NovelToon NovelToon

Menikahi Putri Kecil Bestie

01. Kabar Kehamilan

"Aku hamil."

Binar melempar alat tes kehamilan itu di atas meja, sementara pria itu membenahi kacamata. Belum ada air muka terpancar dari wajahnya, pria itu hanya menatap Binar datar.

"Itu sudah alat yang kelima, jadi jangan bilang kalau ada kesalahan. Haidku juga terlambat dua bulan, dan seharusnya kamu yang paling paham dengan maksudku sekarang."

Kini pria itu melepas kacamatanya. Riswan Darmawangsa, kepala eksekutif perusahaan IndoGood, pewaris tunggal Wangsa Group. Ia memandang Binar dengan kening yang dikerutkan.

"Kamu sendiri yang bilang kalau malam itu nggak terjadi sesuatu di antara kita, kenapa jadi hamil tiba-tiba?"

Binar berdecak, ia memutar bola mata malas. Hari itu ia berbohong. Binar terlalu malu mengaku pada pria itu bahwa memang terjadi sesuatu. Bodoh memang, kenapa juga ia mau bercinta dengan pria mabuk?

"Kalau nggak percaya ya sudah. Kita tes DNA saja setelah bayinya keluar!"

"Bukan begitu maksudku," Riswan bangkit dari duduknya.

Ia berjalan menuju sofa di dalam ruang kerja, sambil mengajak Binar supaya mau mengikutinya. Kini mereka duduk berhadapan. Riswan memandang perempuan yang masih berseragam sekolah itu dengan saksama.

"Kenapa bohong padaku? Ini nggak akan terjadi seandainya kamu bicara jujur."

Ya, Binar masih ingat betul. Malam ketika Riswan datang ke rumahnya dalam keadaan mabuk. Ketika itu mama dan papanya sedang sibuk, perjalanan bisnis orang tuanya melancarkan kejadian malam itu.

"Kalau tau lebih awal juga bisa apa? Mau kasih aku obat penggugur kandungan?" ketus Binar.

Riswan memijat pelipisnya, "Yakin, kamu nggak tidur sama laki-laki lain?" tuduhnya skeptis.

Binar langsung mendelik, "Itu pertama dan terakhir! Aku kan sudah bilang, kalau memang nggak percaya ya kita tunggu saja sampai lahiran!"

"Bukan masalah percaya atau tidak, Binar! Fakta bahwa kamu bohong saja, sudah membuatku ragu dengan kebenarannya!" cecar Riswan tak mau kalah.

Pandangan Binar pun menajam. Ia menatap Riswan dengan penuh amarah.

"Ini anak kita. Itu kebenaran yang perlu kamu percaya!" tandasnya.

Tak gencar dengan ucapan Binar, Riswan membuang napas panjang. Pria itu tidak pernah membayangkan bahwa beginilah akhir dari jalan hidupnya.

Binar adalah putri tunggal dari sahabatnya, bagaimana mungkin mereka bercinta? Hal itu terus mengganggu kepala Riswan.

Hari itu memang ia terbangun di kamar Binar, tapi bukan berarti terjadi sesuatu, kan? Riswan sungguh tak mengingat satupun adegan percumbuan mereka. Lantas bagaimana bisa menyebabkan kehamilan?

Kalau sudah begini, apa yang akan terjadi dengan hubungan persahabatan dirinya dengan Ned dan Tria?

Lagi-lagi Riswan mendengus berat. Ia merasakan atmosfer di sekitarnya menjadi begitu panas dan menyesakkan. Kewarasan Riswan telah menghilang, dan ia kembali memandang Bimar yang masih pada ketenangannya.

"Gugurkan saja," tandas Riswan kemudian.

Tentu ucapan itu bukan tidak ada dalam prediksi Binar. Ia sudah menduganya. Pria berusia empat puluh tahun yang tak kunjung menikah, seharusnya semua orang sadar dengan apa yang terjadi dengannya, bukan?

"Pengecut," ejek Binar. "Sudah berapa banyak perempuan yang kamu suruh begitu?"

Isu yang beredar tetang Riswan memang demikian. Gonta-ganti wanita demi memuaskan nafsu birahinya. Binar sudah sering mendengarnya, ia hapal di luar kepala.

Tapi malam itu adalah ulang tahunnya, dan ia tidak bisa menolak Riswan. Pesona tubuh Riswan yang basah akibat terguyur hujan, juga aroma alkohol yang keluar dari mulutnya, Binar tergoda.

Ia yang sengaja membiarkan Riswan menyentuhnya. Dia juga yang secara sadar mengijinkan Riswan masuk ke kamar. Jadi, Binar sudah siap dengan konsekuensi yang menimpanya sekarang.

"Aku sedang berusaha memikirkan masa depanmu, Binar. Delapan belas tahun dan berniat menjadi ibu? Konyol kamu!"

Akal sehat Riswan sudah hilang ketika suaranya memenuhi ruangan. Tentu Binar tidak memikirkan apapun kecuali melahirkan bayinya. Binar hanyalah anak remaja yang belum sepenuhnya sadar dengan kondisi yang menimpa mereka.

Tapi bagaimana dengan Riswan? Dia paham betul dengan keadaan yang dihadapinya. Ia belum ada rencana menikah, apalagi tertarik untuk melakukannya. Sama sekali tidak, pilihan hidup seperti itu tak pernah ada di kamus Riswan.

Pikiran Riswan kian kacau begitu menyadari bahwa dirinya sudah merusak anak dari sahabatnya. Lantas bagaimana mungkin Riswan berani untuk punya anak? Ia tidak berani membayangkan jika dirinya ada di posisi Ned dan Tria.

Kini Riswan mengacak rambutnya sembarangan. Helai-helai yang semula rapi pun menjadi berantakan. Riswan mengambil satu kesimpulan yang tidak bisa diganggu gugat.

"Sekarang kita ke rumah sakit. Aku punya kenalan dokter yang bisa mengurus masalah ini," kata Riswan tegas.

Mereka tidak perlu diskusi atau pertimbangan. Dalam konteks ini, Riswan bertanggung jawab penuh dengan hal yang menimpa Binar. Kalau benar Binar mengandung buah hatinya, maka Riswan berhak pula untuk mengugurkan.

Pria itu buru-buru meraih dan mengenakan jas formalnya. Sementara Binar masih tenang di sofa sambil mengikuti gerak Riswan. Perempuan itu bisa membaca dengan jelas kegelisahan Riswan, ia tampak terguncang.

Sama persis dengan reaksi Binar ketika mendapati dirinya hamil untuk pertama kalinya. Ia tidak nafsu makan, berharap bayi itu bisa mati dengan sendirinya jika tak diberi asupan.

Namun usaha itu tak memberikan hasil yang maksimal. Aktivitas Binar justru terganggu hingga nyaris pingsan. Sejak saat itu Binar menyerah, dan ia bisa maklum dengan reaksi Riswan sekarang.

"Aku sudah ke rumah sakit sebelum menemuimu ke sini," ujar Binar menjelaskan dengan hati-hati.

"Bayinya sehat, sudah masuk minggu kesepuluh dan jantungnya berdegup dengan sempurna. Aku datang hanya untuk memberitahukannya, dan kalaupun kamu nggak ada niat baik untuk bertanggung jawab, maka keputusanku tetap sama."

Binar melemparkan tatapan tajam yang membuat Riswan terdiam seribu bahasa, "Aku akan melahirkannya."

Binar bangkit dari duduknya. Ia membenahi tas ransel dan berniat meninggalkan ruangan. Namun ia sekali lagi menoleh pada Riswan, Binar memberikan satu penegasan yang sejak tadi membuat pria itu gusar.

"Akan aku rahasiakan dari mama dan papa kalau itu bisa membuatmu tenang."

Tidak ada jawaban.

Riswan hanya mematung di tempat sambil memandangi kepergian Binar. Sebetulnya apa sudah ia lakukan pada remaja yang seharusnya dilingkupi kebahagiaan? Penat benar kepala Riswan.

Ekor matanya beralih pada alat penguji kehamilan. Lantas kembali mendengus panjang ketika menyadari sebuah kebenaran.

Sepertinya, malam itu telah menjadi kesalahan terbesar bagi Riswan.

Sementara itu, Binar yang sudah sampai di lobi mengusap air di sudut matanya. Sejenak perasaan ragu menyelimuti keputusan yang telah ia buat.

Mampukah ia menjadi ibu tunggal diusia muda?

Boleh jadi Riswan ada benarnya. Ia masih terlalu muda, dan menjadi ibu adalah hal konyol yang ia lakukan.

Binar menyentuh perutnya sambil memejamkan mata. Sayup-sayup degup jantung dengan irama pelan itu digemakan telinganya. Bagaimanapun juga, Binar tidak boleh menyerah.

Sebab kini ada nyawa yang butuh perlindungannya.

02. Restu Orang Tua

Ned dan Tria kehabisan kata.

