Teknologi Merusak Kami
...🌏🌏🌏...
Suara kokokan ayam terdengar diiringi dengan suara kicauan burung-burung yang seakan ikut bernyanyi pagi ini. sambil berderet di atas ranting pepohonan yang berjajar dengan rapi. Gunung-gunung bagaikan sebuah lukisan yang terpampang dengan nyata. Embun berwarna putih dan dingin seakan menyelimuti desa yang saat ini sudah sangat ramai.
Inilah desa kami. Desa yang bisa dikatakan terpencil dan jauh dari pusat kota. Butuh waktu tiga hari perjalanan untuk bisa sampai ke desaku ini. Hamparan luas kebun teh serta persawahan yang luas menunjukkan betapa makmurnya desa kami. Kelimpahan alam yang Tuhan berikan seakan tergambar jelas di desa kami ini, tepatnya di desa Swatani.
Desaku ini terkenal dengan penghasil teh terbaik. Itu dibuktikan adanya banyak pesanan teh dari luar kota serta banyaknya perusahaan yang membeli beras pada petani di desa kami termasuk juga Bapakku yang merupakan petani dan perkebunan.
Sudah subuh-subuh sejak tadi saat setelah shalat subuh para masyarakat di desa Swatani telah berbondong-bondong menuju ke sawah dan kebun mereka masing-masing. Bukan hanya teh kualitas terbaik dan beras yang menjadikan desa kami terkenal di mata pedagang, tetapi juga beberapa hasil kebun seperti sayur-sayuran dan berapa buah-buahan.
Sepertinya Tuhan memang telah memilih desa kami sebagai desa yang paling terbaik. Hal itu juga membuktikan dan menjadikan desa kami sebagai desa yang paling aman bahkan desa kami ini jarang sekali terjadi tindakan pencurian atau perilaku kekerasan. Hidup makmur tentu saja telah dinobatkan di desa kami.
Kalian bisa melihat deretan rumah yang terbuat dari kayu jati dan bahkan jarang sekali terdapat rumah yang terbuat dari batu atau bangunan tinggi yang kebanyakan terdapat di kota besar.
Pagi ini aku telah berada di dalam kamar sambil menyusun beberapa buku yang akan aku gunakan di sekolah nanti kemudian aku masukkan ke dalam tas ransel dan beberapa alat tulis lainnya. Alam masih gelap. Cahaya matahari belum terlihat dengan jelas. Hanya ada beberapa berkas cahaya yang berwarna orange di balik pegunungan yang kedatangannya muncul secara perlahan-lahan.
Aku memasukkan sepatu hitam bersama dengan kaos kaki yang warnanya sedikit tercemar dimakan oleh waktu kemudian sepatu itu aku masukkan ke dalam kantong hitam dan setelahnya aku memasukkannya kembali ke dalam tas ransel lalu menutupnya.
Aku menghentakkan tas itu saat ia telah berada di punggungku cukup berat untuk harus membawanya di pundak yang masih terbilang masih kecil ini.
Usiaku masih berusia sepuluh tahun. Aku duduk di bangku kelas empat sekolah dasar Harapan Indonesia yang jaraknya cukup jauh dari pemukiman desaku. Tentu saja sekolahku itu sangat jauh karena butuh banyak waktu dan tenaga yang tidak sedikit untuk bisa sampai ke sana.
Aku melangkah keluar dari kamar mendapati sosok emak yang menyiapkan bekal untuk aku. Aku duduk di atas karpet yang terbuat dari anyaman bambu tipis yang digelar di bagian dapur, ini adalah tempat kami saat makan bersama keluarga.
Sebelum berangkat sekolah rutinitas pagiku adalah sarapan pagi. Kata emak berangkat ke sekolah haruslah dengan perut yang kenyang karena jika kelaparan maka kita tidak akan sampai ke sekolah dengan semangat dan tak ada kata siap dalam belajar.
Sarapan itu perlu kawan dan lihatlah sayur bayam dan dicampur dengan kacang hijau yang dimasak serta cita rasa yang begitu sangat nikmat. Tentu saja rasanya nikmat karena Emak lah yang memasaknya jika bukan Emak yang memasaknya maka rasanya tidak akan jadi seperti ini. Bagiku Emak adalah chef terbaik dalam kehidupan aku.
"Cepat sekali kau makan, Dul," komentar mbak Santi yang ikut bergabung duduk denganku.
Mbak Santi berumur 17 tahun tahun ini. Ia telah naik ke kelas 12. Tak lama lagi ia akan segera tamat dari sekolahnya. Jika kalian mengira sekolah menengah atas juga jauh seperti sekolahku maka kalian salah besar. Sekolah menengah atas di desaku tidak terlalu jauh, hanya beberapa jam jika kita berjalan kaki.
Aku tak membalas ujaran Mbak Santi. Aku hanya makan dengan serius setelah memberikan senyum tipis kepada Mbak. Aku adalah Abdul, anak terakhir dari tiga bersaudara. Aku punya dua kakak yaitu kang Roy dan Mbak Santi.
Kang Roy tahun ini telah berusia 20 tahun. Beberapa tahun yang lalu ia telah tamat sekolah menengah atas dan memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya karena jarak tempat kuliah dari rumah cukup jauh. Emak tidak mengizinkan Kang Roy melanjutkan kuliahnya di kota besar.
Emak sangat sayang dengan anak-anaknya hingga itu pula ia tidak ingin berpisah dengan anak-anaknya satupun itu. Walaupun banyak anak-anak di desa yang akhirnya memutuskan untuk merantau ke kota mencari pekerjaan yang bisa mereka kerjakan.
Di sana tidak terlalu buruk bahkan ada beberapa dari anak-anak desa kami yang kerja di perusahaan terkenal yang ada di kota besar bahkan ada juga beberapa pemuda dari desa kami yang menjadi pemilik toko yang ada di sana.
Kang Roy dan bapak telah pergi ke kebun sejak tadi. Sepertinya hari ini bapak akan panen buah pisang yang setiap sorenya aku datangi untuk melihat perkembangan buah pisang itu.
"Makan yang banyak ya, Dul biar semangat sekolahnya."
"Siap mak," jawabku dengan semangat.
Aku mendongak menatap jam dinding yang berada di dekat penutup nasi yang terbuat dengan anyaman bambu.
"Mak, Abdul berangkat ke sekolah saja, ya."
"Hati-hati di jalan ya, Dul kalau airnya naik tunggu surut dulu baru menyeberang. Takut kau tenggelam."
"Tidak apa-apa. Abdul sudah pintar," ujar mbak Santi membuat aku menoleh lalu tertawa kecil.
"Benarkah?" tanya Emak tidak percaya.
"Abdul sudah pintar berenang. Joko yang mengajarkan," jawabku.
"Bagus kalau begitu tapi tetap saja di sungai kan banyak buayanya jadi jangan menyebrang dulu, ya!"
"Siap mak," jawabku.
Setelah menyalimi satu persatu emak dan mbak Santi, aku akhirnya melangkah keluar dari rumah menuruni beberapa tangga yang terbuat dari kayu jati.
Aku memasankan kedua kakiku dengan sendal jepit yang telah disambung dengan tali rafia berwarna merah. Sebenarnya Emak bisa membelikan aku sendal yang baru hanya saja emak hanya akan datang ke pasar selama 2 tahun sekali itupun jika ingin lebaran untuk membeli baju dan beberapa perlengkapan rumah lainnya.
Hari ini aku akan menceritakan bagaimana perjalananku ke sekolah tapi aku tidak sendiri karena aku bersama dengan teman-temanku. Aku yang sedang melangkah menuruni beberapa bukit dengan jalanan bebatuan yang belum teraspal serta tanah merah menempel di bawah telapak kaki sendal dan sedikit mengotori bagian kaki menjadi pemandangan pertama dalam perjalanan ke sekolah.
Kini aku duduk terdiam di jembatan kayu tua menanti teman-temanku datang untuk berangkat ke sekolah bersama.
...🌏🌏🌏...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments