merasakan atmosfer di sekitarnya menjadi begitu panas dan menyesakkan. Kewarasan Riswan telah menghilang, dan ia kembali memandang Bimar yang masih pada ketenangannya.
"Gugurkan saja," tandas Riswan kemudian.
Tentu ucapan itu bukan tidak ada dalam prediksi Binar. Ia sudah menduganya. Pria berusia empat puluh tahun yang tak kunjung menikah, seharusnya semua orang sadar dengan apa yang terjadi dengannya, bukan?
"Pengecut," ejek Binar. "Sudah berapa banyak perempuan yang kamu suruh begitu?"
Isu yang beredar tetang Riswan memang demikian. Gonta-ganti wanita demi memuaskan nafsu birahinya. Binar sudah sering mendengarnya, ia hapal di luar kepala.
Tapi malam itu adalah ulang tahunnya, dan ia tidak bisa menolak Riswan. Pesona tubuh Riswan yang basah akibat terguyur hujan, juga aroma alkohol yang keluar dari mulutnya, Binar tergoda.
Ia yang sengaja membiarkan Riswan menyentuhnya. Dia juga yang secara sadar mengijinkan Riswan masuk ke kamar. Jadi, Binar sudah siap dengan konsekuensi yang menimpanya sekarang.
"Aku sedang berusaha memikirkan masa depanmu, Binar. Delapan belas tahun dan berniat menjadi ibu? Konyol kamu!"
Akal sehat Riswan sudah hilang ketika suaranya memenuhi ruangan. Tentu Binar tidak memikirkan apapun kecuali melahirkan bayinya. Binar hanyalah anak remaja yang belum sepenuhnya sadar dengan kondisi yang menimpa mereka.
Tapi bagaimana dengan Riswan? Dia paham betul dengan keadaan yang dihadapinya. Ia belum ada rencana menikah, apalagi tertarik untuk melakukannya. Sama sekali tidak, pilihan hidup seperti itu tak pernah ada di kamus Riswan.
Pikiran Riswan kian kacau begitu menyadari bahwa dirinya sudah merusak anak dari sahabatnya. Lantas bagaimana mungkin Riswan berani untuk punya anak? Ia tidak berani membayangkan jika dirinya ada di posisi Ned dan Tria.
Kini Riswan mengacak rambutnya sembarangan. Helai-helai yang semula rapi pun menjadi berantakan. Riswan mengambil satu kesimpulan yang tidak bisa diganggu gugat.
"Sekarang kita ke rumah sakit. Aku punya kenalan dokter yang bisa mengurus masalah ini," kata Riswan tegas.
Mereka tidak perlu diskusi atau pertimbangan. Dalam konteks ini, Riswan bertanggung jawab penuh dengan hal yang menimpa Binar. Kalau benar Binar mengandung buah hatinya, maka Riswan berhak pula untuk mengugurkan.
Pria itu buru-buru meraih dan mengenakan jas formalnya. Sementara Binar masih tenang di sofa sambil mengikuti gerak Riswan. Perempuan itu bisa membaca dengan jelas kegelisahan Riswan, ia tampak terguncang.
Sama persis dengan reaksi Binar ketika mendapati dirinya hamil untuk pertama kalinya. Ia tidak nafsu makan, berharap bayi itu bisa mati dengan sendirinya jika tak diberi asupan.
Namun usaha itu tak memberikan hasil yang maksimal. Aktivitas Binar justru terganggu hingga nyaris pingsan. Sejak saat itu Binar menyerah, dan ia bisa maklum dengan reaksi Riswan sekarang.
"Aku sudah ke rumah sakit sebelum menemuimu ke sini," ujar Binar menjelaskan dengan hati-hati.
"Bayinya sehat, sudah masuk minggu kesepuluh dan jantungnya berdegup dengan sempurna. Aku datang hanya untuk memberitahukannya, dan kalaupun kamu nggak ada niat baik untuk bertanggung jawab, maka keputusanku tetap sama."
Binar melemparkan tatapan tajam yang membuat Riswan terdiam seribu bahasa, "Aku akan melahirkannya."
Binar bangkit dari duduknya. Ia membenahi tas ransel dan berniat meninggalkan ruangan. Namun ia sekali lagi menoleh pada Riswan, Binar memberikan satu penegasan yang sejak tadi membuat pria itu gusar.
"Akan aku rahasiakan dari mama dan papa kalau itu bisa membuatmu tenang."
Tidak ada jawaban.
Riswan hanya mematung di tempat sambil memandangi kepergian Binar. Sebetulnya apa sudah ia lakukan pada remaja yang seharusnya dilingkupi kebahagiaan? Penat benar kepala Riswan.
Ekor matanya beralih pada alat penguji kehamilan. Lantas kembali mendengus panjang ketika menyadari sebuah kebenaran.
Sepertinya, malam itu telah menjadi kesalahan terbesar bagi Riswan.
Sementara itu, Binar yang sudah sampai di lobi mengusap air di sudut matanya. Sejenak perasaan ragu menyelimuti keputusan yang telah ia buat.
Mampukah ia menjadi ibu tunggal diusia muda?
Boleh jadi Riswan ada benarnya. Ia masih terlalu muda, dan menjadi ibu adalah hal konyol yang ia lakukan.
Binar menyentuh perutnya sambil memejamkan mata. Sayup-sayup degup jantung dengan irama pelan itu digemakan telinganya. Bagaimanapun juga, Binar tidak boleh menyerah.
Sebab kini ada nyawa yang butuh perlindungannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments