Ned dan Tria kehabisan kata.
Sepasang suami istri itu menatap Binar penuh harapan. Mereka menagih kebohongan dari pengakuan Binar barusan. Untuk kali pertama, mereka berharap kalau anaknya adalah pendusta.
Tapi usaha itu sia-sia. Nihil yang mereka dapatkan. Binar tak memberi penjelasan. Tandanya justru menegaskan bahwa putri mereka mengungkap kebenaran.
Gelagat Binar yang menunduk pasrah memperkuat ucapannya. Detik itu juga Tria menjerit histeris sambil memegangi sudut meja.
Memangnya siapa yang bisa mengendalikan rekasi dalam situasi seperti sekarang?
Wanita itu merasa gagal. Sebagai seorang ibu, Tria gagal melindungi putri sematawayang mereka dari pergaulan bebas. Hatinya porak poranda, hancur sudah hidup mereka.
Ned sang ayah berulang kali mengusap wajah dengan kasar. Dia begitu mencintai Binar. Putri tunggal yang dibesarkan layaknya ratu kerajaan, siapa yang berani menjamahnya tanpa pernikahan?!
"Jadi kamu bersikeras merahasiakannya?"
Binar mengangguk mantap, "Melahirkan bayi ini adalah keputusanku, Pa. Terlepas dari kesepakatan mama, papa, dan ayah biologisnya."
Tria sudah tidak kuasa menahan tangisnya. Wanita bertubuh langsing dengan pakaian modis itu tak peduli lagi pada keanggunan. Akal sehatnya sudah tidak berguna.
"Beritahu papa atau kita gugurkan sekarang juga!" tandas Ned tanpa keringanan.
Ned tidak bermaksud mengatakannya. Pria itu terlampau frustasi dengan keadaan yang menimpa putrinya. Ia tidak sanggup menyaksikan kehancuran hidup Binar.
Medengar ucapan sang papa, mata Binar membulat. Ia tidak mengira jika pria itu akan berkata demikian. Wajar jika Riswan yang melakukannya, tapi sebagai seorang ayah, Ned seharusnya tidak.
"Laki-laki mana sih yang berusaha kamu lindungi itu, Binar? Kami juga tidak mungkin melabrak keluarganya meski sangat murka," keluh Tria tak lepas mengelus dadanya.
Adegan dramatis yang sejujurnya tidak ingin Binar saksikan. Raut kekecewaan tampak jelas mengakuisisi wajah kedua orang tuanya. Namun Binar terlanjur janji untuk tetap merahasiakan kebenaran.
"Masuk kamar! Renungkan ucapanku selagi aku masih sabar!" Ned kembali bertitah.
"Ingat, Binar. Jangan berpikir untuk keluar kamar sebelum papa dengar nama lelaki itu! Camkam baik-baik dalam pikiranmu!" teriak Ned mengiringi langkah Binar.
Binar pernah melihat adegan seperti ini lewat serial televisi atau drama, tapi tak pernah mengira jika sesakit ini rasanya. Momen dimana keluarga tak bisa lagi menjadi tempat perlindungan. Kondisi di mana ia merasa terbuang.
Ia tak punya pilihan selain meringkuk dalam pelukan selimut tebal. Binar mengusap lagi air di sudut mata sebelum berjatuhan.
Ya, Binar tidak boleh lemah. Keputusan ini telah menjadi bagian dari pilihan hidupnya.
Tangannya kembali menyentuh perut yang tidak lagi rata, dan Binar terlelap beberapa saat kemudian.
***
Di ruang kerjanya, Riswan dibuat tidak tenang. Masalah sesepele kertas yang jatuh tanpa sengaja saja, bisa memancing amarah. Ia bukan hanya sekadar gusar, melainkan sudah menggila.
Ia amat penasaran dengan kondisi Binar sekarang. Apakah perempuan itu sudah bicara dengan Ned dan Tria? Atau masih memendam sendirian?
Riswan juga tidak bisa mengabaikan artikel tentang kehamilan yang tidak sengaja ia baca. Bagaimana jika Binar mengalami kelelahan fisik dan mental? Ia pasti mengalami banyak tekanan.
Belum lagi kalau dia merasakan mual dan muntah berlebihan. Riswan juga khawatir jika nyeri pada bagian tubuh Binar malah mengganggu kesehatannya.
Kalau dipikir-pikir, perempuan itu kemarin juga terlihat pucat. Apakah Binar sampai di rumah dengan selamat? Riswan tidak mungkin tiba-tiba menelpon Ned atau Tria hanya untuk memastikan kabar.
