"Tolong, jangan sita rumah kamu." Mohon Raharjo kepada para petugas bank yang sedang menyegel rumahnya.
"Beri kami kesempatan, aku pasti akan melunasi seluruh hutangku." Raharjo terus memohon meski tahu usahanya akan gagal.
"Sudah Pih, tidak perlu lagi memohon, kita sudah bangkrut, Papih harus sadar akan hal itu." Nia sang istri berusaha membujuk suaminya.
Raharjo bangkrut, dia terlalu banyak bermain judi sehingga seluruh asetnya terjual, tersisa rumah, dia gadaikan ke bank berakhir menjadi jatuh miskin, semiskin-miskinnya.
Begitulah dunia bekerja, roda kehidupan berputar, kadang di bawah dan di atas, tergantung bagaimana cara kita mengolahnya, jika terus berbuat baik, bersikap baik, rajin menabung, hidup wajar maka akan terus terasa manisnya, tapi jika terlalu foya-foya, hidup semaunya, bertindak semaunya, maka rasa getir yang akan terasa.
"Kita cari kontrakan." Nadin langsung menarik kopernya.
"Kontrakan?" Nia mengejar putrinya.
"Benar, kontrakan, lantas dimana lagi kita akan tinggal? Apa kita punya tempat tujuan? Apa kita punya rumah lain yang tidak tersita?" tanya Nadin.
Nadin anak yang begitu cuek, sejak kecil sikapnya selalu saja ketus kepada setiap orang, saat melihat orang baru dia pasti akan mengamati dengan seksama, seperti saat bertemu dengan rekan bisnis Papinya, matanya seakan mencari sesuatu di dalam diri orang yang dilihatnya, setelah itu dia akan meninggalkannya, setelah tamu Papinya pergi, dia sering memperingati Papinya, tapi sayang semua hanya dianggap bualan.
Orang dewasa memang terkadang egois, mereka bahkan sulit berpura-pura menerima perkataan anaknya. Raharjo melakukan hal itu kepada Nadin, dia tidak menghiraukan, tidak mencari tahu, hingga akhirnya dia terjerumus dan mulai iukut berjudi.
***
Kehidupan manis yang seharusnya terus berlangsung, telah dihancurkan dalam sekejap, apa yang selama ini mereka pertahankan habis tersita oleh Bank.
"Kita mau kemana, sayang?" tanya Nia yang terus mengikuti Nadin.
"Mami dan Papi ikuti saja aku, aku tahu dimana ada kontrakan, semoga kontrakan itu masih kosong." Nadin bicara sambil terus berjalan.
Nadin tidak ingin kedua orang tuanya tidur disembarang tempat, meski dia kesal dengan Papinya, tapi dia masih cukup berpikir normal.
Mereka bertiga sampai di sebuah rumah.
"Kita akan tinggal di sini?" tanya Nia yang melihat rumah cukup besar.
"Tentu saja tidak, mana mungkin aku mampu membayar kontrakan sebesar ini," kata Nadin.
"Lantas?" tanya Raharjo.
"Ini rumah pemilik kontrakan, kita akan bertanya kepadanya harga kontrakan kosong yang ada di sebelah sana." Tunjuk Nadin.
Kedua orang tuanya melihat kearah yang ditunjuk oleh putrinya, alangkah terkejutnya dia melihat kontrakan yang kecil.
"Di sana?" tanya orang tuanya serempak.
Nadin mengangguk. "Benar."
"Sekecil itu?" tanya Raharjo.
"Jika Papi punya uang, kita bisa mencari kontrakan yang lebih besar." Nadin seakan tahu isi kantong papinya.
Kedua orang tuanya menggeleng perlahan sambil memberikan tatapan kosong.
Nadin tertawa kecil, sudah dia duga, kedua orang tuanya tidak punya cukup uang untuk tidur di hotel atau menyewa kontrakan satu rumah.
Tidak lama kemudian, seorang wanita yang sudah memiliki uban yang cukup banyak di rambutnya keluar dan menyambut kedatangan keluarga Nadin.
"Silahkan masuk."
Nadin dan kedua orang tuanya masuk ke dalam rumah wanita yang mungkin seumuran neneknya jika neneknya masih hidup.
"Nek, aku mau mengontrak di kontrakan yang kosong."
"Oh, tentu boleh neng, harganya juga masih murah, enam ratus ribu sebulan belum sama listrik, listriknya pakai token jadi bisa isi sendiri," jelas wanita itu.
Mendengar harga kontrakan itu, Raharjo langsung melihat isi dompetnya, dan hanya tersisa tiga ratus ribu, Nia juga melihat isi dompetnya, sisa seratus ribu, sudah pasti kurang banyak.
Nadin membuka tasnya dan mengeluarkan dompet miliknya, dia memberikan uang sejumlah yang sudah disepakati.
"Mohon diterima dan kami akan mengisinya malam ini juga, apa boleh aku pinjam sapu dan kain pel?" tanya Nadin.
Sejak kecil Nadin cukup mandiri, dia sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri terutama membersihkan kamarnya, jadi bukan hal sulit untuknya membersihkan kontrakan yang mungkin agak lebih kecil dari ukuran kamarnya.
"Ayo Mih, Pih, kita bersihkan rumah dulu, baru nanti kita istirahat." Ajak Nadin.
Kedua orang tuanya hanya terus mengikuti kemanapun Nadin pergi.
.
.
"Hah, lelah sekali." Nadin duduk di atas karpet yang dibawanya.
"Kita tidur dimana? Tidak ada kasur? Apalagi AC," keluhan mulai keluar dari bibir maminya.
"Kalau Papi dan Mami punya uang banyak, bisa buat beli kasur dan AC, silahkan dibeli."
Lagi-lagi Nadin seakan menyindir kedua orang tuanya, sudah pasti tidak bisa beli, untuk membayar kontrakan saja mereka tidak bisa.
"Kamu punya uang dari mana? Kok bisa bayar kontrakan?" tanya Raharjo.
"Uang sakuku, aku tidak pernah menghabiskannya, uang itu selalu aku sisihkan, dan ternyata berguna dimasa sulit seperti ini." Nadin melihat langit-langit kontrakan.
Raharjo tahu betul putrinya kembali menyinggung dirinya, tapi Raharjo tidak perduli, sindiran itu tidak berlaku.
Nadin mendengar suara pedagang keliling lewat depan kontrakan mereka.
"Kamu mau kemana?" tanya Nia dengan berteriak.
Nadin tidak menghiraukan, dia mencari arah suara, dan memanggilnya.
"Tiga mangkok, Bang." Pesan Nadin kepada pedangan mie ayam keliling.
Perutnya sudah keroncongan, dirinya tidak tahan lagi menahan lapar.
"Ini neng, apa perlu di bantu bawa ke dalam rumah?" tanya pedagang itu ramah.
"Tidak perlu, biar aku saja yang membawanya sendiri." Nadin mengangkat nampan berisikan tiga mangkuk mie ayam.
Melihat putri mereka membawa sebuah mangkuk, pasangan suami istri itu begitu antusias namun, saat mereka melihat isinya, selera makan mereka pudar.
"Makan dulu, jangan sampai kita sakit, karena sakit itu mahal, kita tidak mampu lagi membayar iuran asuransi saat ini, jadi makan apapun yang bisa dimakan, dan jaga kesehatan.
Kedua orang tuanya saking berpasangan, seakan mereka bertanya 'apakah makanan ini bisa dimakan? Apa layak dimakan?' begitulah kira-kira.
Di samping kedua orang tua yang saling bertatapan, Nadin sudah terlebih dahulu menyantap makanannya.
"Mih, Pih, ayo dimakan, ini steril kok, tidak akan membuat perut kalian sakit, aku sudah biasa memakannya."
Ucapan anaknya mengejutkan mereka sehingga mereka serentak menatap Nadin.
"Aku biasa makan bersama teman-temanku di kampus, kamu sering menikmati makanan dari pedagang keliling atau pedagang kaki lima."
Mendengar ucapan Nadin, mereka dengan cepat ikut menyantap mie ayam, perut mereka juga sudah sangat memberontak.
Begitulah kehidupan, bagaimanapun kita harus ingat dan mawas diri, kita tidak selamanya di atas, tidak selamanya bergelimang harta dan tidak boleh menganggap remeh pekerjaan orang, seperti apa yang mereka alami sekarang, makan-makanan mewah bukan berarti mereka tidak bisa memakan makanan dari pedagang keliling. Hidup harus Low Profile seperti apa yang di lakukan Nadin selama ini.
Bersambung
Raharjo dan keluarganya sudah satu Minggu tinggal di kontrakan sempit, dia memutuskan untuk berkeliling kampung untuk mencari udara segar.
"Aku suntuk sekali di rumah, biasanya aku jam segini selalu berada di kantor, menikmati kopi mahal dan mengamati karyawan bekerja. Aku kini jatuh miskin, bahkan makan saja menumpang kepada anak sendiri." Raharjo terus berjalan menyusuri kampung.
Raharjo melihat orang berkerumun, dia begitu tertarik untuk mengetahui ada apa di sana.
"Ada apa ini?" tanya Raharjo.
"Ada tanding Mahjong, yang menang akan mendapatkan uang banyak." Seorang pria memberikan informasi.
"Berapa banyak?" tanyanya semakin penasaran.
"Lima juta."
"Berapa taruhannya?"
"cukup pasang sesuai isi kantongmu, jika kamu beruntung maka uang itu akan menjadi milikmu." Pria itu lalu menoleh, dia penasaran siapa yang mengajaknya bicara.
Raharjo maju ke depan, dia memberikan sisa uang yang dia miliki.
"Aku ikut bermain." Dia meletakkan beberapa lembar uangnya.
Raharjo dengan cepat memasang taruhannya, dia begitu percaya diri, permainan dimulai, dengan cepat Raharjo membuat siasat dan dia ternyata memenangkan pertandingan mahjong di wal permainan.
"Aku menaaang," teriaknya sambil mencium uang yang dia dapat dari taruhan.
"Lima juta." Raharjo memasang semua uang taruhannya dengan sangat percaya diri.
Permainan kedua dilaksakan, kali ini dari tingkat rendah menjadi tingkat sedang, setiap kali menang permainan, lalu ikut lagi maka permainan akan naik tingkat.
Raharjo mulai dengan jalan yang mulus namun siapa sangka dipertengahan permainan dia mulai kesulitan, Raharjo mulai berkeringat dingin menyaksikan lawan mainnya bermain cukup lihai padahal awal tadi penantang yang menjadi lawan mainnya di awal begitu mudah dia kalahkan.
"Sial! Kenapa dia tiba-tiba menjadi jago bermain? Aku tidak boleh kalah, aku harus memenangkannya!" batin Raharjo.
"Sepertinya kamu mulai kehilangan fokusmu!" ejek lawan mainnya.
Tidak terima Raharjo langsung mengambil langkah tanpa memikirkan langkahnya benar atau salah.
"Aku tidak akan kalah," ujarnya penuh semangat.
Beberapa penonton yang menyaksikan ikut bersorak-sorai, ada yang mendukung Raharjo ada pula yang mendukung lawan mainnya, semua kebisingan itu semakin membuatnya kehilangan fokus.
Raharja merasa kupingnya sakit dengan teriakan nyaring dari kubu yang mendukung lawan mainnya.
Raharjo tanpa gentar tetap mencoba mengambil langkah dan pada akhirnya dia kalah, seluruh uang yang dia dapatkan diraup oleh lawan mainnya dan hilang seketika.
"Silahkan pergi, anda sudah kalah!"
Raharjo terusir, tapi dia tidak terima, dia langsung menelisik dan mendengar beberapa orang mendapat pinjaman taruhan.
"Aku akan tetap bertahan, aku pinjam uang dari kalian, jika aku menang aku akan mengembalikannya!" Raharjo dengan cepat mengambil keputusan.
Melihat Raharjo begitu yakin dengan kata-katanya, pihak penyelenggara menyetujuinya, dia langsung mendapatkan pinjaman.
"Tanda tangani surat perjanjian ini, jika tidak, kau tidak akan bisa mendapatkan pinjaman."
Seorang petugas menyodorkan surat resmi peminjaman uang dengan diberi materai, yang berarti Raharjo tidak bisa kabur dari hutangnya.
Raharjo langsung menanda tangani surat itu, dia tidak tahu, bahwa judi mahjong ini terkenal sebagai sarang penipuan, mereka sengaja membuat tertarik para pemain judi dengan memberi kesempatan memasang taruhan suka-suka, tapi akan mendapatkan hadiah yang besar, saat permainan awal mereka sengaja mengalah dan membuat si pemain menang di awal, dan pada akhirnya kalah lalu terlilit hutang yang uangnya bahkan tak pernah mereka terima, itulah kelicikan mereka kelompok Master yang menyediakan judi Mahjong.
.
.
Nia mencari keberadaan suaminya, tapi tidak dia temukan, di desa yang padahal tidak terlalu luas ini sudah membuat kaki Nia merasa pegal.
Nia sudah berjalan dari rumahnya sampai ke masjid yang berada di tengah desa, tapi sayang dia sudah lelah dan memutuskan untuk pulang ke rumah.
"Ketemu, Mih?" tanya Nadin.
"Tidak! Papih kamu tidak ada. Mamih juga lelah mencarinya." Nia memijat betisnya yang keram.
"Mamih, makanya rajin olah raga, biar enggak cepat lelah." Sindir Nadin sambil membawakan air putih.
"Minum dulu." Nadin menyodorkan segelas minuman.
"Terima kasih, sayang." Nia langsung meneguk habis air di dalam gelas.
"Doyan apa haus?" Sindir Nadin lagi.
"Haus lah, ya kali air putih ajah doyan." Nia memperhatikan gelasnya yang kosong.
"Mamih ... Mamih, air putih itu bagus untuk kesehatan, bisa menghilangkan kerutan di wajah Mamih." Nadin mengambil gelas kosong dari tangan maminya, dia takut maminya khilaf dan melempar gelas ke arahnya.
"Kamu pikir, Mamih wajahnya udah keriput?" Nia melotot kearah Nadin.
Mendengar nada kesal dari perkataan Maminya, Nadin tertawa kecil dan menyembunyikan tawanya, puas sekali dia menggoda Maminya.
.
.
"Kamu kalah lagi, sekarang kamu tinggal membayar hutangmu, waktumu hanya tiga hari." Seorang pria memberikan kertas salinan perjanjian pinjaman.
"Tiga hari? Secepat itu? Ini bukan perkara uang sedikit!" keluh Raharjo.
"Ini surat perjanjiannya, sudah jelas tertulis di sana, seharusnya kamu protes sebelum menandatangani suratnya." Pria itu memberikan salinan perjanjian ke tangan Raharjo.
Betapa terkejutnya dia, Raharjo adalah korban kelima dari kelicikan kelompok Master, mereka meminjam uang sebanyak lima juta rupiah sebagai taruhan ketiga dalam permainan. Kini hanya Raharjo yang memiliki hutang terbanyak, sedangkan yang lainnya hanya meminjam kekurangan uang yang mereka dapat dari awal permainan.
Raharjo hanya bisa pasrah, Raharjo berjalan menuju arah pulang, dalam perjalanan dia terus berpikir, darimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu, bahkan teman-temannya saja yang menjerumuskannya dalam permainan judi tidak perduli dengan keadaannya, apalagi jika dia meminjam uang sudah pasti mereka tidak akan memberikannya.
"Bodoh ... Bodoh ... bodoh, kenapa harus tergiur, sudah tau jatuh miskin masih saja bertingkah," Raharjo membatin sambil memukuli kepalanya.
.
.
Raharjo masuk kedalam rumah dengan langkah gontai, dia seperti tidak memiliki tulang lagi untuk menopangnya berdiri.
Raharjo hanya melihat kearah istri dan putrinya bergantian, dia begitu menyesal, sudah pasti jika istri dan anaknya tahu dia berhutang sebanyak lima juta, dia akan habis dimaki, atau bisa jadi istrinya akan menggugat cerai dirinya yang sudah tidak punya apa-apa tapi beraninya berhutang.
"Papih kenapa, Mih?" tanya Nadin.
"Mamih juga enggak tahu, Din." Nia memperhatikan langkah Raharjo.
"Mungkin karena belum makan kali, kan dia dari tadi pergi, udah sore baru pulang, pasti laper, kamu siapin makan sana." Nia dengan entengnya menyuruh anaknya menyiapkan makan untuk Raharjo.
Istri macam apa itu? Aaah itulah, istri pengusaha kaya, kalau sudah kaya dan jatuh miskin tetep ajah enggak mau mandiri. hehehee kidding ya guys.
Nia menyusul suaminya masuk ke dalam kamar, di dalam kontrakan yang mereka tempati, terdapat dua kamar tidur, dapur dan ruang tamu, semua ruangan berukuran kecil, hanya muat untuk kasur ukuran nomor dua, dan lemari plastik kecil.
.
.
Nadin mulai pergi ke kampus, dia pergi dijemput oleh Shasha sahabatnya yang begitu setia kepadanya, Shasha yang memiliki nama panjang Shania Agustin, usia nya dengan Nadin hanya beda beberapa bulan saja, mereka berteman sejak masih di bangku sekolah menengah atas.
"Aku pergi kuliah dulu, Mih, Pih." Nadin bersalaman tapi entah mengapa Papinya seakan tidak mendengar perkataan Nadin.
Nadin menoleh ke arah Maminya, lalu maminya hanya menjawab dengan mengangkat kedua bahunya.
Mereka berdua tidak mengetahui apa yang terjadi kepada Raharjo, sehingga mereka merasa aneh dengan sikapnya.
"Papih kenapa?" tanya Nia saat putrinya sudah berangkat.
"Mih." Tatapan sendu diperlihatkan.
"Pih, ada apa? Cerita dong, kalo Papih enggak cerita, gimana Mamih ngerti? Terakhir kali Papih seperti ini saat rumah mau disita Bank, kalo sekarang karena apa?" Nia bicara dengan lemah lembut kepada suaminya.
"Uang." singkat dan padat perkataannya.
"Papih pusing karena enggak punya uang?" tanya Nia dan Raharjo mengangguk.
"Papih cari kerja ajah, kali ajah nanti dapet uang dan kita bisa makan enak." Hanya makanan eak yang ada di pikiran Nia, wanita ini memang kerap kali membeli makanan mewah dan lezat dengan harga yang fantastis.
Raharja menundukkan kepalanya, betapa lelahnya dia bicara dengan istrinya yang terlalu polos dan terlalu lemot ini, Nia terlahir dari keluarga kaya, dia terbiasa hidup mewah sebenarnya, tapi dia bukan tipe pengeluh, sehingga tinggal di rumah kontrakan yang kecil ini, biasa saja baginya, berbeda dengan Raharjo, bekerja dari nol, menjadi pengusaha karena ada kesempatan, membuat dirinya lupa diri sehingga ikut terjerumus dalam permainan judi, kehidupan mewah yang sudah puluhan tahun dia ciptakan sekejap hilang dalam hitungan bulan saja.
.
.
"Nad, kita makan di cafe yuk pulang kampus," ujar Shasha.
Nadin menatap Shaha dan menepuk pundaknya. "Sorry, Sha, bukannya enggak mau, tapi sekarang gue harus menghemat uang, Lo tau sendirikan sekarang Papih gue udah bangkrut? Jadi gue harus pinter-pinter atur keuangan sampe dapat pekerjaan."
"Kalo begitu kita nongkrong di kantin kampus aja, kali ajah ada makanan yang sesuai selera Lo di sana," ujar Shaha dan disetujui oleh Nadin.
Nadin dan Shaha jarang dan bahkan belum pernah menginjakkan kakinya di kantin kampus, karena mereka sering pergi ke cafe setelah mata kuliah usai.
Masuk ke dalam kelas dan mengikuti mata kuliah sampai selsai adalah kegemaran mereka berdua, memang mereka bukan kutu buku, tapi Nadin dan Shasha termasuk mahasiswi teladan dan selalu mendapatkan beasiswa, meski mereka orang kaya tapi mereka belajar dengan sungguh-sungguh.
Tidak seperti selebritis kelas satu ini, Muza Maharani sering dipanggil Mumu setiap kali dia membuat keributan di kelas, dia tidak ditakuti oleh teman-teman di kelas, hanya saja karena dia keponakan dari Rektor kampus, membuat mereka enggan berkelahi dengannya. Nadin yang sering menjadi bahan kekejamannya dan juga bahan nyinyiran, membuat mereka menjadi musuh bebuyutan di dalam kelas.
"Eh, ada OMB," celetuk Muza saat melihat Nadin yang sudah duduk di bangkunya.
"OMB, apaan tuh?" tanya Shasha.
"Orang miskin baru laaaah ...." Cekikikan kencang terdengar dari gank mereka.
Muza, Dina dan Nova tiga sekawan yang berteman karena status sosial mereka yang tinggi. Nadin pernah diajak untuk masuk gank mereka, karena tidak sejalan akhirnya Nadin memutuskan untuk keluar dan sejak itulah mereka menjadi musuh bebuyutan.
"Orang mah jadi orang kaya baru, eh , ini malahan jadi orang miskin baru." Tawanya lagi saat puas mengejek Nadin.
"Sabar ... sabar, setan lagi bertebaran, tapi tenang sebentar lagi setan bakalan di kurung pas bulan puasa menjelang." Sindiran Nadin mengundang tawa seluruh mahasiswa dan mahasiswi yang ada di kelasnya.
Itulah Nadin, pribadi yang humble, meski memiliki tatapan yang dingin, dia berhati lembut, dia sering membantu tema-temannya tanpa pamrih, sedangkan Muza hanya bisa mencemooh mereka karena statusnya sebagai keponakan Rektor.
"Hei ... hei, jangan ribut di sini, ini kelas," ujar seorang Dosen yang begitu menyebalkan bagi satu kelas.
"Kalian hanya mau berdiri di situ? Cepat duduk dan buka buku yang kemarin saya tugaskan." Jhonson memerintahkan mahasiswanya untuk membuka buku.
Nadin melihat sekitar, mungkin hanya dia saja yang tidak membawa buku, sudah pasti dia akan mendapatkan hukuman berat dari sang dosen.
Jhonson menelisik lewat ekor matanya, dia pura-pura tidak melihat suasana panik beberapa mahasiswanya. "Yang tidak membawa buku, saya harap keluar dari kelas saya dan berdiri di depan pintu kelas sambil menjewer kuping teman kalian." Perintah Jhonson.
Dengan cepat Nadin dan Muza keluar kelas, mereka tidak akan mendapat absen kelas hari ini dan menanti hukuman selanjutnya yang bisa membuat mereka kejang-kejang.
Di luar kelas, Nadin dan Muza saling menjewer kuping, Muza menjewer kuping kiri Nadin, sedangkan Nadin menjewer kuping kanan Muza.
"Aaaw, pelan kali enggak perlu menjewer beneran, udah kayak Emak tiri ajeh." Sosor Nadin.
"Ya, kan , kata Pak Jhonson, suruh jewer, jadi enggak salah dong kalo gua jewer kuping lo." Nyolot Muza.
"Aaaaah." teriak Muza sambil menggosok kupinya. " Gila ya lo, sakit kuping gua." Kuping Muza memerah sedikit.
"Ya, kan, kata Pak Jhonson, suruh jewer, jadi enggak salah dong kalo gua jewer kuping lo." Nadin meniru setiap kata yang diucapkan Muza.
Muza hendak memukul Nadin, tapi suara pintu kelas terbuka.
"Kalian bisa enggak sih, sehari ajah enggak ribut."
"Enggaak bisa." ujar mereka serempak dan langsung mengunci mulut mereka ketika melihat wajah dosennya yang ada dihadapan mereka.
"Mati, tugas makin berat kalau begini situasinya." Nadin merutuki dirinya sendiri sambil membatin.
Muza mulai dengan plying victimnya. "Pak ... saya sepertinya sakit, saya lemes banget, kayaknya saya enggak sanggup buat melanjutkan hukuman ini. "Wajahnya mulai dibuat seolah-olah terserang Flu.
Melihat sikap Muza membuat Nadin ingin mengeluarkan seluruh isi perutnya. Nadin membuka matanya lebar-lebar ketika Muza melanjutkan aksinya, Muza bersandar di dada bidang Jhonson.
"Gila, berani juga nih cewek, punya nyawa sembilan kayaknya jadi enggak takut mati di tangan tuh dosen." Nadin melipat bibirnya.
Bruuugh
Jhonson menarik tubuhnya, sehingga Muza terjatuh, suara terjatuhnya dan jatuh tepat diantara pintu yang terbuka, membuat si Mumu menanggung malu, seisi kelas menertawakannya terbahak, tak terkecuali kedua sahabat Mumu dan juga Nadin yang begitu puas melihat Mumu malu.
"Hahahahahahha." Nadin tertawa terbahak.
Mungkin saat ini Jhonson juga ingin tertawa, tapi sayang dia tidak bisa melakukannya, dia harus menjaga imagenya sebagai seorang Dosen Killer.
"Pelajaran selesai hari ini, jangan lupa materi hari ini di rangkum dan langsung di email kepada saya, saya tunggu sampai jam 20:00." Jhonson meninggalkan kelas sambil melirik kecil kearah Nadin yang masih tertawa lepas.
Melangkah melewati Nadin, Jhonson ternyata menyelipkan senyuman ketika melihat wajah mahasiswanya yang begitu senang.
.
.
"Cari tahu tentang wanita itu, aku akan menaklukkan anak nakal itu."
Pria tua itu memberikan perintah kepada anak buahnya saat melihat sekilas senyuman.
.
.
.
.Siapa pria itu? apa hubungannya dengan Jhonson? saksikan di kisah selanjutnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!