Plak
Wanita setengah baya itu terbaring diatas lantai dengan satu tamparan mendarat disalah satu pipinya.
"Kau selalu melawan diriku ya... Kau pikir gampang mencari uang?"
"Kau menamparku mas? Kau terus melakukan hal itu... Sampai kapan? Sampai batu nisan menancap di atas makam ku?" Teriak wanita itu bangkit seraya memukuli bahu pria yang diduga merupakan suaminya.
"Memang bener sih sebenarnya... Percuma mencoba memperbaiki kalau ini sifat aslimu. Katanya sabar, cuih"
"Pergi dari sini... Pergi" teriak wanita setengah baya itu dengan keras.
Sementara itu terlihat gadis berusia 18 tahun berada didalam kamarnya. Ia terlihat tertekan dengan deraian air mata membasahi pipi merahnya. Aynina Munada Shofa.
Aynina masih duduk di kelas 3 SMA namun kehidupannya sudah sangat menyedihkan. Karena hari ini ia berangkat sekolah, ia harus segera memasukan semua peralatan sekolah kedalam tas. Melupakan semua pertengkaran yang baru saja ia dengar.
"Jangan pulang lagi"
"Ok"
"Sana cari istri baru"
Pertengkaran itu masih saja Nina dengar saat ia keluar dari kamar membawa tas sekolahnya. Hatinya merasa sakit jika hampir setiap hari kedua orangtuanya tiada berhenti bertengkar.
"Nina... Nggak usah bareng Bapak mu, dia mau pergi jauh"
"Nina bareng bapak aja ya, nggak usah dengerin dia"
Nina tidak menjawab. Ia masih menangis dan tidak memiliki keberanian untuk melerai kedua orangtuanya. Sementara kedua tangannya ditarik ke kanan dan ke kiri.
Sungguh rasanya dada Nina sesak, air mata hingga hingga membasahi seluruh seragamnya. Tubuhnya gemetaran bingung sekaligus takut dengan keadaan yang sedang ia hadapi saat ini.
"Ayo, berangkat sekolah bareng Bapak. Bapak antar sampai depan gerbang"
"Nggak usah, berangkat sendiri aja Nina" sarkas Ibu Marta menolak keras tawaran suaminya. Iapun segera mendorong Nina keluar rumah.
Pertengkaran itu masih terjadi sampai didepan rumah, hingga seluruh tetangga melihat kejadian itu. Mereka mencibir keluarga Nina yang terlihat berantakan.
"Ih kok kayak gitu ya!! Kenapa mereka nggak tahu malu sih. Padahal ini kan di rumah"
"Jangan gitu jeng, kasian Bu Marta"
"Iya jeng kasian... Mana dia sering kerja ditempat kita. Denger ceritanya aja bikin miris"
"Heem"
Begitulah kata para tetangga yang melihat pertengkaran kedua orang tersebut dengan sebelah mata merasa kasian.
"Ibu udah jangan marah lagi, biar Nina berangkat sama Bapak"
"Kamu mau berangkat sama dia? Ya udah nggak usah pulang sekalian. Kamu nanti di cekek Bapakmu tahu rasa kau"
"Ibu kok gitu sih" rengek Nina dengan derai air mata. Jika seperti ini, ia bingung dengan siapa ia memilih. Namun sekejap Nina ingat jika beberapa hari yang lalu, Ibu Marta juga menggertak Nina dengan perkataan yang sama.
"Terserah Ibulah. Artur, ayo berangkat sekolah cepat nanti kamu terlambat" ajak Nina segera mengangkat tubuh mungil Adiknya didepan Ayahnya.
Motor sederhana itu akhirnya melesat meninggalkan rumah serta Ibu yang menangis pilu didalam sana.
Artur sudah diantar ke sekolah. Hanya tinggal mengantar Nina berangkat ke sekolah. Karena pertengkaran kedua orangtuanya, Nina jadi telat berangkat sekolah. Yah itu sudah pasti terjadi.
Namun Nina masih bisa santai dan ngobrol sama Bapaknya.
"Bapak nanti pulang ke rumah nggak papa" tutur Nina dengan suara yang sedikit sengau karena terlalu sering menangis.
"Disuruh pergi kamu nggak denger?"
"Bapak tuh jangan kayak gini dong. Ibu sama Bapak sama aja, gimana mau sama-sama ngerti" kesal Nina namun masih bisa mengecup telapak tangan Bapaknya.
Seorang pria yang dia sebut Bapak akhirnya meninggalkan Nina di sekolah. Nina pun bergegas antri di depan gerbang sebagai salah satu siswa telat di sekolah tersebut.
Bapak Nina seorang kuli bangunan sehingga gajinya tidak seberapa untuk membiayai keluarga sementara Ibu Marta tidak bekerja. Hal menyangkut ekonomi itu selalu Nina pikirkan, hingga tidak jarang Nina merasakan sakit diarea kepala.
_______
13:30
Siang hari yang terik ini aynina kembali dari sekolah. Karena ia tidak memiliki kendaraan, terlebih bapak nina masih bekerja membuat nina memilih untuk berjalan kaki dengan salah satu teman sekolahnya.
“Duh panas” pekik nina menutup keningnya menggunakan tangan.
“Iya ih panas banget… besok bawa mobil Nin. Gas” gurau Venya kepada rekan sekolahnya. Keduanya menjadi tertawa bersama-sama.
“Oh iya Nin. Lo mau nerusin kuliah dimana?”
“Hem, nggak tahu”
“Katanya lo mau nerusin di rumah sepupu di Jakarta, beneran? “
Nina tidak bisa menjawab pertanyaan dari temannya. Dia masih bingung menentukan arah tujuannya setelah lulus sekolah menengah pertama.
“Justru niat gua malah nggak nerusin sekolah. Gimana kalau gue kerja aja?”
“Lo yakin? Nin, kalau gua saranin ya... mending kuliah sambil kerja” ucap Vanya memberi saran.
“Hem. Lagian keknya bapak sama ibu nggak ada niatan buat nerusin sekolah gue deh”
“Masak?” Vanya terkejut lalu kembali berucap. “Kalau bokap gua malah nyuruh nerusin sekolah. Ngapain kerja kalau masih kecil? Lagian bokap gua memikirkan masa depan anaknya” ucap Vanya membuat Nina sedih.
Ucapan itu membuat Nina merasa iri dengan perhatian orang tua Vanya terhadap dirinya. Ia juga ingin diperlakukan manja sebagai seorang anak perempuan, namun mungkin ini konsekuensi menjadi anak pertama di keluarga kelas bawah.
Nina memang iri, bahkan batinnya menangis mengingat betapa berantakan keluarganya. Namun ia harus kuat.
Tidak terasa keduanya sudah berjalan hampir mendekati rumah Nina. Keduanya mendengar suara pertengkaran yang berasal dari rumah Nina.
"Nggak usah banyak omong deh!!!"
"Kamu yang banyak omong. Jam segini udah pulang, kok bisa? Pasti judi lagi deh"
Tubuh Nina menjadi gemetar dan hatinya kembali sakit, takut jika pertengkaran itu dari kedua orang tuanya.
“Hem… Van, aku masuk dulu ya”
“Eh iya Nin. Bye”
Vanya melambaikan tangannya dan berlalu pergi. Namun kepala Vanya masih terlihat menoleh melihat Nina masuk kedalam rumah. Perasaannya ikut resah saat mendengar pertengkaran itu.
Nina bergegas memasuki rumah. Nafasnya kembali sesak saat menampaki kedua orang tuanya kembali bertengkar. Entah mengapa Ayah Nina pulang lebih awal.
“Bapak sama Ibu kenapa lagi?” tanya Nina berderai air mata. Ia memeluk tubuh Adiknya yang terus menangis saat melihat keduanya tidak berhenti bertengkar.
“Siapa suruh kamu pulang ke rumah? Kan aku dah bilang buat kamu pergi” ucap Ibu Marta dengan nada yang lantang kepada suaminya.
Ayah Nina tidak bisa sabar karena merasa ia juga berhak atas rumah ini. “Ini juga rumahku kok… kenapa jadi kamu yang sewot. Eh aku juga ikut bayar, nggak kamu doang”
“Dah… nggak mau berdebat dengan orang berwatak setan kayak kamu. Ayo Nina masuk”
Ibu Marta menarik Nina serta Artur kedalam kamar. Pintu ia tutup rapat-rapat dari dalam, membiarkan Ayah Nina mengomel dari luar.
“Orang aneh+gila itu ya kayak kamu. Udah suami pulang nggak pernah disambut, dapet gaji dikit ngomel-ngomel, dikira nggak capek apa”
“Masak nggak pernah enak. Nggak sudi aku makan masakanmu”
“Kok bisa ada orang kayak kamu ya. Setan”
Ibu Marta hanya menangis mendengar hinaan yang suaminya itu lontarkan. Menurutnya, semuanya sudah pernah ia dengar, namun hinaan itu selalu sukses membuat hatinya sakit.
...To be continued...
...Bantu like, Vote ya... kasih 🌹☕🏆 Kalau boleh sih...
Jangan lupa dukungannya buat novel baru ku ini!!
Tangis dari ibu Marta pecah memenuhi ruang kamar yang menjadi saksi bisu kesedihan dia. Sementara Aynina merasa tidak tega melihat ibunya terus menangis karena di hina.
“Bapakmu itu selalu ngomel kalo Ibu masaknya nggak enak Nin. Padahal dia ngasih bulanan aja pas-pasan. Buat sekolah kamu kalo dibandingin sama rokoknya tiap hari berapa? Dari pada beli rokok kan mending buat ditabung...”
“Ibu kasih semua buat Bapak kamu, Ibu kasih bonus makanan dari bantu-bantu Ibu di penjual, buat siapa kalau bukan buat Bapak kamu? Nin, Nin… Ibu doain kamu dapet suami yang sukses. Nggak kayak Ibu”
“Ibu kayak gini nggak papa… dulu Ibu doa, puasa, tirakat. Tapi dapetnya malah kayak gini. Nggak papa, nggak dapet Ibu ya dapet Anaknya”
Itu semua adalah curahan dari seorang istri sekaligus seorang Ibu yang menginginkan sebuah keluarga harmonis.
Hati serta nafas Nina sesak dengan tangis berderai air mata. Nina tahu bagaimana sifat temperamen Bapaknya sehingga dirinya selalu muak, namun ia juga tidak bisa apa-apa. Itulah Bapaknya.
"Ibu minta cerai aja ya, Nin?"
"Tolong ibu pikirin lagi. Nina gimana, Nina ikut siapa kalau ibu sama bapak cerai? Nanti Artur gimana sekolahnya. Bu jangan ya" ucap Nina menangis dengan memohon kepada ibunya supaya bertahan dalam hubungan yang menyiksa batinnya.
"Tapi ibu sudah nggak kuat Nin. Ibu cape di hina terus-terusan, kamu nggak kasian ibu?"
"Bu, mungkin emang watak bapak kayak gitu. Kalo watak orang kan emang susah buat di rubah. Coba ngertiin bapak ya"
"Ibu bener-bener nggak kuat Nin, ibu mau cerai aja"
Kepala Nina tidak berhenti menggeleng. Ia tetap tidak mau jika keluarga nya hancur dan tetap memohon kepada ibunya untuk tetap bersabar dalam menghadapi bapaknya.
Sama sekali Nina tidak ingin memiliki nasib seperti temannya yang lain. Mereka semua memiliki ibu dan ayah yang ganda hingga teman-teman nya mengolok-olok mereka.
Tidak kuasa menahan air mata Nina berlari keluar kamar dan masuk kedalam kamarnya. Ia lewati ayahnya yang terduduk tanpa rasa sadar di ruang yamu sana.
Di kamar, ia menatap sekeliling ruangan yang terasa sumpek serta pengap yang mampu membuat tangisnya semakin pecah. Nafasnya tercengat dengan getaran-getaran takut saat tubuhnya meringkuk kebawah.
"Kenapa aku diberi keluarga yang seperti ini, kenapa Allah memberiku takdir yang menyakitkan? Aku tidak pernah ingin diberi ibu dan bapak yang egois. Bapak yang kasar dan ibu yang egois terhadap anaknya. Semuanya egois, nggak ada yang sayang sama aku"
Suara hati Aynina berteriak meminta keadilan. Ia mengobrak-abrik tatanan yang sudah tersusun rapi diatas meja belajarnya.
"Aku nggak kuat!!!!!"
Aynina menangis memukul dadanya dengan sangat keras hingga hampir saja ia terbatuk namun tidak pernah pedulikan. kerongkongannya kering sebab teriakan tiada henti yang ia keluarkan.
"Aku nggak kuat!!!"
Lirih Aynina dengan rasa pedih yang menyala-nyala menatap nanar ruangan ini hening sepi tanpa ada yang mau menjadi teman curhatnya.
16:00
Kamar Gadis muda yang telah tersakiti akan suratan takdir kehidupan keluarganya itu nampak terlihat sangat kacau tanpa ada yang mau bertanya mengenai kabarnya.
Gadis dengan sejuta rasa sakit itu kini terbaring meringkuk diatas lantai tanpa mengganti baju seragamnya sedari lama. Ia tidak tidur! mata sembab yang masih membuka memperlihatkan netra merah dengan pandangan kosong kearah sana.
Tanpa berkata-kata gadis itu bangkit setelah merasa suasana rumah ini agak menenangkan dibanding sebelumnya, walaupun ia tidak yakin sepenuhnya.
Ia buka pintu kayu berbahan jati tua bercat putih yang hampir mengelupas. Pandangannya masih kosong melewati ruan tamu hingga menuju dapur.
"Bapak mana, Buk" suara lirih Aynina terdengar jelas serta wajahnya yang nampak datar namun hati masih terluka.
"Entah. Pergi mungkin" ibu Marta hanya fokus dengan petikan kangkung sebagai menu sarapan mereka tanpa sekalipun melihat Aynina.
Gadis muda itu berjalan menuju tembikar modern yang berada diatas meja. Ia membutuhkan air untuk membasahi kerongkongan yang telah lama mengering.
"Ibu mau masak apa?"
"Ganti bajumu dulu sana"
Aynina melihat seragam yang tengah ia pakai kotor akibat lelehan air dari kedua matanya siang tadi. Nina kembali menuju kamar namun ia kembali lagi.
"Bapak nanti pulang kan, Bu"
"Mana Ibu tahu bapakmu pulang atau nggak!. Mau pulang atau keluyuran di luar sana, Ibu udah nggak peduli"
Sejenak tubuh Nina kembali bergetar merasa luka hatinya kembali terbuka akan nada tinggi dari ibunya. Wanita itu benar-benar tidak peduli dengan perasaan putri belianya.
"Ay-aynina kan... c-cuma tanya... I-ibu nggak usah... ja-jawab... ka-kalau masih marah. A-aynina cu-cuma pe-pengen luapin semua..."
Nafas Aynina kembali tercengat memperhatikan ibunya yang membelakangi dirinya untuk mencuci kangkung seraya menangis dalam persembunyian.
Tangis Marta semakin terdengar merasakan langkah kaki putrinya menjauhi dapur.
"Maafkan Ibu Aynina"
_______
"Cirs"
Seru puluhan pria memegang segelas koktail ditemani wanita-wanita bertubuh sexy yang siap disentuh dengan iming-iming uang jutaan.
Para pria duduk secara membundar dan wanita-wanita memijat tubuh mereka diposisi belakang, menjadikan meja perjudian sebagai titik utama permainan mereka.
"Ayo Pak Fulan. Gw yakin lo pasti menang"
"Tentu harus menang dong. Hutangnya banyak, dia harus menang kalau pengen hutangnya lunas. Iya nggak?"
Pria yang duduk disebelah ayah Aynina itu merangkul tubuh nya yang hampir menepis kefokusan akan kartu-kartu judinya.
"Diamlahh, lo bikin gw besar kepala tahu nggak"
"Santai aja kali pak Fulan"
Sorakan demi sorakan terdengar memenuhi ruangan kelap-kelip, seakan mengiringi Fulan yang mengintip kartu yang masih tengkurap menyatu dengan meja.
Kartu Fulan terbuka menyuarakan rasa kecewa penuh dengan kekesalan para rekan Fulan dan dirinya sendiri, melihat kartu itu tidak sesuai dengan yang mereka harapkan.
"Huuu payah"
"Payah Pak Fulan ini"
"Pemenangnya Pak Roni"
"Punya gw semua nihh"
Pak Roni itu meraup semua uang yang ada diatas meja dengan sangat angkuh serta menimbulkan kecemburuan untuk pria yang menatap sesal didepannya.
"Uangku. Shitt"
.
.
Malam hari yang dingin dipenuhi dengan bintang-bintang namun enggan untuk memperlihatkan wujudnya dan menyisakan awan mendung saja, seakan ingin mengguyur pria tua yang kalah dari judinya.
Pria nestapa yang malang itu berjalan menuju rumahnya yang sudah tertutup akibat malam yang semakin larut.
Kakinya menendang bebatuan serta kepalanya yang ia garuk tanpa rasa gatal hingga raut wajahnya yang nampak menyesal. Pria itu seakan menjadi pria yang paling sial diantara para manusia di dunia ini.
"Menyedihkan sekali hidupku ini. Udah dapet istri yang jelek+emosian, main judi kalah pula, mana hutang banyak banget, anak cewe belum bisa diandalkan, apes-apes"
Fulan mengusap kasar rambutnya hingga tidak memperdulikan bagaimana penampilannya saat ini. Matanya yang nanar melihat sesosok wanita pembawa sial berdiri diambang pintu rumahnya.
"Dia kenapa lagi itu"
"Baru pulang kamu?" seru wanita setengah baya itu sudah siap membawa sapu yang ia ambil dibalik pintu rumah untuk pria yang tidak tahu malu sedang memasuki rumahnya.
"Ta... tadi itu aku lagi usaha cari duit buat ngasih uang belanja bulanan buat kamu" Fulan melihat wanita itu sudah nampak mengeluarkan mata merah menajam tanpa mau di sanggah.
"Cari duit kayak gimana maksudnya? Judi? Mas, judi yang kamu lakuin itu nggak ngasilin apa-apa, karena justru malah nambahin beban"
"Dengan judi aku bisa menghasilkan uang yang banyak kalau menang. Itu bisa buat bayar hutang! Aku berhutang banyak sama keluarga Arab, Taaaa. Ini udah jatuh tempo" gemas Fulan kepada wanita yang memberikan lirikan remeh terhadap dirinya tanpa menyadari ada sepasang mata binar putrinya.
"Dia berhutang?"
...To be continued...
...Bismillah yuk nantikan bab selanjutnya!!!...
Sebelumnya...
Kedua mata polos dari gadis belia itu menengadah memperlihatkan rupanya setelah suara perdebatan menusuk gendang telinga hingga mengganggu waktu belajarnya.
Telinga gadis yang terduduk di kursi belajar itu menguping jauh mencuri-curi pembicaraan dari kedua orang tua obrolkan didepan rumah.
'Bapak sama Ibu lagi ngomongin apa ya, kok kayaknya lagi serius terus kenceng banget' gumam Aynina penasaran hingga membawanya keluar dari kamar.
"Hutangku itu banyak Taaa. Aku punya hutang sama keluarga Arab yang tinggal di sebelah kota" Fulan bersuara tinggi melengkingkan apa yang baru saja ia katakan kepada Marta, namun rupanya ada sepasang mata putri belianya sedang memperhatikan mereka.
"Dia berhutang? Bapak berhutang? Nggak mungkin hiks hiks" tangis Aynina berlari mengurung diri didalam kamar tidak mau melihat ataupun mendengar perdebatan orang tuanya lagi.
Fulan beserta isterinya berdebat penuh emosi serta keegoisan yang tinggi. Mereka berdua tidak mau menerima alasan berbentuk jawaban yang keduanya saling berikan tanpa peduli dengan sepasang netra putrinya yang mengetahui.
"Emang aku punya hutang sama keluarga konglomerat asal Arab. Mereka itu kaya banget dan uangnya ada dimana-mana"
"Emangnya kamu hutang berapa, Mas?"
"2 Milyar"
Marta teramat kejut serta hatinya sakit dengan pengakuan bodoh tanpa pikiran dari suaminya. Ia selalu saja mendapatkan kejutan yang senantiasa menyiksa batinnya.
Marta berjongkok menangisi rasa kecewanya kepada suami yang tidak pernah memberikan kebahagiaan sedikitpun. Pria itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Astaghfirullah. Mi-mimpi apa aku semalam... sa-salah apa ak-aku... ini sa-sampai... pu-punya suami ka-kayak... kamu"
Sesal Ibu Marta memukuli dada serta lantai keras yang menjadi tumpuan tubuhnya duduk diatas sana. Tangisan yang semakin menggelegar seakan memberitahu gadis yang meringkuk dengan tangis didalam kamar tidurnya.
"Ta!. Maaf ya... aku coba cari buat bayar hutang deh"
"Jangan banyak omong... kerja kalau hutangmu mau lunas"
"Kamu kira aku nggak kerja?" sentak Fulan karena merasa terhina. Ia merasa marah sebab Marta tidak mengindahkan ucapan tulus dari dirinya tadi. Isterinya itu hanya menangis dan melampiaskan semua kesalahan padanya tanpa mau lihat usahanya.
Mata Marta melihat Fulan dengan tatapan benci dan tersulut emosi. Kedua tangannya sudah mengepal kuat ingin menghajar dan membuat suaminya tiada supaya tidak ada lagi pria yang dapat menambah bebannya.
"Kalau aku tidak takut Allah, sudah aku bunuh kau"
_______
06:45
Pagi harinya Marta menyiapkan sarapan pagi untuk keluarganya namun wajah sendu bermata sembab itu masih melekat kasian di wajah Marta. Ia harus berhenti menangis supaya putra kecilnya tidak merasa sedih saat melihatnya di pagi hari.
"Artur cepat makan" Marta mengambilkan nasi dan lauk pauk untuk putranya yang duduk disamping kirinya. Mata Marta melihat nanar putranya yang seakan tidak berselera makan dengan wajahnya yang tertekuk serta matanya liar mencari seseorang.
"Mbak Nina kemana, Bu?"
"Mba Nina udah berangkat pagi-pagi sekali, katanya disekolah ada acara penyambutan kepala sekolah baru jadi Mba Nina milih duluan" ucap Marta menyuapi putranya yang sekalipun tidak melihat kearahnya.
Artur kurang percaya dengan omongan Ibunya karena semalam ia sempat melihat Nina memasukan baju rumahan kedalam tas. Tapi artur memilih bungkam tidak mau memberi tahu dari pada nanti Nina marah kepadanya.
Di tempat lain...
Dibawah terik matahari pagi yang memberikan suasana hangat untuk seorang gadis memakai dress bermotif bunga mawar selutut. Pakaian rumahan yang nampak indah dipakai seusianya membuat orang-orang yang melihat mengetahui perilaku membolos yang ia lakukan.
Gadis itu menundukkan kepalanya kearah sendal jepit butut sebagai alas kaki, diiringi matanya yang melirik waspada para penjual yang menatap sebelah mata. Mereka terlihat tidak suka dengan keberadaan Aynina.
Aynina sudah menetapkan jika ia akan bekerja dan berhenti bersekolah walau saat ini ia hanya menunggu ujian kelulusan.
"Aku akan coba membantu Bapak sama Ibu. Hutangnya terlalu banyak buat Bapak memikul sendirian. Semangat Nin" Nina memberi semangat untuk dirinya sendiri. Ia tidak peduli dengan mata orang-orang yang memberikan tatapan mengintimidasinya.
"Eh jeng, bukannya itu anaknya ibu Marta sama bapak Fulan?" ucap Ibu-ibu yang mengenal Aynina.
"Eh iya jeng, itu anaknya ibu Marta. Ya ampun kok dia nggak sekolah ya? Padahal dia kan masih kelas 3 menengah atas"
"Tinggal nunggu ujian kok malah bolos? Ih amit-amit semoga anakku nggak kayak dia"
"Eh iya jeng. Padahal ibu Marta banting tulang buat biayain Anaknya sekolah eh malah dia suka bolos. Ya ampun" ucap Ibu-ibu yang pernah memberikan pekerjaan kepada Marta.
Nyinyir para ibu-ibu yang tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya membicarakan apa yang telah ia lihat tanpa mau tahu alasan Nina membolos.
Mereka masih memandang sebelah mata kearah gadis yang melangkahkan kedua kakinya menuju sebuah toko sembako.
"Permisi. Ibu..." Nina mencoba memanggil dengan kepala mengintip kearah dalam mencoba memastikan jika ada tanda-tanda kehidupan.
"Iya... sebentar" wanita pemilik ruko itu keluar dengan sangat tergesa-gesa dan sangat antusias menyambut orang yang berkunjung ke toko setelah lama sepi pembeli.
"Iya nak mau beli apa?"
"Anu...anu... Saya cuma mau tanya, apa disini buka lowongan pekerjaan? Saya bisa angkut-angkut barang, bisa melayani pembeli, bisa bersih-bersih juga" Nina mencoba memperlihatkan keahliannya kepada wanita baya yang sudah kesal karena tidak sesuai dengan prediksi nya.
Ibu penjual itu menghela nafas kesal.
"Nggak ada"
"Bu saya bisa lakuin apa aja kok. Saya bisa bersih-bersih sama ngelakuin apapun yang ibu suruh" Nina menahan tangan ibu pemilik toko itu saat ia ingin kembali kedalam.
"Kamu beneran bisa angkut barang?"
"Bisa" Jawab Nina tidak berpikir panjang dengan kekuatan minim tubuhnya. Sebenarnya Nina juga tidak yakin dengan tubuhnya, terlebih ia belum sarapan.
Masa bodoh dengan ia yang belum sarapan. Ia harus bekerja dan menghasilkan uang supaya ia dapat membantu perekonomian keluarga yang menurun. Jika bisa ia juga ingin membayar hutangnya kepada keluarga Arab.
Nina mengangkut beras berukuran 5 kilo ke atas bahu kecilnya. Matanya berusaha melihat jalan saat karung beras itu hampir menghalangi pandangan.
"Sini-sini...masukin kedalam mobil"
Nina menurut meletakkan satu karung beras itu kedalam bagasi mobil yang sudah ibu-ibu itu suruh. Ia memijat bahunya yang terasa pegal seraya menunggu ibu itu membuka dompet untuk memberinya upah.
"Nih buat kamu. Makasih ya"
Nina membentangkan uang yang ibu itu berikan. Senyumnya terlukis senang melihat uang bergambar presiden dan wakil presiden tahun 90-an.
"Ayo cari uang lagi, semangat"
.
.
Sore harinya setelah Nina bekerja banting tulang ia pulang kembali ke rumah. Ia harus pulang bersamaan dengan teman-temannya yang juga pulang dari sekolah supaya kedua orang tuanya tidak curiga.
Pakaian rumahan bermotif bunga mawar kini berganti menjadi seragam putih abu-abu. Nina memijat bahunya yang sakit akibat keseringan mengangkat beban.
Wajahnya yang nampak lelah ia bawa memasuki rumah menampakan kedua orang tuanya yang terduduk diruang tamu seraya berdiskusi serius.
"Ibu, Bapak, Nina pulang" Nina melepas sepatu bututnya dan ia taruh diantara sepatu-sepatu di rak.
"Nin sini deh duduk dulu" Bapak Fulan menggiring Nina duduk bersama mereka. "Nin, Bapak kan punya hutang sama keluarga Arab. Kita niatnya mau ngirim kamu jadi asisten rumah tangga mereka buat melunasi hutang bapak, gimana?"
"Katanya mereka punya banyak anak yang belum menikah, Nin. Kesempatan kamu buat cari perhatian mereka"
Sejenak Nina diam.
"Maksudnya, aku dijual?"
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!