NovelToon NovelToon

Teknologi Merusak Kami

Teknologi Merusak Kami-01

...🌏🌏🌏...

Suara kokokan ayam terdengar diiringi dengan suara kicauan burung-burung yang seakan ikut bernyanyi pagi ini. sambil berderet di atas ranting pepohonan yang berjajar dengan rapi. Gunung-gunung bagaikan sebuah lukisan yang terpampang dengan nyata. Embun berwarna putih dan dingin seakan menyelimuti desa yang saat ini sudah sangat ramai.

Inilah desa kami. Desa yang bisa dikatakan terpencil dan jauh dari pusat kota. Butuh waktu tiga hari perjalanan untuk bisa sampai ke desaku ini. Hamparan luas kebun teh serta persawahan yang luas menunjukkan betapa makmurnya desa kami. Kelimpahan alam yang Tuhan berikan seakan tergambar jelas di desa kami ini, tepatnya di desa Swatani.

Desaku ini terkenal dengan penghasil teh terbaik. Itu dibuktikan adanya banyak pesanan teh dari luar kota serta banyaknya perusahaan yang membeli beras pada petani di desa kami termasuk juga Bapakku yang merupakan petani dan perkebunan.

Sudah subuh-subuh sejak tadi saat setelah shalat subuh para masyarakat di desa Swatani telah berbondong-bondong menuju ke sawah dan kebun mereka masing-masing. Bukan hanya teh kualitas terbaik dan beras yang menjadikan desa kami terkenal di mata pedagang, tetapi juga beberapa hasil kebun seperti sayur-sayuran dan berapa buah-buahan.

Sepertinya Tuhan memang telah memilih desa kami sebagai desa yang paling terbaik. Hal itu juga membuktikan dan menjadikan desa kami sebagai desa yang paling aman bahkan desa kami ini jarang sekali terjadi tindakan pencurian atau perilaku kekerasan. Hidup makmur tentu saja telah dinobatkan di desa kami.

Kalian bisa melihat deretan rumah yang terbuat dari kayu jati dan bahkan jarang sekali terdapat rumah yang terbuat dari batu atau bangunan tinggi yang kebanyakan terdapat di kota besar.

Pagi ini aku telah berada di dalam kamar sambil menyusun beberapa buku yang akan aku gunakan di sekolah nanti kemudian aku masukkan ke dalam tas ransel dan beberapa alat tulis lainnya. Alam masih gelap. Cahaya matahari belum terlihat dengan jelas. Hanya ada beberapa berkas cahaya yang berwarna orange di balik pegunungan yang kedatangannya muncul secara perlahan-lahan.

Aku memasukkan sepatu hitam bersama dengan kaos kaki yang warnanya sedikit tercemar dimakan oleh waktu kemudian sepatu itu aku masukkan ke dalam kantong hitam dan setelahnya aku memasukkannya kembali ke dalam tas ransel lalu menutupnya.

Aku menghentakkan tas itu saat ia telah berada di punggungku cukup berat untuk harus membawanya di pundak yang masih terbilang masih kecil ini.

Usiaku masih berusia sepuluh tahun. Aku duduk di bangku kelas empat sekolah dasar Harapan Indonesia yang jaraknya cukup jauh dari pemukiman desaku. Tentu saja sekolahku itu sangat jauh karena butuh banyak waktu dan tenaga yang tidak sedikit untuk bisa sampai ke sana.

Aku melangkah keluar dari kamar mendapati sosok emak yang menyiapkan bekal untuk aku. Aku duduk di atas karpet yang terbuat dari anyaman bambu tipis yang digelar di bagian dapur, ini adalah tempat kami saat makan bersama keluarga.

Sebelum berangkat sekolah rutinitas pagiku adalah sarapan pagi. Kata emak berangkat ke sekolah haruslah dengan perut yang kenyang karena jika kelaparan maka kita tidak akan sampai ke sekolah dengan semangat dan tak ada kata siap dalam belajar.

Sarapan itu perlu kawan dan lihatlah sayur bayam dan dicampur dengan kacang hijau yang dimasak serta cita rasa yang begitu sangat nikmat. Tentu saja rasanya nikmat karena Emak lah yang memasaknya jika bukan Emak yang memasaknya maka rasanya tidak akan jadi seperti ini. Bagiku Emak adalah chef terbaik dalam kehidupan aku.

"Cepat sekali kau makan, Dul," komentar mbak Santi yang ikut bergabung duduk denganku.

Mbak Santi berumur 17 tahun tahun ini. Ia telah naik ke kelas 12. Tak lama lagi ia akan segera tamat dari sekolahnya. Jika kalian mengira sekolah menengah atas juga jauh seperti sekolahku maka kalian salah besar. Sekolah menengah atas di desaku tidak terlalu jauh, hanya beberapa jam jika kita berjalan kaki.

Aku tak membalas ujaran Mbak Santi. Aku hanya makan dengan serius setelah memberikan senyum tipis kepada Mbak. Aku adalah Abdul, anak terakhir dari tiga bersaudara. Aku punya dua kakak yaitu kang Roy dan Mbak Santi.

Kang Roy tahun ini telah berusia 20 tahun. Beberapa tahun yang lalu ia telah tamat sekolah menengah atas dan memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya karena jarak tempat kuliah dari rumah cukup jauh. Emak tidak mengizinkan Kang Roy melanjutkan kuliahnya di kota besar.

Emak sangat sayang dengan anak-anaknya hingga itu pula ia tidak ingin berpisah dengan anak-anaknya satupun itu. Walaupun banyak anak-anak di desa yang akhirnya memutuskan untuk merantau ke kota mencari pekerjaan yang bisa mereka kerjakan.

Di sana tidak terlalu buruk bahkan ada beberapa dari anak-anak desa kami yang kerja di perusahaan terkenal yang ada di kota besar bahkan ada juga beberapa pemuda dari desa kami yang menjadi pemilik toko yang ada di sana.

Kang Roy dan bapak telah pergi ke kebun sejak tadi. Sepertinya hari ini bapak akan panen buah pisang yang setiap sorenya aku datangi untuk melihat perkembangan buah pisang itu.

"Makan yang banyak ya, Dul biar semangat sekolahnya."

"Siap mak," jawabku dengan semangat.

Aku mendongak menatap jam dinding yang berada di dekat penutup nasi yang terbuat dengan anyaman bambu.

"Mak, Abdul berangkat ke sekolah saja, ya."

"Hati-hati di jalan ya, Dul kalau airnya naik tunggu surut dulu baru menyeberang. Takut kau tenggelam."

"Tidak apa-apa. Abdul sudah pintar," ujar mbak Santi membuat aku menoleh lalu tertawa kecil.

"Benarkah?" tanya Emak tidak percaya.

"Abdul sudah pintar berenang. Joko yang mengajarkan," jawabku.

"Bagus kalau begitu tapi tetap saja di sungai kan banyak buayanya jadi jangan menyebrang dulu, ya!"

"Siap mak," jawabku.

Setelah menyalimi satu persatu emak dan mbak Santi, aku akhirnya melangkah keluar dari rumah menuruni beberapa tangga yang terbuat dari kayu jati.

Aku memasankan kedua kakiku dengan sendal jepit yang telah disambung dengan tali rafia berwarna merah. Sebenarnya Emak bisa membelikan aku sendal yang baru hanya saja emak hanya akan datang ke pasar selama 2 tahun sekali itupun jika ingin lebaran untuk membeli baju dan beberapa perlengkapan rumah lainnya.

Hari ini aku akan menceritakan bagaimana perjalananku ke sekolah tapi aku tidak sendiri karena aku bersama dengan teman-temanku. Aku yang sedang melangkah menuruni beberapa bukit dengan jalanan bebatuan yang belum teraspal serta tanah merah menempel di bawah telapak kaki sendal dan sedikit mengotori bagian kaki menjadi pemandangan pertama dalam perjalanan ke sekolah.

Kini aku duduk terdiam di jembatan kayu tua menanti teman-temanku datang untuk berangkat ke sekolah bersama.

...🌏🌏🌏...

Teknologi Merusak Kami-02

...🌏🌏🌏...

Tak cukup lama bagiku untuk menanti para kawanan berseragam sekolah dasar yang tingginya hampir sama denganku mereka semua adalah teman-temanku dan mari kusebutkan satu persatu.

Kita mulai dari sebelah paling kanan. Anak laki-laki yang bertubuh paling gemuk itu bernama Jono, hobinya adalah makan bahkan selain membawa bekal dari rumah ia juga membawa beberapa uang untuk membeli cemilan di sekolah. Terdengar sangat rakus bukan.

Kami selalu menjulukinya dengan sebutan nama buto ijo. Ya tentu saja karena perutnya yang besar persis seperti buto ijo. salah satu karakter dalam film horor itu. Apakah aku salah? Sepertinya tidak tapi dia terlihat sedikit kesal saat kami membullynya dengan nama itu.

Harus bagaimana lagi, mamaknya pun memanggilnya dengan sebutan itu. Anak buto ijo.

Yang kedua adalah Samal. Pria bertumbuh paling tinggi di antara kami disertai dengan tubuhnya kurus kering persis seperti artis yang bernama Dato maringgi yang ada di film Dono, Kasino dan Indro itu.

Rambut hitamnya terlihat sedikit menipis. Ia selalu membawa sisir panjang plastik berwarna pink yang berada di saku bajunya. Rambutnya selalu terlihat rapi dan bahkan ia selalu membawa minyak kemiri saat ia pergi ke sekolah. Katanya supaya rambutnya tidak berantakan ketika sampai di sekolah.

Yang ketiga adalah Mansur. Anak laki-laki yang bertubuh berisi dengan kulit yang paling gelap di antara kami. Jika kulit kami berwarna lebih putih karena suhu di desa kami yang lebih dingin berbeda dengan kulit yang mensur punya. Bapaknya yang merupakan keturunan orang Papua membuat kulitnya menjadi lebih gelap. Tapi sepertinya kulit gelap hanya ditakdirkan kepada Mansur saja karena aku lihat kulit kakak dari Mansur yang perempuan itu terlihat lebih putih.

Dan satu lagi anak perempuan yang berdiri paling ujung. Namanya leha, gadis yang paling tercantik di antara kami. Tentu saja karena hanya dia yang perempuan di antara kami berlima.

Leha ini berbeda daripada yang lainnya. Hobinya hanya menangis dan menangis. Aku tidak tahu apakah di dalam matanya itu ada pabrik air mata hingga air matanya tidak pernah habis walaupun sering dipakai menangis atau memang perempuan diciptakan untuk menjadi gadis yang manja bayangkan saja leha adalah salah satu beban di dalam persahabatan kami. Jika dia tidak mampu menyeberangi sungai maka dia akan menangis dengan air mata yang seakan ingin memenuhi sungai.

Setibanya teman-temanku mendekati aku kami tak tinggal diam, setibanya kami langsung beranjak berjalan bersisian sambil sesekali menyapa para pejalan kaki yang sedang berangkat menuju ke kebun dan sawah mereka.

Di desa kami sangat jarang terdapat kendaraan seperti motor atau mobil yang marak digunakan di kota besar. Yang sering kamu lihat hanyalah sepeda. Ya di desa ini sepeda adalah alat transportasi yang sering digunakan namun, kebanyakan para warga desa swatani menggunakan kuda sebagai alat transportasi.

"Tidak mau naik?" tawar seorang pria membuat kami menoleh.

Kami tersenyum menatap paman Karim yang setiap harinya selalu berangkat ke kebun sambil membawa bendi. Bendi ini semacam delman yang terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan tempat duduk yang berhadapan, tak ada atap pada bendi milik Paman Karim ini hingga saat bendi itu bergerak hembusan udara dingin berhasil membuat kami tersenyum-senyum sendiri. Entah karena terlalu merasa senang hari ini kami tidak perlu berjalan kaki untuk menggapai sungai.

Selama perjalanan Paman Karim selalu mengajak kami bercerita. Pak Karim selalu mendengarkan cerita yang kami alami di sekolah seperti pekerjaan tugas sekolah dan kegiatan sekolah yang kami lakukan.

Paman Karim selalu manggut-manggut persis burung beo saat kami bercerita dan sepertinya ia sangat tertarik mendengar kisah kami yang berbicara bergantian. Terlebih lagi aku sangat suka ketika menceritakan Jono membuat Jono hanya mampu menatapku dengan sinis saat aku menceritakan betapa banyaknya makanan yang ia beli di sekolah.

"Tidak apa-apa kalau makan banyak yang penting tidak mubazir. Beli makanan boleh saja yang penting jangan dibuang-buang."

Itu yang dikatakan Paman Karim saat ia menanggapi tentang ceritaku membuat Jono tersenyum bangga. Saat ia tersenyum firasatku seakan tidak enak sepertinya setelah ini ia akan membeli makanan sebanyak-banyaknya lagi.

Kami melompat satu persatu menuruni bendi dan mengucapkan kata terima kasih kepada Paman Karim setelah mengantar kami ke siring sungai.

Setelahnya kami akan berjejer di tepi sungai menatap permukaan sungai yang sepertinya masih surut. Kami masih bisa melihat bebatuan-bebatuan di permukaan sungai yang terlihat.

"Jam enam lewat sepuluh menit kalau sudah pukul lima belas menit menit maka airnya sudah akan naik," itu yang dikatakan Mansur lengkap dengan logat papuanya.

Satu hal yang aku suka saat Mansur berbicara yaitu logat papuanya. Walaupun ia tidak sedang berkomedi atau membuat sebuah lelucon tapi aku selalu dibuat tertawa saat ia berbicara. Yah terkadang Mansur selalu marah jika aku tertawa saat ia bicara.

Rupanya selain hitam ia juga punya otak yang encer. Sepertinya kelebihannya adalah kepintaran yang tidak dimiliki oleh aku dan juga teman-temanku. Mansur sudah hafal kapan air sungai naik dan surut. Mansur adalah salah satu kunci jawaban saat kami sedang ujian ataupun mendapatkan tugas sekolah.

Dan di antara kami berlima otaknya adalah yang paling sangat encer. Entah karena apa atau mungkin karena ia suka makan mangga. Aku tidak tahu tapi yang jelas bapak dari Mansur punya kebun mangga yang sangat luas.

Kami menginjakkan kaki secara bergantian pada permukaan bebatuan melewati sungai yang cukup panjang ini. Gerakan yang lincah sudah menjadi bagian dariku mungkin ini adalah satu kelebihanku. Anak yang lincah melompat bak ninja warrior yang aku tonton di TV ruangan kepala sekolah. Aku kini memiliki cita-cita bisa menjadi seorang ninja yang memakai pakaian hitam mirip pahlawan.

Aku tiba di siring sungai lebih dulu lalu duduk di atas bebatuan paling besar dan menontoni teman-temanku yang masih melompati batu satu persatu untuk menyeberangi sungai. Aku sesekali meneriaki mereka menyuruhnya untuk lebih cepat.

Suara tangisan kembali terdengar. Tak perlu mencari tahu itu siapa pemilik tangisan itu. Tentu saja sang pemilik suara yang cempreng itu adalah Leha. Gadis berambut yang diikat mirip dengan tanduk kambing itu kembali menangis karena tak mampu menyeberangi sungai dan terpaksa Samal, si kurus kering itu senantiasa menjemputnya ke tengah sungai dan menuntunnya persis seperti wanita tua yang ingin menyeberang jalanan sampai ke siring sungai.

Sepertinya di antara kami hati yang paling lembut adalah Samal karena diantara kami pula hanya Samal yang sangat perhatian dengan Leha. Ya mungkin saja karena Samal yang punya adik perempuan di rumah.

...🌏🌏🌏...

3. Teknologi Merusak Kami-03

...🌏🌏🌏...

Setelah menyeberangi sungai kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kaki kami melewati jejeran pepohonan hutan yang cukup rimbun. Suara kera-kera yang sepertinya sedang beradu domba terdengar membuat bulu kuduk orang yang mendengar pertama kali akan merasa ngeri sendiri namun, bagi kami itu sudah hal biasa bagi kami.

Kami sudah cukup terbiasa dengan mendengar suara-suara kera bahkan sesekali kami mendongak menatap kera-kera yang meloncat dari pohon ke pohon.

Jono menghentikan langkahnya meraih parang besar yang berada pada balik semak-semak. Parang itu merupakan parang milik Jono yang ia gunakan untuk memotong dahan-dahan yang menghalangi jalan selama perjalanan kami menuju sekolah.

Anggap saja Jono adalah pelindung bagi kami. Selain tubuhnya yang gemuk seperti buto ijo, ia sepertinya adalah penjaga. Sepertinya tubuh Jono ada juga manfaatnya selain menakut-nakuti hewan ia mungkin terlihat sedikit menyeramkan dengan perang di tangannya.

Butuh empat puluh menit waktu berjalan kaki agar bisa menembus hutan yang lebat itu. Kami telah melewati hutan dengan selamat sudahlah menjadi hal yang paling bersyukur bagi kami.

Hari ini sepertinya adalah hari keberuntungan bagi kami karena biasanya selama perjalanan kami biasa menemukan hewan liar yang menghadang bagaikan seorang penjajah yang datang entah dari mana.

Jika kami bertemu dengan hewan liar seperti kera maka itu tidak terlalu masalah bagi kami namun, hewan liar yang kami temui seperti ular ataupun monyet besar yang datang saja lalu mengamuk bahkan beberapa saat kami pernah dihadang oleh babi besar yang datang dan berlari berniat menyeruduk kami hingga kami akhirnya memutuskan untuk memanjat pohon dan menunggu sampai berjam-jam hingga babi itu benar-benar pergi.

Babi hutan dan babi peliharaan tidaklah sama. Babi hutan memiliki tubuh yang lebih besar dengan cula yang begitu panjang serta bulu hitam yang agak lebat sementara babi peliharaan memiliki bulu yang tipis dengan warna putih dan bahkan ada beberapa yang berwarna pink serat tubuhnya juga tidak terlalu besar.

Setelah melewati hutan yang lebat kini kami dihadapkan dengan jalanan bebatuan yang sama sekali belum diraba oleh para pihak pemerintah yang biasa digunakan para pemilik kerbau meletakkan kerbaunya di tempat ini.

Padang rumput yang terlihat sedikit mengering dan di sini kami harus ekstra hati-hati karena salah sedikit saja sendal yang sudah kotor ini akan terkena kotoran kerbau bahkan jika tidak, kerbau-kerbau akan mengejar kami mungkin karena seragam yang kami gunakan berwarna merah.

Entahlah apakah mungkin kerbau itu memang tidak suka dengan warna merah atau memang mereka terganggu dan kedatangan kami.

Ngos-ngosan. Sesak rasanya. Cucuran keringat membasahi kening dan sekujur tubuh. Sepertinya tubuh kami akan sedikit bau setelah sampai di sekolah sekarang aku tak heran lagi mengapa samal selalu membawa minyak wangi di saku celananya.

Suara tangisan kembali terdengar aku yang sudah lelah itu menoleh menatap redup ke arah Leha yang ternyata kembali menangis lagi. Rupanya gadis itu tanpa sengaja menginjak kotoran kerbau yang mencair. Nampaknya kotoran kerbau itu baru saja keluar dari sang pemilik pabrik yaitu, kerbau yang tak jauh dari Leha itu pasti adalah pemiliknya.

Lihatlah gadis itu kembali menangis lagi. Gadis itu sudah dua kali menangis. Yang pertama saat ia menyebrang sungai dan kedua saat ia menaiki bukit.

Bagi kami hal ini sudah biasa jadi tidak usah dipikirkan. Ia akan menangis empat kali setelah ia sampai di sekolah dan tanpa hari tanpa menangis itu sudah menjadi kebiasaan bagi Leha.

Setelah mencapai puncak perbukitan kami kembali harus menuruni bukit. Jika saat kita menanjak bukit harus melewati kumpulan kerbau maka saat kami menuruni bukit maka kami harus melewati kumpulan geng kambing.

Aku pernah membayangkan bagaimana jadinya jika kerbau dan kambing bertemu di atas bukit mungkin mereka akan berkelahi.

Aku serentak menutup hidung dengan topi merah untuk mengurangi bau pesing dari kambing jantan yang berlarian kiri kanan. Suara kambing jantan dan betina terdengar saling bersahutan.

Sesekali aku dibuat tertawa saat Jono menirukan suara kambing jantan. Dia sangat lihai dalam menirukan suara hewan namun, saat Jono menirukan suara kambing suaranya sangat mirip dengan kambing asli. sepertinya pita suara Jono diciptakan sebagian terbuat dari pita suara kambing.

Dari sini saat kami menurun bukit kami bisa melihat jalanan beraspal yang berkelok-kelok mengitari bebukitan yang terlihat menghijau.

Setibanya di sini jalan kami tidak langsung bergegas untuk menuju sekolah namun, kami harus menanti angkutan umum untuk bisa sampai ke sekolah. Aku berdiri menopang pinggang menatap jalanan yang terlihat sangat sunyi.

Entah mengapa kendaraan memang jarang melewati tempat ini. Jalanan yang telah dielokkan beberapa tahun yang lalu namun, jalanan beraspal ini hanya sampai di sini saja tidak mencapai desa kami karena akses yang terlalu jauh.

Setelah beberapa lama kami menunggu akhirnya mobil angkutan umum melintas membuat aku dan teman-temanku melompat-lompat kegirangan sementara Leha, si gadis ratu air mata itu hanya sibuk duduk sambil memeluk tasnya.

Mobil berhenti. Aku dan teman-temanku berlarian naik ke dalam rongga mobil sementara aku memutuskan untuk berdiri di bibir pintu berpegangan pada bagian atap.

Jono, Leha dan Samal memilih untuk duduk di dalam sementara aku lebih suka berada di bibir pintu menikmati udara segar yang menggoyang-goyangkan rambut kami. Mungkin ini juga alasannya mengapa Samal tidak ingin berada di bibir pintu mungkin karena ia takut rambutnya menjadi kusut.

Mengenai Jono, Jono ingin sekali bergelantungan seperti kami tapi pak sopir yang kami sering panggil paman Jago tidak membiarkannya. Sebenarnya Paman jago bukanlah nama yang sebenarnya, itu hanyalah nama julukan karena bagi kami Paman begitu jago dalam menyetir mobil.

Kata paman Jago, Jono tubuhnya sangat gemuk bisa-bisa mobil akan menjadi miring jika ia yang menggantung di bibir pintu dan hanya aku dan Mansur yang dibiarkan menggelantung seperti ini.

Sesekali kami tertawa ketika merasakan hembusan angin yang begitu sangat menyegarkan. Aku membuka mulut rasanya seperti makan angin. Bibirku terasa kering. Air liurku entah berhamburan ke mana.

"Hujan! Hujan kah?"

Pertanyaan itu terlontar dari Mansur. Aku menoleh menatapnya yang nampak sedang mengusap bagian pipinya lalu Mansur mendongak menatap langit.

"Kenapa?"

"Ada air hujan," jawabnya sambil mengusap bagian pipinya.

Aku tertawa kecil. Mungkin itu bukan air yang turun dari langit tapi itu adalah air yang keluar dari mulutku. Aku tak ingin berkata jujur saat itu. Aku takut kalau Mansur, si hitam itu menonjok kepalaku hingga aku terhempas ke aspal.

...🌏🌏🌏...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!