...🌏🌏🌏...
Setelah menyeberangi sungai kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kaki kami melewati jejeran pepohonan hutan yang cukup rimbun. Suara kera-kera yang sepertinya sedang beradu domba terdengar membuat bulu kuduk orang yang mendengar pertama kali akan merasa ngeri sendiri namun, bagi kami itu sudah hal biasa bagi kami.
Kami sudah cukup terbiasa dengan mendengar suara-suara kera bahkan sesekali kami mendongak menatap kera-kera yang meloncat dari pohon ke pohon.
Jono menghentikan langkahnya meraih parang besar yang berada pada balik semak-semak. Parang itu merupakan parang milik Jono yang ia gunakan untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan selama perjalanan kami menuju sekolah.
Anggap saja Jono adalah pelindung bagi kami. Selain tubuhnya yang gemuk seperti buto ijo, ia sepertinya adalah penjaga. Sepertinya tubuh Jono ada juga manfaatnya selain menakut-nakuti hewan ia mungkin terlihat sedikit menyeramkan dengan perang di tangannya.
Butuh empat puluh menit waktu berjalan kaki agar bisa menembus hutan yang lebat itu. Kami telah melewati hutan dengan selamat sudahlah menjadi hal yang paling bersyukur bagi kami.
Hari ini sepertinya adalah hari keberuntungan bagi kami karena biasanya selama perjalanan kami biasa menemukan hewan liar yang menghadang bagaikan seorang penjajah yang datang entah dari mana.
Jika kami bertemu dengan hewan liar seperti kera maka itu tidak terlalu masalah bagi kami namun, hewan liar yang kami temui seperti ular ataupun monyet besar yang datang saja lalu mengamuk bahkan beberapa saat kami pernah dihadang oleh babi besar yang datang dan berlari berniat menyeruduk kami hingga kami akhirnya memutuskan untuk memanjat pohon dan menunggu sampai berjam-jam hingga babi itu benar-benar pergi.
Babi hutan dan babi peliharaan tidaklah sama. Babi hutan memiliki tubuh yang lebih besar dengan cula yang begitu panjang serta bulu hitam yang agak lebat sementara babi peliharaan memiliki bulu yang tipis dengan warna putih dan bahkan ada beberapa yang berwarna pink serat tubuhnya juga tidak terlalu besar.
Setelah melewati hutan yang lebat kini kami dihadapkan dengan jalanan bebatuan yang sama sekali belum diraba oleh para pihak pemerintah yang biasa digunakan para pemilik kerbau meletakkan kerbaunya di tempat ini.
Padang rumput yang terlihat sedikit mengering dan di sini kami harus ekstra hati-hati karena salah sedikit saja sendal yang sudah kotor ini akan terkena kotoran kerbau bahkan jika tidak, kerbau-kerbau akan mengejar kami mungkin karena seragam yang kami gunakan berwarna merah.
Entahlah apakah mungkin kerbau itu memang tidak suka dengan warna merah atau memang mereka terganggu dan kedatangan kami.
Ngos-ngosan. Sesak rasanya. Cucuran keringat membasahi kening dan sekujur tubuh. Sepertinya tubuh kami akan sedikit bau setelah sampai di sekolah sekarang aku tak heran lagi mengapa samal selalu membawa minyak wangi di saku celananya.
Suara tangisan kembali terdengar aku yang sudah lelah itu menoleh menatap redup ke arah Leha yang ternyata kembali menangis lagi. Rupanya gadis itu tanpa sengaja menginjak kotoran kerbau yang mencair. Nampaknya kotoran kerbau itu baru saja keluar dari sang pemilik pabrik yaitu, kerbau yang tak jauh dari Leha itu pasti adalah pemiliknya.
Lihatlah gadis itu kembali menangis lagi. Gadis itu sudah dua kali menangis. Yang pertama saat ia menyebrang sungai dan kedua saat ia menaiki bukit.
Bagi kami hal ini sudah biasa jadi tidak usah dipikirkan. Ia akan menangis empat kali setelah ia sampai di sekolah dan tanpa hari tanpa menangis itu sudah menjadi kebiasaan bagi Leha.
Setelah mencapai puncak perbukitan kami kembali harus menuruni bukit. Jika saat kita menanjak bukit harus melewati kumpulan kerbau maka saat kami menuruni bukit maka kami harus melewati kumpulan geng kambing.
Aku pernah membayangkan bagaimana jadinya jika kerbau dan kambing bertemu di atas bukit mungkin mereka akan berkelahi.
Aku serentak menutup hidung dengan topi merah untuk mengurangi bau pesing dari kambing jantan yang berlarian kiri kanan. Suara kambing jantan dan betina terdengar saling bersahutan.
Sesekali aku dibuat tertawa saat Jono menirukan suara kambing jantan. Dia sangat lihai dalam menirukan suara hewan namun, saat Jono menirukan suara kambing suaranya sangat mirip dengan kambing asli. sepertinya pita suara Jono diciptakan sebagian terbuat dari pita suara kambing.
Dari sini saat kami menurun bukit kami bisa melihat jalanan beraspal yang berkelok-kelok mengitari bebukitan yang terlihat menghijau.
Setibanya di sini jalan kami tidak langsung bergegas untuk menuju sekolah namun, kami harus menanti angkutan umum untuk bisa sampai ke sekolah. Aku berdiri menopang pinggang menatap jalanan yang terlihat sangat sunyi.
Entah mengapa kendaraan memang jarang melewati tempat ini. Jalanan yang telah dielokkan beberapa tahun yang lalu namun, jalanan beraspal ini hanya sampai di sini saja tidak mencapai desa kami karena akses yang terlalu jauh.
Setelah beberapa lama kami menunggu akhirnya mobil angkutan umum melintas membuat aku dan teman-temanku melompat-lompat kegirangan sementara Leha, si gadis ratu air mata itu hanya sibuk duduk sambil memeluk tasnya.
Mobil berhenti. Aku dan teman-temanku berlarian naik ke dalam rongga mobil sementara aku memutuskan untuk berdiri di bibir pintu berpegangan pada bagian atap.
Jono, Leha dan Samal memilih untuk duduk di dalam sementara aku lebih suka berada di bibir pintu menikmati udara segar yang menggoyang-goyangkan rambut kami. Mungkin ini juga alasannya mengapa Samal tidak ingin berada di bibir pintu mungkin karena ia takut rambutnya menjadi kusut.
Mengenai Jono, Jono ingin sekali bergelantungan seperti kami tapi pak sopir yang kami sering panggil paman Jago tidak membiarkannya. Sebenarnya Paman jago bukanlah nama yang sebenarnya, itu hanyalah nama julukan karena bagi kami Paman begitu jago dalam menyetir mobil.
Kata paman Jago, Jono tubuhnya sangat gemuk bisa-bisa mobil akan menjadi miring jika ia yang menggantung di bibir pintu dan hanya aku dan Mansur yang dibiarkan menggelantung seperti ini.
Sesekali kami tertawa ketika merasakan hembusan angin yang begitu sangat menyegarkan. Aku membuka mulut rasanya seperti makan angin. Bibirku terasa kering. Air liurku entah berhamburan ke mana.
"Hujan! Hujan kah?"
Pertanyaan itu terlontar dari Mansur. Aku menoleh menatapnya yang nampak sedang mengusap bagian pipinya lalu Mansur mendongak menatap langit.
"Kenapa?"
"Ada air hujan," jawabnya sambil mengusap bagian pipinya.
Aku tertawa kecil. Mungkin itu bukan air yang turun dari langit tapi itu adalah air yang keluar dari mulutku. Aku tak ingin berkata jujur saat itu. Aku takut kalau Mansur, si hitam itu menonjok kepalaku hingga aku terhempas ke aspal.
...🌏🌏🌏...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments