NovelToon NovelToon

Papa Untuk Oleander

1. Apa Yang Dia Lakukan di Sini?

Ola.

"What the hell are you doing here?"

Apa yang dia lakukan di sini?

Aku tidak habis pikir. Setelah semua yang terjadi, lebih-lebih apa yang sudah terjadi belakangan, dia masih bisa menampakkan batang hidungnya di depanku. Dia pikir dia bisa begitu saja muncul di kamarku setelah SEMUA yang dia lakukan padaku? Dan, ya, maksudku itu adalah SEMUANYA.

SEMUANYA.

Tiba-tiba aku merasakan ada yang perih di sudut hati ini.

****.

Please. Jangan aneh-aneh, deh, hati.

"Baby girl, kamu kenapa? Ada yang sakit? Apa yang kamu rasain sekarang?"

Suara Papa menerobos kabut rasa kesal dan marah yang menutupi otakku, akan tetapi tetap saja butuh beberapa saat untuk pertanyaan itu benar-benar masuk dan dimengerti. Aku mengalihkan pandangan dari pria bertubuh besar, tidak diundang, dan tidak aku sukai yang sekarang berdiri di dekat tempat tidurku ke arah Papa dan Mama.

Dan, tidak mengherankan bila yang kutemukan adalah kebingungan yang mewarnai wajah mereka. Karena tentu saja mereka tidak tahu. Mereka tidak tahu apa yang menjadi alasan muka masamku. Dan aku tidak ingin mereka tahu tentang apa yang terjadi antara aku dan pria yang selama ini telah mereka anggap sebagai anak mereka sendiri selain Bang Oli itu.

Jangan tanya. Aku sendiri masih tidak tahu kenapa aku masih berusaha merahasiakan hal tersebut dari mereka. Entah aku ingin mempertahankan mukaku di depan Papa dan Mama, atau ....

Jangan. Jangan pergi ke sana.

Ya. Ya, ya, ya. Anggap saja aku benar-benar hanya ingin mempertahankan mukaku di depan Papa dan Mama serta Bang Oli. Apalagi setelah kejadian ini. Aku tidak ingin memberikan kejutan yang lebih lagi untuk mereka.

Tidak. Tidak.

Jangan memikirkan alasan lain. KARENA TIDAK ADA ALASAN YANG LAIN.

TITIK.

Jangan. Jangan pergi ke sana.

Seharusnya aku tidak berpikir seperti itu. Aku seharusnya tidak memikirkannya lagi.

Ini semua adalah kesalahannya.

****. Stop it!

Aku seharusnya tidak berbuat apa-apa, memikirkan apa pun di depan Papa dan Mama. "Oh, ya, Pa. Semuanya baik-baik aja kok. Aku cuma ... kaget, eh, no." Aku menggeleng.

Get yourself together, girl. Aku membatin.

"Aku ... aku cuma excited lihat ehm, hm ... cupcake! Ya, cupcake sebanyak itu. Look, cupcakes!" Aku menjulurkan tangan ke arah kotak di atas pangkuan dengan senyum palsu di bibirku.

"Kamu yakin, Sweetie?" Mama bertanya. Wanita cantik dan berhati besar itu tidak pernah melewatkan suatu apa pun dengan kekuatan super yang dimilikinya sebagai seorang ibu. "Soalnya kamu kelihatan agak ... aneh."

"Ya, ya, Ma. Aku gak apa-apa, beneran." Aku mencoba meyakinkan keduanya dengan kebohongan yang lain. Lalu dengan cepat mengalihkan pandanganku kembali ke si beruang kutub itu.

Dalam upaya untuk membuat Papa dan Mama lebih percaya, aku bahkan melemparkan senyum terbesar yang bisa kulakukan meski dalam hati entah bagaimana rasanya.

Tidak ada yang bisa membodohi seorang ibu terlebih lagi yang seperti mamaku, akan tetapi tetap saja kucoba. Walaupun bisa dibilang sebagai sebuah kebodohan, setidaknya aku telah mencoba. Demi ... semua orang.

Oke. Anggap saja seperti itu dulu.

Meski keningnya masih berkerut, Papa akhirnya memilih untuk percaya pada putri satu-satunya. "Syukurlah kalau begitu. Papa cuma gak mau ambil resiko aja. Kamu ngerti, kan?"

Aku mengangguk.

"Ya, sudah. Kalau memang tidak ada apa-apa, boleh, ya, Papa dan Mama tinggal kamu di sini sebentar sama Angga? Biar kami bisa pulang ke rumah dan berganti pakaian."

Hm, what? Papa bilang apa barusan?

