Cinta Tak Tergapai
Seorang gadis tengah bersolek di depan sebuah cermin dengan senyum merekah. Hari ini, dia ada janji temu dengan seorang pria yang dikenal melalui akun sosial media.
Selama satu bulan intens berhubungan, mereka sama sekali belum pernah bertatap muka secara langsung. Mereka hanya berhubungan melalui aplikasi pesan singkat dan melakukan panggilan biasa. Itu semua sepakat mereka lakukan untuk memupuk rasa penasaran di hati masing-masing.
''Hmmm, aku tidak sabar bertemu dengannya. Kira-kira seperti apa dia? Apa setampan foto yang ada di akunnya," gumamnya dengan membayangkan sosok pria yang selama ini mengisi hari-harinya.
''Kenapa aku gugup dan bahagia secara bersamaan." Tangannya meraba dada bagian kiri, dapat dirasakan jika jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
''Ya ampun ... Mungkin, aku sudah gila. Jatuh cinta pada pria yang belum pernah aku temui,'' pekiknya tertahan dengan menutup wajah menggunakan kedua tangan.
Gadis itu semakin tenggelam dalam khayalannya, hingga tak menyadari jika ada seseorang masuk ke dalam kamarnya.
''Kau mau kemana, Nak?" tanya seorang wanita paruh baya yang tidak lain ibu dari gadis itu.
''Aku ada janji temu dengan temanku, Bun," jawab Talita yang masih sibuk memperbaiki riasannya.
Dia belum menyadari jika sang ibu tengah menatapnya dengan tatapan sendu.
''Jika bunda melarangmu pergi, apa kamu akan marah?"
Seketika, Talita menatap pantulan ibunya dari cermin. Di sana terlihat sangat jelas jika tatapan sang ibu menyiratkan permohonan mendalam.
Dia meletakkan alat riasnya, kemudian menyusul ibunya duduk di tempat tidur.
''Ada apa, Bunda? Kenapa Bunda terlihat sedih?" tanyanya dengan menggenggam lembut tangan wanita berusia setengah abad itu.
''Bunda tidak bisa mengatakan sekarang, bunda tidak sanggup," ucapnya lirih dengan mata berkaca-kaca.
Talita semakin dibuat bingung dengan sikap ibunya. Tidak biasanya ibunya seperti itu. Dia selalu mengatakan secara langsung jika ada sesuatu yang penting.
''Ada apa, Bun. Jangan buat aku penasaran, Ikh," desak gadis itu.
''Maaf, Ta. Tapi Bunda benar-benar tidak bisa mengatakannya, sungguh. Yang jelas kamu bunda larang keluar rumah karena ada yang ingin bertemu denganmu, malam ini." Dewi berucap tegas dengan sorot mata tajam sebagai tanda tidak ingin dibantah.
Wanita paruh baya itu segera beranjak tanpa mengucap sepatah kata pada putrinya.
''Tidak bisa seperti itu, Bun. Bunda harus mengatakan alasannya dengan jelas. Kenapa aku tiba-tiba tidak diperbolehkan pergi? Biasanya bunda tidak seperti itu," sahut Talita tidak terima.
''Bunda mohon, turuti perintah bunda untuk kebaikan semuanya. Karena hanya kamu harapan kita satu-satunya."
Setelah mengatakan itu, Dewi segera mengambil kunci kamar putrinya, lalu menguncinya dari luar tanpa memedulikan protes gadis itu.
''Loh-loh, Bun. Kenapa dikunci?" Talita berniat mencegah tindakan sang ibu.
Namun, sayang dia terlambat, pintu sudah tertutup sempurna tanpa bisa dibuka.
''Bunda harus mengatakan alasannya. Jangan buat aku bingung."
''Bunda, buka! Aku akan menuruti perintah bunda tapi jangan kunciin aku seperti ini," teriak gadis itu sambil memutar kenop pintu beberapa kali, kemudian disusul gedoran pintu kamarnya.
''Bunda!"
"Bunda!"
...----------------...
''Bagaimana kau berhasil mengamankan anak itu?"
Talita segera merapat ke arah pintu ketika samar-samar mendengar pembicaraan kedua orangtuanya.
''Sudah.'' Suara Dewi terdengar lesu.
''Bagus! Pokoknya aku tidak mau tahu, ini harus berhasil." Herman berucap tegas penuh penekanan.
''Mas, apa tidak ada cara lain selain ini? Kita bisa menjual rumah ini, misalnya."
Mendengar usulan istrinya, sontak darah pria paruh baya itu mendidih hingga ke ubun-ubun. Pikiran bingung disertai kekalutan membuat emosinya mudah terpancing.
''Punya otak dipakai, Dewi! Kalau rumah ini diual. Kita akan tinggal di mana, kolong jembatan?" Suara lantangnya menggelegar di seluruh ruangan, matanya menyorot tajam ke arah istrinya.
''Tapi, setidaknya...."
''Sudahlah! Kau ini aneh dikasih enak kok gak mau. Aku tidak menerima alasan apapun dari mulutmu." Herman menyela cepat ucapan sang istri untuk mengakhiri perdebatan mereka.
''Mas, aku tidak rela putriku diperlakukan begini," kata Dewi dengan nada sedikit keras.
''Apa kau lupa? Dia juga putriku, tanpa ada aku, anak itu tidak akan hadir di dunia ini."
Entah kenapa, ada remasan tak kasat mata yang dirasakan Talita setelah mendengar ucapan sarkas sang ayah. Dia hanya mampu meremas baju bagian depan ketika merasakan perih di dalam sana.
''Sebenarnya, apa yang mereka rencanakan?'' batinnya bertanya-tanya.
...----------------...
Waktu yang dinanti pun tiba, hingga senja menyapa. Talita masih belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang sedari tadi bersarang dalam benaknya.
Dia mencoba mengalihkan kegelisahan dengan tugas-tugas kuliahnya. Ketika tengah fokus dengan kegiatannya, gadis itu dikejutkan dengan kehadiran sang ibu yang tiba-tiba masuk untuk memberitahukan jika orang yang dimaksud telah tiba.
''Siapa sih, Bun?" Talita berdecak tak suka.
Bukannya menjawab, Dewi justru membongkar seluruh isi lemari putrinya, lalu memintanya untuk berganti baju, bahkan dia juga yang memilih pakaian yang harus dikenakan.
''Cepat pakai ini, Ta! Dia tidak suka menunggu lama," titah Dewi dengan menyodorkan sebuah gaun berwarna hitam kepada putrinya.
''Dia, dia, dia ... Dari tadi itu terus yang keluar dari mulut bunda. Apa dia tidak punya nama?'' Talita tak bisa lagi menahan kejengkelannya.
''Sudahlah, Ta. Jangan buang-buang waktu untuk protes. Kamu mau kena amuk ayah," sahut Dewi.
Gadis itu meraih kasar sehelai pakaian yang disodorkan, kemudian berlalu ke kamar mandi dengan kekesalannya.
Dewi menghela nafas melihat tingkah putrinya. Sebenarnya, dia kasihan terus-menerus memaksa putrinya seperti ini, tapi dia juga tidak bisa berbuat banyak.
''Maafkan bunda, Ta. Seandainya bunda bisa membantu, bunda tidak akan membiarkanmu diperlakukan seperti ini," batinnya menatap sendu pintu yang tertutup.
''Bun, kita mau kondangan ya? Kok aku disuruh pakai gaun segala. Atau ayah mau mengajak kita ke pesta?" Talita menatap heran pantulan dirinya di depan cermin.
''Duduklah! Bunda akan membantumu berias. Jangan buat mereka menunggu terlalu lama." Dewi mendudukkan paksa tubuh mungil itu di depan meja rias, kemudian mulai memoles wajah ayu tersebut dengan riasan natural.
Beberapa menit kemudian, dia telah menyelesaikan pekerjaannya. Dewi sangat puas dengan hasilnya, senyumnya mengembang sempurna ketika melihat putrinya terlihat lebih dewasa.
''Cantiknya putri kecil bunda. Senyum dong ... Masa cantik-cantik manyun," godanya dengan mencubit pelan dagu lancip itu.
Akan tetapi, Talita tak terpengaruh sedikit pun dengan goadaan ibunya. Justru mulutnya semakin maju karena Dewi tak kunjung menjawab pertanyaannya.
''Ta, bunda mohon. Tolong, nanti turuti semua keinginan mereka tanpa banyak protes.'' Dewi berpesan dengan wajah memelas. Dia meraih jemari tangan putrinya, lalu menggenggamnya dengan lembut.
''Mereka siapa, sih, Bun?"
Tanpa menjawab semua pertanyaan itu, Dewi menarik paksa tangan putrinya untuk menemui tamu mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Naomi Boru Angin
ikut mamfir kk lihat fromo karyamu ada digrup NT difb makanya langsung meluncur kesini...
2023-02-11
2
Pink Blossom
jngn² mau d jodoh kn🙄
2023-01-03
2