NovelToon NovelToon

I Love You, Pak Arkan!

Prolog — Guru Menyebalkan!

Memasuki kelas 12 memang harus banyak-banyak mengusap dada. Pasalnya baru saja kembali ke sekolah, mereka sudah diceramahi 1 jam dan diingatkan mengenai Ujian Nasional di lapangan sekolah.

Seharusnya hari ini mereka pulang cepat, tapi mengingat mereka kelas 12, banyak hal-hal yang harus disampaikan terutama soal pemantapan. Membosankan sekali memang, termasuk untuk seorang gadis yang kini hanya bisa menghela napasnya berkali-kali dan mengeluh kepanasan.

Clarissa Putri Anjani, atau yang kerap kali dipanggil Jani. Murid berprestasi di SMA Taruna Nusantara. Meskipun dia suka belajar, tapi mendengarkan ceramah sampai satu jam begini ya bosan juga. "Kapan selesainya coba," gumam Jani.

"Biasanya kamu seneng, Jan dengerin guru ceramah. Tumben sekali kamu ngeluh? Apa karena libur hampir 2 Minggu jadi mulai malas?" Tanya Della.

"Engga gitu, Del. Aku suka menerima advice, tapi kalau satu jam cuma ngedengerin satu keturunan keluarga kepala sekolah aku juga gumoh lah. Mana panas," jawab Jani kesal.

"Auya, kelas 12 harusnya dibuat enjoy, bahagia, kalau kaya gini udah stress duluan," timpal Nanda yang ada di sebelah Jani.

"Bener banget, aku setuju-"

"Ssstttt!" Peringat Gervan si mantan Ketua OSIS.

Jani, Della dan Nanda melirik ke arah belakang, setelahnya mereka hanya memutar bola matanya malas. Memangnya mereka tidak boleh mengeluh apa ya? Padahal mereka juga yakin kalau Gervan merasakan hal yang sama, tapi terlalu sok berwibawa saja karena menjaga imagenya sebagai mantan Ketua OSIS. Menyebalkan.

Sampai akhirnya setengah jam berlalu, akhirnya mereka bisa bernapas lega dan kembali ke kelas untuk bergegas pulang. Namun saat mereka akan beranjak dari kelas tiba-tiba seseorang masuk ke sana dengan tampang datarnya, aura dinginnya menusuk ke siapa pun yang melihatnya.

"12 IPA 1?" Tanyanya.

"Iya, Pakk," jawab seisi kelas.

"Saya wali kelas kalian dan tidak ada langsung pulang hari ini. Kita mulai beradaptasi."

Mereka menghela napas kasar, di saat kelas lain sudah pulang tapi mereka malah harus kembali menyimpan tas mereka atas perintah wali kelasnya.

Jani menatap guru yang kini berada di hadapan mejanya, dia memang duduk di paling depan dan berseberangan dengan meja guru. Mungkin itu sebabnya banyak guru yang sering menongkrong di mejanya seperti ini.

Namun matanya tak lepas dari pria yang ada di hadapannya. Dia memang senang menelisik, bukan untuk apa-apa tapi hanya ingin tahu saja kepribadian seseorang yang berhadapan dengannya. Sepertinya dia guru muda baru di sekolah ini, tampan sih namun terlihat dingin. Tapi ya kalau tampan sudah pasti menjadi bahan pembicaraan seisi kelas. Termasuk seperti sekarang.

"Baik, perkenalkan saya Arkan Altair. Guru Matematika sekaligus wali kelas kalian selama satu tahun ke depan. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik," ucapnya lugas.

Riuh dari dalam kelas ini mulai terdengar ketika Arkan mengenalkan diri. Bak dewa yunani, ketampanannya dipuji oleh kebanyakan siswa perempuan. Sejujurnya bukan hal baru sih, kalau urusan yang tampan-tampan mereka gerak cepat. Terkecuali Jani yang kini hanya menghela napasnya karena menurut dia itu 'Norak'.

Arkan masih datar, bahkan pertanyaan-pertanyaan dari muridnya tidak dijawab jika memang tidak penting. Karena pada dasarnya juga Arkan tidak menyukai hal-hal berbau basa-basi atau membicarakan hal yang tidak berguna.

Namun mata hitam lekat itu kini menatap ke arah mata coklat milik Jani yang duduk di meja yang dia jadikan tumpuan spidolnya. Tapi tidak lama, karena Jani segera memutuskan kontak mata mereka dengan cepat.

Arkan berbalik dan menuju papan tulis, benar saja kan, selain menganggu jam pulang Arkan kini mengganggu ketenangan otak anak muridnya di hari pertama sekolah. Dengan santainya dia menulis 4 soal matematika di papan tulis. Membuat mereka semua panik karena langsung disuguhkan oleh pelajaran matematika yang belum pernah mereka pelajari.

"Siapa juara kelas di sini?" Tanya Arkan.

"Janiiiiiiii!!" Teriak mereka antusias, bukan apa-apa, mereka mempunyai firasat kalau Jani lah yang akan dipintai Arkan menjawab soal-soal di depan kan menguntungkan untuk mereka kalau menumbalkan murid paling pintar

Dan benar saja. "Kerjakan poin satu sampai poin empat."

Jani kaget sih dan dia pun terdiam, benar-benar belajar nih jadinya? Tolong dong ini nyawa Jani sudah di rumah, kenapa dia pula yang harus mengerjakan? Kesal sekali rasanya, tapi setiap dipanggil begitu Jani tidak bisa menolak.

"Tidak bisa?" Tanya Arkan yang merasa tidak mendapat respon dari gadis itu.

"B-bisa, Pak," jawab Jani ragu-ragu.

Tanpa bicara Arkan mengulurkan spidol ke arah Jani agar dia segera maju ke depan. Jani lagi-lagi menghela napasnya, benar-benar menguji kesabaran sekali guru-gurunya hari ini.

Perlahan Jani maju ke depan seraya mengambil spidol dari tangan Arkan. Dengan sedikit gemetar dia menulis jawaban di papa tulis beserta rumus-rumusnya. Berharap kalau jawabannya benar, karena kalau boleh jujur dia juga belum terlalu menguasai pelajaran ini.

Arkan mengangguk-nganggukkan kepalanya sembari bersidekap dada. Memang tidak salah dinamakan kelas IPA 1, ternyata berisi anak-anak unggulan. Padahal yang Arkan tulis adalah matematika kelas 12 yang belum pernah dipelajari di kelas 11. Entah bagaimana Jani bisa mengerjakannya.

"Sudah, Pak." Jani menghampiri  Arkan sembari mengembalikan spidol milik pria itu.

"Bagus, siapa nama kamu?" Tanya Arkan.

"Jani," jawab Jani singkat.

Arkan mengambil buku absensi dan mencari nama Anjani di sana. Namun tak kunjung menemukannya. Anjani yang melihat itu langsung meralat. "Clarissa Putri Anjani."

"Baik, kamu saya beri 10 poin pertama. Karena selama mata pelajaran saya, semuanya memakai sistem poin. Termasuk sikap kalian!" Tegas Arkan.

Semua orang mulai berbisik-bisik. Ingin tak terima tapi tidak berani protes, tapi kalau mereka menerima yang ada tertekan. Ah sudahlah, mereka pasrah saja.

"Silahkan duduk," ucap Arkan menginstruksi Jani.

"Terima kasih, Pak Arkan."  Jani menunduk pelan setelah itu dia kembali duduk.

Jani bernapas lega, untung saja di tempat lesnya dia sudah belajar. Jadi dia tidak harus menanggung malu karena tidak bisa menjawab.

Kurang lebih satu jam Arkan pakai untuk perkenalan dan menjelaskan beberapa aturan baru untuk mereka. Cukup jengah memang, apalagi Arkan adalah tipikal guru cuek, dingin dan tegas. Tapi pesonanya mampu menghipnotis para kaum wanita hingga tidak ada berani yang protes.

Jani keluar kelas dengan senyum sumringah, bagaimana tidak? Bagas sang pacar sudah menunggunya di depan kelas. "Maaf telat, nunggu lama ya?"

