Pada akhirnya meskipun seberapa besar penolakan Anjani dia menurut juga. Malam ini dia sudah berada di mobil bersama kedua orang tuanya. Tidak ada percakapan di sana. Karena meskipun sedari tadi Viona sudah mengajak Jani bicara, tapi gadis kecilnya itu tetap berdiam diri sambil menatap keluar jendela. Dia tidak peduli akan semarah apa orang tuanya, yang jelas dia tidak ingin bicara sekarang, karena sudah pasti amarahnya akan meledak.
"Mukanya jangan ditekuk, nanti mereka pikir kamu terpaksa menerima anak mereka, Jan," peringat Mario.
"Tidak ada kepikiran menerima dan kalau memang harus pun kenyataannya emang terpaksa."
Mario menghela napasnya, jika Seana selalu silent treatment atas semua masalah, Jani berbeda lagi. Dia cenderung blak blakan jika memang tidak suka, dia juga memang akan mengemukakan apa-apa saja yang ada dipikirannya. Meskipun semuanya berujung dituruti tapi tetap saja sikap Jani yang seperti itu kerap kali membuat pusing kepala.
Untung saja Jani tidak mogok makan, akalnya masih berfungsi dan berpikir logis. Dia tidak akan menyakiti dirinya sendiri dengan mogok makan berhari-hari dan membuatnya sampai masuk rumah sakit. Tidak, dia tidak akan sebodoh itu kok.
Mobil SUV hitam itu berhenti di salah satu restoran kelas atas yang menjadi tempat pertemuan kedua keluarga itu. Sudah biasa memang jika Jani diajak ke tempat seperti ini oleh ayahnya, tapi kali ini perasaannya tidak enak. Dia tidak ingin ada di sini.
"Sayang, wajahnya senyum dong, Nak," ucap Viona melembutkan nada bicaranya seraya merapikan rambut Jani yang terurai indah.
Anjani menghela napas lalu mengukir senyum tipis dengan terpaksa. Walaupun dia sama sekali tidak bisa tersenyum, tapi dia masih mempunyai tata krama, tidak mungkin dia memasang wajah begitu di depan sahabat orang tuanya meskipun sangat ingin.
Perlahan dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan VVIP yang sudah dipesan oleh sahabat ayahnya. Sepasang suami istri paruh baya itu menyambut kedatangan mereka dengan senang. Mereka saling bersalaman, merangkul bahkan cepika-cepiki khas ibu-ibu arisan. Sementara Jani hanya mengekori orang tuanya di belakang.
Jani mulai menyalami keduanya saat pandangan keduanya menatap ke arahnya. Rambutnya yang diurai sebahu dan hanya memakai jepit serta balutan dress berwarna putih membuat Jani terlihat cantik, apalagi make up natural khas remaja.Tidak enak kan kalau Anjani hanya diam saja tak menganggapi? "Anjani, Om, Tante."
"Ini clarissa, Vi? Wah cantik sekali ya dia sekarang, persis mamanya waktu di kampus," ucap Hera seraya mengusap pipi calon menantunya itu dengan lembut.
"Benar, Sayang. Gio pasti senang melihat Clarissa yang sangat cantik malam ini. Ayok mari duduk, kami sudah mempersiapkan semuanya dengan baik." Abdi mempersilahkan mereka semua untuk duduk dan disambut baik oleh ketiganya.
"Gio? Jadi yang mau dijodohin sama aku itu dia? Seumuran gak sih? Pasti dia bisa diajak kerja sama untuk menolak ini semua!" Batin Jani.
Jani duduk dan mengambil kursi di samping Ibunya. Dia terus menggigit bibir bawahnya dan memainkan kuku-kukunya karena gugup. Dia ingin memikirkan bagaimana caranya untuk kabur tapi nampaknya tidak akan bisa, akhirnya dia pasrah saja.
"Gio di mana, Ra?" Tanya Viona yang memang tidak melihat keberadaan putra sahabatnya di sini.
"Gio sedang di perjalanan, dia meminta maaf karena akan datang terlambat malam ini. Tapi dia pasti akan datang," ucap Hera seraya mengembangkan senyumnya.
Setelah itu mereka kembali membicarakan soal bisnis, Jani tidak mendengarkannya sih, dia fokus dengan pikiran-pikiran yang mulai menyerangnya malam ini. Bagaimana tentang pria yang akan dijodohkan dengannya, tentang bagaimana kehidupan yang akan dia jalani selanjutnya dan terakhir bagaimana caranya dia menolak perjodohan ini.
Jani sesekali menghela napas pelan karena merasa bosan, mau bermain ponsel pun takut tidak sopan. Dia hanya sibuk mencibir dalam hati pria yang membuat acara ini tertunda dan buang-buang waktu. "Cih, pria seperti apa yang dijodohkan oleh Papa? Acara seperti ini saja telat, apalagi kesehariannya? Oh my god, help me please!"
Tak selang beberapa lama seorang pria dengan setelan jas rapi memasuki ruangan itu. Semua pandangan tertuju ke arahnya, terkecuali Jani yang masih menunduk dan hanyut dengan pemikirannya.
"Selamat malam, maaf saya telat. Sedikit macet dan ada beberapa hal yang harus saya urus di kantor cabang, bagaimana kabarnya Om, Tante?" Tanya pria itu sembari menyalami Mario dan Viona.
"Baik-baik sekali, tidak apa-apa. Kami mengerti kok kesibukan kamu, Gio. Pasti sibuk sekali menjadi CEO muda sekaligus guru di yayasan," ucap Mario sembari menepuk bahu calon menantunya itu.
"Lumayan, Om. Tapi masih bisa saya handle," jawabnya lugas.
Pria itu melirik ke arah wanita yang akan dijodohkan dengannya, sepertinya dia sedang melamun dan berkutat dengan pikirannya sendiri sampai tidak menyadari kedatangannya. Viona yang mengetahui arah tatapan itu langsung menepuk bahu putrinya. "Jani, Gio udah datang tuh. Masa diem aja?"
Jani sedikit terkejut saat mendapat tepukan di bahunya dari Viona. Tapi lebih terkejut lagi saat dia berdiri dan menatap ke arah pria yang disebut sebagai 'Gio' itu. "Pak Arkan?!"
Viona menatap ke arah putrinya, dia memang tau sih kalau Arkan mulai hari ini mengajar di sekolah yang putrinya tempati tapi tidak menyangka kalau mereka sudah saling mengenal.
Arkan hanya mengeluarkan sedikit senyum lalu duduk di samping kedua orang tuanya dan berseberangan dengan Anjani. Gadis itu menatap intens ke arah Arkan dengan tatapan 'Membunuh' jangan bilang kalau Arkan sudah mengetahui mengenai perjodohan ini dan dia sudah tau kalau Jani lah calonnya?
Arkan mengangguk-nganggukan kepalanya pelan seolah membenarkan statement dalam pikiran Jani sekarang dan mengabaikan tatapan Anjani. Sudah Anjani bilang kalau pria itu sangat menyebalkan! Dia malah mengambil ponsel dan mematikannya. Karena akan lebih enak jika acara seperti ini dinikmati tanpa ada gangguan panggilan-panggilan lain.
Karena Arkan sudah datang, sebelum membicarakan inti pertemuan ini mereka makan terlebih dahulu. Anjani yang semula lapar kini malah nampak tidak berselera makan saat menatap pasta carbonara kesukaannya.
"Clarissa ini kelas berapa sekarang, Sayang?" Tanya Hera.
Anjani mengalihkan tatapannya pada Hera. "Kelas 12, Tante."
"Berarti sudah kenal dengan Gio? Om mendapatkan laporan kalau Gio memegang pelajaran matematika kelas 12," kata Abdi seraya menatap ke arah Anjani.
"Pak Arkan wali kelas Anjani Om," jawab Anjani berusaha menjawab sebaik mungkin di tengah moodnya yang sudah sangat tidak baik.
"Waduhh, fix ini sih kalian memang berjodoh. Jadi kamu sudah bertemu dengan Clarissa di sekolah, Gio? Kalau begitu kenapa tidak kamu ceritakan pada Mama? Bagaimana perkenalan kalian?" Tanya Hera yang menatap putranya yang berada di sampingnya.
"Perkenalan kami cukup baik, benar?" Tanya Arkan yang matanya kini menatap ke arah Anjani.
Anjani menggerutu dalam hati. Baik apanya? Sudah menunda waktu pulang sekolah, menyuruhnya mengerjakan empat soal tingkat dewa di depan kelas dan terakhir menyuruhnya untuk merekap data siswa beserta kepribadiannya. Pria Gila! "Benar."
"Bagaimana perkenalan kalian, coba Tante ingin dengar bagaimana cara anak tante ini melakukan pendekatan?" Tanya Hera antusias.
"Anjani disuruh mengerjakan 4 soal matematika yang belum pernah di pelajari di depan kelas dan merekap data siswa beserta kepribadiannya di ruang kerja Pak Arkan." Anjani menatap kesal ke arah Arka yang meskipun terlihat datar tapi wajahnya seperti meledek.
Arkan yang mendengar itu mengangguk pelan saat Hera membulatkan mata ke arahnya. Putranya ini memang tidak tahu caranya romantis atau bagaimana? Jadi rupanya gadis itu mengadu, tidak masalah juga sebenarnya untuk Arkan.
Anjani mengepalkan tangannya kuat, demi apapun dia tidak kuat untuk merapalkan makian terhadap pria yang ada di hadapannya ini. Viona yang sudah hapal sekali dengan putrinya mengusap-ngusap punggung anaknya sambil terkekeh. "Tapi Jani bisa, kan? Seharusnya itu sudah di pelajari di tempat les. Bagus dong, itu artinya Gio perhatian."
Jani hanya tertawa hambar, tidak habis pikir di mana letak perhatiannya. Tapi batinnya tersenyum senang, mana mungkin Arkan mau dijodohkan dengan bocah ingusan seperti dirinya? Iya kan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments