"Coba pakai cincin ini." Sebuah instruksi kembali terlontar. Mata Jani kini melirik ke arah kotak beludru berwarna biru yang ada di hadapannya. Bingung saja, untuk apa Arkan menyuruh untuk memakai cincin itu?
"Untuk calon istri saya, saya tidak tahu ukurannya berapa. Yang jelas dia sekecil kamu," lanjut Arkan.
Tanpa membalas perkataanya, Jani mengambil kotak itu. Terlihat cantik sekali isinya, sebuah cincin berlian keluaran terbaru dari brand besar ternama. Perlahan Jani memasangkan cincin di jari manisnya. Dan ... Pas!
Arkan mengangguk-nganggukkan kepalanya. Mau dengan ekspresi apapun ternyata dia menyebalkan, pikir Jani. "Lepas."
Jani menghela napasnya, dia tipe orang yang tidak suka diperintah sebenarnya, tapi orang yang ada di hadapannya ini hobi memerintah. Meskipun tampan bagi Jani dia terlihat nol besar. Dia yakin sekali gurunya ini akan menjadi perjaka tua di masa yang akan datang, mana ada yang mau dengan pria sepertinya?
"Seusia kamu kalau diberi cincin seperti itu suka?" Tanya Arkan.
"Ya," jawab Jani sekenanya seraya mengulurkan kotak itu pada Arkan yang menatapnya datar.
"Bagus, kembali kerjakan. Saya tunggu 15 menit dan harus sudah lengkap."
Kejadian satu jam lalu kembali teringat di kepala Anjani saat dia sampai di rumah. Benar-benar menyebalkan sekali Arkan Altair itu. Dia pikir siapa dia berani memerintahkan sesuka hati?! Belum lagi dia meminta Anjani menjadi Ketua Kelas tanpa berpikir dia mau atau tidak.
"Arghhtt!! Dasar guru gak ada akhlak!" Gerutunya. Jani sedari tadi terus merapalkan kata-kata makian untuk guru barunya itu, sampai tidak sadar kalau Ibunya sudah berada di ambang pintu..
"Jan, ditunggu Ayah di ruang kerjanya," ucap Viona– Ibunya.
Jani memutar bola matanya malas, dia memang selalu malas bicara dengan orang tuanya. Apalagi yang akan mereka lakukan kalau bukan untuk menekannya? Menekannya menjadi yang terbaik, menekannya untuk lebih rajin belajar meskipun pretasi yang sudah dia dapat selalu bagus, dan semua kehendak mereka yang tidak bisa direalisasikan pada Kakaknya Seana akan diberlakukan padanya.
Kalau katanya anak pertama bahunya harus selebar samudra untuk menampung bebannya. Biar Anjani katakan sekarang kalau menjadi anak kedua juga tidak enak karena harus menampung ekspetasi dari orang tuanya, mendapat pola asuh otoriter karena ekspetasi mereka tidak mereka temukan pada anak pertama.
Jani lelah sekali dengan semua ini. Sampai-sampai dia tetap diam saat sudah berhadapan dengan Mario-Ayahnya. Mario terlihat beberapa kali menghela napas mencoba mencari kata-kata terbaik untuk menyampaikan pada anaknya.
"Ada apa, Pa?"
"Sahabat Papa sudah kembali ke Indonesia hari ini," ucap Mario tergantung. Sejenak dia menatap ke arah istrinya, berat sebenarnya tapi ini demi kebaikan putrinya, jadi Viona membalas suaminya dengan senyum meyakinkan.
"Lalu?"
"Kami telah sepakat untuk menjodohkan anak kami dan kami memilih kamu untuk dijodohkan pada putra mereka, Sayang," lanjut Mario.
Anjani membeku, tatapannya berubah menjadi tajam dengan tangannya yang terkepal. Demi apapun kalau masalah kehidupan lainnya yang diikut campuri dia masih bisa terima, tapi kalau soal masa depan pernikahan dia tidak mau! Tidak akan pernah mau! "Papa apa-apaan, sih?! Jani gak mau, Pa! Kenapa gak Papa jodohin aja Kak Seana? Dia juga belum menikah, kan? Kenapa harus Jani?!"
"Jan, Kakak kamu sudah memiliki tunangan. Hanya kamu putri kami yang bisa kami banggakan di depan mereka, kamu tau sendiri Seana tidak bisa diatur dan pembangkang," jelas Viona mencoba memberikan pengertian.
"Lalu kalau kakak pembangkang aku harus selalu jadi penurut? Aku gak mau, Ma! Papa sama Mama boleh atur kehidupan Jani yang lainnya, tapi tolong untuk yang satu ini Jani gak bisa," balas Jani dengan napas yang sudah memburu karena amarah.
"Anjani, kami melakukan semua ini-"
Anjani dengan tegas menggebrak meja Mario dan berdiri dari tempatnya. "STOP! Aku udah muak dengan kata-kata demi kebaikan, demi kebaikan. Papa tau, aku udah muak!"
"CLARISSA PUTRI ANJANI, SIAPA YANG MENGAJARKAN KAMU BICARA SEPERTI ITU?!" Mario kini membalas tatapan tajam putrinya. Semakin lama Anjani selalu saja membantah, dia tidak suka putri kesayangannya menjadi seorang pembangkang.
Lagi dan lagi, Anjani selalu tidak bisa berkutik jika Ayahnya sudah membentaknya seperti ini.
"Kami melakukan ini demi masa depan kamu, pria yang kami pilih juga bertanggung jawab, dia mapan dan dia juga-"
"Anjani udah punya Bagas, Pa. Anjani gak mau!" Tegas Anjani, bagaimana pun caranya kali ini dia harus berhasil menolak keinginan kedua orang tuanya.
"Apa yang kamu harapkan dari Bagas, Jan? Dia cuma anak ingusan yang suka bermain-main, dia bahkan saat Papa tanya belum memiliki rencana masa depan. Dia tidak ada niat juga untuk menjadi pembisnis."
"Tapi gak semua harus diukur dari sana, Pa. Semua orang punya passion, semua orang punya cita-cita dan masa depan yang ingin mereka tata. Abaikan Bagas, apa kalian peduli sama Jani? Jani masih sekolah udah kalian jodohin, apa-apaan? Tapi percuma memang bicara sama Papa dan Mama. Anjani gak pernah didengar! Kalian egois, kalian benar-benar orang tua yang egois!"
Anjani membalikkan tubuhnya dan berjalan untuk keluar dari ruang kerja Mario.
"Keputusan kami sudah bulat, nanti malam kita makan malam bersama mereka. Viona, siapkan putrimu dengan baik!"
Anjani mengepalkan tangannya semakin kuat, dia berusaha menahan semuanya sebelum benar-benar hampir meledak. Dengan kuat Anjani keluar dan membanting pintu. Mario menghela napas, akan pusing jika semua putrinya menjadi pembangkang seperti ini.
Gadis itu mengunci pintu kamarnya rapat-rapat dan menangis di atas kasurnya. Dia benar-benar tidak habis pikir bagaimana pemikiran kedua orang tuanya saat selalu mengambil keputusan tanpa persetujuan.
Anjani selama ini selalu berusaha mengerti, tapi dia merasa kalau tidak ada yang mengerti tentang apa yang dia mau. dia selalu tidak dibiarkan memiliki keputusan sendiri dan puncaknya adalah sekarang. Untuk urusan jodoh pun dia harus mengikuti keputusan orang tuanya.
Dia benci, sangat benci. Meskipun semua orang bilang dia anak kesayangan, tapi menurutnya dia diperlakukan seperti anak tiri karena semua orang selalu memaksakan kehendak pada dirinya.
"Sayang, buka pintunya, Nak. Mama ingin bicara dengan kamu," ucap Viona dari luar kamar Anjani.
Namun Anjani tidak menghiraukannya, dia malah semakin menangis mendengar panggilan dari Ibunya. Bagaimana kalau ini tetap terjadi? Bagaimana dengan sekolahnya? Bagaimana dengan Bagas? Tidak, dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kedepannya.
Sudah kesal karena dikerjai oleh Arkan di sekolah, sekarang dia semakin kesal karena keputusan orang tuanya. Hari ini menjadi hari terburuk sepanjang hidup Anjani. Dia pasti akan mengingat ini semua.
Pokoknya sekarang dia hanya ingin menangis, sendirian.
Di sisi lain Mario menatap istrinya yang mulai kewalahan karena putri bungsunya tidak mau keluar. Mario paham dengan keadaan putrinya, tapi semua ini ada sebab dan alasan. Andai saja Anjani bisa menatap ini dari sudut pandang terbaiknya dan berusaha mendengarkan penjelasan orang tuanya. Pasti dia akan menerimanya dengan baik.
"Sudah, biarkan dulu. Jani pasti butuh waktu untuk mencerna semua ini. Biarkan dia berpikir dulu, yang terpenting siapkan semuanya dengan baik," ucap Mario seraya mengusap bahu istrinya.
"Tapi, Mas. Jani belum makan siang, dia pasti lapar. Nanti kalau maghnya kambuh bagaimana? Aku takut dia sakit, apa kita batalkan saja, Mas?" Sungguh, sekuat apapun Viona, tetap saja kelemahannya adalah putrinya sendiri.
"Dia pasti sadar kesehatan, dia pintar. Kita hanya perlu memberinya waktu. Niat kita baik, pasti hasilnya juga baik. Kamu sudah melihat sendiri kan putranya Abdi?"
Viona mengangguk perlahan, mungkin memang karena tidak tega dan ikut merasakan kegelisahan putrinya sehingga dia ragu. Padahal sudah jelas kalau mereka melakukan ini untuk kebaikan Anjani di masa depan.
Siap untuk episode selanjutnya?
Jangan lupa like, vote, tambahkan ke fav, bintang lima dan hadiahnya juga ya biar aku semangat. See u in the next chapter!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
Ida Blado
org tua yg selalu melihat dgn kaca matanya sendiri,paling benci gua
2023-04-30
0
Betty Nurbaini
perna 2 kali dijodiohin jdi bisa paham perasaan anjani.. wktu aku SMA klw 1 dan pas da kuliah... tpi akhirnya gak ada yg jdi krn aku pergi jau merantau hihi
2023-03-13
0
Rea25
semoga alurnya gak ngebosenin seperti yang sebelah. semangat thor! 🙃
2023-01-17
1