...🌏🌏🌏...
Inilah sekolah kami, tempat sederhana yang mirip dengan sebuah kandang kambing. Tempat kami menuntut ilmu, tempat yang begitu sederhana namun, kami menyimpan banyak sebuah harapan yang begitu sangat tinggi di ruangan kelas ini.
Di sekolah ini hanya terdapat satu kelas, tak ada pembagian kelas 1 atau pun kelas 2 dan sampai seterusnya. Semuanya digabung menjadi satu karena di sekolah ini hanya memiliki satu guru yang kadang pun jarang datang ke sekolah.
Seperti saat ini disaat kami berusaha agar bisa sampai ke sekolah dengan cepat, kami harus menerima kenyataan jika ibu guru yang sering kami sebut dengan ibu Fatimah tak kunjung datang ke sekolah. Kami semua mengerti jika akses perjalanan dari rumah ibu guru sampai ke sekolah ini terbilang cukup jauh.
Jono menghembuskan nafas berat. Ia kemudian duduk di sampingku dengan wajahnya sedikit nampak terlihat kecewa. Aku bisa mengerti bagaimana perasaan mereka semua. Bukan hanya aku dan juga teman-temanku yang merasa sedih namun, semua anak-anak sekolah juga merasa sedih serta kecewa karena ibu guru belum juga datang.
Aku mendongak menatap bendera merah putih yang telah usang bahkan warnanya pun kiang memudar diterpa paparan sinar matahari dan juga guyuran hujan. Tak mampu diragukan lagi terdapat beberapa sobekan yang sedikit nyaris memisahkan dua warna itu.
Di tempat rerumputan, kami memandang beberapa ekor kambing yang sengaja dilepas oleh pemiliknya terlihat merumput di sana. Tak heran pula beberapa kotoran kambing turut mengotori area sekolah kami.
Sekolah kami tak memiliki lantai seperti sekolah-sekolah yang berada di kota besar. Tanah menjadi alas, bangku-bangku tua menjadi bagian dari ruangan kelas yang berdinding kayu ini. Jendelanya mirip seperti bilik penjara dengan papan tulis berwarna abu-abu dan coretan-coretan kapur yang belum dihapus.
Langit-langit ruangan kelas kami nampak digantungi dengan hiasan burung-burung yang terbuat dari kertas, sebut saja origami dan kami buat saat kami semua latihan saat pelajaran prakarya.
Di kelas kami terdapat satu lemari, lemari kayu dengan kaca tembus pandang bahkan sedikit retak, itu terjadi saat angin kencang dan berhasil merobohkan lemari itu. Isi buku-buku berhamburan.
Benar saja kawan, sekolahku ini terbilang cukup menyedihkan. Hanya ada satu guru, satu kelas, satu papan tulis dan satu bendera. Jika anak-anak kelas enam ingin menyelesaikan sekolahnya dengan ujian nasional maka anak-anak dari sekolah ini akan digiring ke kota besar untuk mengikuti ujian nasional.
Beberapa anak-anak dari beberapa desa juga telah tiba. Salah-satu dari mereka ada yang terlihat tidak berpakaian lengkap seperti aku dan juga beberapa temanku. Bahkan dari mereka ada yang tidak menggunakan sepatu, baju yang terlihat kekuningan dan kancing yang nyaris ompong semua.
Sungguh miris nasib sekolah seperti kami. Semua harapan kami hanya satu yaitu, kami hanya ingin sekolah kami mendapat bantuan menjadi sekolah layak guna, tak perlu menjadi sekolah yang ada di kota besar.
Terdapat kelas-kelas dengan ruangan yang diurutkan sesuai tingkatan kelas, tak digabung seperti kami ini.
Kami juga berharap akses jalanan dari sekolah ke rumah dimudahkan. Jika jalanan diberi aspal, sungai diberi jembatan dan kami semua tidak perlu bersusah payah menanti air surut. Kami juga tidak perlu takut ada buaya yang mengintai.
Desa kami ini memang masih asri hingga hewan-hewan liar selalu menjadi sahabat kami namun, itu semua sepertinya ada hal yang begitu sangat sukar. Sukar untuk diwujudkan.
Teknologi sepertinya sangat jauh dari desa kami. Kami berharap sebuah teknologi dapat merubah hidup kami dan memperbaiki kehidupan yang telah rusak.
Kami semua yang yang berjumlah sekitar 21 orang dan kami duduk berbaris pada sebuah batang kayu yang dijadikan sebagai tempat duduk di teras sekolah. Pandangan kami semua mengarah kebagian jalanan panjang berharap guru kami, ibu Fatimah segera datang sambil menunggangi motor tua miliknya.
Jam telah menunjukkan pukul sembilan, telah lebih dari dua jam kami menunggu di sini menghabiskan waktu dengan sia-sia. Aku menoleh menatap satu persatu teman-temanku yang semuanya seperti telah bosan menunggu.
Beberapa anak dari desa lain terlihat bangkit dari tempat duduknya, menghembuskan nafas panjang lalu pulang. Aku mengeluh panjang sepertinya kali ini ibu Fatimah tidak lagi datang mengajar di sekolah seperti yang terjadi dua hari yang lalu.
Kami yang telah berharap dapat menerima pelajaran dari ibu Fatimah harus menerima nasib sial jika ibu Fatimah tidak datang ke sekolah karena sungai yang ia lewati lambat untuk surut karena hujan deras dari hulu. Motor yang ia tunggangi tak dapat menyeberang jalanan sungai kalaupun bisa menyebrang maka bu Fatimah akan datang ke sekolah sambil mendorong motornya. Ya mungkin saja mesin motor itu kemasukan air.
Angin yang berhembus. Matahari yang semakin memanas. Aku menoleh menatap beberapa temanku yang nampak telah memasang wajah dengan sorot mata redup.
Samal, si kurus kering itu tak ada henti-hentinya menyisir rambutnya yang telah lurus itu sementara Jono juga nampaknya telah letih mengunyah makanannya yang ia bawa dari rumah. Makanan yang ia bawa kelihatannya telah habis tak tersisa dan beralih untuk menyandarkan kepalanya di tiang.
Sedangkan Leha, si ratu air mata itu kini nampak duduk bersila. Sejak tadi gadis si ratu air mata itu tak pernah bangkit dari tempat duduknya.
Aku kembali menghela nafas panjang, terasa lelah menunggu. Saat aku berusaha menghilangkan rasa bosan saat menunggu ibu Fatimah aku sesekali menghitung berapa ekor kambing yang melintas di jalanan.
Mansur menunduk menatap jam tangan yang ada pada pergelangan tangannya dan tak berselang lama ia bangkit membuat aku dan teman-teman yang lainnya mendongak.
"Sudah jam dua belas itu berarti ibu Fatimah tidak mengejar hari ini," ujarnya lalu ia bangkit dan melangkah membuat aku dan teman-temanku saling bertatapan hingga akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah.
Bayangkan saja bagaimana perjalanan kami yang telah kami lalui dengan susah payah akhirnya harus membuat kami pulang dengan tangan hampa. Sebuah ilmu yang kami harapkan tak mampu kami dapatkan.
Berjalan berjam-jam, menempuh berbagai rintangan namun, pulang dengan ke sebuah keterpaksaan.
Harus bagaimana lagi? Keadaan tidak bisa kami paksakan. Kami semua harus saling mengerti. Sudah biasa ini terjadi. Kadang di suatu waktu ibu Fatimah yang kadang berada di dalam kelas menanti kami datang satu persatu dari berbagai desa namun, sesekali juga kami yang dibuat menunggu menanti kedatangan ibu Fatimah.
Dan yang paling sering terjadi adalah kami harus pulang dengan tangan hampa. Harus bagaimana lagi? Ini sudah takdir kami sebagai anak-anak yang tinggal di pedalaman jauh dari jangkauan pemerintah dan sebuah teknologi.
...🌏🌏🌏...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments