''Apa ini?"
Talita terjengkit kaget ketika sebuah benda mendarat keras tepat di hadapannya.
''Buka dan baca dengan teliti, jika ada yang tidak dipahami segera tanyakan.'' Suara dingin seorang pria membuat gadis itu segera membuka map di hadapannya. Matanya meneliti huruf demi huruf yang terangkai di sana.
''Apa ini sebuah kontrak?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.
''Aku menyukai gadis cerdas sepertimu."
Tanpa berkata 'iya' pun, dia sudah paham dengan jawabannya. Dia hanya tersenyum miris saat membaca salah satu poin yang tertera di sana.
'Hanya dinikahi secara siri.'
''Apa bisnis Anda kurang luas, Tuan Dexter Yang Terhormat? Sehingga pernikahan pun kau jadikan bisnis,'' sindir Talita melirik sinis pria itu.
Dia berusaha menahan amarah yang bergejolak dalam dada agar tidak meledak saat itu juga.
''Terserah apapun tanggapanmu, aku tidak peduli. Yang jelas aku hanya butuh dirimu sebagai istri di depan orang tuaku," balas pria itu dengan santainya.
''Saya menolak jika hanya dinikahi siri." Talita mengutarakan penolakannya dengan tegas.
''Di sini yang berhak menentukan hanya aku, sedangkan kau hanya perlu menurut," ucap Dexter penuh penekanan.
''Egois, kau pikir aku ini robot," geram Talita dengan tatapan tajamnya.
Pria itu hanya tersenyum miring. ''Begitulah aku, dan mulai dari sekarang kau harus terbiasa dengan semuanya."
''Cepat tanda tangani perjanjian itu, karena waktuku tidak banyak. Setelah ini, aku ada pertemuan penting," perintahnya.
''Saya merasa keberatan dengan beberapa- poin di sini. Tidak, bukan beberapa tapi semuanya karena semua merugikan pihak saya." Talita mengajukan protes kerasnya.
Namun, Dexter hanya menyilangkan tangan menanggapi hal itu.
''Apa aku memintamu untuk berpendapat mengenai isinya? Sudah kubilang yang berhak menentukan hanya aku, itu artinya semua bentuk protesmu tidak sah. Sampai di sini paham, Nona."
''Tidak bisa begitu, dong...," sahutnya tidak terima. Namun ucapannya terhenti ketika suara berat pria itu menginterupsi.
''Randi, hubungi perusahaan Herman jika hari ini juga perusahaan akan saya akusisi.'' Dexter memberi perintah pada pria yang setia berdiri di belakangnya.
''Segera laksanakan, Bos."
''Oke-oke, aku tanda tangani perjanjian ini. Puas!''
Dexter menyunggingkan senyum penuh kepuasan ketika melihat tangan lentik itu menggoreskan tinta hitam di atas kertas putih bermaterai.
Karena merasa tak ingin dirugikan, Talita menambahkan pada poin terakhir dengan tulisan tangannya sendiri.
'Pihak satu dilarang mencampuri urusan pribadi pihak dua.'
'Pihak satu dilarang meminta hubungan suami-istri pada pihak dua.'
'Jika pihak satu melanggar, maka pihak dua berhak pergi tanpa alasan, juga sepuluh persen saham perusahaan yang dikelola di negara ini berhak menjadi milik pihak dua.'
''Selesai. Silahkan dibaca tambahan dari saya, Tuan. Tidak banyak hanya tiga poin, masih banyak punya Anda."
''Jangan coba-coba untuk mengubah atau merobeknya. Tentu kau tahu konsekuensinya, 'kan, Tuan? Karena tanda tanganmu sudah terbubuh di atas materai itu,'' lanjutnya lagi diiringi senyum smirk.
Dexter mengeram kesal membaca penambahan itu. Dia tidak menyangka gadis yang dikira polos ternyata cukup cerdik.
''Dasar rubah betina," gumamnya menahan geram.
''Dasar kancil menyebalkan," balas Talita dengan senyum mengejek.
''Kau!" Dexter menunjuk tepat wajah wanita itu.
''Apa?"
Gadis itu membalas dengan tatapan berani seolah menantang. Dia sudah tidak peduli jika pria ini akan mengakuisisi perusahaan keluarganya. Toh, yang tergila-gila dengan harta adalah ayahnya bukan dirinya. Yang penting, dia sudah menjalankan tugas dengan baik
...----------------...
Talita menghembuskan nafas lega setelah melihat kepergian pria menyebalkan itu. Kekesalan yang sempat melanda, kini bertambah parah. Mungkin, jika bisa dilihat. Wajahnya merah padam dengan kepala berselimut asap.
Bagaimana kekesalannya tidak menggunung. Tepat pukul delapan pagi, dia sudah sampai di tempat yang dijanjikan. Setengah jam lebih, dia menunggu, hingga menghabiskan satu gelas minumannya. Namun, pria itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya, bahkan dia juga sempat mengirim pesan tetapi tidak mendapat balasan sama sekali.
Beruntung, Talita mencari tempat duduk di pojok ruangan. Jadi, kejengkelannya tidak terlalu dilihat banyak orang. Biasanya, gadis itu sangat suka dengan keramaian. Namun, karena suasana hati yang sedang buruk, dia lebih memilih menyendiri untuk mencari ketenangan.
Hingga pada akhirnya, Talita yang sudah bosan menunggu mengirimkan sebuah pesan bernada ancaman.
'Jika dalam waktu lima belas menit, tidak juga datang. Aku akan pergi tanpa sudi lagi diajak bertemu, meskipun dipaksa.'
Dan usahanya membuahkan hasil. Beberapa menit setelahnya, pria itu datang meskipun dengan cara yang sangat menyebalkan.
''Haish, belum apa-apa sudah membuat hati meradang,'' gerutunya dengan menyeruput kasar minuman terakhirnya hingga tandas, bahkan terdengar bunyi keras dari sedotan yang ada di dalam gelas tersebut karena hanya tersisa bongkahan es.
"Fix, dia menyebalkan. Belum apa-apa, aku sudah dibuat keki, huh!"
...----------------...
Seorang pria terkekeh kecil saat membaca ulang pesan yang dikirim ke ponselnya. Sejak tadi pandangan matanya tak pernah lepas dari layar ponsel.
''Menarik, belum apa-apa dia sudah berani mengancamku," gumamnya.
Semua tingkahnya itu tak lepas dari pengamatan mata jeli sang asisten yang sejak tadi memperhatikan dari kaca spion depan.
''Kenapa matamu menatapku seperti itu," tegur Dexter dengan wajah datar tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya.
''Sejak semalam, Anda aneh, Bos. Saya takut Anda ketempelan."
''Apa katamu?" tanyanya dengan mata melotot.
Sang asisten langsung membungkam mulutnya rapat-rapat saat melihat reaksi tuannya.
''Fokus pada kemudimu! Tidak usah pedulikan aku," titah Dexter.
''Iya, Bos."
Dexter melanjutkan kembali kegiatannya. Senyumnya bertambah lebar saat mengingat semua peristiwa beberapa menit yang lalu.
''Belum apa-apa sudah tidak konsisten."
''Apa kau tidak melihat sudah berapa banyak minuman yang sudah kuhabiskan hanya untuk menunggumu." Dia menunjuk dengan dagu dua gelas gelas kosong yang ada di hadapannya, sedangkan tangannya masih mengaduk minuman yang baru berkurang sedikit.
''Bukan sepenuhnya salahku, bisa jadi kau yang rakus," balas Dexter dengan datar.
Mata wanita itu berkedip beberapa kali saat mendengar ucapan yang meluncur bebas dari mulutnya. Setelahnya, dia hanya mendengus kesal.
''Ini sudah lebih dari lima belas menit, kenapa kau masih di sini?" tanya Dexter.
''Karena aku malas berdebat dengan ayahku."
''Itu artinya kau juga tidak konsisten, jadi kita impas, 'kan?''
Talita benar-benar dibuat meradang oleh pria ini. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat sebagai pelampiasan rasa kesalnya.
''Karena saya tidak konsisten, sebaiknya saya pergi. Permisi...."
''Mau kemana kamu?" Dexter langsung menahan lengan gadis itu.
''Pulang! Lepaskan tanganku!"
''Tidak akan! Karena aku sudah di sini, jadi kau juga harus berada di sini."
''Dia berbeda," gumamnya tanpa sadar sebaris senyum tertarik di kedua sudut bibirnya.
''Kau lihat, Randi. Dia satu-satunya wanita yang berani mendebatku tanpa rasa takut sedikitpun. Dia berbeda, aku bisa merasakannya."
Randi, sang asisten hanya menggeleng pelan melihat sang atasan yang sepertinya terkena panah dewi asmara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments