Di Rumah Sakit.
Satu minggu berlalu.
Isna melangkahkan kakinya ke area taman rumah sakit. Badannya sudah pulih, terasa lebih segar. Wajahnya masih pucat, tetapi memar di tubuhnya mulai menyisakan bekas dan di antaranya yang parah sudah mengering. Pergelangan tangannya kirinya masih dibebat perban. Walau bengkak terlihat sudah berkurang, tetapi masih menyisakan rasa sakit saat digunakan untuk menggerakkan jari-jarinya. Dia menghembuskan napasnya pelan. Memahami apa yang akan dilakukannya setelah ini. Menyelamatkan hidupnya.
Dikeluarkan benda pipih itu dari dalam saku baju pasien yang dikenakannya. Memandang kontak nomor satu-satunya yang ada didalam daftar telepon.
"Apa aku menerima tawaran wanita itu saja?" gumamnya pelan.
Kakinya melangkah ke arah kursi taman dan duduk di sana. Dia masukkan kembali ponsel kecil jadul itu ke dalam saku. Matanya beralih menatap sekeliling. Banyak pasien yang berjalan-jalan dibantu orang yang mereka kasihi. Isna hanya bisa mendesah memikirkan nasibnya kini. Keluarga yang selama ini dia sayangi. Ibunya, kenapa hanya diam saja saat ayah tirinya berniat menjadikannya barang barter pinjaman? Perasaan Isna terasa sakit kalau harus kembali mengingat kejadian malam itu.
"Aku mendapat laporan kalau gadis itu dirawat disini."
Seseorang dari arah belakangnya berjalan mencari seseorang. Mereka menyisir area taman. Tubuh Isna menegang saat menyadari beberapa orang berpakaian serba hitam berjalan melewatinya. Dadanya terasa berdebar kencang. Dia segera menyembunyikan wajahnya dengan menoleh ke sisi lain agar orang berperawakan tinggi besar berjumlah tiga orang tidak melihat keberadaannya. Mereka sudah mulai berjalan menjauh. Melewati beberapa orang yang ramai berada di area taman mengusir kepenatan di dalam ruang rawat. Tangan Isna bergetar. Dia merasa gemetaran sedikit menatap sekilas punggung kekar para pengawal suruhan Tony. Isna mengingat wajah-wajah orang itu. Isna memegang dengan kuat gagang infus di tangan kanannya. Segera bangkit dari bangku taman dan berjalan menyingkir untuk mencari tempat bersembunyi yang lebih aman. Kamar VIP-nya.
Sial!
Karena tergesa, tanpa sengaja Isna menabrak tubuh seseorang yang sedang berjalan membawa nampan berisi gelas hingga jatuh dan pecah bertebaran menyisakan suara dentingan.
"Ya ampun, Nona!" jerit orang itu kesal.
"M-maaf, maafkan saya," jawab Isna dengan bibir bergetar.
Salah seorang dari para pria pesuruh Tony menoleh, melihat Isna dan segera melangkahkan kakinya mendekat dan memastikan itu wanita yang mereka cari, gadis yang diinginkan bos besarnya.
Isna yang menyadari telah ketahuan segera menarik gagang infus dan menyingkir dari sana, dengan kaki tertatih karena lututnya masih kaku untuk ditekuk. Berpegangan beberapa pagar pembatas dan tembok dan bertumpu pada gagang infus.
Tuhan, kalau kau ijinkan aku untuk memilih. Aku akan memilih menjadi wanita rahasia pria itu saja dan melahirkan anaknya, daripada harus menjadi gadis pemuas ***** seorang germo. Tuhan, tolong kirimkan malaikatmu untukku. Aku mohon, Tuhan.
Sepanjang seret langkahnya Isna memanjatkan seluruh doanya. Beberapa kali dia harus menabrak orang-orang yang sedang berlalu lalang disepanjang jalanan taman. Menyeimbangkan tubuhnya yang terhuyung hendak terjatuh.
Langkahnya semakin dia percepat. Rasa nyeri pada lututnya yang berdenyut menambah kesakitan yang kian menjadi. Dia terus memaksakan dirinya tanpa memperdulikan rasa sakit yang dideritanya karena orang yang mengejarnya semakin mendekat. Kini, Isna sudah keluar dari area taman dan menyeret langkahnya menuju koridor rumah sakit.
"Di mana semua Sekuriti?" pekiknya sambil sesekali melihat kebelakang.
Napasnya kian tersengal. Dadanya sakit. Tangannya tertabrak seseorang yang lewat dari arah belokan kanan koridor.
"Ouhh .…" Sambil masih meringis menahan sakit, dia masih berusaha lolos dari kedua pria yang mengejarnya. Langkahnya terseok-seok diikuti irama jantungnya yang kian tak beraturan dengan bayangan ketakutan akan tertangkap orang suruhan Tony.
Wajah Isna pucat pasi. Tubuhnya semakin sesak saja. Kedua pria yang tadinya masih jauh terhalang bangku taman. Pembatas area taman, kini mereka sudah berada di belakang Isna. Mereka malah menjadi tiga orang lagi.
Dengan sekuat tenaga tersisa, Isna menyeret langkahnya menuju lif. Gadis itu ingin kembali ke kamarnya hingga teriakan dari arah belakang kian membuatnya panik.
"Hei! Kau mau lari kemana lagi gadis ingusan!" teriak salah satu dari mereka mulai mendekat.
Bagaimana ini ... bagaimana kalau aku sampai tertangkap?
"Aahh.. sial!" pekiknya kesal dengan tubuhnya sendiri.
Sambil melanjutkan langkahnya ke sisi kiri tembok dan hendak merangsek ke dalam ruangan, tapi seseorang membekapnya dari belakang. Mata Isna membulat sempurna. Berusaha meronta dengan sisa tenaga, tapi tangannya tak mampu melawan kekuatan tangan kekar yang kini membelit tubuhnya. Lututnya lemah tak mampu lagi menapak lantai apalagi menopang tubuhnya.
"Diam, atau mereka akan menemukanmu dan menyekapmu," bisik suara pria di telinga Isna.
Sambil menyeret mundur Isna dan membawa ke dalam ruangan yang Isna tak tau di mana. Dia berjalan mundur mengikuti langkah pria pria itu membawanya.
Siapa dia? Malaikat penolongku yang dikirim Tuhan atau iblis yang akan semakin membawaku jatuh ke dalam kesengsaraan hidupku?
"Bawa gadis ini keluar lewat pintu atas. Sudah ada helikopter yang siap membawa kalian! sepertinya Tony tidak main-main menginginkan gadis ini dan berani masuk ke wilayah kekuasaan kita."
Suara tajam orang yang membekap Isna membuat gadis itu merasa ngeri. Wajah pucatnya diliputi kecemasan akan nasibnya kini.
Bodoh, harusnya aku tadi langsung menerima tawaran wanita itu saja. Siapa mereka ini?
Sebuah kertas tisu dibekap ke arah hidungnya. Tiba-tiba matanya menjadi kabur dan kepalanya sedikit pusing hingga dia tak sadarkan diri lagi. Gadis itu pingsan.
Sebuah Helikopter yang berada di helipad atap rumah sakit segera membawa dua orang tinggi besar yang sedang membawa Isna ke dalam di gendongannya. Meninggalkan rumah sakit yang mana pengawal Tony Darkson mulai mengelilingi area rumah sakit milik Krisna.
"Tuan, ke mana kami harus membawa nona muda ini?" Seorang pengawal sedang berbicara ditelepon.
"Bawa ke Villa Puri Indah, bawa wanita itu ke sana. Sangat berisiko membiarkan wanita itu tetap di kota ini," jawab seseorang dari ujung telepon.
"Baik, Tuan."
Helikopter pun segera menuju ke arah tujuannya. Villa Puri Indah.
*****
Malam hari.
Seno memasuki ruangan kerja di kediaman Krisna. Menatap sekilas Krisna yang masih berkutat dengan layar canggih di depannya.
"Tuan, maafkan atas kelancangan saya." Seno menunduk dihadapan Krisna.
Kening Krisna berkerut. Satu alisnya terangkat. "Apa yang telah terjadi?" Suaranya tetap datar.
Dia selalu mengerti apa saja yang Seno lakukan, pasti dia kerjakan dengan perhitungan yang tepat.
"Nona Isna, calon istri muda Anda. Saya terpaksa memindahkannya ke Villa Puri Indah karena rumah sakit tempatnya saat ini dirawat telah dikepung para pengawalnya Tony Darkson. Kalau saja kami sedikit terlambat mungkin gadis itu sudah dibawa mereka pergi."
Krisna memutar kursinya dan segera berdiri mendekati Seno yang masih menundukkan kepala. Krisna menghela napas sambil menepuk pundak Seno hingga asisten kepercayaannya itu menoleh ke arahnya.
"Kenapa kau begitu peduli dengan keselamatan gadis itu?" Senyum tipis mengembang dari sudut bibir Krisna.
Seno menelan ludahnya dengan kaku. Baru kali ini dia merasa terintimidasi di depan Big Bosnya.
"Saya tidak tahu, Tuan. Hanya saja, perasaan saya mengatakan kalau Anda harus bertemu dengan gadis itu sendiri, sebelum memutuskan nasibnya. Apakah Anda akan menerima saran nyonya Kartika atau membebaskan gadis itu dengan menyerahkan kembali kepada Tony Darkson." Dengan suara tegas tanpa ada keraguan di sana.
"Bukan karena kau menyukai gadis itu? Aku tau kau mengunjunginya dua kali di rumah sakit?" Krisna memiringkan kepalanya dan tersenyum ke arah Seno. Pria itu masih memasang wajah datar, tidak merasa terpengaruh.
"Gadis itu mengingatkan saya pada masa muda istri saya, Tuan. Tatapan polos matanya indah, tanpa dosa dan wajib dilindungi."
Seno menjawab sambil membalas menatap ke arah Krisna. Pandangan mereka bertemu. Krisna tidak menemukan kebohongan di sorot mata itu.
"Baiklah, pulanglah. Aku akan menemuinya besok. Aku rasa insiden tadi pasti membuatnya syok. Lakukan perawatan terbaik, kalau-kalau ada lukanya yang memburuk setelah usahanya melepas diri dari kejaran orang suruhan Tony."
Krisna menjatuhkan tubuhnya di sofa dan mengambil minuman yang tersaji di atas meja.
"Baik, Tuan."
"Ah … Apa yang dikerjakan istriku hari ini? Apa dia tahu kalau gadis itu kau bawa pergi?"
Pertanyaan Krisna menghentikan langkah Seno yang hendak meninggalkan ruang kerja Krisna.
"Tidak. Nyonya tidak tahu, Tuan." Menjawab tanpa menoleh ke arah Krisna.
"Kau menyembunyikan sesuatu 'kan dari ku? Sampai kapan?" Krisna menoleh ke arah Seno sambil tersenyum tipis.
Seno masih berdiri membisu.
"Senopati Arka?" Panggil Krisna sambil tergelak.
"Tidak, tidak ada yang saya sembunyikan dari Anda. Setidaknya sampai saat ini, semua berjalan baik-baik saja, Tuan. Saya permisi," jawabnya sambil melangkahkan kakinya keluar ruang kerja meninggalkan Krisna.
Krisna hanya mampu menghembus napasnya kasar. Diraihnya minuman dan meneguknya sekaligus. Memandang foto pernikahannya. Sepasang pengantin dengan senyum lebar dan terlihat bahagia.
"Apa yang coba kau lakukan, Sayangku?" tanyanya dengan sorot mata penasaran sambil kembali meletakkan minuman.
Drrrtttt….. drrttttt...
"Hemm?" Krisna menaruh ponsel menempel pada telinganya.
"Maaf. Sepertinya Tony Darkson ingin bertemu dengan Anda, Tuan." Seorang pengawalnya menelpon.
"Katakan padanya aku sibuk! Juga katakan kalau dia masih saja mencoba masuk ke dalam wilayahku, jangan salahkan kalau aku merebut semua pengawalnya itu! Katakan padanya untuk meminta izin baik-baik padaku!" perintah Krisna dengan nada serius dan tatapan mata yang tajam.
"Baik, Tuan."
Hubungan telpon pun terputus. Krisna meletakkan ponselnya ke atas meja dan segera menyandarkan bahunya ke sofa.
"Kartika, Seno, Tony dan Isna?" Pria itu menghela napas sambil menyentuh pelipisnya serta mengusap wajahnya dengan telapak tangan. "Haruskah malam ini aku tidur saja di sini saja?" gumamnya sambil menatap jarum jam dinding menunjuk pukul setengah sebelas malam.
Bersambung ...
*****
Hai Readers ...
Jangan lupa tinggalkan jejak Like, love dan vote ya biar tambah semangat up.
Juga saran dan kritik sangat Author nantikan.
Terimakasih ^_^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Koni Dwi N
isna anak bkn anak orang biasa, makanya Tony trs mengejar dan Seno tau faktanya itu
2024-08-02
0
Elly Watty
Seno n Tony kyaknya prnah da main ma Kartika
2023-04-27
0
Juan Sastra
sekilas baca kayaknya penuh misteri novelmu thorr.
2022-04-08
1