NovelToon NovelToon

Cinta Tak Tergapai

Chapter 1

Seorang gadis tengah bersolek di depan sebuah cermin dengan senyum merekah. Hari ini, dia ada janji temu dengan seorang pria yang dikenal melalui akun sosial media.

Selama satu bulan intens berhubungan, mereka sama sekali belum pernah bertatap muka secara langsung. Mereka hanya berhubungan melalui aplikasi pesan singkat dan melakukan panggilan biasa. Itu semua sepakat mereka lakukan untuk memupuk rasa penasaran di hati masing-masing.

''Hmmm, aku tidak sabar bertemu dengannya. Kira-kira seperti apa dia? Apa setampan foto yang ada di akunnya," gumamnya dengan membayangkan sosok pria yang selama ini mengisi hari-harinya.

''Kenapa aku gugup dan bahagia secara bersamaan." Tangannya meraba dada bagian kiri, dapat dirasakan jika jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya.

''Ya ampun ... Mungkin, aku sudah gila. Jatuh cinta pada pria yang belum pernah aku temui,'' pekiknya tertahan dengan menutup wajah menggunakan kedua tangan.

Gadis itu semakin tenggelam dalam khayalannya, hingga tak menyadari jika ada seseorang masuk ke dalam kamarnya.

''Kau mau kemana, Nak?" tanya seorang wanita paruh baya yang tidak lain ibu dari gadis itu.

''Aku ada janji temu dengan temanku, Bun," jawab Talita yang masih sibuk memperbaiki riasannya.

Dia belum menyadari jika sang ibu tengah menatapnya dengan tatapan sendu.

''Jika bunda melarangmu pergi, apa kamu akan marah?"

Seketika, Talita menatap pantulan ibunya dari cermin. Di sana terlihat sangat jelas jika tatapan sang ibu menyiratkan permohonan mendalam.

Dia meletakkan alat riasnya, kemudian menyusul ibunya duduk di tempat tidur.

''Ada apa, Bunda? Kenapa Bunda terlihat sedih?" tanyanya dengan menggenggam lembut tangan wanita berusia setengah abad itu.

''Bunda tidak bisa mengatakan sekarang, bunda tidak sanggup," ucapnya lirih dengan mata berkaca-kaca.

Talita semakin dibuat bingung dengan sikap ibunya. Tidak biasanya ibunya seperti itu. Dia selalu mengatakan secara langsung jika ada sesuatu yang penting.

''Ada apa, Bun. Jangan buat aku penasaran, Ikh," desak gadis itu.

''Maaf, Ta. Tapi Bunda benar-benar tidak bisa mengatakannya, sungguh. Yang jelas kamu bunda larang keluar rumah karena ada yang ingin bertemu denganmu, malam ini." Dewi berucap tegas dengan sorot mata tajam sebagai tanda tidak ingin dibantah.

Wanita paruh baya itu segera beranjak tanpa mengucap sepatah kata pada putrinya.

''Tidak bisa seperti itu, Bun. Bunda harus mengatakan alasannya dengan jelas. Kenapa aku tiba-tiba tidak diperbolehkan pergi? Biasanya bunda tidak seperti itu," sahut Talita tidak terima.

''Bunda mohon, turuti perintah bunda untuk kebaikan semuanya. Karena hanya kamu harapan kita satu-satunya."

Setelah mengatakan itu, Dewi segera mengambil kunci kamar putrinya, lalu menguncinya dari luar tanpa memedulikan protes gadis itu.

''Loh-loh, Bun. Kenapa dikunci?" Talita berniat mencegah tindakan sang ibu.

Namun, sayang dia terlambat, pintu sudah tertutup sempurna tanpa bisa dibuka.

''Bunda harus mengatakan alasannya. Jangan buat aku bingung."

''Bunda, buka! Aku akan menuruti perintah bunda tapi jangan kunciin aku seperti ini," teriak gadis itu sambil memutar kenop pintu beberapa kali, kemudian disusul gedoran pintu kamarnya.