"Gapapa, gak lama kalau buat kamu," imbuhnya dengan senyum yang lembut.

"Bucin-bucin! Panas banget!" Celetuk Nanda.

"Susah emang kalau cuma numpang di bumi, kita balik aja yuk!" Ajak Della.

Jani dan Bagas terkekeh, pemandangan seperti ini sudah tidak asing bagi mereka. Padahal mereka hanya bicara biasa saja kalau menurut mereka ya. Tapi di pandangan orang lain mungkin berbeda.

"Makanya cari pacar!" Seru Bagas.

"Maaf kita stay halal sampai sah bestie, udah ah. Kita balik duluan, udah pusing nih kepala gara-gara matematika," ucap Nanda setengah berbisik karena memang Arkan yang masih di dalam ruangan untuk mengecek data siswa.

Mereka pun terkekeh, setelahnya Della dan Nanda pamit pulang duluan meninggalkan dua sejoli yang tengah dimabuk asmara itu.

"Besok istirahat ada tanding futsal, kamu datang ya?" Pinta Bagas.

Jani mengangguk seraya memberikan senyum terbaiknya. "Tentu, nanti aku datang. Aku nonton paling depan!"

"Anjani, ikut saya ke ruangan." Sebuah suara tiba-tiba menginstruksi dari belakang.

Jani membalikkan pada sumber suara. "Ada apa ya, Pak? Saya melakukan kesalahan?"

"Tidak, saya perlu bantuan kamu dalam beberapa hal," ucapnya dengan wajah yang minim ekspresi.

"T-tapi saya mau pulang, Pak." Bukannya menolak perintah guru, tapi kan tidak enak kalau harus membuat Bagas menunggu.

Muka datar tanpa ekspresi dengan alis yang berkedut sedikit, itu memang menjadi andalannya kalau Jani pikir-pikir. Tapi jujur saja, wajah dengan seperti itu menyebalkan sekali menurut Jani. Seperti cowok sok cool!

"Tidak ada tapi atau minus 50 poin," ucapnya lugas.

Jani menahan napasnya, yang benar saja? Poinnya saja baru sepuluh dan gurunya ini akan mengurangi 50? Sudah gila! "Hah?! Jangan, Pak. B-baik saya bantu."

Arkan menatap gadis itu dengan lamat, dia juga menyembunyikan smirk-nya saat Jani menurut. Setelahnya dia berjalan duluan diikuti Jani dan Bagas di belakangnya.

Mereka sampai di ruangan Arkan. Tapi mata tajam itu kini melirik ke arah Bagas. "Kamu pulang saja, saya akan lama untuk bicara dengan murid saya."

"Tapi, Pak-"

"Saya rasa Om dan Tante belum mengizinkan kamu memiliki kekasih, lalu?" Tanya Arkan yang entah kenapa membuat mereka berdua bergidik ngeri, namun menimbulkan pertanyaan di otak Anjani.

Memang sih dia pernah mendengar kalau Bagas adalah keponakan dari pemilik yayasan. Ruangan Arkan pun terpisah sendiri seperti ini, apa dia anak Kepala Yayasan? Aneh saja guru baru bisa mendapat fasilitas seperti ini.

Dengan perasaan campur aduk dan tidak enak Jani mengisyaratkan Bagas untuk pulang. Tidak enak juga kan kalau Bagas nanti sampai terkena teguran dari orang tuanya dan setelah kepergiaan Bagas barulah dia dipersilahkan duduk.

"Tolong buatkan rekapan absensi di buku ini dan deskripsikan teman-teman kamu dengan 3 kata."

Jani melongo, tapi untuk? Tidak waras, ini pasti membutuhkan waktu yang sangat lama. Ah dia sudah ingin pulang ini. "Pak ini boleh dikerjakan di rumah? Besok pagi-"

"Sekarang."

Jani menggigit bibir bawahnya seraya menahan kesal. Tapi bagaimana pun dia tidak bisa membantah, kan? Lihat saja, Arkan akan masuk ke list guru yang harus dia hindari mulai sekarang!

Hari Terburuk Anjani

"Coba pakai cincin ini." Sebuah instruksi kembali terlontar. Mata Jani kini melirik ke arah kotak beludru berwarna biru yang ada di hadapannya. Bingung saja, untuk apa Arkan menyuruh untuk memakai cincin itu?

"Untuk calon istri saya, saya tidak tahu ukurannya berapa. Yang jelas dia sekecil kamu," lanjut Arkan.

Tanpa membalas perkataanya, Jani mengambil kotak itu. Terlihat cantik sekali isinya, sebuah cincin berlian keluaran terbaru dari brand besar ternama. Perlahan Jani memasangkan cincin di jari manisnya. Dan ... Pas!

Arkan mengangguk-nganggukkan kepalanya. Mau dengan ekspresi apapun ternyata dia menyebalkan, pikir Jani. "Lepas."

Jani menghela napasnya, dia tipe orang yang tidak suka diperintah sebenarnya, tapi orang yang ada di hadapannya ini hobi memerintah. Meskipun tampan bagi Jani dia terlihat nol besar. Dia yakin sekali gurunya ini akan menjadi perjaka tua di masa yang akan datang, mana ada yang mau dengan pria sepertinya?

"Seusia kamu kalau diberi cincin seperti itu suka?" Tanya Arkan.

"Ya," jawab Jani sekenanya seraya mengulurkan kotak itu pada Arkan yang menatapnya datar.

"Bagus, kembali kerjakan. Saya tunggu 15 menit dan harus sudah lengkap."

Kejadian satu jam lalu kembali teringat di kepala Anjani saat dia sampai di rumah. Benar-benar menyebalkan sekali Arkan Altair itu. Dia pikir siapa dia berani memerintahkan sesuka hati?! Belum lagi dia meminta Anjani menjadi Ketua Kelas tanpa berpikir dia mau atau tidak.

"Arghhtt!! Dasar guru gak ada akhlak!" Gerutunya. Jani sedari tadi terus merapalkan kata-kata makian untuk guru barunya itu, sampai tidak sadar kalau Ibunya sudah berada di ambang pintu..

"Jan, ditunggu Ayah di ruang kerjanya," ucap Viona– Ibunya.

Jani memutar bola matanya malas, dia memang selalu malas bicara dengan orang tuanya. Apalagi yang akan mereka lakukan kalau bukan untuk menekannya? Menekannya menjadi yang terbaik, menekannya untuk lebih rajin belajar meskipun pretasi yang sudah dia dapat selalu bagus, dan semua kehendak mereka yang tidak bisa direalisasikan pada Kakaknya Seana akan diberlakukan padanya.

Kalau katanya anak pertama bahunya harus selebar samudra untuk menampung bebannya. Biar Anjani katakan sekarang kalau menjadi anak kedua juga tidak enak karena harus menampung ekspetasi dari orang tuanya, mendapat pola asuh otoriter karena ekspetasi mereka tidak mereka temukan pada anak pertama.

Jani lelah sekali dengan semua ini. Sampai-sampai dia tetap diam saat sudah berhadapan dengan Mario-Ayahnya. Mario terlihat beberapa kali menghela napas mencoba mencari kata-kata terbaik untuk menyampaikan pada anaknya.

"Ada apa, Pa?"

"Sahabat Papa sudah kembali ke Indonesia hari ini," ucap Mario tergantung. Sejenak dia menatap ke arah istrinya, berat sebenarnya tapi ini demi kebaikan putrinya, jadi Viona membalas suaminya dengan senyum meyakinkan.

"Lalu?"

"Kami telah sepakat untuk menjodohkan anak kami dan kami memilih kamu untuk dijodohkan pada putra mereka, Sayang," lanjut Mario.

Anjani membeku, tatapannya berubah menjadi tajam dengan tangannya yang terkepal. Demi apapun kalau masalah kehidupan lainnya yang diikut campuri dia masih bisa terima, tapi kalau soal masa depan pernikahan dia tidak mau! Tidak akan pernah mau! "Papa apa-apaan, sih?! Jani gak mau, Pa! Kenapa gak Papa jodohin aja Kak Seana? Dia juga belum menikah, kan? Kenapa harus Jani?!"

"Jan, Kakak kamu sudah memiliki tunangan. Hanya kamu putri kami yang bisa kami banggakan di depan mereka, kamu tau sendiri Seana tidak bisa diatur dan pembangkang," jelas Viona mencoba memberikan pengertian.

"Lalu kalau kakak pembangkang aku harus selalu jadi penurut? Aku gak mau, Ma! Papa sama Mama boleh atur kehidupan Jani yang lainnya, tapi tolong untuk yang satu ini Jani gak bisa," balas Jani dengan napas yang sudah memburu karena amarah.

"Anjani, kami melakukan semua ini-"

Anjani dengan tegas menggebrak meja Mario dan berdiri dari tempatnya. "STOP! Aku udah muak dengan kata-kata demi kebaikan, demi kebaikan. Papa tau, aku udah muak!"

"CLARISSA PUTRI ANJANI, SIAPA YANG MENGAJARKAN KAMU BICARA SEPERTI ITU?!" Mario kini membalas tatapan tajam putrinya. Semakin lama Anjani selalu saja membantah, dia tidak suka putri kesayangannya menjadi seorang pembangkang.

Lagi dan lagi, Anjani selalu tidak bisa berkutik jika Ayahnya sudah membentaknya seperti ini.

"Kami melakukan ini demi masa depan kamu, pria yang kami pilih juga bertanggung jawab, dia mapan dan dia juga-"

"Anjani udah punya Bagas, Pa. Anjani gak mau!" Tegas Anjani, bagaimana pun caranya kali ini dia harus berhasil menolak keinginan kedua orang tuanya.

"Apa yang kamu harapkan dari Bagas, Jan? Dia cuma anak ingusan yang suka bermain-main, dia bahkan saat Papa tanya belum memiliki rencana masa depan. Dia tidak ada niat juga untuk menjadi pembisnis."

"Tapi gak semua harus diukur dari sana, Pa. Semua orang punya passion, semua orang punya cita-cita dan masa depan yang ingin mereka tata. Abaikan Bagas, apa kalian peduli sama Jani? Jani masih sekolah udah kalian jodohin, apa-apaan? Tapi percuma memang bicara sama Papa dan Mama. Anjani gak pernah didengar! Kalian egois, kalian benar-benar orang tua yang egois!"

Anjani membalikkan tubuhnya dan berjalan untuk keluar dari ruang kerja Mario.

"Keputusan kami sudah bulat, nanti malam kita makan malam bersama mereka. Viona, siapkan putrimu dengan baik!"

Anjani mengepalkan tangannya semakin kuat, dia berusaha menahan semuanya sebelum benar-benar hampir meledak. Dengan kuat Anjani keluar dan membanting pintu. Mario menghela napas, akan pusing jika semua putrinya menjadi pembangkang seperti ini.

Gadis itu mengunci pintu kamarnya rapat-rapat dan menangis di atas kasurnya. Dia benar-benar tidak habis pikir bagaimana pemikiran kedua orang tuanya saat selalu mengambil keputusan tanpa persetujuan.

Anjani selama ini selalu berusaha mengerti, tapi dia merasa kalau tidak ada yang mengerti tentang apa yang dia mau. dia selalu tidak dibiarkan memiliki keputusan sendiri dan puncaknya adalah sekarang. Untuk urusan jodoh pun dia harus mengikuti keputusan orang tuanya.

Dia benci, sangat benci. Meskipun semua orang bilang dia anak kesayangan, tapi menurutnya dia diperlakukan seperti anak tiri karena semua orang selalu memaksakan kehendak pada dirinya.

"Sayang, buka pintunya, Nak. Mama ingin bicara dengan kamu," ucap Viona dari luar kamar Anjani.

Namun Anjani tidak menghiraukannya, dia malah semakin menangis mendengar panggilan dari Ibunya. Bagaimana kalau ini tetap terjadi? Bagaimana dengan sekolahnya? Bagaimana dengan Bagas? Tidak, dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kedepannya.

Sudah kesal karena dikerjai oleh Arkan di sekolah, sekarang dia semakin kesal karena keputusan orang tuanya. Hari ini menjadi hari terburuk sepanjang hidup Anjani. Dia pasti akan mengingat ini semua.

Pokoknya sekarang dia hanya ingin menangis, sendirian.

Di sisi lain Mario menatap istrinya yang mulai kewalahan karena putri bungsunya tidak mau keluar. Mario paham dengan keadaan putrinya, tapi semua ini ada sebab dan alasan. Andai saja Anjani bisa menatap ini dari sudut pandang terbaiknya dan berusaha mendengarkan penjelasan orang tuanya. Pasti dia akan menerimanya dengan baik.

"Sudah, biarkan dulu. Jani pasti butuh waktu untuk mencerna semua ini. Biarkan dia berpikir dulu, yang terpenting siapkan semuanya dengan baik," ucap Mario seraya mengusap bahu istrinya.

"Tapi, Mas. Jani belum makan siang, dia pasti lapar. Nanti kalau maghnya kambuh bagaimana? Aku takut dia sakit, apa kita batalkan saja, Mas?" Sungguh, sekuat apapun Viona, tetap saja kelemahannya adalah putrinya sendiri.

"Dia pasti sadar kesehatan, dia pintar. Kita hanya perlu memberinya waktu. Niat kita baik, pasti hasilnya juga baik. Kamu sudah melihat sendiri kan putranya Abdi?"

Viona mengangguk perlahan, mungkin memang karena tidak tega dan ikut merasakan kegelisahan putrinya sehingga dia ragu. Padahal sudah jelas kalau mereka melakukan ini untuk kebaikan Anjani di masa depan.

Siap untuk episode selanjutnya?

Jangan lupa like, vote, tambahkan ke fav, bintang lima dan hadiahnya juga ya biar aku semangat. See u in the next chapter!

Giovano

Pada akhirnya meskipun seberapa besar penolakan Anjani dia menurut juga. Malam ini dia sudah berada di mobil bersama kedua orang tuanya. Tidak ada percakapan di sana. Karena meskipun sedari tadi Viona sudah mengajak Jani bicara, tapi gadis kecilnya itu tetap berdiam diri sambil menatap keluar jendela. Dia tidak peduli akan semarah apa orang tuanya, yang jelas dia tidak ingin bicara sekarang, karena sudah pasti amarahnya akan meledak.

"Mukanya jangan ditekuk, nanti mereka pikir kamu terpaksa menerima anak mereka, Jan," peringat Mario.

"Tidak ada kepikiran menerima dan kalau memang harus pun kenyataannya emang terpaksa."

Mario menghela napasnya, jika Seana selalu silent treatment atas semua masalah, Jani berbeda lagi. Dia cenderung blak blakan jika memang tidak suka, dia juga memang akan mengemukakan apa-apa saja yang ada dipikirannya. Meskipun semuanya berujung dituruti tapi tetap saja sikap Jani yang seperti itu kerap kali membuat pusing kepala.

Untung saja Jani tidak mogok makan, akalnya masih berfungsi dan berpikir logis. Dia tidak akan menyakiti dirinya sendiri dengan mogok makan berhari-hari dan membuatnya sampai masuk rumah sakit. Tidak, dia tidak akan sebodoh itu kok.

Mobil SUV hitam itu berhenti di salah satu restoran kelas atas yang menjadi tempat pertemuan kedua keluarga itu. Sudah biasa memang jika Jani diajak ke tempat seperti ini oleh ayahnya, tapi kali ini perasaannya tidak enak. Dia tidak ingin ada di sini.

"Sayang, wajahnya senyum dong, Nak," ucap Viona melembutkan nada bicaranya seraya merapikan rambut Jani yang terurai indah.

Anjani menghela napas lalu mengukir senyum tipis dengan terpaksa. Walaupun dia sama sekali tidak bisa tersenyum, tapi dia masih mempunyai tata krama, tidak mungkin dia memasang wajah begitu di depan sahabat orang tuanya meskipun sangat ingin.

Perlahan dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan VVIP yang sudah dipesan oleh sahabat ayahnya. Sepasang suami istri paruh baya itu menyambut kedatangan mereka dengan senang. Mereka saling bersalaman, merangkul bahkan cepika-cepiki khas ibu-ibu arisan. Sementara Jani hanya mengekori orang tuanya di belakang.

Jani mulai menyalami keduanya saat pandangan keduanya menatap ke arahnya. Rambutnya yang diurai sebahu dan hanya memakai jepit serta balutan dress berwarna putih membuat Jani terlihat cantik, apalagi make up natural khas remaja.Tidak enak kan kalau Anjani hanya diam saja tak menganggapi? "Anjani, Om, Tante."

"Ini clarissa, Vi? Wah cantik sekali ya dia sekarang, persis mamanya waktu di kampus," ucap Hera seraya mengusap pipi calon menantunya itu dengan lembut.

"Benar, Sayang. Gio pasti senang melihat Clarissa yang sangat cantik malam ini. Ayok mari duduk, kami sudah mempersiapkan semuanya dengan baik." Abdi mempersilahkan mereka semua untuk duduk dan disambut baik oleh ketiganya.

"Gio? Jadi yang mau dijodohin sama aku itu dia? Seumuran gak sih? Pasti dia bisa diajak kerja sama untuk menolak ini semua!" Batin Jani.

Jani duduk dan mengambil kursi di samping Ibunya. Dia terus menggigit bibir bawahnya dan memainkan kuku-kukunya karena gugup. Dia ingin memikirkan bagaimana caranya untuk kabur tapi nampaknya tidak akan bisa, akhirnya dia pasrah saja.

"Gio di mana, Ra?" Tanya Viona yang memang tidak melihat keberadaan putra sahabatnya di sini.

"Gio sedang di perjalanan, dia meminta maaf karena akan datang terlambat malam ini. Tapi dia pasti akan datang," ucap Hera seraya mengembangkan senyumnya.

Setelah itu mereka kembali membicarakan soal bisnis, Jani tidak mendengarkannya sih, dia fokus dengan pikiran-pikiran yang mulai menyerangnya malam ini. Bagaimana tentang pria yang akan dijodohkan dengannya, tentang bagaimana kehidupan yang akan dia jalani selanjutnya dan terakhir bagaimana caranya dia menolak perjodohan ini.

Jani sesekali menghela napas pelan karena merasa bosan, mau bermain ponsel pun takut tidak sopan. Dia hanya sibuk mencibir dalam hati pria yang membuat acara ini tertunda dan buang-buang waktu. "Cih, pria seperti apa yang dijodohkan oleh Papa? Acara seperti ini saja telat, apalagi kesehariannya? Oh my god, help me please!"

Tak selang beberapa lama seorang pria dengan setelan jas rapi memasuki ruangan itu. Semua pandangan tertuju ke arahnya, terkecuali Jani yang masih menunduk dan hanyut dengan pemikirannya.

"Selamat malam, maaf saya telat. Sedikit macet dan ada beberapa hal yang harus saya urus di kantor cabang, bagaimana kabarnya Om, Tante?" Tanya pria itu sembari menyalami Mario dan Viona.

"Baik-baik sekali, tidak apa-apa. Kami mengerti kok kesibukan kamu, Gio. Pasti sibuk sekali menjadi CEO muda sekaligus guru di yayasan," ucap Mario sembari menepuk bahu calon menantunya itu.

"Lumayan, Om. Tapi masih bisa saya handle," jawabnya lugas.

Pria itu melirik ke arah wanita yang akan dijodohkan dengannya, sepertinya dia sedang melamun dan berkutat dengan pikirannya sendiri sampai tidak menyadari kedatangannya. Viona yang mengetahui arah tatapan itu langsung menepuk bahu putrinya. "Jani, Gio udah datang tuh. Masa diem aja?"

Jani sedikit terkejut saat mendapat tepukan di bahunya dari Viona. Tapi lebih terkejut lagi saat dia berdiri dan menatap ke arah pria yang disebut sebagai 'Gio' itu. "Pak Arkan?!"

Viona menatap ke arah putrinya, dia memang tau sih kalau Arkan mulai hari ini mengajar di sekolah yang putrinya tempati tapi tidak menyangka kalau mereka sudah saling mengenal.

Arkan hanya mengeluarkan sedikit senyum lalu duduk di samping kedua orang tuanya dan berseberangan dengan Anjani. Gadis itu menatap intens ke arah Arkan dengan tatapan 'Membunuh' jangan bilang kalau Arkan sudah mengetahui mengenai perjodohan ini dan dia sudah tau kalau Jani lah calonnya?

Arkan mengangguk-nganggukan kepalanya pelan seolah membenarkan statement dalam pikiran Jani sekarang dan mengabaikan tatapan Anjani. Sudah Anjani bilang kalau pria itu sangat menyebalkan! Dia malah mengambil ponsel dan mematikannya. Karena akan lebih enak jika acara seperti ini dinikmati tanpa ada gangguan panggilan-panggilan lain.

Karena Arkan sudah datang, sebelum membicarakan inti pertemuan ini mereka makan terlebih dahulu. Anjani yang semula lapar kini malah nampak tidak berselera makan saat menatap pasta carbonara kesukaannya.

"Clarissa ini kelas berapa sekarang, Sayang?" Tanya Hera.

Anjani mengalihkan tatapannya pada Hera. "Kelas 12, Tante."

"Berarti sudah kenal dengan Gio? Om mendapatkan laporan kalau Gio memegang pelajaran matematika kelas 12," kata Abdi seraya menatap ke arah Anjani.

"Pak Arkan wali kelas Anjani Om," jawab Anjani berusaha menjawab sebaik mungkin di tengah moodnya yang sudah sangat tidak baik.

"Waduhh, fix ini sih kalian memang berjodoh. Jadi kamu sudah bertemu dengan Clarissa di sekolah, Gio? Kalau begitu kenapa tidak kamu ceritakan pada Mama? Bagaimana perkenalan kalian?" Tanya Hera yang menatap putranya yang berada di sampingnya.

"Perkenalan kami cukup baik, benar?" Tanya Arkan yang matanya kini menatap ke arah Anjani.

Anjani menggerutu dalam hati. Baik apanya? Sudah menunda waktu pulang sekolah, menyuruhnya mengerjakan empat soal tingkat dewa di depan kelas dan terakhir menyuruhnya untuk merekap data siswa beserta kepribadiannya. Pria Gila! "Benar."

"Bagaimana perkenalan kalian, coba Tante ingin dengar bagaimana cara anak tante ini melakukan pendekatan?" Tanya Hera antusias.

"Anjani disuruh mengerjakan 4 soal matematika yang belum pernah di pelajari di depan kelas dan merekap data siswa beserta kepribadiannya di ruang kerja Pak Arkan." Anjani menatap kesal ke arah Arka yang meskipun terlihat datar tapi wajahnya seperti meledek.

Arkan yang mendengar itu mengangguk pelan saat Hera membulatkan mata ke arahnya. Putranya ini memang tidak tahu caranya romantis atau bagaimana? Jadi rupanya gadis itu mengadu, tidak masalah juga sebenarnya untuk Arkan.

Anjani mengepalkan tangannya kuat, demi apapun dia tidak kuat untuk merapalkan makian terhadap pria yang ada di hadapannya ini. Viona yang sudah hapal sekali dengan putrinya mengusap-ngusap punggung anaknya sambil terkekeh. "Tapi Jani bisa, kan? Seharusnya itu sudah di pelajari di tempat les. Bagus dong, itu artinya Gio perhatian."

Jani hanya tertawa hambar, tidak habis pikir di mana letak perhatiannya. Tapi batinnya tersenyum senang, mana mungkin Arkan mau dijodohkan dengan bocah ingusan seperti dirinya? Iya kan?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!