Chapter 2

''Nah, ini dia yang kita tunggu-tunggu ... Akhirnya datang juga," ucap Herman ketika melihat putrinya turun ke lantai bawah dengan pendampingan sang istri.

Riasan natural semakin menambah kesan menawan penampilan Talita pada malam ini. Seolah terhipnotis, seorang pria bermata biru tak dapat mengalihkan pandangan dari gadis itu.

Gadis itu menatap bingung dengan keberadaan orang asing di rumahnya. Dua orang pria muda berjas rapi bersama dengan pasangan paruh baya tengah menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian.

''Siapa mereka, Bun?" tanya Talita berbisik pada ibunya.

''Sebentar lagi kamu akan mendapat jawaban dari semua pertanyaanmu, Sayang. Bersikaplah sopan pada mereka!" Dewi menanggapi dengan nada yang sama.

''Cantiknya calon menantuku. Kau memang tidak salah pilih, Dexter." Celetukan seorang wanita berusia enam puluh tahunan berhasil mengejutkan gadis itu.

''Menantu?" beonya spontan.

Talita langsung menatap kedua orang tuanya dengan sorot penuh tanya.

''Kok kamu kaget begitu, apa Dexter belum memberitahumu, Nak?'' tanya wanita itu dengan kening berkerut.

Talita menggeleng pelan, tatapannya beralih pada seorang pria yang tengah menatap tajam ke arahnya.

''Begini, Nyonya. Sebenarnya, Nak Dexter berencana memberi kejutan untuk putri kami. Talita memang belum mengetahui hal ini tapi Dexter sudah mengutarakan niat baiknya." Herman segera tanggap mengatasi masalah ini.

''Iya, 'kan, Bun?" tanyanya meminta persetujuan dengan nada penuh penekanan.

''I-iya, Nyonya. Yang disampaikan suami saya memang benar," jawab Dewi dengan gugup.

Talita semakin bingung dengan situasi yang tengah dia hadapi. Dia tidak mengenal pria itu, tapi kenapa pria itu mau melamarnya? Banyak pertanyaan yang lagi-lagi mengganggu pikirannya.

''Tapi, saya 'kan...."

Seakan tahu apa yang akan diucapkan putrinya, Dewi segera mengeratkan genggaman tangannya pada lengan itu, sehingga otomatis ucapan Talita berakhir menggantung.

''Sudah-sudah, sebaiknya kita mulai saja ... Sebelum Hari semakin malam.'' Pria paruh baya yang sedari tadi hanya menjadi pendengar pun segera menyela.

''Saya setuju dengan Tuan Clyde. Sebaiknya, kita segera memulai acaranya...." Herman pun ikut menimpali.

...----------------...

''Oh, jadi ini alasan bunda melarangku pergi? Aku dijodohkan paksa dengan pria yang tidak aku kenal," protes Talita setelah acara dadakan itu selesai. Dia menumpahkan semua kekesalan di depan kedua orangtuanya.

Kedua belah pihak sepakat acara pernikahan putra-putri mereka akan diadakan dalam kurun waktu dua minggu kedepan.

''Maafkan bunda, Ta. Bunda juga terpaksa. Semua juga atas perintah ayahmu," jawab Dewi dengan nada penuh rasa bersalah.

Gadis itu beralih menyorot tajam sang ayah yang tengah duduk tenang pada kursi yang terletak tak jauh darinya.

''Seharusnya, kau bangga, Talita. Kau akan diperistri pria nomor satu di Asia. Banyak wanita yang berharap ada di posisimu saat ini."

''Di mana para wanita itu? Tunjukkan padaku, Yah! Aku dengan sukarela menukar posisi ini,'' teriaknya dengan mata memerah.

''Jangan macam-macam, Talita," balas Herman tak kalah berteriak.

"Ayah butuh modal untuk membangun kembali perusahaan yang hampir gulung tikar. Dia meminta syarat pernikahan pada ayah. Jika tidak ... Dia tidak ingin memberikan modal itu."

''Jadi ini alasan ayah." Talita tak mampu berkata-kata lagi, hanya kekehan sinis yang keluar dari mulutnya.

''Aku tidak menyangka kalian begitu tega. Rela menjual putrinya hanya demi uang," lirihnya dengan tatapan penuh luka.

''Jelaskan pada putri kesayanganmu mengenai kondisi kita yang sebenarnya. Aku malas berdebat dengannya." Herman beranjak dari tempatnya dengan membawa bongkahan kekesalan dalam dada.

Talita hanya menatap tajam punggung kekar sang ayah yang menghilang di balik tangga. Kebencian pada pria itu semakin membara dalam hatinya.

''Ta, bunda mohon ... Turuti keinginan ayah. Hanya kamu harapan kami satu-satunya. Banyak gaji karyawan yang belum terbayarkan. Hutang perusahaan ayah cukup banyak. Seandainya, perusahaan terjual belum tentu uangnya bisa menutup semua hutang kita, bahkan rumah inipun akan turut terjual," papar Dewi panjang lebar berusaha memberi pengertian pada putrinya.

Setelah mendengar itu, Talita bukannya iba justru semakin terkekeh sinis. Dia tidak menyangka jika orang tua kandungnya tega menjadikan dirinya sebagai alat tukar untuk melunasi hutang. Mereka rela menggadaikan kebahagiaan dan masa depan putrinya hanya demi harta. Dia benar-benar tidak percaya dengan kenyataan ini.

''Aku bukan barang yang seenaknya kalian gadaikan."

''Mengertilah, Ta." Bunda menggenggam tangan putrinya dengan mata memohon.

''Kalian kejam!" teriaknya sambil berlari menuju kamar.

...----------------...

Talita menumpahkan semua tangisnya di dalam kamar. Dia membenamkan keseluruhan wajahnya pada bantal, bahkan berteriak sekencang mungkin. Dengan harapan rasa sesak dalam dadanya berangsur hilang.

Ingin rasanya, dia marah besar pada kedua orangtuanya. Namun, gadis itu tak sampai hati untuk melakukannya. Bagaimanapun juga mereka orang tua yang harus dia hormati. Terlepas dari semua yang mereka lakukan.

''Kalian jahat! Aku benci, huhuhu," teriaknya dengan suara tertahan kerena masih berada pada posisi yang sama.

''Tau begini, aku tadi kabur saja."

''Bagaimana mungkin aku menjalani hidup dengan pria yang tidak aku kenal."

Keadaannya sangat menyedihkan, riasannya telah luntur karena air mata, bahkan sampai mengotori bantal tidurnya

Talita terus menumpahkan semua kekesalan dalam tangisnya. Dia mengomel tidak jelas, entah ditujukan pada siapa padahal di dalam sana hanya ada dia seorang, hingga sebuah notifikasi pesan menghentikan aksi tangis gadis itu. Dia segera membuka isi pesan dari seseorang yang telah mengisi harinya beberapa hari belakangan ini.

[Teleponan yuk, aku pengen denger suaramu.]

Setelah mengetahui centang biru, kenalannya segera menelpon tanpa menunggu balasan darinya

Talita segera menghapus kasar sisa air matanya, lalu sedikit berdehem untuk menetralisir suaranya agar tidak terlihat serak seperti habis menangis . Baru setelah itu, dia segera menjawab panggilan pria itu.

''Hallo...."

''Kamu habis nangis?" tanya seorang pria di seberang sana.

Talita gelagapan sendiri, dia segera menjauhkan ponsel, lalu berdehem beberapa kali agar suara seraknya hilang.

''Eh, eng-enggak kok. Aku hanya ngantuk," jawabnya berdalih.

''Oh, kukira kenapa.''

"Kenapa tadi tidak datang? Satu jam lebih aku menunggu."

''Maafkan aku ... Aku ada acara keluarga mendadak dan aku harus hadir," jawab Talita dengan lesu. Rasa bersalah tiba-tiba menelusup ke dalam hatinya.

''Oh, ya sudah tidak apa-apa. Tapi acara keluargamu lancar, 'kan?''

Talita tersenyum miris mendengar pertanyaan itu.

''Lan-lancar. Sangat lancar.'"

''Acara apa sih, Ta?" tanya pria itu dengan rasa penasaran menggunung.

''Lamaran."

''Pasti lamaran saudaramu ya, makanya kamu diharuskan untuk hadir.''

''Emmm, i-iya."

Terdengar hembusan nafas kasar dari pria di seberang sana.

''Sepertinya, kamu terlalu lelah, Ta. Istirahatlah! Besok pagi ku telpon lagi. Selamat malam."

Gadis itu hanya menatap nanar layar ponsel yang telah padam. Tanpa terasa air matanya kembali turun, hingga membuat pandangan buram.

''Maafkan aku...," ucapnya tanpa suara.

Dia melempar benda pipih itu, kemudian kembali menelungkupkan tubuh seperti tadi.

Deringan ponsel kembali mengganggu kesendiriannya. Dahinya berkerut ketika melihat nomor tak dikenal tengah menghubungi dirinya.

Tanpa menunggu lama, Talita segera mengangkat panggilan itu untuk mengetahui siapa yang menelepon.

''Ha—''

"Besok aku tunggu di Restoran Triple X pukul delapan pagi. Datang tepat waktu karena aku tidak suka menunggu."

Tut.tut.tut

Terpopuler

Comments

Sunmei

Sunmei

2like hadir kak
semangat
mampir y

2023-01-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!