Isna memandang sekeliling ruangan. Hening. Lagi-lagi merasa asing dengan pemandangan di sekitarnya. Sejauh mata memandang, hanya tembok bercat putih dan beberapa peralatan medis dan dirinya sendiri. Ternyata hari ini dia sudah dipindahkan dari ruang ICU.
"Apa mereka memberiku banyak obat tidur? Kenapa aku selalu bangun dan berpindah tempat tanpa aku menyadarinya?" Isna menghela napasnya berat. Kepalanya sudah terasa ringan. Terdapat perban membebat kening kirinya.
Lututnya juga terasa kaku, tetapi membaik karena denyutan rasa sakitnya sudah mulai berkurang. Hanya tangan dan dadanya yang terasa masih berat, terkadang timbul nyeri.
"Apa aku terluka parah?" Gadis itu bergumam sambil mengamati dirinya sendiri. Leher yang sudah tidak berpenyangga memudahkan dirinya untuk menoleh ke arah mana saja.
Pintu segera dibuka dari luar. Beberapa tim medis datang dan memeriksanya dengan seksama. Sepertinya ada cctv di ruangan itu, pikir Isna. Karena setiap dia sadar, tanpa memanggil siapa-siapa, pasti akan ada yang datang dan memeriksanya.
"Anda masih muda. Anda pulih dengan cepat dan dengan hasil yang bagus," kata dokter setelah memeriksa sambil membawa hasil X ray dan membaca hasilnya di layar monitor di meja samping ranjang perawatan Isna.
"Lalu, kapan saya bisa keluar dari rumah sakit?" tanya Isna ragu-ragu, melirik ke arah para medis satu per satu yang mengelilingi ranjangnya.
"Kalau walimu sudah datang dan melakukan pengurusan administrasi," jawab salah satu dari mereka.
"Ap-apa … yuan Krisna yang Anda ceritakan akan melakukan kewajibannya? S-saya hidup sebatang kara, tidak memiliki keluarga lagi," ungkap gadis itu terbata-bata dengan wajah khawatir. Isna berbohong demi keselamatannya.
"Tentu saja. Untung saja, ada kartu identitas dan dokumen yang Anda bawa saat kejadian itu. Jadi, tuan Krisna bersedia bertanggung jawab pada kondisi Anda." Dokter itu menoleh ke arah Isna dengan tersenyum tipis.
"Di mana dokumen itu? Lagi pula, dia menabrak saya, jelas dia harus bertanggung jawab pada perbuatannya." Isna memberi nada pembelaan pada dirinya.
Dokter bersemu. "Seorang gadis berusia 22 tahun, pukul satu dini hari berlari membawa dokumen, berpakaian acak-acakan dan mengenaskan, berlari menuju ke arah mobil? Siapa yang akan menolongnya?" Dokter itu tersenyum. Isna melotot ke arah semua orang di sekelilingnya, tapi segera menunduk seraya memejamkan matanya karena merasa malu.
"Jangan malu. Seharusnya kami melaporkan kejadian yang Anda alami kepada polisi, tapi keluarga tuan Krisna yang akan mengurusnya, jadi Anda bisa tenang dan berterima kasihlah padanya. Pada istrinya yang akan menemui Anda beberapa jam lagi," tambah dokter itu sambil merapikan peralatannya dan beranjak dari tempatnya.
"Berikan hasil laporan pemeriksaan medis pasien ini kepada asisten tuan Krisna dan pantau terus perkembangannya." Dokter itu beralih menatap perawat dan dokter di sebelahnya dan diberi anggukan. Mereka semua keluar dari ruangan. Isna bisa bernapas lega.
Setidaknya, hidupku tidak mengenaskan selama di rumah sakit ini. Rasanya lega, saat aku tidak tertangkap rentenir itu.
"Aku akan berterima kasih padanya nanti, saat bertemu." Dengan bibir tersenyum, Isna menyamankan posisi tidurnya.
****
Kartika sudah berada di depan Rumah Sakit. Memakai kacamata hitam dan sepatu highheel. Mengenakan blouse putih polos tipis, dipadukan dengan rok hitam pensil selutut, berbelahan pinggir yang menyibak bagian pahanya saat kaki jenjangnya melangkah menuju koridor rumah sakit. Semua mata memandang ke arahnya hingga para pengawal pun segera mengiringinya menuju ruangan yang dituju. Koridor tampak kosong saat Kartika lewat. Dia tahu, pasti suaminya yang telah mengatur acara kunjungan ini.
"Terkadang aku kesal dengan sikapnya. Tapi, kali ini aku senang," gumamnya sambil melangkah.
Para Dokter menundukkan kepala menyambut kedatangannya dengan senyuman ramah. Kartika tahu, mereka pasti sedang mencari muka. Tapi tak apalah, dia tidak peduli asal urusannya di Rumah Sakit beres.
"Di mana ruangan wanita itu?" Dengan anggun, tetapi nada suaranya tegas saat menatap Dokter Juna—dokter yang bertanggung jawab merawat Isna.
"Mari, saya antarkan. Kami baru saja memeriksanya dan semua hasil menunjukkan kemajuan yang bagus," tegasnya sambil mengiringi langkah Kartika. Tapi, beberapa pengawal segera memberi jarak aman kepada dokter itu, agar lebih menjauh dari sekitar Kartika.
"Aku tidak menyangka, istri tuan Krisna dewasa dan anggun begini, pasangan yang serasi. Tapi, kenapa selalu disembunyikan?" batin dokter itu melangkah lebih dulu di depan Kartika.
Setelah melewati lift menuju lantai atas, menuju bangsal VIP seperti yang Krisna inginkan untuk merawat gadis itu. Kartika masuk ruangan dan segera memberi isyarat semua orang, untuk meninggalkan ruang perawatan berdua saja dengan Isna. Semua menurut kecuali dua pengawal yang berdiri di depan pintu.
Kartika mengitari bangsal dan duduk di kursi sofa yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Menariknya perlahan mendekati ranjang.
"Gadis ini biasa saja. Walau memang masih jauh lebih muda dariku. Tidak tampak sensual dengan bentuk badan yang mungil dan kurus, bibirnya tipis, tidak menarik sama sekali dan lihat dadanya? haha ... nyaris tidak terlihat dan rata. Bukan selera Krisna sama sekali seperti milikku. Mungkin matanya, hanya itu yang menarik. Tatapan mata bening dan polos. Aku bisa memilihnya untuk ku jadikan istri ke dua suamiku. Jauh dari selera Krisna, gadis ini jelas bukan tandinganku. Dia tidak mungkin bisa menarik minat dan gairah Krisna yang menggebu, tapi okelah, kalau dijadikan tempat menanam benih. Asal Krisna menyetubuhinya dalam kegelapan," batin Kartika mencemooh.
Wanita anggun itu tersenyum dalam hatinya sendiri, sambil menatap Isna yang terbaring di ranjang, senyum tipis mengembang di ujung bibir Kartika sekilas.
Isna terkesiap memandang wanita cantik, dewasa dan anggun, yang ada di dalam ruangannya. Dengan lemah Isna berusaha sedikit menegakkan punggungnya dan bersandar pada bantalnya. Memandang dengan seribu pertanyaan di dalam kepalanya.
Apa dia istri dari tuan Krisna yang menabrakku? Dia cantik sekali.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Kartika lembut, tetapi cukup tegas. Sambil membuka kacamatanya dan menyilangkan kakinya dengan gaya yang elegan. Isna menjadi kagum dengan gayanya.
"Saya membaik, Nyonya. Terima kasih telah mengunjungi saya," jawab Isna ramah.
Kedua manik hitam wanita elegan di depannya menajam seakan tidak menyukai jawaban Isna. Gadis itu pun mendadak menjadi sedikit bingung dengan perubahan jelas sorot mata itu.
Apa aku salah menyebutnya dengan panggilan Nyonya, tapi...
"Panggil aku Kartika!" Sedikit bernada ketus sambil memalingkan wajahnya. Wanita itu mengamati ruang perawatan Isna.
"Baik, Nona Kartika." Isna mencoba memperbaiki sapaannya. Terlihat wanita elegan itu tersenyum kembali saat menatapnya.
"Usiamu 22 tahun. Apa kau sudah memiliki seorang kekasih?" tanyanya sambil menatap Isna serius.
Apa hubungannya dengan kedatangannya ke sini? Apa karena pakaianku kemarin acak-acakan sehingga membuatnya sampai berpikir macam-macam?
"Sa-saya baru putus dengan kekasih saya empat bulan yang lalu." Isna menjawab jujur.
"Apa hubunganmu dengan rentenir itu? Tonny Darkson, salah satu laki-laki yang ditakuti seluruh negeri. Kenapa dia mengejarmu?"
Isna membelalakan kedua bola matanya. Menatap wanita itu dengan tatapan terkejut dan bingung. Bagaimana mungkin, wanita itu tahu apa yang terjadi di dalam hidupnya dan yang sedang menimpanya.
Jangan-jangan, mereka saling mengenal dan berteman? Apa wanita ini akan menyerahkan aku kepada Tony Darkson? Bagaimana ini?
Tampak raut kecemasan menghinggapi Isna. Kartika tampak tersenyum, menyadari ketakutan yang nyata pada wajah Isna.
"Jangan kuatir. Tony Darkson musuh terbesar kami. Tapi, juga bisa menjadi sekutu kami kalau kami mau, itu terserah padamu." Wanita itu menyandarkan punggungnya dan menatap Isna dengan santai.
Sebenarnya apa sih maunya? Kenapa malah berbicara yang memutar-mutar begini?
"Sebenarnya apa maksud Anda? Saya ingin berterimakasih pada Anda, tapi kenapa sepertinya kalian telah merencanakan sesuatu pada saya? Saya menjadi khawatir," ucap Isna dengan meremas sprei untuk mengumpulkan keberanian.
"Kau cerdas, to the point saja, ya. Aku tidak akan berlama-lama di sini. Lagi pula, suamiku tidak menyukai aku pergi lama-lama dari rumah. Aku akan memberimu sebuah kesepakatan," ucapnya dengan nada serius. Garis wajahnya menegang dan tatapan matanya semakin tajam. Isna semakin berdebar saja hatinya. Apa yang coba wanita ini tawarkan padanya?
Kesepakatan? Dia membuatku takut.
"Aku ingin kau, memilih. Aku kembalikan kau kepada Tony Darkson si Ketua Genk Mafia, preman, dan rentenir kejam juga pria mata keranjang itu. Aku tahu kamu sudah dijual kepadanya oleh ayahmu senilai beberapa miliyar ... aku tidak tahu kalau tubuh jelekmu itu bisa membawa nilai sebesar itu atau .…"
Isna menghela napas, menunggu kelanjutan ucapan wanita elegan yang menatapnya kembali santai, seakan bermain-main dengan perasaannya yang mulai gusar dan panik.
"At-atau apa, Nona?" Isna seakan tak sabar mendengar kelanjutan dari penawaran Kartika. Kartika tergelak. Memandang remeh Isna yang wajahnya tampak semakin memucat.
"Aku bisa menyembunyikan keberadaanmu darinya. Kau tahu, walau kau sudah berlari sekuat tenaga dan bersembunyi ke seluruh negri, dia tetap akan menemukanmu. Oya, rumah sakit ini kalau seandainya bukan milik suamiku, pasti dia akan menyusulmu ke sini."
Isna mengusap wajahnya dengan gelisah. Tidak bisa menerka apa yang sebenarnya wanita ini inginkan darinya.
"Jadi, aku akan membantumu untuk bersembunyi, asalkan dengan satu syarat." Dengan serius dan menatap mata Isna dengan tajam. Isna menelan ludahnya yang pahit dengan hati yang berdebar kencang.
