"Baik, begini Clarissa dan Gio. Kami sudah sepakat akan menjodohkan kalian. Apa kalian menerima perjodohan ini?" Tanya Abdi.
"Iya, Tidak," jawab mereka bersamaan. Anjani membulatkan matanya saat mendengar jawaban dari Arkan. Pria itu sudah gila apa menerima perjodohan ini dengan begitu mudahnya padahal mereka tidak saling mengenal.
Mario dan Viona menahan napas mereka, putrinya ini ternyata di luar dugaan. Dia jauh lebih berani dari perkiraan mereka yang berpikir kalau Anjani akan menurut untuk menerima perjodohan ini.
"Loh, kenapa sayang? Apa kamu tidak menyukai Gio anak Tante? Gio memang begitu, mungkin kesan pertama kalian bertemu memang buruk. Tapi sebenarnya Gio anak yang lembut dan penyayang," jelas Hera seraya membanggakan putranya.
Anjani menghela napas ketika Ibunya memegang lengannya, untuk apalagi kalau bukan untuk membuatnya mengerti. Tapi tidak, dia akan memperjuangkan apa yang dia inginkan hari ini. "Tante, Jani masih muda. Masih banyak cita-cita yang ingin dikejar ke depannya dan lagi Pak Arkan adalah guru Anjani di sekolah. Jani gak mau jadi pembicaraan satu sekolah," jelas Anjani dengan begitu halus dan berusaha mencari kata-kata yang tepat.
"Saya tidak melarang kamu mengejar cita-cita dan lagi untuk sementara waktu kita bisa merahasiakan pernikahan. No problem." Arkan tersenyum miring, membuat Anjani menahan kesal akibat perkataannya. Sekarang dia harus beralasan apa lagi coba?!
"Tapi-"
"Gio sudah mengerti loh, Sayang. Sekarang tinggal kamu mengambil keputusan bijak, Papa yakin kamu pintar dan mengerti apa yang telah kita bicarakan sebelum datang ke sini," ucap Mario.
Untuk sejenak dia terdiam, mengingat kembali apa yang ayahnya ucapkan saat dia menolak pergi ke sini.
"Bagas dilarang keras pacaran oleh orang tuanya, kalau sampai dia ketahuan semua fasilitas dan hobinya akan ditarik dan dibatasi. Kamu mau dia kehilangan masa depannya sendiri?" Tanya Mario.
Anjani meremas bajunya dengan erat, kenapa rasa-rasanya dia selalu di tempatkan di posisi yang paling sulit. Jika dia menolak, Bagas akan kehilangan masa depannya dan jika dia menerima itu akan menghancurkan hati orang yang dia cintai.
Pilihan yang sulit bukan? Tapi kenapa harus dijatuhkan pada dirinya? Demi apapun dia benci berada di posisi seperti ini. Dia benci keadaan ini, dia benci Arkan Altair yang tidak bisa menolak ini semua, padahal jika dia menolak semuanya akan jauh lebih mudah.
"Clarissa Putri Anjani," panggil Mario. Meskipun terdengar lembut tapi bagi Anjani itu adalah sebuah seruan agar dia cepat memutuskan.
Dengan emosi yang tertahan dan keringat dingin yang muncul di telapak tangannya Anjani akhirnya memutuskan. "Iya, Anjani mau."
Semua orang mengucap syukur, terkecuali Anjani yang kini saling menatap dengan Arkan yang memang minim ekspresi. Kalau Arkan sudah bisa menebak gadis itu terlihat penuh emosi sekarang, berbeda dengan Anjani yang tidak tahu apa yang dipikirkan oleh calon suaminya itu.
"Baik, pernikahan kalian akan dilaksanakan Minggu depan," ucap Mario.
Anjani menoleh kaget pada sang ayah, apa katanya Minggu depan? "Paaa?"
"Kami sudah memutuskan, Clarissa. Karena setelah kalian menikah kami semua akan melakukan perjalanan bisnis ke Amerika selama satu bulan dan itu salah satu alasan kami menjodohkan kalian. Kami akan sering melakukan perjalanan bisnis mulai sekarang untuk memperluas relasi bisnis yang kami emban," jelas Abdi.
Sungguh Anjani tidak bisa berkata-kata lagi, kalau alasannya karena tidak ingin Anjani ditinggal sendirian kan Anjani sudah besar, sudah bisa mengurus dirinya sendiri. Kenapa harus dijodohkan seperti ini? Kenapa harus? Dia benar-benar diam, karena tidak mungkin membantah Abdi yang belum dia kenal.
Hera menyikut lengan putranya untuk melakukan sesuai apa yang sudah mereka persiapkan jauh-jauh hari. Perlahan dia beranjak dan menghampiri Anjani. Tangannya terulur untuk mengajak Anjani bangkit dari kursinya.
Anjani menatap Arkan dengan datar, setelah itu dia mengikuti alur saja lah. Dia benar-benar sudah sangat tertekan sekarang, apalagi yang bisa dia lakukan? Perlahan Arkan mengeluarkan kotak cincin beludru yang sempat dia perlihatkan pada Anjani di ruangannya. Sekarang dia memakaikannya dengan percaya diri karena Anjani sendiri lah yang mengatakan kalau dia suka cincinnya.
Bagi semua orang ini romantis, tapi tidak dengan Anjani. Menurutnya ini adalah pengikat kebebasannya mulai hari ini. Lalu bagaimana bisa dia mengkhianati Bagas seperti ini? Apa yang akan Bagas katakan ketika dia tahu kalau Anjani menerima dijodohkan dengan Kakak sepupunya sendiri?
.
.
.
"Pulangnya biar Gio antar ya, karena Mama dan Papamu masih harus di sini untuk membicarakan pernikahan kalian," ucap Hera.
Dan di sinilah Jani berada, di mobil milik Arkan. Entah harus memanggil Arkan atau Gio dia tidak tau. Yang jelas dia akan memanggilnya Bapak! Jani nampak diam saja, tidak ingin bicara sepatah kata pun pada Arkan. Dia benar-benar seperti anak baru gede yang tidak dituruti kemauannya.
Bosan sebenarnya untuk ukuran Jani yang biasa diajak bicara, tapi pria itu malah fokus menyetir dengan tampang tanpa berdosanya. Padahal dia tau kalau Jani adalah kekasih Bagas- Sepupunya sendiri.
"Kenapa Pak Arkan gak nolak sih?!" Sebuah lontaran berhasil keluar dari bibir Anjani.
"Karena saya ingin, kenapa?" Tanyanya santai.
"Tapi saya gak ingin, Pak! Pak Arkan kan tau kalau saya udah punya pacar dan pacar saya itu Bagas, sepupu Pak Arkan sendiri. Kami sudah 2 tahun pacaran, Pak dan Bapak tiba-tiba datang gitu? Jangan konyol!" Kesal Jani.
"Pacaran kan? Bukan tunangan apalagi menikah, lagi pula kalian tidak akan direstui," ucap Arkan dengan kekehannya.
"Maksudnya?"
"Bukan apa-apa."
"Pakk?!"
"Iya?"
"Batalin perjodohan ini, saya mohon. Lagian apa yang bapak harapkan dari saya sih? Saya gak bisa ngapa-ngapain, saya cuma anak manja yang masih bergantung dengan fasilitas orang tua, saya juga belum dewasa, apa yang kamu harapkan coba? Gak ada, kan?"
"Oh atau jangan-jangan." Anjani menutup mulutnya sembari membulatkan mata, dengan cepat dia menutupi dadanya. "Bapak mau tubuh saya aja ya?!!"
Arkan tertawa sumbang, sebegitu buruk kah dia di mata Anjani sampai Anjani berpikir ke sana? Tidak habis pikir memang. "Kalau saya menginginkan tubuh kamu sudah saya lakukan di ruang kerja kemarin," jawabnya enteng.
"Ya-Ya teruss apa coba?! Saya gak mau menikah sama Bapak!" Tegasnya.
"Ya silahkan bilang itu kepada orang tua kamu, lakukan segala cara agar mereka membatalkannya."
Anjani kesal, sangat kesal. Sebenarnya apa tujuan Arkan menikahinya? Pasti dia mau menyembunyikan pacar yang tidak direstui oleh orang tuanya, atau dia menikahinya untuk memenuhi keinginan orang tuanya dan nantinya akan menikah kontrak dalam satu tahun, atau lagi bisa saja dia ingin menikah agar mendapat warisan dari keluarga Altair.
Anjani menatap penuh curiga ke arah Arkan yang sekarang malah menatapnya berbalik. "Semua yang ada dipikiran kamu tidak benar, saya menikahi kamu ya karena ingin. Cukup?"
Anjani mematung, bagaimana bisa Arkan mengetahui isi pikirannya sekarang. Jangan-jangan dia bisa membaca pikiran orang atau dia bisa mendengar isi hati seseorang,
"Saya tidak bisa membaca pikiran kamu, tapi saya tau apa yang ada dipikiran remaja labil seperti kamu, Clarissa."
Tuhkan, lagi-lagi Arkan membalas pikirannya. Anjani semakin was-was sekarang. Tapi tunggu, apa katanya? "Labil?!"
"Kamu belum 18 tahun, artinya kamu masih labil. Masih membutuhkan banyak afeksi dan validasi, masih mengikuti kata hati yang terkadang tidak kamu tau pasti akan berjalan sesuai realita atau tidak. Padahal sekedar mengikuti perjodohan ini dengan baik kamu akan merasa bahagia dan tidak terbebani."
Anjani terdiam, beda memang pemikirannya dengan Arkan. Menurut Anjani kata hati itu penting, tidak semudah seperti apa yang Arkan ucapkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments