Nadin kembali kerumahnya diantar kembali oleh Shasha, mulai hari ini mereka akan pulang pergi bersama, karena kebetulan mereka searah, sebenarnya teman Nadin bukan hanya Shaha ada tiga orang lagi tapi mereka kuliah ditempat yang berbeda.
"Thank You beib." Nadin melambaikan tangannya.
Beberapa orang suruhan sudah mulai bergerak untuk menyelidiki Nadin dan keluarganya.
"Assalamualaikum." Nadin masuk kedalam rah kontrakan.
Nia menyambut kedatangan Nadin. "Waalaikumsalam."
Nia menunjuk Raharjo sehingga Nadin mengerti maksud Maminya.
"Kenapa?" bisik Nadin.
Nia mengangkat kedua bahunya.
"Nadin, ganti baju dulu, Mih."
Dalam perjalanan menuju kamarnya yang berukuran kecil dan hanya cukup satu kasur singel bed, Nadin melirik ke arah ayahnya yang terus bengong.
"Papih kenapa sih?" gumamnya sendiri.
Nadin masuk ke dalam kamar, meletakkan tas ranselnya dan buku-buku yang dia bawa tadi.
Nadin hendak merebahkan dirinya di atas kasur tapi, tubuhnya terasa lengket. Akhirnya Nadin memutuskan untuk mandi.
Nadin mengambil peralatan mandinya segera namun, ketika dia hendak membuka pintu kamarnya, terdengar suara ribut-ribut dari luar.
"Ada apa? Kenapa terdengar suara ribut-ribut?" Nadin bergegas membuka pintu kamar dan terkejut melihat dua orang bertubuh besar sedang ribut dengan Papinya. sedangkan Maminya penutup mata dan telinga.
Melihat pemandangan tidak sedap itu. Nadin langsung memberanikan diri melangkahkan kakinya ke luar kamar dan menghampiri kedua orang tuanya.
Nadin sampai di teras kontrakan "Ada apa ini?" tanya Nadin.
"Nadin, Papi kamu buat ulah lagi, dia berhutang sebesar lima juta rupiah untuk bermain judi." Nia bicara sambil tersengguk-sengguk.
Nia tidak menyangka suaminya akan berbuat nekat dan tidak berpikir panjang padahal untuk kebutuhan rumah tangga saja mereka masih sangat kekurangan.
"Pih." Nadin mengernyitkan dahinya.
Kekecewaan kembali muncul, sudah terjatuh, tertimpa tangga pula. Itulah mungkin pribahasa yang cocok untuk keadaan keluarganya saat ini. Sikap papinya sangat tidak bijaksana, sudah bangkrut, miskin, tapi masih juga bermain judi dan terlilit hutang jutaan.
"Pih, kenapa sih?" Nadin sungguh frustasi dengan sikap papinya.
"Awalnya papi berharap bisa menang saat mendapatkan kemenangan di permainan pertama, tapi ternyata di permainan kedua Papi kalah," cerita Raharjo.
Mendengar cerita dari papinya, membuat Nadin semakin frustasi, sebenarnya apa yang ada di jalan pikiran bapak satu anak ini? Memang sungguh meresahkan.
Raharjo bahkan tidak terlihat merasa bersalah setelah membuat kekacauan. Nadin mulai berdebat dengan Papinya. Dia yang berusaha memenuhi kebutuhan keluarganya dengan mengocek uang tabungannya. Namun, papinya malah masih sempai ikut main judi.
"Pih, inget, kita itu miskin sekarang, buat bayar kontrakan ajah papi enggak mampu, ini ada uang malah buat yang enggak jelas." Marah Nadin.
"Papi ikut berjudi karena uangnya mau buat kita sekeluarga." Raharjo membela dirinya sendiri.
Melihat anak dan suaminya saling bertukar kata, membuat Nia sakit kepala. Dia hampir saja akan terjatuh, tapi dengan cepat dia menyeimbangkan kembali tubuhnya. Dia harus kuat karena jika terjadi apa-apa akan memberatkan putrinya lagi.
Kedua orang yang datang menagih hutang saling berpandangan dan langsung kembali menatap bapak dan putrinya yang sedang berdebat.
"Hei! Kami kemari bukan untuk menonton kisah dramatis keluarga kalian. Kami ingin menagih hutang, sekarang sudah hari kelima. Sesuai perjanjian kamu harus bayar." Desaknya dengan mencengkram kerah baju Raharjo.
Mendengar ucapan kedua penagih itu membuat Nadin memijat pelipisnya, dia sangat pusing, di satu sisi uangnya tidak sampai sebanyak itu, karena kebetulan beberapa hari lalu dia sudah membayar kontrakan sampai lima bulan ke depan. Bagi Nadin makan bisa dicari dan makan apa saja yang penting bersih, sehat dan mengenyangkan. Kalau tempat tinggal dia harus prioritaskan, tidak mungkin mereka tidur diluar seperti gelandangan.
"Pakai uang tabungan kamu dulu saja." Mendadak Raharjo meminta dibayarkan.
Nadin melirik ke arah papinya yang seenak jidatnya bilang pakai uangnya dulu. Nadin bahkan tidak bisa merapatkan kembali mulutnya yang terbuka lebar sebab mendengar penuturan papinya.
"Pih, uangku saja hanya cukup untuk kita makan satu bulan ini, aku ajah sedang cari kerjaan supaya kita bisa makan." Marah Nadin.
Memang jengkel memikirkan kelakuan orang yang senang berjudi dan terus berhutang, begitulah judi makanya diharamkan dalam Islam.
Judi membuat semua orang berbuat nekat, terlena dan akhirnya terjebak.
Nadin tidak bisa menyerahkan uang tabungannya, bisa makan apa mereka jika uang tabungannya untuk membayar sebagian hutang papinya.
Pria bertubuh besar itu menjadi tidak sabar lagi. Dia semakin mencengkram kencang kerah baju Raharjo.
Raharjo meringis kesakitan ketika lehernya tercekik bajunya sendiri.
"Cepat! Kalian mau bayar hari ini, atau kalian akan terkena bunga setiap harinya?" teriakan salah satu penagihan hutang itu memekikkan telinga Raharjo sekeluarga.
Nadin semakin pusing
Jika tidak dibayarkan maka bunganya akan berlipat-lipat. Jika dibayarkan sudah pasti dia akan kesulitan belanja keperluan dapur.
Nadin menimang keputusannya. Dia punya tabungan tapi tak sebanyak uang yang dipinjam papinya kepada rentenir.
Nadin kemudian menemukan solusinya.
"Saya akan bayar, tapi hanya dua puluh persennya, yaitu sebesar satu juta, hanya itu uang yang tersisa." Nadin menuju kamarnya.
Sesampainya dia di dalam kamar. Nadin membuka tas dan mengambil dompet miliknya. Nadin mengeluarkan uang yang tersisa di dalam dompet miliknya.
"Dua juta. Satu juta untuk mereka dan satu juta lagi untuk keperluan sehari-hari."
Nadin mengambil dompet dengan uang satu juta sedangkan satu juta lagi dia sembunyikan.
Menurut film-film yang biasa dia lihat. Penagih hutang sering kali tidak percaya jika kita tidakembawa dompetnya dan mereka akan mengambil semua uang yang ada di dalam dompet.
Maka dari itu dia menyimpan yang satu juta seratus ribu untuk mengecohnya.
Nadin keluar kamar dengan wajah ketakutan. Dia pandai sekali berakting. Kali ini sungguh aktingnya cukup bagus.
"Ini uangnya," kata Nadin sambil membuka dompet miliknya.
Salah satu pria itu mengambil dengan cepat dompet Nadin dan memeriksanya. dia mengambil seluruh isi dompet dan menghitungnya.
"Satu juta seratus. Kita ambil semuanya." Pria itu membuang dompet Nadin.
"Okeh kita harus segera kembali." Pria satunya melepas cengkeramannya.
"Tuan mohon, sisakan seratus ribu untukku. Itu sangat berharga untuk keluarga kami.
Nadin berusaha membujuk, tapi ke dua pria itu tidak perduli sama sekali.
Raharjo berdiri tegak dan melihat kepergian kedua preman penagih hutang itu.
Dengan rasa kesalnya Nadin pergi ke dapur. Dia melanjutkan niat mandinya yang sempat tertunda. Nadin masuk ke dalam kamar mandi dan menangis sekuat tenaga. Jika dia tidak menangis, maka rasa marahnya tidak akan bisa hilang.
Nadin mengguyur tubuhnya dengan air dingin agar bisa meredam amarahnya yang begitu memuncak.
Andai ada tempat yang bisa membuatnya lebih tenang. Pasti dia akan pergi ke sana.
"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments