Wanita Sedingin Salju

Wanita Sedingin Salju

WSS 1 - Perjalanan Hidup

"Tolong, jangan sita rumah kamu." Mohon Raharjo kepada para petugas bank yang sedang menyegel rumahnya.

"Beri kami kesempatan, aku pasti akan melunasi seluruh hutangku." Raharjo terus memohon meski tahu usahanya akan gagal.

"Sudah Pih, tidak perlu lagi memohon, kita sudah bangkrut, Papih harus sadar akan hal itu." Nia sang istri berusaha membujuk suaminya.

Raharjo bangkrut, dia terlalu banyak bermain judi sehingga seluruh asetnya terjual, tersisa rumah, dia gadaikan ke bank berakhir menjadi jatuh miskin, semiskin-miskinnya.

Begitulah dunia bekerja, roda kehidupan berputar, kadang di bawah dan di atas, tergantung bagaimana cara kita mengolahnya, jika terus berbuat baik, bersikap baik, rajin menabung, hidup wajar maka akan terus terasa manisnya, tapi jika terlalu foya-foya, hidup semaunya, bertindak semaunya, maka rasa getir yang akan terasa.

"Kita cari kontrakan." Nadin langsung menarik kopernya.

"Kontrakan?" Nia mengejar putrinya.

"Benar, kontrakan, lantas dimana lagi kita akan tinggal? Apa kita punya tempat tujuan? Apa kita punya rumah lain yang tidak tersita?" tanya Nadin.

Nadin anak yang begitu cuek, sejak kecil sikapnya selalu saja ketus kepada setiap orang, saat melihat orang baru dia pasti akan mengamati dengan seksama, seperti saat bertemu dengan rekan bisnis Papinya, matanya seakan mencari sesuatu di dalam diri orang yang dilihatnya, setelah itu dia akan meninggalkannya, setelah tamu Papinya pergi, dia sering memperingati Papinya, tapi sayang semua hanya dianggap bualan.

Orang dewasa memang terkadang egois, mereka bahkan sulit berpura-pura menerima perkataan anaknya. Raharjo melakukan hal itu kepada Nadin, dia tidak menghiraukan, tidak mencari tahu, hingga akhirnya dia terjerumus dan mulai iukut berjudi.

***

Kehidupan manis yang seharusnya terus berlangsung, telah dihancurkan dalam sekejap, apa yang selama ini mereka pertahankan habis tersita oleh Bank.

"Kita mau kemana, sayang?" tanya Nia yang terus mengikuti Nadin.

"Mami dan Papi ikuti saja aku, aku tahu dimana ada kontrakan, semoga kontrakan itu masih kosong." Nadin bicara sambil terus berjalan.

Nadin tidak ingin kedua orang tuanya tidur disembarang tempat, meski dia kesal dengan Papinya, tapi dia masih cukup berpikir normal.

Mereka bertiga sampai di sebuah rumah.

"Kita akan tinggal di sini?" tanya Nia yang melihat rumah cukup besar.

"Tentu saja tidak, mana mungkin aku mampu membayar kontrakan sebesar ini," kata Nadin.

"Lantas?" tanya Raharjo.

"Ini rumah pemilik kontrakan, kita akan bertanya kepadanya harga kontrakan kosong yang ada di sebelah sana." Tunjuk Nadin.

Kedua orang tuanya melihat kearah yang ditunjuk oleh putrinya, alangkah terkejutnya dia melihat kontrakan yang kecil.

"Di sana?" tanya orang tuanya serempak.

Nadin mengangguk. "Benar."

"Sekecil itu?" tanya Raharjo.

"Jika Papi punya uang, kita bisa mencari kontrakan yang lebih besar." Nadin seakan tahu isi kantong papinya.

Kedua orang tuanya menggeleng perlahan sambil memberikan tatapan kosong.

Nadin tertawa kecil, sudah dia duga, kedua orang tuanya tidak punya cukup uang untuk tidur di hotel atau menyewa kontrakan satu rumah.

Tidak lama kemudian, seorang wanita yang sudah memiliki uban yang cukup banyak di rambutnya keluar dan menyambut kedatangan keluarga Nadin.

"Silahkan masuk."

Nadin dan kedua orang tuanya masuk ke dalam rumah wanita yang mungkin seumuran neneknya jika neneknya masih hidup.

"Nek, aku mau mengontrak di kontrakan yang kosong."