Lagi-lagi ia berdecak dan mendengus gelisah. Bahasa tubuh yang tidak bisa lagi didiamkan oleh lelaki yang tengah duduk di sofa. Dia Adrian, sekertaris sekaligus tangan kanan Riswan.
"Apa sudah saatnya untuk pesan ****** lagi? Aku muak melihatmu gelisah sejak pagi!" keluhnya sudah tidak tahan.
Sebagai orang kepercayaan Riswan, tentu Adrian hafal dengan segala kegiatannya. Adrian bahkan tahu gejala-gejala khusus ketika Riswan butuh sentuhan wanita.
Namun pria itu kembali berdecak. Ia bertolak pinggang sambil menatap Adrian yang sudah muak.
"Bukan ****** lagi, ini perkara bocah delapan belas tahun yang lagi hamil!"
Adrian memutar bola matanya malas, "Apa lagi? Kau baru baca berita? Ya, emang sih, kelakuan anak jaman sekarang di luar kendali. Nggak heran kalau bocah tujuh belas tahun sudah hamil."
"Masalahnya dia hamil anakku, Adrian! Keturunan Darmawangsa! Aku juga nggak niat menghamilinya, asal kau tahu saja!"
Sontak Adrian tersedak saliva. Saluran pencernaan dan pernapasannya mendadak enggan diajak kerjasama. Matanya membelalak tidak percaya.
"Kau meniduri bocah tujuh belas tahun?" tanya Adrian sembari menutupi mulutnya yang setengah terbuka itu dengan punggung tangan.
Entah takjub atau menghina, yang jelas Riswan sudah kembali mengacak-acak rambutnya. Ia memandang Adrian yang masih mematung di tempat. Membuatnya semakin putus asa.
"Tidak sengaja. Aku mabuk dan tidak ingat apa-apa. Aku sungguh tidak berniat melakukannya pada Binar."
"Si-siapa kau bilang? Binar? Maksudmu Binar putri Ned dan Tria?" mata Adrian mendelik kian lebar, "Nggak waras!"
"Aku mabuk!"
"Dan kau hanya diam saja?! Aku sudah membunuhmu kalau jadi Ned dan Tria!" tukas Adrian geram.
"Nggak bisa menghakimi begitu dong!" protes Riswan masih berusaha keras membela dirinya.
Secara logika, ia tidak benar-benar tahu posisinya. Bagaimana kalau dia sama sekali tak bernafsu dan malah Binar bersikeras menggoda? Dalam kasus seperti ini jelas bukan salah Riswan sepenuhnya.
Ia hanya terjebak.
Namun tak mengindahkan pembelaan dari Riswan, Adrian yang masih tidak habis pikir dengan Riswan pun kembali bersuara panjang kali lebar.
"Dengar, apapun yang terjadi malam itu, seharusnya kau bertanggung jawab, Riswan! Gila namanya kalau membiarkan bocah tujuh belas tahun menanggung semua sendirian!"
Riswan sama sekali tak bermaksud melimpahkan seluruh tanggung jawab pada Binar. Ia hanya tidak siap menghadapi kenyataan.
Bagaimana mungkin ia menghadapi Ned dan Tria? Apa kata kakeknya jika mendengar kabar pernikahan Riswan dengan perempuan 18 tahunan?! Lansia itu bisa-bisa terkena serangan jantung seketika.
Napas yang diembuskan oleh Riswan kian berat. Bersamaan dengan itu Adrian kembali melanjutkan ucapan.
"Temui mereka. Aku akan batalkan seluruh jadwalmu dua hari ke depan. Aku juga akan mengurus beberapa jadwal yang bisa kugantikan untuk sementara. Dan jangan berniat untuk melarikan diri ke luar kota!"
Adrian melengangkan langkah, menyisakan Riswan dengan sesak pikirannya. Apakah memungkinkan jika Riswan bertanggung jawab tanpa menikahi Binar?
Riswan amat tidak siap dengan pernikahan. Hidupnya bebas, ia bercinta dengan sembarang wanita dengan tunjuk tangan. Pernikahan adalah kata kerja yang bertolak belakang dengan hidup Riswan Darmawangsa.
Sudut mata Riswan kembali memandang alat tes kehamilan yang sama sekali belum beranjak dari mejanya. Kemudian ia membanting tubuh pada kursi kerja.
Sekarang, apa yang akan dia lakukan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Nur Kholifah
Ayolah bertanggung jawab riswan apalg anak sahabat sendiri,kasihan anak org hamil biarpun kamu g sengaja tp kamu pasti menikmatix wkwkwk
2023-01-15
2