Sepasang suami istri itu menatap Binar penuh harapan. Mereka menagih kebohongan dari pengakuan Binar barusan. Untuk kali pertama, mereka berharap kalau anaknya adalah pendusta.

Tapi usaha itu sia-sia. Nihil yang mereka dapatkan. Binar tak memberi penjelasan. Tandanya justru menegaskan bahwa putri mereka mengungkap kebenaran.

Gelagat Binar yang menunduk pasrah memperkuat ucapannya. Detik itu juga Tria menjerit histeris sambil memegangi sudut meja.

Memangnya siapa yang bisa mengendalikan rekasi dalam situasi seperti sekarang?

Wanita itu merasa gagal. Sebagai seorang ibu, Tria gagal melindungi putri sematawayang mereka dari pergaulan bebas. Hatinya porak poranda, hancur sudah hidup mereka.

Ned sang ayah berulang kali mengusap wajah dengan kasar. Dia begitu mencintai Binar. Putri tunggal yang dibesarkan layaknya ratu kerajaan, siapa yang berani menjamahnya tanpa pernikahan?!

"Jadi kamu bersikeras merahasiakannya?"

Binar mengangguk mantap, "Melahirkan bayi ini adalah keputusanku, Pa. Terlepas dari kesepakatan mama, papa, dan ayah biologisnya."

Tria sudah tidak kuasa menahan tangisnya. Wanita bertubuh langsing dengan pakaian modis itu tak peduli lagi pada keanggunan. Akal sehatnya sudah tidak berguna.

"Beritahu papa atau kita gugurkan sekarang juga!" tandas Ned tanpa keringanan.

Ned tidak bermaksud mengatakannya. Pria itu terlampau frustasi dengan keadaan yang menimpa putrinya. Ia tidak sanggup menyaksikan kehancuran hidup Binar.

Medengar ucapan sang papa, mata Binar membulat. Ia tidak mengira jika pria itu akan berkata demikian. Wajar jika Riswan yang melakukannya, tapi sebagai seorang ayah, Ned seharusnya tidak.

"Laki-laki mana sih yang berusaha kamu lindungi itu, Binar? Kami juga tidak mungkin melabrak keluarganya meski sangat murka," keluh Tria tak lepas mengelus dadanya.

Adegan dramatis yang sejujurnya tidak ingin Binar saksikan. Raut kekecewaan tampak jelas mengakuisisi wajah kedua orang tuanya. Namun Binar terlanjur janji untuk tetap merahasiakan kebenaran.

"Masuk kamar! Renungkan ucapanku selagi aku masih sabar!" Ned kembali bertitah.

"Ingat, Binar. Jangan berpikir untuk keluar kamar sebelum papa dengar nama lelaki itu! Camkam baik-baik dalam pikiranmu!" teriak Ned mengiringi langkah Binar.

Binar pernah melihat adegan seperti ini lewat serial televisi atau drama, tapi tak pernah mengira jika sesakit ini rasanya. Momen dimana keluarga tak bisa lagi menjadi tempat perlindungan. Kondisi di mana ia merasa terbuang.

Ia tak punya pilihan selain meringkuk dalam pelukan selimut tebal. Binar mengusap lagi air di sudut mata sebelum berjatuhan.

Ya, Binar tidak boleh lemah. Keputusan ini telah menjadi bagian dari pilihan hidupnya.

Tangannya kembali menyentuh perut yang tidak lagi rata, dan Binar terlelap beberapa saat kemudian.

***

Di ruang kerjanya, Riswan dibuat tidak tenang. Masalah sesepele kertas yang jatuh tanpa sengaja saja, bisa memancing amarah. Ia bukan hanya sekadar gusar, melainkan sudah menggila.

Ia amat penasaran dengan kondisi Binar sekarang. Apakah perempuan itu sudah bicara dengan Ned dan Tria? Atau masih memendam sendirian?

Riswan juga tidak bisa mengabaikan artikel tentang kehamilan yang tidak sengaja ia baca. Bagaimana jika Binar mengalami kelelahan fisik dan mental? Ia pasti mengalami banyak tekanan.

Belum lagi kalau dia merasakan mual dan muntah berlebihan. Riswan juga khawatir jika nyeri pada bagian tubuh Binar malah mengganggu kesehatannya.

Kalau dipikir-pikir, perempuan itu kemarin juga terlihat pucat. Apakah Binar sampai di rumah dengan selamat? Riswan tidak mungkin tiba-tiba menelpon Ned atau Tria hanya untuk memastikan kabar.

Lagi-lagi ia berdecak dan mendengus gelisah. Bahasa tubuh yang tidak bisa lagi didiamkan oleh lelaki yang tengah duduk di sofa. Dia Adrian, sekertaris sekaligus tangan kanan Riswan.

"Apa sudah saatnya untuk pesan ****** lagi? Aku muak melihatmu gelisah sejak pagi!" keluhnya sudah tidak tahan.

Sebagai orang kepercayaan Riswan, tentu Adrian hafal dengan segala kegiatannya. Adrian bahkan tahu gejala-gejala khusus ketika Riswan butuh sentuhan wanita.

Namun pria itu kembali berdecak. Ia bertolak pinggang sambil menatap Adrian yang sudah muak.

"Bukan ****** lagi, ini perkara bocah delapan belas tahun yang lagi hamil!"

Adrian memutar bola matanya malas, "Apa lagi? Kau baru baca berita? Ya, emang sih, kelakuan anak jaman sekarang di luar kendali. Nggak heran kalau bocah tujuh belas tahun sudah hamil."

"Masalahnya dia hamil anakku, Adrian! Keturunan Darmawangsa! Aku juga nggak niat menghamilinya, asal kau tahu saja!"

Sontak Adrian tersedak saliva. Saluran pencernaan dan pernapasannya mendadak enggan diajak kerjasama. Matanya membelalak tidak percaya.

"Kau meniduri bocah tujuh belas tahun?" tanya Adrian sembari menutupi mulutnya yang setengah terbuka itu dengan punggung tangan.

Entah takjub atau menghina, yang jelas Riswan sudah kembali mengacak-acak rambutnya. Ia memandang Adrian yang masih mematung di tempat. Membuatnya semakin putus asa.

"Tidak sengaja. Aku mabuk dan tidak ingat apa-apa. Aku sungguh tidak berniat melakukannya pada Binar."

"Si-siapa kau bilang? Binar? Maksudmu Binar putri Ned dan Tria?" mata Adrian mendelik kian lebar, "Nggak waras!"

"Aku mabuk!"

"Dan kau hanya diam saja?! Aku sudah membunuhmu kalau jadi Ned dan Tria!" tukas Adrian geram.

"Nggak bisa menghakimi begitu dong!" protes Riswan masih berusaha keras membela dirinya.

Secara logika, ia tidak benar-benar tahu posisinya. Bagaimana kalau dia sama sekali tak bernafsu dan malah Binar bersikeras menggoda? Dalam kasus seperti ini jelas bukan salah Riswan sepenuhnya.

Ia hanya terjebak.

Namun tak mengindahkan pembelaan dari Riswan, Adrian yang masih tidak habis pikir dengan Riswan pun kembali bersuara panjang kali lebar.

"Dengar, apapun yang terjadi malam itu, seharusnya kau bertanggung jawab, Riswan! Gila namanya kalau membiarkan bocah tujuh belas tahun menanggung semua sendirian!"

Riswan sama sekali tak bermaksud melimpahkan seluruh tanggung jawab pada Binar. Ia hanya tidak siap menghadapi kenyataan.

Bagaimana mungkin ia menghadapi Ned dan Tria? Apa kata kakeknya jika mendengar kabar pernikahan Riswan dengan perempuan 18 tahunan?! Lansia itu bisa-bisa terkena serangan jantung seketika.

Napas yang diembuskan oleh Riswan kian berat. Bersamaan dengan itu Adrian kembali melanjutkan ucapan.

"Temui mereka. Aku akan batalkan seluruh jadwalmu dua hari ke depan. Aku juga akan mengurus beberapa jadwal yang bisa kugantikan untuk sementara. Dan jangan berniat untuk melarikan diri ke luar kota!"

Adrian melengangkan langkah, menyisakan Riswan dengan sesak pikirannya. Apakah memungkinkan jika Riswan bertanggung jawab tanpa menikahi Binar?

Riswan amat tidak siap dengan pernikahan. Hidupnya bebas, ia bercinta dengan sembarang wanita dengan tunjuk tangan. Pernikahan adalah kata kerja yang bertolak belakang dengan hidup Riswan Darmawangsa.

Sudut mata Riswan kembali memandang alat tes kehamilan yang sama sekali belum beranjak dari mejanya. Kemudian ia membanting tubuh pada kursi kerja.

Sekarang, apa yang akan dia lakukan?