"Oh, tentu boleh neng, harganya juga masih murah, enam ratus ribu sebulan belum sama listrik, listriknya pakai token jadi bisa isi sendiri," jelas wanita itu.

Mendengar harga kontrakan itu, Raharjo langsung melihat isi dompetnya, dan hanya tersisa tiga ratus ribu, Nia juga melihat isi dompetnya, sisa seratus ribu, sudah pasti kurang banyak.

Nadin membuka tasnya dan mengeluarkan dompet miliknya, dia memberikan uang sejumlah yang sudah disepakati.

"Mohon diterima dan kami akan mengisinya malam ini juga, apa boleh aku pinjam sapu dan kain pel?" tanya Nadin.

Sejak kecil Nadin cukup mandiri, dia sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri terutama membersihkan kamarnya, jadi bukan hal sulit untuknya membersihkan kontrakan yang mungkin agak lebih kecil dari ukuran kamarnya.

"Ayo Mih, Pih, kita bersihkan rumah dulu, baru nanti kita istirahat." Ajak Nadin.

Kedua orang tuanya hanya terus mengikuti kemanapun Nadin pergi.

.

.

"Hah, lelah sekali." Nadin duduk di atas karpet yang dibawanya.

"Kita tidur dimana? Tidak ada kasur? Apalagi AC," keluhan mulai keluar dari bibir maminya.

"Kalau Papi dan Mami punya uang banyak, bisa buat beli kasur dan AC, silahkan dibeli."

Lagi-lagi Nadin seakan menyindir kedua orang tuanya, sudah pasti tidak bisa beli, untuk membayar kontrakan saja mereka tidak bisa.

"Kamu punya uang dari mana? Kok bisa bayar kontrakan?" tanya Raharjo.

"Uang sakuku, aku tidak pernah menghabiskannya, uang itu selalu aku sisihkan, dan ternyata berguna dimasa sulit seperti ini." Nadin melihat langit-langit kontrakan.

Raharjo tahu betul putrinya kembali menyinggung dirinya, tapi Raharjo tidak perduli, sindiran itu tidak berlaku.

Nadin mendengar suara pedagang keliling lewat depan kontrakan mereka.

"Kamu mau kemana?" tanya Nia dengan berteriak.

Nadin tidak menghiraukan, dia mencari arah suara, dan memanggilnya.

"Tiga mangkok, Bang." Pesan Nadin kepada pedangan mie ayam keliling.

Perutnya sudah keroncongan, dirinya tidak tahan lagi menahan lapar.

"Ini neng, apa perlu di bantu bawa ke dalam rumah?" tanya pedagang itu ramah.

"Tidak perlu, biar aku saja yang membawanya sendiri." Nadin mengangkat nampan berisikan tiga mangkuk mie ayam.

Melihat putri mereka membawa sebuah mangkuk, pasangan suami istri itu begitu antusias namun, saat mereka melihat isinya, selera makan mereka pudar.

"Makan dulu, jangan sampai kita sakit, karena sakit itu mahal, kita tidak mampu lagi membayar iuran asuransi saat ini, jadi makan apapun yang bisa dimakan, dan jaga kesehatan.

Kedua orang tuanya saking berpasangan, seakan mereka bertanya 'apakah makanan ini bisa dimakan? Apa layak dimakan?' begitulah kira-kira.

Di samping kedua orang tua yang saling bertatapan, Nadin sudah terlebih dahulu menyantap makanannya.

"Mih, Pih, ayo dimakan, ini steril kok, tidak akan membuat perut kalian sakit, aku sudah biasa memakannya."

Ucapan anaknya mengejutkan mereka sehingga mereka serentak menatap Nadin.

"Aku biasa makan bersama teman-temanku di kampus, kamu sering menikmati makanan dari pedagang keliling atau pedagang kaki lima."

Mendengar ucapan Nadin, mereka dengan cepat ikut menyantap mie ayam, perut mereka juga sudah sangat memberontak.

Begitulah kehidupan, bagaimanapun kita harus ingat dan mawas diri, kita tidak selamanya di atas, tidak selamanya bergelimang harta dan tidak boleh menganggap remeh pekerjaan orang, seperti apa yang mereka alami sekarang, makan-makanan mewah bukan berarti mereka tidak bisa memakan makanan dari pedagang keliling. Hidup harus Low Profile seperti apa yang di lakukan Nadin selama ini.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!