"Jadilah wanita rahasia suamiku. Lahirkan anak untuknya dan berikan padaku. Setelah itu, aku akan memberimu kehidupan baru di luar negri. Di tempat yang Tony Darkson tidak mungkin bisa menemukanmu. Atau, kalau kamu mau, aku bisa mengirimmu dengan hidup yang sangat layak, ke tempat keluarga ayahmu berada saat ini, Skotlandia. Bagaimana?"
Huuuhhhh?? B-bagaimana mungkin dia menyuruhku menjadi wanita rahasia suaminya? Apa dia serius? A-aku tidak mungkin mau menjadi wanita murahan seperti itu. Apa dia sudah gila, menyuruhku berhubungan dengan suaminya sendiri? benar-benar gila!
Isna ternganga mendengar penawaran dari Kartika. Wanita elegan cantik di depannya. Mata Isna mengerjap tak percaya. Dia berharap ini hanyalah sebuah mimpi, karena pengaruh obat tidurnya.
"Berikan jawabanmu segera. Aku memberimu waktu satu minggu. Saat kau keluar dari rumah sakit ini, ada dua pilihan jalanmu. Satu! Menerima penawaranku dan masuk ke kediaman keluargaku yang bebas dari Tony Darkson, atau dua, kau kukembalikan kepada Tony dan entah Tony Darkson akan melepaskanmu atau tidak. Karena gadis cerdas, akan tetap berpikir dengan hati-hati. Sama-sama melayani pria. Mau yang berakhir dengan hidup layak setelah bebas atau, dilemparkan kejalanan setelah mereka puas! Haha … itu terserah pada pilihanmu sendiri."
Wanita itu segera bangkit dari duduknya dan mendekati Isna dengan tatapan tajam.
"Hanya satu yang tidak boleh kau lakukan. Jatuh cinta dan mengharap belas kasih pada keduanya. Entah pada suamiku atau pun kepada Tony Darkson. Mereka, keduanya hanya membutuhkan manfaat dari tubuhmu saja. Keturunan untuk suamiku dan kepuasan untuk Tony Darkson. Kau mengerti? Mana yang lebih terhormat untukmu? Aku pergi, hubungi aku dengan ini."
Wanita itu meletakkan benda pipih ke atas tubuh Isna. gadis itu hanya bisa memandang tanpa bisa berkata apapun. Lidahnya kelu dan otaknya penuh pertanyaan, yang malah membuatnya bingung harus melontarkan pertanyaan yang mana.
Terhormat katanya?
Isna hanya bisa menatap kepergian wanita elegan itu dan segera ruangan itu menjadi hening kembali setelah pintu ditutup rapat.
Pening. Kepalanya terasa pening dan perasaannya menjadi tidak enak. Pilihannya sama buruknya. Menjadi wanita yang akan rela membuka baju dan melepaskan kesuciannya tanpa cinta. Sama-sama akan terbuang. Apa tidak ada pilihan lain? Batinnya menangis.
Tuhan ... kenapa aku bisa terperangkap di antara dua jurang? satu jurang berisi buaya dan satunya lagi aku malah belum tau berisi apa?
Isna memejamkan kedua bola matanya. Menenangkan dirinya yang hampir meledak. Dadanya menjadi nyeri menahan isak tangis.
"Kenapa aku tidak mati saja malam itu?" Keluhnya, mengelus bagian dadanya yang terasa menyakitkan.
******
Hai para readers semua ...
Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen di novelku ini ya, biar aku tahu kalian mampir ...
Jadikan novel ini sebagai bacaan favorit kalian, biar kalau up bisa dapat notif.
Beri like, komen rate juga vote ya biar aku tambah semangat.
Terimakasih ^_^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Koni Dwi N
kejam bnr ya
2024-08-01
0
Idasesoega
sadis betul orang kaya itu ya, tika... tika...
2023-09-28
0
fiendry🇵🇸
bahasa, tulisan dan ceritanya bagus ..
2023-09-02
0