Daun pintu rumah keluarga Ned Alvero terbuka. Sepasang mata sembab itu berusaha sumringah kala mendapati Riswan datang. Ned tak banyak bicara, ia mempersilahkan Riswan masuk begitu saja.
Di ruang tengah, Tria memeluk tubuhnya. Wanita dengan rambut panjang yang biasa diurai rapi itu tampak berantakan. Riswan tidak yakin sudah berapa lama Tria duduk di sana.
"Maaf, suasana rumahku sedang kacau, Riswan. Ada apa?" tanya Ned begitu Riswan mengambil duduknya.
Riswan terdiam sejenak. Ia berusaha mencuri udara sebanyak mungkin sebelum memberanikan diri berbicara. Jantungnya berdegup kencang, ia bahkan mencoba pasrah jika memang ini adalah hari kematiannya.
"Soal Binar," kalimat Riswan menghantung di udara.
Seketika Ned memalingkan muka. Pria itu membuang jauh pandangannya. Dari gelagat itu Riswan paham, bahwa Binar telah mengungkapkan kehamilannya.
Tangan Riswan tiba-tiba gemetar. Ia tidak sanggup menyaksikan raut wajah Ned dan Tria ketika ia mengungkap kebenaran. Ternyata, dalam keadaan seperti ini, puluhan tahun menjabat sebagai kepala eksekutif tidak menguatkan nyalinya.
"Binar kenapa?" sahut Ned yang tidak sabar menanti kelanjutan ucapan Riswan, "Dia di kamar, nggak boleh keluar untuk sementara. Lagipula tumben kau mencarinya."
Riswan terenyak. Kelu lidahnya tak kuasa melanjutkan kata. Agaknya, Ned memberi Binar hukuman. Remaja delapan belas tahun yang seharusnya masih gembira mengenyam pendidikan itu terpenjara. Riswan menyadari kebodohannya sekarang.
Alih-alih menjelaskan lewat kata, Riswan turun dari kursi tamu dan berlutut di hadapan Ned yang memasang wajah heran. Melihat reaksi itu, perhatian Tria ikut teralihkan. Sepasang suami istri itu beradu pandang.
"Binar mengandung anakku, Ned. Dia nggak salah."
Kalimat yang diucap dalam satu tarikan napas itu lolos dari bibir Riswan. Pandangannya menunduk dalam, ia tak sanggup menyaksikan reaksi Ned dan Tria yang tercurah penuh pada dirinya.
Tria mendekat, ia meraih kerah kemeja Riswan dan mencengkramnya.
"Sekali lagi, coba kau bilang sekali lagi," bisiknya lebih terdengar seperti rintih.
"Tolong jangan kurung Binar. Aku akan bertanggung jawab penuh akan hidupnya," ujar Riswan tak sekalipun mengangkat pandangan.
Dari ekor matanya, Riswan bisa melihat Tria terduduk lemas. Wanita itu tampak akan pingsan. Namun ketika lengan Riswan hendak menahan tubuhnya, satu pukulan mendarat di pipi kiri Riswan.
*Brukh*
Riswan tersungkur ke belakang. Ned yang berada di atasnya terus menghujamkan pukulan. Tidak ada kata yang diucapkan. Pria itu membabi buta.
Jerit histeris dari Tria menggema pada seisi rumah. Tangis wanita itu pecah sejadi-jadinya. Isak yang pelan berubah menjadi raungan bak lolongan serigala.
Kekacauan itu mengundang rasa penasaran Binar. Ia memberanikan diri keluar kamar. Perlahan namun pasti, Binar menghampiri asal suara. Dan betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan aliran darah sudah merembas dari tubuh Riswan.
"Papa! Sudah, Pa!"
Binar berusaha melerai perkelahian mereka. Ia meraih tangan sang papa dan menggenggamnya. Akan tetapi pria itu menepisnya. Ned menghampiri Tria lantas menuntun wanita itu kembali ke sofa.
Tubuh Riswan masih terpakar pasrah. Kening, pelipis, dan sudut bibirnya berdarah. Tampak lengannya juga menjadi sasaran kala berusaha membangun perlindungan. Binar yang tak tega menyaksikan pria itu pun hendak menolongnya.
Setidaknya sampai Ned mempertegas kecaman, "Biarkan dia, dan duduk di sini selagi aku masih waras!"
Binar memandang Riswan sekilas, dan pria itu memberi tanda bahwa dirinya baik-baik saja. Ia kemudian duduk di samping Tria, berada di sofa yang berukuran panjang.
