Tangis dari ibu Marta pecah memenuhi ruang kamar yang menjadi saksi bisu kesedihan dia. Sementara Aynina merasa tidak tega melihat ibunya terus menangis karena di hina.
“Bapakmu itu selalu ngomel kalo Ibu masaknya nggak enak Nin. Padahal dia ngasih bulanan aja pas-pasan. Buat sekolah kamu kalo dibandingin sama rokoknya tiap hari berapa? Dari pada beli rokok kan mending buat ditabung...”
“Ibu kasih semua buat Bapak kamu, Ibu kasih bonus makanan dari bantu-bantu Ibu di penjual, buat siapa kalau bukan buat Bapak kamu? Nin, Nin… Ibu doain kamu dapet suami yang sukses. Nggak kayak Ibu”
“Ibu kayak gini nggak papa… dulu Ibu doa, puasa, tirakat. Tapi dapetnya malah kayak gini. Nggak papa, nggak dapet Ibu ya dapet Anaknya”
Itu semua adalah curahan dari seorang istri sekaligus seorang Ibu yang menginginkan sebuah keluarga harmonis.
Hati serta nafas Nina sesak dengan tangis berderai air mata. Nina tahu bagaimana sifat temperamen Bapaknya sehingga dirinya selalu muak, namun ia juga tidak bisa apa-apa. Itulah Bapaknya.
"Ibu minta cerai aja ya, Nin?"
"Tolong ibu pikirin lagi. Nina gimana, Nina ikut siapa kalau ibu sama bapak cerai? Nanti Artur gimana sekolahnya. Bu jangan ya" ucap Nina menangis dengan memohon kepada ibunya supaya bertahan dalam hubungan yang menyiksa batinnya.
"Tapi ibu sudah nggak kuat Nin. Ibu cape di hina terus-terusan, kamu nggak kasian ibu?"
"Bu, mungkin emang watak bapak kayak gitu. Kalo watak orang kan emang susah buat di rubah. Coba ngertiin bapak ya"
"Ibu bener-bener nggak kuat Nin, ibu mau cerai aja"
Kepala Nina tidak berhenti menggeleng. Ia tetap tidak mau jika keluarga nya hancur dan tetap memohon kepada ibunya untuk tetap bersabar dalam menghadapi bapaknya.
Sama sekali Nina tidak ingin memiliki nasib seperti temannya yang lain. Mereka semua memiliki ibu dan ayah yang ganda hingga teman-teman nya mengolok-olok mereka.
Tidak kuasa menahan air mata Nina berlari keluar kamar dan masuk kedalam kamarnya. Ia lewati ayahnya yang terduduk tanpa rasa sadar di ruang yamu sana.
Di kamar, ia menatap sekeliling ruangan yang terasa sumpek serta pengap yang mampu membuat tangisnya semakin pecah. Nafasnya tercengat dengan getaran-getaran takut saat tubuhnya meringkuk kebawah.
"Kenapa aku diberi keluarga yang seperti ini, kenapa Allah memberiku takdir yang menyakitkan? Aku tidak pernah ingin diberi ibu dan bapak yang egois. Bapak yang kasar dan ibu yang egois terhadap anaknya. Semuanya egois, nggak ada yang sayang sama aku"
Suara hati Aynina berteriak meminta keadilan. Ia mengobrak-abrik tatanan yang sudah tersusun rapi diatas meja belajarnya.
"Aku nggak kuat!!!!!"
Aynina menangis memukul dadanya dengan sangat keras hingga hampir saja ia terbatuk namun tidak pernah pedulikan. kerongkongannya kering sebab teriakan tiada henti yang ia keluarkan.
"Aku nggak kuat!!!"
Lirih Aynina dengan rasa pedih yang menyala-nyala menatap nanar ruangan ini hening sepi tanpa ada yang mau menjadi teman curhatnya.
16:00
Kamar Gadis muda yang telah tersakiti akan suratan takdir kehidupan keluarganya itu nampak terlihat sangat kacau tanpa ada yang mau bertanya mengenai kabarnya.
Gadis dengan sejuta rasa sakit itu kini terbaring meringkuk diatas lantai tanpa mengganti baju seragamnya sedari lama. Ia tidak tidur! mata sembab yang masih membuka memperlihatkan netra merah dengan pandangan kosong kearah sana.
Tanpa berkata-kata gadis itu bangkit setelah merasa suasana rumah ini agak menenangkan dibanding sebelumnya, walaupun ia tidak yakin sepenuhnya.
Ia buka pintu kayu berbahan jati tua bercat putih yang hampir mengelupas. Pandangannya masih kosong melewati ruan tamu hingga menuju dapur.
"Bapak mana, Buk" suara lirih Aynina terdengar jelas serta wajahnya yang nampak datar namun hati masih terluka.
"Entah. Pergi mungkin" ibu Marta hanya fokus dengan petikan kangkung sebagai menu sarapan mereka tanpa sekalipun melihat Aynina.
Gadis muda itu berjalan menuju tembikar modern yang berada diatas meja. Ia membutuhkan air untuk membasahi kerongkongan yang telah lama mengering.
"Ibu mau masak apa?"
"Ganti bajumu dulu sana"
Aynina melihat seragam yang tengah ia pakai kotor akibat lelehan air dari kedua matanya siang tadi. Nina kembali menuju kamar namun ia kembali lagi.
"Bapak nanti pulang kan, Bu"
"Mana Ibu tahu bapakmu pulang atau nggak!. Mau pulang atau keluyuran di luar sana, Ibu udah nggak peduli"
Sejenak tubuh Nina kembali bergetar merasa luka hatinya kembali terbuka akan nada tinggi dari ibunya. Wanita itu benar-benar tidak peduli dengan perasaan putri belianya.
"Ay-aynina kan... c-cuma tanya... I-ibu nggak usah... ja-jawab... ka-kalau masih marah. A-aynina cu-cuma pe-pengen luapin semua..."
Nafas Aynina kembali tercengat memperhatikan ibunya yang membelakangi dirinya untuk mencuci kangkung seraya menangis dalam persembunyian.
Tangis Marta semakin terdengar merasakan langkah kaki putrinya menjauhi dapur.
"Maafkan Ibu Aynina"
_______
"Cirs"
Seru puluhan pria memegang segelas koktail ditemani wanita-wanita bertubuh sexy yang siap disentuh dengan iming-iming uang jutaan.
Para pria duduk secara membundar dan wanita-wanita memijat tubuh mereka diposisi belakang, menjadikan meja perjudian sebagai titik utama permainan mereka.
"Ayo Pak Fulan. Gw yakin lo pasti menang"
"Tentu harus menang dong. Hutangnya banyak, dia harus menang kalau pengen hutangnya lunas. Iya nggak?"
Pria yang duduk disebelah ayah Aynina itu merangkul tubuh nya yang hampir menepis kefokusan akan kartu-kartu judinya.
"Diamlahh, lo bikin gw besar kepala tahu nggak"
"Santai aja kali pak Fulan"
Sorakan demi sorakan terdengar memenuhi ruangan kelap-kelip, seakan mengiringi Fulan yang mengintip kartu yang masih tengkurap menyatu dengan meja.
Kartu Fulan terbuka menyuarakan rasa kecewa penuh dengan kekesalan para rekan Fulan dan dirinya sendiri, melihat kartu itu tidak sesuai dengan yang mereka harapkan.
"Huuu payah"
"Payah Pak Fulan ini"
"Pemenangnya Pak Roni"
"Punya gw semua nihh"
Pak Roni itu meraup semua uang yang ada diatas meja dengan sangat angkuh serta menimbulkan kecemburuan untuk pria yang menatap sesal didepannya.
"Uangku. Shitt"
.
.
Malam hari yang dingin dipenuhi dengan bintang-bintang namun enggan untuk memperlihatkan wujudnya dan menyisakan awan mendung saja, seakan ingin mengguyur pria tua yang kalah dari judinya.
Pria nestapa yang malang itu berjalan menuju rumahnya yang sudah tertutup akibat malam yang semakin larut.
Kakinya menendang bebatuan serta kepalanya yang ia garuk tanpa rasa gatal hingga raut wajahnya yang nampak menyesal. Pria itu seakan menjadi pria yang paling sial diantara para manusia di dunia ini.
"Menyedihkan sekali hidupku ini. Udah dapet istri yang jelek+emosian, main judi kalah pula, mana hutang banyak banget, anak cewe belum bisa diandalkan, apes-apes"
Fulan mengusap kasar rambutnya hingga tidak memperdulikan bagaimana penampilannya saat ini. Matanya yang nanar melihat sesosok wanita pembawa sial berdiri diambang pintu rumahnya.
"Dia kenapa lagi itu"
"Baru pulang kamu?" seru wanita setengah baya itu sudah siap membawa sapu yang ia ambil dibalik pintu rumah untuk pria yang tidak tahu malu sedang memasuki rumahnya.
"Ta... tadi itu aku lagi usaha cari duit buat ngasih uang belanja bulanan buat kamu" Fulan melihat wanita itu sudah nampak mengeluarkan mata merah menajam tanpa mau di sanggah.
"Cari duit kayak gimana maksudnya? Judi? Mas, judi yang kamu lakuin itu nggak ngasilin apa-apa, karena justru malah nambahin beban"
"Dengan judi aku bisa menghasilkan uang yang banyak kalau menang. Itu bisa buat bayar hutang! Aku berhutang banyak sama keluarga Arab, Taaaa. Ini udah jatuh tempo" gemas Fulan kepada wanita yang memberikan lirikan remeh terhadap dirinya tanpa menyadari ada sepasang mata binar putrinya.
"Dia berhutang?"
...To be continued...
...Bismillah yuk nantikan bab selanjutnya!!!...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Mira Andani
mampir thor
2023-09-27
0
Ir Syanda
Susah emang ...
2023-02-03
0
Radiah Ayarin
kalau judi dan hutang emang slalu sejalan dan teman akrab
2023-02-03
0