03. Jadi Menantu Sahabat Karib

Daun pintu rumah keluarga Ned Alvero terbuka. Sepasang mata sembab itu berusaha sumringah kala mendapati Riswan datang. Ned tak banyak bicara, ia mempersilahkan Riswan masuk begitu saja.

Di ruang tengah, Tria memeluk tubuhnya. Wanita dengan rambut panjang yang biasa diurai rapi itu tampak berantakan. Riswan tidak yakin sudah berapa lama Tria duduk di sana.

"Maaf, suasana rumahku sedang kacau, Riswan. Ada apa?" tanya Ned begitu Riswan mengambil duduknya.

Riswan terdiam sejenak. Ia berusaha mencuri udara sebanyak mungkin sebelum memberanikan diri berbicara. Jantungnya berdegup kencang, ia bahkan mencoba pasrah jika memang ini adalah hari kematiannya.

"Soal Binar," kalimat Riswan menghantung di udara.

Seketika Ned memalingkan muka. Pria itu membuang jauh pandangannya. Dari gelagat itu Riswan paham, bahwa Binar telah mengungkapkan kehamilannya.

Tangan Riswan tiba-tiba gemetar. Ia tidak sanggup menyaksikan raut wajah Ned dan Tria ketika ia mengungkap kebenaran. Ternyata, dalam keadaan seperti ini, puluhan tahun menjabat sebagai kepala eksekutif tidak menguatkan nyalinya.

"Binar kenapa?" sahut Ned yang tidak sabar menanti kelanjutan ucapan Riswan, "Dia di kamar, nggak boleh keluar untuk sementara. Lagipula tumben kau mencarinya."

Riswan terenyak. Kelu lidahnya tak kuasa melanjutkan kata. Agaknya, Ned memberi Binar hukuman. Remaja delapan belas tahun yang seharusnya masih gembira mengenyam pendidikan itu terpenjara. Riswan menyadari kebodohannya sekarang.

Alih-alih menjelaskan lewat kata, Riswan turun dari kursi tamu dan berlutut di hadapan Ned yang memasang wajah heran. Melihat reaksi itu, perhatian Tria ikut teralihkan. Sepasang suami istri itu beradu pandang.

"Binar mengandung anakku, Ned. Dia nggak salah."

Kalimat yang diucap dalam satu tarikan napas itu lolos dari bibir Riswan. Pandangannya menunduk dalam, ia tak sanggup menyaksikan reaksi Ned dan Tria yang tercurah penuh pada dirinya.

Tria mendekat, ia meraih kerah kemeja Riswan dan mencengkramnya.

"Sekali lagi, coba kau bilang sekali lagi," bisiknya lebih terdengar seperti rintih.

"Tolong jangan kurung Binar. Aku akan bertanggung jawab penuh akan hidupnya," ujar Riswan tak sekalipun mengangkat pandangan.

Dari ekor matanya, Riswan bisa melihat Tria terduduk lemas. Wanita itu tampak akan pingsan. Namun ketika lengan Riswan hendak menahan tubuhnya, satu pukulan mendarat di pipi kiri Riswan.

*Brukh*

Riswan tersungkur ke belakang. Ned yang berada di atasnya terus menghujamkan pukulan. Tidak ada kata yang diucapkan. Pria itu membabi buta.

Jerit histeris dari Tria menggema pada seisi rumah. Tangis wanita itu pecah sejadi-jadinya. Isak yang pelan berubah menjadi raungan bak lolongan serigala.

Kekacauan itu mengundang rasa penasaran Binar. Ia memberanikan diri keluar kamar. Perlahan namun pasti, Binar menghampiri asal suara. Dan betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan aliran darah sudah merembas dari tubuh Riswan.

"Papa! Sudah, Pa!"

Binar berusaha melerai perkelahian mereka. Ia meraih tangan sang papa dan menggenggamnya. Akan tetapi pria itu menepisnya. Ned menghampiri Tria lantas menuntun wanita itu kembali ke sofa.

Tubuh Riswan masih terpakar pasrah. Kening, pelipis, dan sudut bibirnya berdarah. Tampak lengannya juga menjadi sasaran kala berusaha membangun perlindungan. Binar yang tak tega menyaksikan pria itu pun hendak menolongnya.

Setidaknya sampai Ned mempertegas kecaman, "Biarkan dia, dan duduk di sini selagi aku masih waras!"

Binar memandang Riswan sekilas, dan pria itu memberi tanda bahwa dirinya baik-baik saja. Ia kemudian duduk di samping Tria, berada di sofa yang berukuran panjang.

Tentu respon ini sesuai dengan dugaan Riswan. Ia malah merasa aneh jika Ned tidak menghajarnya hingga tewas. Sebab, mau dipikir bagaimanapun juga, ia pantas mendapatkannya. Riswan sudah gila.

Sambil sesekali mendesis, Riswan mencoba bangkit. Luka pada sebujur tubuhnya mengalir, menimbulkan bau anyir. Tapi tentu Ned tidak peduli. Kondisi itu tidak cukup pantas untuk memaafkan Riswan barang sekali.

Pandangannya yang bunar silih berganti menatap Ned, Tria dan berakhir pada Binar. Keluarga kecil sahabat karibnya yang tak pernah dirundung kesedihan itu telah ia hancurkan.

Terlepas dari bagaimana kebenaran malam itu, Adrian benar. Seharusnya sejak awal Riswan bertanggung jawab. Kekacauan ini tidak akan terjadi jika malam itu ia pulang ke rumah.

"Ijinkan aku menghidupinya, Ned. Binar dan calon bayi dalam kandungannya menjadi tanggung jawabku sekarang," kata Riswan dengan nada serendah mungkin.

Akan tetapi, Ned menjawab kalimat itu dengan tawa mencibir. Mereka sudah saling tahu satu sama lain.

"Memangnya kau bisa menikahi dia?"

Hening. Tentu Ned paham betul dengan jawaban Riswan. Mereka sudah berteman sejak bangku sekolah menengah atas, seluk beluk bagian mana yang tidak dipahaminya?

Persahabatan yang terjalin puluhan tahun lamanya. Mereka bahkan memperkenalkan Riswan sebagai ayah kedua bagi Binar. Tapi apa? Lihatlah sekarang! Putri tunggal mereka malah jadi santapan lezat bagi Riswan.

"Nikahi dia, atau aku akan cari calon lain untuk bertanggung jawab," tandas Ned berhasil membuat Riswan mendongak.

Pandangan mereka bersitegang. Yang Riswan maksud dengan bertanggung jawab bukanlah pernikahan. Kedua kata itu memiliki makna berbeda. Hal yang kembali mengundang senyum getir di bibir Ned.

"Kenapa? Susah ya?"

"Aku bersumpah akan menjamin seluruh hidupnya," kata Riswan tidak terima.

"Menikah, Riswan! Kami sepeduli itu dengan anggapan budaya dan aturan untuk dua manusia!"

Ya. Itu adalah penilaian Riswan terhadap pernikahan. Pria itu menganggap bahwa pernikahan tak lebih dari budaya masyarakat yang mengikat dua manusia dalam aturan. Itulah alasan terkuat baginya untuk tidak menikah.

Bahkan Riswan menertawakan keputusan Ned dan Tria yang menikah pada usia muda. Seskeptis itu Riswan terhadap pernikahan.

"Aku tidak masalah walau tidak menikah, Pa," celetuk Binar. "Paman Riswan mau bertanggung jawab saja sudah cukup untuk Binar."

"Lalu apa? Membiarkan anakmu hidup tanpa ayah?" bentak Ned tak mampu lagi menguasai amarah, "Kami yang membesarkanmu dengan penuh kasih sayang saja gagal! Apalagi kalau kamu menbesarkan bayi itu sendirian!"

Kilat mata tajam milik Ned menatap Riswan lekat, "Itu adalah penawaran terbaikku, Riswan. Nikahi dia atau kukirim dia pada laki-laki lain yang mau merima kondisinya seperti itu!"

"Hidupnya sudah rusak. Tak masalah kalau rusak sekalian di rumah suami yang bukan ayah dari anaknya sendiri," Ned menancap sebilah pedang lagi.

Tentu Riswan bisa memahami, hati Ned telah hancur berkeping-keping. Ia sama sekali tidak keberatan bahkan jika mendapat pukulan, atau kalimat sinis. Tapi Binar, relungnya pasti teramat sakit.

Dalam proses pertumbuhan Binar, Ned tak pernah sekalipun meninggikan suara. Pria itu amatlah sabar, memfasilitasi putri tunggalnya dengan kasih sayang tak terbatas.

Namun sayang seribu sayang. Nasi terlanjur menjadi bubur dan Riswan mengacaukan segalanya. Dalam hening panjang yang sengaja ia diamkan, akhirnya Riswan bicara.

"Baiklah. Aku akan menikahinya."

"Kalau begitu aku tunggu sampai lusa. Bawa kakekmu atau kesepakatan kita kuanggap batal."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!