Tentu respon ini sesuai dengan dugaan Riswan. Ia malah merasa aneh jika Ned tidak menghajarnya hingga tewas. Sebab, mau dipikir bagaimanapun juga, ia pantas mendapatkannya. Riswan sudah gila.
Sambil sesekali mendesis, Riswan mencoba bangkit. Luka pada sebujur tubuhnya mengalir, menimbulkan bau anyir. Tapi tentu Ned tidak peduli. Kondisi itu tidak cukup pantas untuk memaafkan Riswan barang sekali.
Pandangannya yang bunar silih berganti menatap Ned, Tria dan berakhir pada Binar. Keluarga kecil sahabat karibnya yang tak pernah dirundung kesedihan itu telah ia hancurkan.
Terlepas dari bagaimana kebenaran malam itu, Adrian benar. Seharusnya sejak awal Riswan bertanggung jawab. Kekacauan ini tidak akan terjadi jika malam itu ia pulang ke rumah.
"Ijinkan aku menghidupinya, Ned. Binar dan calon bayi dalam kandungannya menjadi tanggung jawabku sekarang," kata Riswan dengan nada serendah mungkin.
Akan tetapi, Ned menjawab kalimat itu dengan tawa mencibir. Mereka sudah saling tahu satu sama lain.
"Memangnya kau bisa menikahi dia?"
Hening. Tentu Ned paham betul dengan jawaban Riswan. Mereka sudah berteman sejak bangku sekolah menengah atas, seluk beluk bagian mana yang tidak dipahaminya?
Persahabatan yang terjalin puluhan tahun lamanya. Mereka bahkan memperkenalkan Riswan sebagai ayah kedua bagi Binar. Tapi apa? Lihatlah sekarang! Putri tunggal mereka malah jadi santapan lezat bagi Riswan.
"Nikahi dia, atau aku akan cari calon lain untuk bertanggung jawab," tandas Ned berhasil membuat Riswan mendongak.
Pandangan mereka bersitegang. Yang Riswan maksud dengan bertanggung jawab bukanlah pernikahan. Kedua kata itu memiliki makna berbeda. Hal yang kembali mengundang senyum getir di bibir Ned.
"Kenapa? Susah ya?"
"Aku bersumpah akan menjamin seluruh hidupnya," kata Riswan tidak terima.
"Menikah, Riswan! Kami sepeduli itu dengan anggapan budaya dan aturan untuk dua manusia!"
Ya. Itu adalah penilaian Riswan terhadap pernikahan. Pria itu menganggap bahwa pernikahan tak lebih dari budaya masyarakat yang mengikat dua manusia dalam aturan. Itulah alasan terkuat baginya untuk tidak menikah.
Bahkan Riswan menertawakan keputusan Ned dan Tria yang menikah pada usia muda. Seskeptis itu Riswan terhadap pernikahan.
"Aku tidak masalah walau tidak menikah, Pa," celetuk Binar. "Paman Riswan mau bertanggung jawab saja sudah cukup untuk Binar."
"Lalu apa? Membiarkan anakmu hidup tanpa ayah?" bentak Ned tak mampu lagi menguasai amarah, "Kami yang membesarkanmu dengan penuh kasih sayang saja gagal! Apalagi kalau kamu menbesarkan bayi itu sendirian!"
Kilat mata tajam milik Ned menatap Riswan lekat, "Itu adalah penawaran terbaikku, Riswan. Nikahi dia atau kukirim dia pada laki-laki lain yang mau merima kondisinya seperti itu!"
"Hidupnya sudah rusak. Tak masalah kalau rusak sekalian di rumah suami yang bukan ayah dari anaknya sendiri," Ned menancap sebilah pedang lagi.
Tentu Riswan bisa memahami, hati Ned telah hancur berkeping-keping. Ia sama sekali tidak keberatan bahkan jika mendapat pukulan, atau kalimat sinis. Tapi Binar, relungnya pasti teramat sakit.
Dalam proses pertumbuhan Binar, Ned tak pernah sekalipun meninggikan suara. Pria itu amatlah sabar, memfasilitasi putri tunggalnya dengan kasih sayang tak terbatas.
Namun sayang seribu sayang. Nasi terlanjur menjadi bubur dan Riswan mengacaukan segalanya. Dalam hening panjang yang sengaja ia diamkan, akhirnya Riswan bicara.
"Baiklah. Aku akan menikahinya."
"Kalau begitu aku tunggu sampai lusa. Bawa kakekmu atau kesepakatan kita kuanggap batal."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments