Air mata Talita luruh tanpa bisa dicegah ketika suara sah menggema di ruang utama rumahnya. Kini, dia telah resmi menjadi istri dari seorang pria yang tidak dikenalnya.
Sirna sudah, impian merajut kasih bersama pria yang telah mengisi hari-harinya beberapa bulan terakhir. Cintanya dipaksa kandas hanya demi menutup hutang keluarga.
''Entah, bagiamana nasibku kedepannya? Yang terpenting, aku akan menjalaninya seperti air mengalir," batinnya merana.
Lamunannya terhenti ketika sentuhan lembut sang bunda menyapa kulitnya. Dia berusaha menunjukkan senyum terbaik seolah dia baik-baik saja.
''Ingat pesan bunda baik-baik, Ta. Hati manusia tidak sekeras batu. Batu jika ditetesi air terus-menerus lama-kelamaan akan berlubang. Begitupun hati manusia ... Dia akan luluh ketika mendapat ketulusan."
''Layani suamimu dengan tulus. Meskipun kalian hanya menikah siri, dia tetap suami yang harus kamu hormati. Bunda yakin, suatu saat Tuan Dexter akan luluh kepadamu." Dewi menatap lekat putri semata wayangnya.
Ada perasaan iba melihat nasib putrinya seperti ini. Sebagai seorang ibu, dia hanya bisa mendoakan semoga kelak putrinya akan mendapatkan kebahagiaan yang diinginkan.
Talita bungkam seribu bahasa, enggan menanggapi semua nasehat ibunya. Dia bertekad, suatu saat dia akan pergi menjauh setelah hutang-hutang keluarganya lunas.
''Talita, kau harus bisa meraih hati Tuan Dexter. Buat dia bertekuk lutut padamu. Setelah itu, kuras semua hartanya," kata Herman yang tiba-tiba masuk ke tempat putrinya. Dia bermaksud memberitahukan jika sudah saatnya Talita keluar.
Talita menatap ayahnya penuh kebencian. Kebenciannya pada sang ayah semakin bertambah setiap harinya. Karena ketamakannya, dia harus terjebak dalam jerat beracun ini yang kapan pun bisa meracuni hidupnya.
Seandainya, pria yang berdiri di hadapannya ini bukanlah ayah kandungnya, mungkin dia akan menghabisi saat ini juga.
''Lebih baik ayah diam daripada membicarakan sesuatu yang tidak penting," ujarnya dingin.
''Kau...." Teriakan Herman berakhir menggantung karena terlalu kesal dengan putrinya.
''Mas, sudah. Jangan membuat Talita semakin marah padamu. Biarkan dia membiasakan diri dengan semua ini." Dewi berucap lembut menasehati suaminya.
''Arrghh, terserah. Segeralah keluar! Mereka menunggumu." Herman melenggang pergi dari tempat itu dengan membawa amarahnya.
''Ayo, Nak."
Talita mengangguk. Dia segera menghapus sisa air mata yang ada di pipi, kemudian memperbaiki terlebih dahulu riasannya agar orang-orang di sana tidak curiga jika dia habis menangis. Dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan mereka semua.
...----------------...
Talita didudukkan tepat di sebelah suaminya. Karena acara akad telah dilaksanakan, keduanya langsung bertukar cincin, kemudian dilanjutkan dengan mencium tangan sang suami.
Air matanya kembali luluh ketika kecupan basah mendarat di keningnya. Seandainya, pria yang menikahinya ini adalah pria yang dia cintai. Seandainya, pernikahan ini atas dasar cinta. Seandainya pernikahan ini pernikahan sah di mata hukum dan agama, pasti dia akan sangat bahagia.
Talita tersenyum kecut ketika mendapati sebuah kenyataan, jika itu hanya pengandaian. Semua berbanding terbalik, kenyataan yang ada tak semanis bayangannya.
''Usap air matamu, aku tidak ingin orang-orang mengetahui jika kau terpaksa menikah denganku," bisik Dexter penuh penekanan.
Talita terkekeh sinis. "Saya heran kenapa orang bodoh seperti Anda bisa menjadi orang nomor satu di Asia.''
Dexter melotot tak percaya mendengarnya.
''Apa maksudmu?'' tanyanya penuh penekanan.
"Mempelai wanita menangis saat dikecup keningnya setelah akad nikah. Itu adalah tangis haru bukan keterpaksaan."
''Jadi, kau terharu," beonya dengan tampang polos.
''Jangan mimpi! Aku meratapi nasib sialku menjadi istrimu," jawab Talita ketus.
''Kau ini...," geram Dexter.
Dia hanya bisa menahan kekesalannya hingga menjadi sebuah bongkahan yang menyesakkan dada.
...----------------...
Malam hari di ruang kerja Dexter....
"Apa Anda yakin dengan keputusan ini, Bos?" Randi membuka suara ketika mereka telah selesai berdiskusi mengenai pekerjaan.
Dexter menaikkan sebelah alis menanggapi pertanyaan asistennya.
''Sejak kapan aku main-main dengan keputusanku," jawabnya datar, matanya masih fokus meneliti beberapa laporan yang baru diterima.
''Tapi, jika Anda yakin. Kenapa Anda hanya akan menikahinya secara siri? Dan bagaimana jika nyonya besar mengetahui hal ini? Apa tidak akan menimbulkan masalah baru?"
"Apa jangan-jangan, Anda masih...."
''Randi, belikan aku rok!" sela Dexter cepat sambil memijat pelipisnya, rasa pusing tiba-tiba melanda saat mendengar rentetan pertanyaan dari asisten setianya.
Randi menggaruk kepala belakangnya. Dia semakin bingung dengan tingkah sang atasan, untuk apa tiba-tiba meminta rok, memang siapa yang akan memakainya.
''Untuk apa, Bos?''
Pada akhirnya, pria itu memberanikan diri untuk bertanya demi menghilangkan rasa penasaran.
''Untuk kau pakai, mulutmu itu lebih pantas disebut mulut wanita daripada mulut pria," balas Dexter lengkap dengan kesewotannya. Nada bicaranya sangat tenang namun tajam menusuk hingga ke ulu hati.
''Ente kadang-kadang, Bos," batinnya keki.
''Sudahlah, lebih baik kau pulang. Aku ingin istirahat." Dexter segera mengusir asistennya daripada kepalanya bertambah pening mendengar segala ocehan pria itu.
''Baru jam delapan, Bos. Biasanya 'kan saya pulang jam sembilan lebih. Atau jangan-jangan bos ingin kikuk-kikuk dengan daun muda," godanya dengan menaik turunkan kedua alisnya.
''Kau pergi atau vas bunga ini mendarat di kepalamu," ancam Dexter dengan tangan melayangkan sebuah vas.
''Iya, Bos, iya ... Saya pulang.".
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments