Papa Untuk Oleander
Ola.
"What the hell are you doing here?"
Apa yang dia lakukan di sini?
Aku tidak habis pikir. Setelah semua yang terjadi, lebih-lebih apa yang sudah terjadi belakangan, dia masih bisa menampakkan batang hidungnya di depanku. Dia pikir dia bisa begitu saja muncul di kamarku setelah SEMUA yang dia lakukan padaku? Dan, ya, maksudku itu adalah SEMUANYA.
SEMUANYA.
Tiba-tiba aku merasakan ada yang perih di sudut hati ini.
****.
Please. Jangan aneh-aneh, deh, hati.
"Baby girl, kamu kenapa? Ada yang sakit? Apa yang kamu rasain sekarang?"
Suara Papa menerobos kabut rasa kesal dan marah yang menutupi otakku, akan tetapi tetap saja butuh beberapa saat untuk pertanyaan itu benar-benar masuk dan dimengerti. Aku mengalihkan pandangan dari pria bertubuh besar, tidak diundang, dan tidak aku sukai yang sekarang berdiri di dekat tempat tidurku ke arah Papa dan Mama.
Dan, tidak mengherankan bila yang kutemukan adalah kebingungan yang mewarnai wajah mereka. Karena tentu saja mereka tidak tahu. Mereka tidak tahu apa yang menjadi alasan muka masamku. Dan aku tidak ingin mereka tahu tentang apa yang terjadi antara aku dan pria yang selama ini telah mereka anggap sebagai anak mereka sendiri selain Bang Oli itu.
Jangan tanya. Aku sendiri masih tidak tahu kenapa aku masih berusaha merahasiakan hal tersebut dari mereka. Entah aku ingin mempertahankan mukaku di depan Papa dan Mama, atau ....
Jangan. Jangan pergi ke sana.
Ya. Ya, ya, ya. Anggap saja aku benar-benar hanya ingin mempertahankan mukaku di depan Papa dan Mama serta Bang Oli. Apalagi setelah kejadian ini. Aku tidak ingin memberikan kejutan yang lebih lagi untuk mereka.
Tidak. Tidak.
Jangan memikirkan alasan lain. KARENA TIDAK ADA ALASAN YANG LAIN.
TITIK.
Jangan. Jangan pergi ke sana.
Seharusnya aku tidak berpikir seperti itu. Aku seharusnya tidak memikirkannya lagi.
Ini semua adalah kesalahannya.
****. Stop it!
Aku seharusnya tidak berbuat apa-apa, memikirkan apa pun di depan Papa dan Mama. "Oh, ya, Pa. Semuanya baik-baik aja kok. Aku cuma ... kaget, eh, no." Aku menggeleng.
Get yourself together, girl. Aku membatin.
"Aku ... aku cuma excited lihat ehm, hm ... cupcake! Ya, cupcake sebanyak itu. Look, cupcakes!" Aku menjulurkan tangan ke arah kotak di atas pangkuan dengan senyum palsu di bibirku.
"Kamu yakin, Sweetie?" Mama bertanya. Wanita cantik dan berhati besar itu tidak pernah melewatkan suatu apa pun dengan kekuatan super yang dimilikinya sebagai seorang ibu. "Soalnya kamu kelihatan agak ... aneh."
"Ya, ya, Ma. Aku gak apa-apa, beneran." Aku mencoba meyakinkan keduanya dengan kebohongan yang lain. Lalu dengan cepat mengalihkan pandanganku kembali ke si beruang kutub itu.
Dalam upaya untuk membuat Papa dan Mama lebih percaya, aku bahkan melemparkan senyum terbesar yang bisa kulakukan meski dalam hati entah bagaimana rasanya.
Tidak ada yang bisa membodohi seorang ibu terlebih lagi yang seperti mamaku, akan tetapi tetap saja kucoba. Walaupun bisa dibilang sebagai sebuah kebodohan, setidaknya aku telah mencoba. Demi ... semua orang.
Oke. Anggap saja seperti itu dulu.
Meski keningnya masih berkerut, Papa akhirnya memilih untuk percaya pada putri satu-satunya. "Syukurlah kalau begitu. Papa cuma gak mau ambil resiko aja. Kamu ngerti, kan?"
Aku mengangguk.
"Ya, sudah. Kalau memang tidak ada apa-apa, boleh, ya, Papa dan Mama tinggal kamu di sini sebentar sama Angga? Biar kami bisa pulang ke rumah dan berganti pakaian."
Hm, what? Papa bilang apa barusan?
"Papa udah coba telepon abangmu, tapi katanya dia lagi istirahat." Papa kemudian menambahkan.
Aku ... aku tidak mengharapkan ini. "Eh, uhm ...." Aku tidak tahu harus berkata apa. Jelas aku tidak mau ditinggal berdua bersama pria itu. Namun, aku juga tidak bisa mengatakan alasannya. Dengan hati-hati aku berkilah, "Tapi, kayaknya Angga, eh, Bang Angga gak bisa, deh, Pa. Dia pasti sibuk ngurusin bisnisnya. Aku tinggal sendirian aja gak apa-apa kok."
Pilihan apa lagi yang ada ketika kalian tidak bisa mengatakan "aku tidak baik-baik saja soal sesuatu" dan harus menjelaskan kebohongan selain membuat pengalihan sehingga percakapan sekarang terfokus pada orang lain?
Namun, rencanaku praktis saja menjadi bumerang ketika Angga menjawab, "Enggak kok, gak juga. Nanti aku tinggal check-in sama karyawan aja. Kalau Om dan Tante mau pulang dulu, silakan. Biar gantian aku yang temenin Ola di sini. Om dan Tante santai aja lah, no prob." Dia dengan berani-beraninya menoleh, menatapku, dan berkata, "It's okay, La. Let them refresh themselves."
Oh, betapa aku berharap senyum selebar Jagakarsa yang membentang sekarang akan benar-benar membelah wajahnya yang menyebalkan itu!
Oh, my God! How I hate him!
"Good, good. Fix kalau gitu. Terima kasih banyak, ya, Ngga. Kami akan kembali secepatnya." Papa menyahut sembari menepuk punggung pria sialan sok pahlawan itu. "Ayo, Sayang," katanya pada Mama yang terlihat cukup terhibur dengan pergantian rencana ini.
Kenapa Mama jadi mesem-mesem begitu, sih?
Mama yang tidak tahu menahu soal pikiranku meraih dompetnya dan mencium rambutku. "Mama pergi bentar, ya. Kalau kamu mau apa-apa nanti kasih tahu aja. Oke?" Lalu dia berjalan ke arah Angga dan mencium pipinya juga. "Terima kasih banyak, ya, Ngga. Tante titip Ola," katanya.
"Gak masalah, Tante," jawabnya seraya mengangkat bahu. "Tante sama Om hati-hati di jalan. Gak usah buru-buru, we'll be fine."
****
"Apa-apaan, sih, lo, Angga?" Aku memuntahkan kata-kata itu segera setelah pintu ditutup dan aku seratus persen yakin bahwa Papa dan Mama sudah tidak dapat mendengarkan kami lagi. "Apa yang lo lakuin di sini? Ngapain lo ke sini? Ha?"
Pria ini, pria aneh, menyebalkan, sialan ini memiliki keberanian untuk memasang wajah bersalah. "Gue ... gue cuma pengen ketemu lo. Gue cuma pengen tahu kondisi lo aja."
Aku tidak dapat menahan tawa pahit yang ke luar dari tempat palinh dalam di hatiku. "Oh, ya? Really? Well, sekarang lo udah lihat gue, kan? Tapi, sorry. Gue gak pengen ketemu sama lo. So, keluar. See yourself out. Go."
"No," balasnya cepat. "Gue udah janji sama Om dan Tante. Gue akan tetap ada di sini gak peduli suka atau enggaknya lo sama kehadiran gue."
Tawa pahit lainnya seketika saja muncul ke permukaan setelah mendengar perkataannya. "Ain't that the truth, huh? Lo memang gak pernah peduli sama gue."
Benar-benar menyakitkan. Namun, itulah kebenarannya.
Sesuatu berhasil menggores hatiku lagi.
Angga sekonyong-konyongnya menundukkan kepala dan menghela napas berat. "Bukan itu maksud gue. Lo tahu bukan itu maksud gue, but I deserve that one just now."
Namun, sejujurnya, aku berpikir kalau kamu tidak pantas mendapatkan ata pun dariku. Bagaimana pendapat kita bisa berbeda begini, ya? Insert sarcasm.
Dengan kedua tangan di pinggangnya, Angga kemudian berkata, "Olavia, listen. Aku tahu aku sudah melakukan banyak kesalahan dan aku—"
"Oh, shut it!" Aku lantas memotong ucapannya. "Jangan mulai dengan panggilan aku-kamu lagi. Gue gak mau dengar kata-kata itu ke luar dari mulut lo. Hm, let me think." Aku mengetuk-ngetukkan jari ke dagu beberapa kali, berpura-pura berpikir. "Oh! Lo tahu apa? Gue sebenarnya gak mau dengar apa pun yang ke luar dari mulut lo itu."
"Olavia, gue mohon. Please. Kasih gue kesempatan." Angga mulai berjalan mendekat ke tempat tidur.
"Enggak. Udah gue bilang gue gak mau dengar apa pun dari mulut lo itu. Yang ada, sekarang gue akan kasih lo pilihan. Tutup mulut lo itu atau pergi dari sini."
Aku bisa mendengar bisikan-bisikan berupa rutukan keluar dari bibir lelaki itu saat aku berbalik dan memunggunginya. Aku memilih untuk tidak menghiraukan apa yang dia kerjakan. Terserah dia lah.
Lalu aku memejamkan mata. Jika dia memilih untuk diam dan tinggal, aku tidak ingin melihatnya. Jika dia memilih untuk pergi, aku ....
Persetan. Kehadirannya membuatku menjadi sangat kacau.
Aku tidak butuh omong kosong ini. Bayiku tidak membutuhkan kekacauan ini.
Mengingat sebuah kehidupan kecil berharga yang kini ada di dalam perutku, aku meletakkan telapak tangan di atasnya dan mulai melakukan gerakan melingkar dengan lembut yang kuharap berefek menenangkan. "Maafkan Mama atas stresnya, ya, Sayang. Kamu tetap aman di dalam perut Mama, ya?" Aku berucap lirih, berharap Angga tidak bisa mendengarkan.
Ruangan itu dipenuhi dengan keheningan yang intens sebelum suara seseorang membuka pintu menggantikannya. Dan untuk beberapa alasan yang tidak ingin kupikirkan, hatiku terasa tersentak.
Apakah dia akhirnya memilih untuk pergi?
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
ℤℍ𝔼𝔼💜N⃟ʲᵃᵃ࿐ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
klo lg hamil mah dibawa happy aja,,, hindari strs biar baby di perut pun ikut happy
2023-01-13
1
💜Ϝιαℓσνα💜
bumil,,, jgn stres kasian dedek dlm perut.. kudu happy trs..biar dedek nya ikut seneng
2023-01-13
1
Cintah517
Jadi, si angga ini sbenarnya siapa?
apakah bapaknya si janin
atau... hanya orang yg menyakiti olavia saja?
atau bisa jadi keduanya
2023-01-13
0