Gadis Untuk Zain [Menikahi Duda]
Plak
Wanita setengah baya itu terbaring diatas lantai dengan satu tamparan mendarat disalah satu pipinya.
"Kau selalu melawan diriku ya... Kau pikir gampang mencari uang?"
"Kau menamparku mas? Kau terus melakukan hal itu... Sampai kapan? Sampai batu nisan menancap di atas makam ku?" Teriak wanita itu bangkit seraya memukuli bahu pria yang diduga merupakan suaminya.
"Memang bener sih sebenarnya... Percuma mencoba memperbaiki kalau ini sifat aslimu. Katanya sabar, cuih"
"Pergi dari sini... Pergi" teriak wanita setengah baya itu dengan keras.
Sementara itu terlihat gadis berusia 18 tahun berada didalam kamarnya. Ia terlihat tertekan dengan deraian air mata membasahi pipi merahnya. Aynina Munada Shofa.
Aynina masih duduk di kelas 3 SMA namun kehidupannya sudah sangat menyedihkan. Karena hari ini ia berangkat sekolah, ia harus segera memasukan semua peralatan sekolah kedalam tas. Melupakan semua pertengkaran yang baru saja ia dengar.
"Jangan pulang lagi"
"Ok"
"Sana cari istri baru"
Pertengkaran itu masih saja Nina dengar saat ia keluar dari kamar membawa tas sekolahnya. Hatinya merasa sakit jika hampir setiap hari kedua orangtuanya tiada berhenti bertengkar.
"Nina... Nggak usah bareng Bapak mu, dia mau pergi jauh"
"Nina bareng bapak aja ya, nggak usah dengerin dia"
Nina tidak menjawab. Ia masih menangis dan tidak memiliki keberanian untuk melerai kedua orangtuanya. Sementara kedua tangannya ditarik ke kanan dan ke kiri.
Sungguh rasanya dada Nina sesak, air mata hingga hingga membasahi seluruh seragamnya. Tubuhnya gemetaran bingung sekaligus takut dengan keadaan yang sedang ia hadapi saat ini.
"Ayo, berangkat sekolah bareng Bapak. Bapak antar sampai depan gerbang"
"Nggak usah, berangkat sendiri aja Nina" sarkas Ibu Marta menolak keras tawaran suaminya. Iapun segera mendorong Nina keluar rumah.
Pertengkaran itu masih terjadi sampai didepan rumah, hingga seluruh tetangga melihat kejadian itu. Mereka mencibir keluarga Nina yang terlihat berantakan.
"Ih kok kayak gitu ya!! Kenapa mereka nggak tahu malu sih. Padahal ini kan di rumah"
"Jangan gitu jeng, kasian Bu Marta"
"Iya jeng kasian... Mana dia sering kerja ditempat kita. Denger ceritanya aja bikin miris"
"Heem"
Begitulah kata para tetangga yang melihat pertengkaran kedua orang tersebut dengan sebelah mata merasa kasian.
"Ibu udah jangan marah lagi, biar Nina berangkat sama Bapak"
"Kamu mau berangkat sama dia? Ya udah nggak usah pulang sekalian. Kamu nanti di cekek Bapakmu tahu rasa kau"
"Ibu kok gitu sih" rengek Nina dengan derai air mata. Jika seperti ini, ia bingung dengan siapa ia memilih. Namun sekejap Nina ingat jika beberapa hari yang lalu, Ibu Marta juga menggertak Nina dengan perkataan yang sama.
"Terserah Ibulah. Artur, ayo berangkat sekolah cepat nanti kamu terlambat" ajak Nina segera mengangkat tubuh mungil Adiknya didepan Ayahnya.
Motor sederhana itu akhirnya melesat meninggalkan rumah serta Ibu yang menangis pilu didalam sana.
Artur sudah diantar ke sekolah. Hanya tinggal mengantar Nina berangkat ke sekolah. Karena pertengkaran kedua orangtuanya, Nina jadi telat berangkat sekolah. Yah itu sudah pasti terjadi.
Namun Nina masih bisa santai dan ngobrol sama Bapaknya.
"Bapak nanti pulang ke rumah nggak papa" tutur Nina dengan suara yang sedikit sengau karena terlalu sering menangis.
"Disuruh pergi kamu nggak denger?"
"Bapak tuh jangan kayak gini dong. Ibu sama Bapak sama aja, gimana mau sama-sama ngerti" kesal Nina namun masih bisa mengecup telapak tangan Bapaknya.
Seorang pria yang dia sebut Bapak akhirnya meninggalkan Nina di sekolah. Nina pun bergegas antri di depan gerbang sebagai salah satu siswa telat di sekolah tersebut.
Bapak Nina seorang kuli bangunan sehingga gajinya tidak seberapa untuk membiayai keluarga sementara Ibu Marta tidak bekerja. Hal menyangkut ekonomi itu selalu Nina pikirkan, hingga tidak jarang Nina merasakan sakit diarea kepala.
_______
13:30
Siang hari yang terik ini aynina kembali dari sekolah. Karena ia tidak memiliki kendaraan, terlebih bapak nina masih bekerja membuat nina memilih untuk berjalan kaki dengan salah satu teman sekolahnya.
“Duh panas” pekik nina menutup keningnya menggunakan tangan.
“Iya ih panas banget… besok bawa mobil Nin. Gas” gurau Venya kepada rekan sekolahnya. Keduanya menjadi tertawa bersama-sama.
“Oh iya Nin. Lo mau nerusin kuliah dimana?”
“Hem, nggak tahu”
“Katanya lo mau nerusin di rumah sepupu di Jakarta, beneran? “
Nina tidak bisa menjawab pertanyaan dari temannya. Dia masih bingung menentukan arah tujuannya setelah lulus sekolah menengah pertama.
“Justru niat gua malah nggak nerusin sekolah. Gimana kalau gue kerja aja?”
“Lo yakin? Nin, kalau gua saranin ya... mending kuliah sambil kerja” ucap Vanya memberi saran.
“Hem. Lagian keknya bapak sama ibu nggak ada niatan buat nerusin sekolah gue deh”
“Masak?” Vanya terkejut lalu kembali berucap. “Kalau bokap gua malah nyuruh nerusin sekolah. Ngapain kerja kalau masih kecil? Lagian bokap gua memikirkan masa depan anaknya” ucap Vanya membuat Nina sedih.
Ucapan itu membuat Nina merasa iri dengan perhatian orang tua Vanya terhadap dirinya. Ia juga ingin diperlakukan manja sebagai seorang anak perempuan, namun mungkin ini konsekuensi menjadi anak pertama di keluarga kelas bawah.
Nina memang iri, bahkan batinnya menangis mengingat betapa berantakan keluarganya. Namun ia harus kuat.
Tidak terasa keduanya sudah berjalan hampir mendekati rumah Nina. Keduanya mendengar suara pertengkaran yang berasal dari rumah Nina.
"Nggak usah banyak omong deh!!!"
"Kamu yang banyak omong. Jam segini udah pulang, kok bisa? Pasti judi lagi deh"
Tubuh Nina menjadi gemetar dan hatinya kembali sakit, takut jika pertengkaran itu dari kedua orang tuanya.
“Hem… Van, aku masuk dulu ya”
“Eh iya Nin. Bye”
Vanya melambaikan tangannya dan berlalu pergi. Namun kepala Vanya masih terlihat menoleh melihat Nina masuk kedalam rumah. Perasaannya ikut resah saat mendengar pertengkaran itu.
Nina bergegas memasuki rumah. Nafasnya kembali sesak saat menampaki kedua orang tuanya kembali bertengkar. Entah mengapa Ayah Nina pulang lebih awal.
“Bapak sama Ibu kenapa lagi?” tanya Nina berderai air mata. Ia memeluk tubuh Adiknya yang terus menangis saat melihat keduanya tidak berhenti bertengkar.
“Siapa suruh kamu pulang ke rumah? Kan aku dah bilang buat kamu pergi” ucap Ibu Marta dengan nada yang lantang kepada suaminya.
Ayah Nina tidak bisa sabar karena merasa ia juga berhak atas rumah ini. “Ini juga rumahku kok… kenapa jadi kamu yang sewot. Eh aku juga ikut bayar, nggak kamu doang”
“Dah… nggak mau berdebat dengan orang berwatak setan kayak kamu. Ayo Nina masuk”
Ibu Marta menarik Nina serta Artur kedalam kamar. Pintu ia tutup rapat-rapat dari dalam, membiarkan Ayah Nina mengomel dari luar.
“Orang aneh+gila itu ya kayak kamu. Udah suami pulang nggak pernah disambut, dapet gaji dikit ngomel-ngomel, dikira nggak capek apa”
“Masak nggak pernah enak. Nggak sudi aku makan masakanmu”
“Kok bisa ada orang kayak kamu ya. Setan”
Ibu Marta hanya menangis mendengar hinaan yang suaminya itu lontarkan. Menurutnya, semuanya sudah pernah ia dengar, namun hinaan itu selalu sukses membuat hatinya sakit.
...To be continued...
...Bantu like, Vote ya... kasih 🌹☕🏆 Kalau boleh sih...
Jangan lupa dukungannya buat novel baru ku ini!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Wirda Wati
mampir
2023-08-17
0
Novita Sari
Sudah mampir ya kak, serta gift juga 🥰
2023-03-23
0
Ir Syanda
Muncul2 udah disuguhi adegan KDRT 🤭
2023-02-03
0