''Bunda!"

"Bunda!"

...----------------...

''Bagaimana kau berhasil mengamankan anak itu?"

Talita segera merapat ke arah pintu ketika samar-samar mendengar pembicaraan kedua orangtuanya.

''Sudah.'' Suara Dewi terdengar lesu.

''Bagus! Pokoknya aku tidak mau tahu, ini harus berhasil." Herman berucap tegas penuh penekanan.

''Mas, apa tidak ada cara lain selain ini? Kita bisa menjual rumah ini, misalnya."

Mendengar usulan istrinya, sontak darah pria paruh baya itu mendidih hingga ke ubun-ubun. Pikiran bingung disertai kekalutan membuat emosinya mudah terpancing.

''Punya otak dipakai, Dewi! Kalau rumah ini diual. Kita akan tinggal di mana, kolong jembatan?" Suara lantangnya menggelegar di seluruh ruangan, matanya menyorot tajam ke arah istrinya.

''Tapi, setidaknya...."

''Sudahlah! Kau ini aneh dikasih enak kok gak mau. Aku tidak menerima alasan apapun dari mulutmu." Herman menyela cepat ucapan sang istri untuk mengakhiri perdebatan mereka.

''Mas, aku tidak rela putriku diperlakukan begini," kata Dewi dengan nada sedikit keras.

''Apa kau lupa? Dia juga putriku, tanpa ada aku, anak itu tidak akan hadir di dunia ini."

Entah kenapa, ada remasan tak kasat mata yang dirasakan Talita setelah mendengar ucapan sarkas sang ayah. Dia hanya mampu meremas baju bagian depan ketika merasakan perih di dalam sana.

''Sebenarnya, apa yang mereka rencanakan?'' batinnya bertanya-tanya.

...----------------...

Waktu yang dinanti pun tiba, hingga senja menyapa. Talita masih belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang sedari tadi bersarang dalam benaknya.

Dia mencoba mengalihkan kegelisahan dengan tugas-tugas kuliahnya. Ketika tengah fokus dengan kegiatannya, gadis itu dikejutkan dengan kehadiran sang ibu yang tiba-tiba masuk untuk memberitahukan jika orang yang dimaksud telah tiba.

''Siapa sih, Bun?" Talita berdecak tak suka.

Bukannya menjawab, Dewi justru membongkar seluruh isi lemari putrinya, lalu memintanya untuk berganti baju, bahkan dia juga yang memilih pakaian yang harus dikenakan.

''Cepat pakai ini, Ta! Dia tidak suka menunggu lama," titah Dewi dengan menyodorkan sebuah gaun berwarna hitam kepada putrinya.

''Dia, dia, dia ... Dari tadi itu terus yang keluar dari mulut bunda. Apa dia tidak punya nama?'' Talita tak bisa lagi menahan kejengkelannya.

''Sudahlah, Ta. Jangan buang-buang waktu untuk protes. Kamu mau kena amuk ayah," sahut Dewi.

Gadis itu meraih kasar sehelai pakaian yang disodorkan, kemudian berlalu ke kamar mandi dengan kekesalannya.

Dewi menghela nafas melihat tingkah putrinya. Sebenarnya, dia kasihan terus-menerus memaksa putrinya seperti ini, tapi dia juga tidak bisa berbuat banyak.

''Maafkan bunda, Ta. Seandainya bunda bisa membantu, bunda tidak akan membiarkanmu diperlakukan seperti ini," batinnya menatap sendu pintu yang tertutup.

''Bun, kita mau kondangan ya? Kok aku disuruh pakai gaun segala. Atau ayah mau mengajak kita ke pesta?" Talita menatap heran pantulan dirinya di depan cermin.

''Duduklah! Bunda akan membantumu berias. Jangan buat mereka menunggu terlalu lama." Dewi mendudukkan paksa tubuh mungil itu di depan meja rias, kemudian mulai memoles wajah ayu tersebut dengan riasan natural.

Beberapa menit kemudian, dia telah menyelesaikan pekerjaannya. Dewi sangat puas dengan hasilnya, senyumnya mengembang sempurna ketika melihat putrinya terlihat lebih dewasa.

''Cantiknya putri kecil bunda. Senyum dong ... Masa cantik-cantik manyun," godanya dengan mencubit pelan dagu lancip itu.

Akan tetapi, Talita tak terpengaruh sedikit pun dengan goadaan ibunya. Justru mulutnya semakin maju karena Dewi tak kunjung menjawab pertanyaannya.

''Ta, bunda mohon. Tolong, nanti turuti semua keinginan mereka tanpa banyak protes.'' Dewi berpesan dengan wajah memelas. Dia meraih jemari tangan putrinya, lalu menggenggamnya dengan lembut.

''Mereka siapa, sih, Bun?"

Tanpa menjawab semua pertanyaan itu, Dewi menarik paksa tangan putrinya untuk menemui tamu mereka.

Chapter 2

''Nah, ini dia yang kita tunggu-tunggu ... Akhirnya datang juga," ucap Herman ketika melihat putrinya turun ke lantai bawah dengan pendampingan sang istri.

Riasan natural semakin menambah kesan menawan penampilan Talita pada malam ini. Seolah terhipnotis, seorang pria bermata biru tak dapat mengalihkan pandangan dari gadis itu.

Gadis itu menatap bingung dengan keberadaan orang asing di rumahnya. Dua orang pria muda berjas rapi bersama dengan pasangan paruh baya tengah menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian.

''Siapa mereka, Bun?" tanya Talita berbisik pada ibunya.

''Sebentar lagi kamu akan mendapat jawaban dari semua pertanyaanmu, Sayang. Bersikaplah sopan pada mereka!" Dewi menanggapi dengan nada yang sama.

''Cantiknya calon menantuku. Kau memang tidak salah pilih, Dexter." Celetukan seorang wanita berusia enam puluh tahunan berhasil mengejutkan gadis itu.

''Menantu?" beonya spontan.

Talita langsung menatap kedua orang tuanya dengan sorot penuh tanya.

''Kok kamu kaget begitu, apa Dexter belum memberitahumu, Nak?'' tanya wanita itu dengan kening berkerut.

Talita menggeleng pelan, tatapannya beralih pada seorang pria yang tengah menatap tajam ke arahnya.

''Begini, Nyonya. Sebenarnya, Nak Dexter berencana memberi kejutan untuk putri kami. Talita memang belum mengetahui hal ini tapi Dexter sudah mengutarakan niat baiknya." Herman segera tanggap mengatasi masalah ini.

''Iya, 'kan, Bun?" tanyanya meminta persetujuan dengan nada penuh penekanan.

''I-iya, Nyonya. Yang disampaikan suami saya memang benar," jawab Dewi dengan gugup.

Talita semakin bingung dengan situasi yang tengah dia hadapi. Dia tidak mengenal pria itu, tapi kenapa pria itu mau melamarnya? Banyak pertanyaan yang lagi-lagi mengganggu pikirannya.

''Tapi, saya 'kan...."

Seakan tahu apa yang akan diucapkan putrinya, Dewi segera mengeratkan genggaman tangannya pada lengan itu, sehingga otomatis ucapan Talita berakhir menggantung.

''Sudah-sudah, sebaiknya kita mulai saja ... Sebelum Hari semakin malam.'' Pria paruh baya yang sedari tadi hanya menjadi pendengar pun segera menyela.

''Saya setuju dengan Tuan Clyde. Sebaiknya, kita segera memulai acaranya...." Herman pun ikut menimpali.

...----------------...

''Oh, jadi ini alasan bunda melarangku pergi? Aku dijodohkan paksa dengan pria yang tidak aku kenal," protes Talita setelah acara dadakan itu selesai. Dia menumpahkan semua kekesalan di depan kedua orangtuanya.

Kedua belah pihak sepakat acara pernikahan putra-putri mereka akan diadakan dalam kurun waktu dua minggu kedepan.

''Maafkan bunda, Ta. Bunda juga terpaksa. Semua juga atas perintah ayahmu," jawab Dewi dengan nada penuh rasa bersalah.

Gadis itu beralih menyorot tajam sang ayah yang tengah duduk tenang pada kursi yang terletak tak jauh darinya.

''Seharusnya, kau bangga, Talita. Kau akan diperistri pria nomor satu di Asia. Banyak wanita yang berharap ada di posisimu saat ini."

''Di mana para wanita itu? Tunjukkan padaku, Yah! Aku dengan sukarela menukar posisi ini,'' teriaknya dengan mata memerah.

''Jangan macam-macam, Talita," balas Herman tak kalah berteriak.

"Ayah butuh modal untuk membangun kembali perusahaan yang hampir gulung tikar. Dia meminta syarat pernikahan pada ayah. Jika tidak ... Dia tidak ingin memberikan modal itu."

''Jadi ini alasan ayah." Talita tak mampu berkata-kata lagi, hanya kekehan sinis yang keluar dari mulutnya.

''Aku tidak menyangka kalian begitu tega. Rela menjual putrinya hanya demi uang," lirihnya dengan tatapan penuh luka.

''Jelaskan pada putri kesayanganmu mengenai kondisi kita yang sebenarnya. Aku malas berdebat dengannya." Herman beranjak dari tempatnya dengan membawa bongkahan kekesalan dalam dada.

Talita hanya menatap tajam punggung kekar sang ayah yang menghilang di balik tangga. Kebencian pada pria itu semakin membara dalam hatinya.

''Ta, bunda mohon ... Turuti keinginan ayah. Hanya kamu harapan kami satu-satunya. Banyak gaji karyawan yang belum terbayarkan. Hutang perusahaan ayah cukup banyak. Seandainya, perusahaan terjual belum tentu uangnya bisa menutup semua hutang kita, bahkan rumah inipun akan turut terjual," papar Dewi panjang lebar berusaha memberi pengertian pada putrinya.

Setelah mendengar itu, Talita bukannya iba justru semakin terkekeh sinis. Dia tidak menyangka jika orang tua kandungnya tega menjadikan dirinya sebagai alat tukar untuk melunasi hutang. Mereka rela menggadaikan kebahagiaan dan masa depan putrinya hanya demi harta. Dia benar-benar tidak percaya dengan kenyataan ini.

''Aku bukan barang yang seenaknya kalian gadaikan."

''Mengertilah, Ta." Bunda menggenggam tangan putrinya dengan mata memohon.

''Kalian kejam!" teriaknya sambil berlari menuju kamar.

...----------------...

Talita menumpahkan semua tangisnya di dalam kamar. Dia membenamkan keseluruhan wajahnya pada bantal, bahkan berteriak sekencang mungkin. Dengan harapan rasa sesak dalam dadanya berangsur hilang.

Ingin rasanya, dia marah besar pada kedua orangtuanya. Namun, gadis itu tak sampai hati untuk melakukannya. Bagaimanapun juga mereka orang tua yang harus dia hormati. Terlepas dari semua yang mereka lakukan.

''Kalian jahat! Aku benci, huhuhu," teriaknya dengan suara tertahan kerena masih berada pada posisi yang sama.

''Tau begini, aku tadi kabur saja."

''Bagaimana mungkin aku menjalani hidup dengan pria yang tidak aku kenal."

Keadaannya sangat menyedihkan, riasannya telah luntur karena air mata, bahkan sampai mengotori bantal tidurnya

Talita terus menumpahkan semua kekesalan dalam tangisnya. Dia mengomel tidak jelas, entah ditujukan pada siapa padahal di dalam sana hanya ada dia seorang, hingga sebuah notifikasi pesan menghentikan aksi tangis gadis itu. Dia segera membuka isi pesan dari seseorang yang telah mengisi harinya beberapa hari belakangan ini.

[Teleponan yuk, aku pengen denger suaramu.]

Setelah mengetahui centang biru, kenalannya segera menelpon tanpa menunggu balasan darinya

Talita segera menghapus kasar sisa air matanya, lalu sedikit berdehem untuk menetralisir suaranya agar tidak terlihat serak seperti habis menangis . Baru setelah itu, dia segera menjawab panggilan pria itu.

''Hallo...."

''Kamu habis nangis?" tanya seorang pria di seberang sana.

Talita gelagapan sendiri, dia segera menjauhkan ponsel, lalu berdehem beberapa kali agar suara seraknya hilang.

''Eh, eng-enggak kok. Aku hanya ngantuk," jawabnya berdalih.

''Oh, kukira kenapa.''

"Kenapa tadi tidak datang? Satu jam lebih aku menunggu."

''Maafkan aku ... Aku ada acara keluarga mendadak dan aku harus hadir," jawab Talita dengan lesu. Rasa bersalah tiba-tiba menelusup ke dalam hatinya.

''Oh, ya sudah tidak apa-apa. Tapi acara keluargamu lancar, 'kan?''

Talita tersenyum miris mendengar pertanyaan itu.

''Lan-lancar. Sangat lancar.'"

''Acara apa sih, Ta?" tanya pria itu dengan rasa penasaran menggunung.

''Lamaran."

''Pasti lamaran saudaramu ya, makanya kamu diharuskan untuk hadir.''

''Emmm, i-iya."

Terdengar hembusan nafas kasar dari pria di seberang sana.

''Sepertinya, kamu terlalu lelah, Ta. Istirahatlah! Besok pagi ku telpon lagi. Selamat malam."

Gadis itu hanya menatap nanar layar ponsel yang telah padam. Tanpa terasa air matanya kembali turun, hingga membuat pandangan buram.

''Maafkan aku...," ucapnya tanpa suara.

Dia melempar benda pipih itu, kemudian kembali menelungkupkan tubuh seperti tadi.

Deringan ponsel kembali mengganggu kesendiriannya. Dahinya berkerut ketika melihat nomor tak dikenal tengah menghubungi dirinya.

Tanpa menunggu lama, Talita segera mengangkat panggilan itu untuk mengetahui siapa yang menelepon.

''Ha—''

"Besok aku tunggu di Restoran Triple X pukul delapan pagi. Datang tepat waktu karena aku tidak suka menunggu."

Tut.tut.tut

Chapter 3

''Apa ini?"

Talita terjengkit kaget ketika sebuah benda mendarat keras tepat di hadapannya.

''Buka dan baca dengan teliti, jika ada yang tidak dipahami segera tanyakan.'' Suara dingin seorang pria membuat gadis itu segera membuka map di hadapannya. Matanya meneliti huruf demi huruf yang terangkai di sana.

''Apa ini sebuah kontrak?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.

''Aku menyukai gadis cerdas sepertimu."

Tanpa berkata 'iya' pun, dia sudah paham dengan jawabannya. Dia hanya tersenyum miris saat membaca salah satu poin yang tertera di sana.

'Hanya dinikahi secara siri.'

''Apa bisnis Anda kurang luas, Tuan Dexter Yang Terhormat? Sehingga pernikahan pun kau jadikan bisnis,'' sindir Talita melirik sinis pria itu.

Dia berusaha menahan amarah yang bergejolak dalam dada agar tidak meledak saat itu juga.

''Terserah apapun tanggapanmu, aku tidak peduli. Yang jelas aku hanya butuh dirimu sebagai istri di depan orang tuaku," balas pria itu dengan santainya.

''Saya menolak jika hanya dinikahi siri." Talita mengutarakan penolakannya dengan tegas.

''Di sini yang berhak menentukan hanya aku, sedangkan kau hanya perlu menurut," ucap Dexter penuh penekanan.

''Egois, kau pikir aku ini robot," geram Talita dengan tatapan tajamnya.

Pria itu hanya tersenyum miring. ''Begitulah aku, dan mulai dari sekarang kau harus terbiasa dengan semuanya."

''Cepat tanda tangani perjanjian itu, karena waktuku tidak banyak. Setelah ini, aku ada pertemuan penting," perintahnya.

''Saya merasa keberatan dengan beberapa- poin di sini. Tidak, bukan beberapa tapi semuanya karena semua merugikan pihak saya." Talita mengajukan protes kerasnya.

Namun, Dexter hanya menyilangkan tangan menanggapi hal itu.

''Apa aku memintamu untuk berpendapat mengenai isinya? Sudah kubilang yang berhak menentukan hanya aku, itu artinya semua bentuk protesmu tidak sah. Sampai di sini paham, Nona."

''Tidak bisa begitu, dong...," sahutnya tidak terima. Namun ucapannya terhenti ketika suara berat pria itu menginterupsi.

''Randi, hubungi perusahaan Herman jika hari ini juga perusahaan akan saya akusisi.'' Dexter memberi perintah pada pria yang setia berdiri di belakangnya.

''Segera laksanakan, Bos."

''Oke-oke, aku tanda tangani perjanjian ini. Puas!''

Dexter menyunggingkan senyum penuh kepuasan ketika melihat tangan lentik itu menggoreskan tinta hitam di atas kertas putih bermaterai.

Karena merasa tak ingin dirugikan, Talita menambahkan pada poin terakhir dengan tulisan tangannya sendiri.

'Pihak satu dilarang mencampuri urusan pribadi pihak dua.'

'Pihak satu dilarang meminta hubungan suami-istri pada pihak dua.'

'Jika pihak satu melanggar, maka pihak dua berhak pergi tanpa alasan, juga sepuluh persen saham perusahaan yang dikelola di negara ini berhak menjadi milik pihak dua.'

''Selesai. Silahkan dibaca tambahan dari saya, Tuan. Tidak banyak hanya tiga poin, masih banyak punya Anda."

''Jangan coba-coba untuk mengubah atau merobeknya. Tentu kau tahu konsekuensinya, 'kan, Tuan? Karena tanda tanganmu sudah terbubuh di atas materai itu,'' lanjutnya lagi diiringi senyum smirk.

Dexter mengeram kesal membaca penambahan itu. Dia tidak menyangka gadis yang dikira polos ternyata cukup cerdik.

''Dasar rubah betina," gumamnya menahan geram.

''Dasar kancil menyebalkan," balas Talita dengan senyum mengejek.

''Kau!" Dexter menunjuk tepat wajah wanita itu.

''Apa?"

Gadis itu membalas dengan tatapan berani seolah menantang. Dia sudah tidak peduli jika pria ini akan mengakuisisi perusahaan keluarganya. Toh, yang tergila-gila dengan harta adalah ayahnya bukan dirinya. Yang penting, dia sudah menjalankan tugas dengan baik

...----------------...

Talita menghembuskan nafas lega setelah melihat kepergian pria menyebalkan itu. Kekesalan yang sempat melanda, kini bertambah parah. Mungkin, jika bisa dilihat. Wajahnya merah padam dengan kepala berselimut asap.

Bagaimana kekesalannya tidak menggunung. Tepat pukul delapan pagi, dia sudah sampai di tempat yang dijanjikan. Setengah jam lebih, dia menunggu, hingga menghabiskan satu gelas minumannya. Namun, pria itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya, bahkan dia juga sempat mengirim pesan tetapi tidak mendapat balasan sama sekali.

Beruntung, Talita mencari tempat duduk di pojok ruangan. Jadi, kejengkelannya tidak terlalu dilihat banyak orang. Biasanya, gadis itu sangat suka dengan keramaian. Namun, karena suasana hati yang sedang buruk, dia lebih memilih menyendiri untuk mencari ketenangan.

Hingga pada akhirnya, Talita yang sudah bosan menunggu mengirimkan sebuah pesan bernada ancaman.

'Jika dalam waktu lima belas menit, tidak juga datang. Aku akan pergi tanpa sudi lagi diajak bertemu, meskipun dipaksa.'

Dan usahanya membuahkan hasil. Beberapa menit setelahnya, pria itu datang meskipun dengan cara yang sangat menyebalkan.

''Haish, belum apa-apa sudah membuat hati meradang,'' gerutunya dengan menyeruput kasar minuman terakhirnya hingga tandas, bahkan terdengar bunyi keras dari sedotan yang ada di dalam gelas tersebut karena hanya tersisa bongkahan es.

"Fix, dia menyebalkan. Belum apa-apa, aku sudah dibuat keki, huh!"

...----------------...

Seorang pria terkekeh kecil saat membaca ulang pesan yang dikirim ke ponselnya. Sejak tadi pandangan matanya tak pernah lepas dari layar ponsel.

''Menarik, belum apa-apa dia sudah berani mengancamku," gumamnya.

Semua tingkahnya itu tak lepas dari pengamatan mata jeli sang asisten yang sejak tadi memperhatikan dari kaca spion depan.

''Kenapa matamu menatapku seperti itu," tegur Dexter dengan wajah datar tanpa mengalihkan sedikit pun pandangannya.

''Sejak semalam, Anda aneh, Bos. Saya takut Anda ketempelan."

''Apa katamu?" tanyanya dengan mata melotot.

Sang asisten langsung membungkam mulutnya rapat-rapat saat melihat reaksi tuannya.

''Fokus pada kemudimu! Tidak usah pedulikan aku," titah Dexter.

''Iya, Bos."

Dexter melanjutkan kembali kegiatannya. Senyumnya bertambah lebar saat mengingat semua peristiwa beberapa menit yang lalu.

''Belum apa-apa sudah tidak konsisten."

''Apa kau tidak melihat sudah berapa banyak minuman yang sudah kuhabiskan hanya untuk menunggumu." Dia menunjuk dengan dagu dua gelas gelas kosong yang ada di hadapannya, sedangkan tangannya masih mengaduk minuman yang baru berkurang sedikit.

''Bukan sepenuhnya salahku, bisa jadi kau yang rakus," balas Dexter dengan datar.

Mata wanita itu berkedip beberapa kali saat mendengar ucapan yang meluncur bebas dari mulutnya. Setelahnya, dia hanya mendengus kesal.

''Ini sudah lebih dari lima belas menit, kenapa kau masih di sini?" tanya Dexter.

''Karena aku malas berdebat dengan ayahku."

''Itu artinya kau juga tidak konsisten, jadi kita impas, 'kan?''

Talita benar-benar dibuat meradang oleh pria ini. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat sebagai pelampiasan rasa kesalnya.

''Karena saya tidak konsisten, sebaiknya saya pergi. Permisi...."

''Mau kemana kamu?" Dexter langsung menahan lengan gadis itu.

''Pulang! Lepaskan tanganku!"

''Tidak akan! Karena aku sudah di sini, jadi kau juga harus berada di sini."

''Dia berbeda," gumamnya tanpa sadar sebaris senyum tertarik di kedua sudut bibirnya.

''Kau lihat, Randi. Dia satu-satunya wanita yang berani mendebatku tanpa rasa takut sedikitpun. Dia berbeda, aku bisa merasakannya."

Randi, sang asisten hanya menggeleng pelan melihat sang atasan yang sepertinya terkena panah dewi asmara.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!