"Papa udah coba telepon abangmu, tapi katanya dia lagi istirahat." Papa kemudian menambahkan.

Aku ... aku tidak mengharapkan ini. "Eh, uhm ...." Aku tidak tahu harus berkata apa. Jelas aku tidak mau ditinggal berdua bersama pria itu. Namun, aku juga tidak bisa mengatakan alasannya. Dengan hati-hati aku berkilah, "Tapi, kayaknya Angga, eh, Bang Angga gak bisa, deh, Pa. Dia pasti sibuk ngurusin bisnisnya. Aku tinggal sendirian aja gak apa-apa kok."

Pilihan apa lagi yang ada ketika kalian tidak bisa mengatakan "aku tidak baik-baik saja soal sesuatu" dan harus menjelaskan kebohongan selain membuat pengalihan sehingga percakapan sekarang terfokus pada orang lain?

Namun, rencanaku praktis saja menjadi bumerang ketika Angga menjawab, "Enggak kok, gak juga. Nanti aku tinggal check-in sama karyawan aja. Kalau Om dan Tante mau pulang dulu, silakan. Biar gantian aku yang temenin Ola di sini. Om dan Tante santai aja lah, no prob." Dia dengan berani-beraninya menoleh, menatapku, dan berkata, "It's okay, La. Let them refresh themselves."

Oh, betapa aku berharap senyum selebar Jagakarsa yang membentang sekarang akan benar-benar membelah wajahnya yang menyebalkan itu!

Oh, my God! How I hate him!

"Good, good. Fix kalau gitu. Terima kasih banyak, ya, Ngga. Kami akan kembali secepatnya." Papa menyahut sembari menepuk punggung pria sialan sok pahlawan itu. "Ayo, Sayang," katanya pada Mama yang terlihat cukup terhibur dengan pergantian rencana ini.

Kenapa Mama jadi mesem-mesem begitu, sih?

Mama yang tidak tahu menahu soal pikiranku meraih dompetnya dan mencium rambutku. "Mama pergi bentar, ya. Kalau kamu mau apa-apa nanti kasih tahu aja. Oke?" Lalu dia berjalan ke arah Angga dan mencium pipinya juga. "Terima kasih banyak, ya, Ngga. Tante titip Ola," katanya.

"Gak masalah, Tante," jawabnya seraya mengangkat bahu. "Tante sama Om hati-hati di jalan. Gak usah buru-buru, we'll be fine."

****

"Apa-apaan, sih, lo, Angga?" Aku memuntahkan kata-kata itu segera setelah pintu ditutup dan aku seratus persen yakin bahwa Papa dan Mama sudah tidak dapat mendengarkan kami lagi. "Apa yang lo lakuin di sini? Ngapain lo ke sini? Ha?"

Pria ini, pria aneh, menyebalkan, sialan ini memiliki keberanian untuk memasang wajah bersalah. "Gue ... gue cuma pengen ketemu lo. Gue cuma pengen tahu kondisi lo aja."

Aku tidak dapat menahan tawa pahit yang ke luar dari tempat palinh dalam di hatiku. "Oh, ya? Really? Well, sekarang lo udah lihat gue, kan? Tapi, sorry. Gue gak pengen ketemu sama lo. So, keluar. See yourself out. Go."

"No," balasnya cepat. "Gue udah janji sama Om dan Tante. Gue akan tetap ada di sini gak peduli suka atau enggaknya lo sama kehadiran gue."

Tawa pahit lainnya seketika saja muncul ke permukaan setelah mendengar perkataannya. "Ain't that the truth, huh? Lo memang gak pernah peduli sama gue."

Benar-benar menyakitkan. Namun, itulah kebenarannya.

Sesuatu berhasil menggores hatiku lagi.

Angga sekonyong-konyongnya menundukkan kepala dan menghela napas berat. "Bukan itu maksud gue. Lo tahu bukan itu maksud gue, but I deserve that one just now."

Namun, sejujurnya, aku berpikir kalau kamu tidak pantas mendapatkan ata pun dariku. Bagaimana pendapat kita bisa berbeda begini, ya? Insert sarcasm.

Dengan kedua tangan di pinggangnya, Angga kemudian berkata, "Olavia, listen. Aku tahu aku sudah melakukan banyak kesalahan dan aku—"

"Oh, shut it!" Aku lantas memotong ucapannya. "Jangan mulai dengan panggilan aku-kamu lagi. Gue gak mau dengar kata-kata itu ke luar dari mulut lo. Hm, let me think." Aku mengetuk-ngetukkan jari ke dagu beberapa kali, berpura-pura berpikir. "Oh! Lo tahu apa? Gue sebenarnya gak mau dengar apa pun yang ke luar dari mulut lo itu."

"Olavia, gue mohon. Please. Kasih gue kesempatan." Angga mulai berjalan mendekat ke tempat tidur.

"Enggak. Udah gue bilang gue gak mau dengar apa pun dari mulut lo itu. Yang ada, sekarang gue akan kasih lo pilihan. Tutup mulut lo itu atau pergi dari sini."

Aku bisa mendengar bisikan-bisikan berupa rutukan keluar dari bibir lelaki itu saat aku berbalik dan memunggunginya. Aku memilih untuk tidak menghiraukan apa yang dia kerjakan. Terserah dia lah.

Lalu aku memejamkan mata. Jika dia memilih untuk diam dan tinggal, aku tidak ingin melihatnya. Jika dia memilih untuk pergi, aku ....

Persetan. Kehadirannya membuatku menjadi sangat kacau.

Aku tidak butuh omong kosong ini. Bayiku tidak membutuhkan kekacauan ini.

Mengingat sebuah kehidupan kecil berharga yang kini ada di dalam perutku, aku meletakkan telapak tangan di atasnya dan mulai melakukan gerakan melingkar dengan lembut yang kuharap berefek menenangkan. "Maafkan Mama atas stresnya, ya, Sayang. Kamu tetap aman di dalam perut Mama, ya?" Aku berucap lirih, berharap Angga tidak bisa mendengarkan.

Ruangan itu dipenuhi dengan keheningan yang intens sebelum suara seseorang membuka pintu menggantikannya. Dan untuk beberapa alasan yang tidak ingin kupikirkan, hatiku terasa tersentak.

Apakah dia akhirnya memilih untuk pergi?

Bersambung...

2. Ners Indah yang Terlalu Ramah

Ola

Apa yang terjadi padaku?

Kenapa aku ini?

Apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku?

Sebelum ini aku menginginkan dia pergi. Sebelum ini aku tidak menginginkan dia ada di sini. Sebelum ini aku berusaha untuk mengusir dia dari sini. Sebelum ini, sebentar ini .... Namun, sekarang? Ketika dia benar-benar pergi, aku malah merasa ... aneh. Resah. Gelisah.

Kenapa aku merasa aneh seperti ini? Kwnapa aku harus resah? Kenapa harus ada gelisah?

Sialan! Jangan bertingkah yang tidak-tidak, Ola!

Sial, sial, sial!

Setelah aku mendengar suara yang familier dari Ners Indah, barulah jantung yang berdetak kencang seiring dengan pikiran yang berseliweran di kepalaku beberapa saat yang lalu, melambat.

Kalau Ners Indah yang tadi membuka pintu kamar, berarti ....

Berarti dia ....

Oh, my God. Aku sungguh-sungguh kacau.

"Oh, hai. Saya tidak melihat Anda duduk di sana. Anda pasti si Calon Ayah, ya? Perkenalkan saya Ners Indah," sapanya dengan nada tinggi yang dibuat seceria mungkin.

Namun, sebelum aku bisa membalikkan badan dan menolak pernyataan itu, Angga sudah terlebih dahulu menimpali, "Hai. Senang bertemu dengan Anda. Saya Angga. Please, bantu dan rawat mereka dengan baik."

What the heck? Please bantu dan rawat mereka dengan baik? Kenapa dia berkata seperti itu? Kenapa dia tidak menjelaskan kebenarannya pada Ners itu? Kenapa Angga diam saja dan malah memilih untuk tidak menjelaskannya? Dia tahu pasti bahwa dia bukan ayah dari bayiku ini. Namun, kenapa?

Sebenarnya ada apa?

Amarah membuatku untuk bangkit terlalu cepat dan memberikan whiplash pada diriku sendiri.

****.

"Aduh, aduh, aduh. Hati-hati, Bu." Perawat itu tiba-tiba saja telah berdiri di sampingku dan memegangi lengan bawahku. Dengan perlahan dia mendorong tubuhku hingga aku berbaring lagi. "Pelan-pelan saja, ya, Bu Ola. Tidak disangka kalau Anda akan begitu bersemangat bertemu dengan saya. Belum pernah, lho, ada pasien yang segitunya ketika saya datang untuk cek mereka ke kamar. Saya jadi terharu," guraunya, tidak peka terhadap situasi yang pada nyatanya bukan seperti yang dia pikirkan.

Aku merasa kasihan padanya yang sudah geer duluan.

Dengan diam-diam aku memelototi Angga, mengirim tatapan paling membunuhku ke arahnya. Akan tetapi usahaku gagal total ketika Ners Indah malah menatap kami secara bergantian. "Hm. Apakah semuanya baik-baik saja, Bu Ola?"

What? Dia baru saja memanggil aku siapa?

"Yeah, semuanya baik-baik saja." Aku menjawab sekenanya saat dia mulai memeriksa. Rasa kesal sedikit demi sedikit menjalar di dalam hati. Karena, dia pikir dia siapa seenaknya memanggilku Ba, Bu, Ba, Bu? Mentang-mentang dia terlihat lebih muda dariku, dia berhak memanggilku dengan sebutan itu? Apakah aku sudah kelihatan seperti ibu-ibu? Apa karena aku sedang mengandung makanya dia memanggilku ibu?

Haa?

"Baguslah kalau begitu." Dia menulis sesuatu di atas kertas yang dibawanya. "Syukurlah kondisi Anda juga sudah mulai membaik. Akan tetapi, tolong, tetap beristirahat, ya, Bu? Tidak boleh ada aktivitas yang intens. Tidak boleh ada yang menyebabkan stres. Tidak boleh ada hal-hal yang dapat menguras tenaga dalam bentuk apa pun selama perawatan. Selain tidak baik bagi Anda, hal itu juga dapat membahayakan bayinya. Bisa dimengerti, Pak Angga?" Dia kemudian menoleh pada Angga dan ... what? Apakah benar Ners tersebut dengan berani-beraninya baru saja mengedipkan mata pada Angga?

Haa?

Dan entah apa yang ada di dalam pikiran pria itu yang membuat dia memiliki keberanian untuk ikut-ikutan mengedipkan mata dan menyunggingkan sebuah senyum dari sudut bibirnya.

What the heck?!

Ners muda itu juga serta-merta terkikih-kikih lagi.

Apa yang mereka pikir sedang mereka lakukan di depanku, haaa?

Haaaaa?

"Okay, Ners." Aku yang menjawab dengan gigi yang terkatup. "Kami mengerti."

Si Ners sialan ini! Bisa-bisanya dia tidak bisa membaca situasi. "Oke. Saya akan memeriksa Anda lagi beberapa jam kemudian." Dia tersenyum padaku, memberikan senyuman yang lebih lebar lagi pada Angga, dan berbalik. "Oh!" Dia tiba-tiba saja terkesiap dengan imutnya. Aku tidak menyangka ada jenis ekspresi seperti itu di dunia ini. "Waah, apa itu cupcakes dari toko di jalan Gunawarman, Pak?" Ners Indah kini menunjuk ke kotak yang tadi kuletakkan di atas meja di sebelah tempat tidur.

Telingaku sekonyong-konyongnya tegak mengingat kotak yang tadi kutaruh dengan tak acuh di sana karena marah pada yang membawanya. Sekarang, setelah Ners Indah mengingatkanku kembali pada kehadiran dua belas buah cupcake yang lucu dan enak itu, setelah dia menampakkan ketertarikan pada isi kotak dan lebih lagi pada orang yang membawanya, air liurku langsung saja berkumpul di dalam mulut. Sebentar lagi akan menetes-netes ke luar. Tak hanya karena aku sudah bisa merasakan kelezatan dan rasa manis dari kue-kue itu, akan tetapi juga karena hasrat ingin membuat Ners di depanku ini cemburu.

Lihat saja. Siapa suruh menggoda Angga, ha? Siapa suruh memanggilku Ibu? Sekarang rasakan!

Aku mengunci pandanganku pada kotak itu. "Oh, my God! Aku lupa kalau tadi kamu bawain aku itu!" Aku menjerit excited dengan penuh kepalsuan dan menatap Angga dengan tatapan penuh rasa syukur yang sama palsunya.

Aku tahu Angga menyadari semua itu. Tentu saja dia masih bisa membaca ekspresiku dengan sangat baik. "Iya. Makanya kamu jangan ngambek-ngambek gak jelas dulu," jawab Angga sembari menggigit bibirnya. Entah dia mencoba untuk menahan sudut-sudut itu agar tidak berubah menjadi senyuman atau dia mengejek kecanduanku pada cupcake dan aktingku yang jelek.

Namun, aku tidak peduli. Terserahlah. Yang jelas, dia mengikuti apa yang aku lakukan. Kembali ber-aku-kamu ria. Aku kini hanya menginginkan kue mangkuk-kue mangkuk itu, sejak, kira-kira sepuluh detik yang lalu.

Aku menunggu kotak itu datang kepadaku, akan tetapi masih juga belum terjadi. Aku menunggu lebih lama lagi, akan tetapi kotak itu masih terperonggok di sana, di atas meja, tak bergerak mendekat sedikit pun.

Oh. My. God.

Kusilangkan tangan di depan dada. Saat yang dilakukan pria yang masih berdiri di samping tempat tidur itu hanya melihatku, aku berdeham. "Ehem. Itu cupcakes buat aku, kan?" Aku menyindir karena si beruang kutub pemarah ini masih belum juga mengerti kalau aku ingin makan kue mangkuk itu sekarang juga!

Ya, elah. Yang ada mata cowok itu malah melebar sebelum sebuah senyum melengkung dari pipi kiri ke pipi kanannya. "Oh! Iya, dong. Of course, of course. Aku belinya buat siapa lagi coba? Kamu mau makan sekarang?" Angga lantas berjalan untuk mengambil kotak itu.

Aku menyaksikan tubuhnya yang besar dan berotot bergerak begitu ... luwes untuk mengambil kotak paling berharga di seluruh dunia itu. Aku-

"Oke, kalau gitu saya permisi dulu, ya, Bu. Sampai jumpa sebentar lagi. Pak Angga."

Oh, my God! Kenapa dia masih ada di sini? Dan kenapa dia mengucapkan kalimat permisi itu dengan sangat ... flirty? Caranya menyebut nama Angga, ugh!

Aku tidak suka!

Betapa tidak profesionalnya Ners yang satu ini! Aku harus protes dan meminta perawat lain untuk membantuku. Siapa pun selain dia dan bokong genitnya itu.

Sejenak tadi aku lupa bahwa ada orang lain di ruangan itu selain aku dan hulk yang tengah membuka kotak yang sudah kembali ke pangkuanku lagi. Angga mungkin juga tidak ingat karena dia melirik perawat muda dan fresh itu dengan seulas senyum. "Okay. Thank you, Nurse."

Untuk apa sebenarnya dia mengucapkan terima kasih? Karena sudah menggodanya?

Aargh!

Bersambung ....

3. Perawat Centil Sialan!

Ola

Perawat kami yang ramah, yang terlalu ramah for my liking, itu pun terkekeh. "Ah, tidak. Tidak masalah, Pak. Senang bisa membantu. Apalagi kalau nanti juga ada cupcake buat saya. Saya akan tambah senang lagi," ungkapnya sebelum terkikik-kikik lagi. Dengan itu, Ners Indah menutup pintu. Dia tidak tahu bahwa pintu untuk berada on my good side juga ikut tertutup bersamanya.

Aku benar-benar ingin melakukan komplain kepada pihak Rumah Sakit soal sikap tidak profesional karyawan mereka. What the hell, right? Apa artinya semua itu? Apa yang mereka lakukan? Apakah tidak ada, seperti, aturan atau sesuatu yang menyatakan bahwa tidak boleh sailing menggoda antara pegawai rumah sakit dan keluarga pasien?

Aku benar-benar ingin menjambak rambut hitam nan lurus dan tampak halus yang dikuncir Ners Penggoda itu. Aku benar-benar ingin melampiaskan segala amarahku padanya karena dia pikir dia siapa? Berani-beraninya dia meminta dibelikan cupcake juga pada Angga?

Lagipula, apa-apaan juga si Angga ini? Setelah mengadopsi sikap dingin, tak berperasaan, pemarah, perungut, seenaknya, dan tidak ramah itu, dia kini malah dengan mudahnya melempar senyum pada cewek genit itu? Di depanku lagi! Apakah sikap-sikap jelek itu hanya dikhususkan untukku saja?

Kenapa? KENAPA?

Dan mengapa dia bertindak seperti itu juga? Apakah dia tertarik? Oh, dia pasti tertarik juga, kan? Iya, kan?!

Benar-benar berengsek!

Tak bisa lagi kubendung amarah yang semakin meningkat berkat bencana angin ****** beliung yang memporak-porandakan isi kepala ini dan sikap Angga sendiri yang sangat, sangat, sangat menyebalkan. Bahkan setelah dia membantuku untuk menaikkan bagian kepala tempat tidur menjadi lebih tinggi demi memudahkan gerakanku saat makan, aku masih betul-betul marah.

Gantian sekarang aku yang jadi pencemberut, pemarah, dan seenaknya.

It feels like I am loosing my mind. I am going to be crazy. Atau aku sudah sungguhan jadi gila sekarang ini.

Dan sudah kubilang jangan tanya kenapa! Jangan banyak tanya, deh, pokoknya! Titik.

Jadi ketika Angga mendorong meja overbed lebih dekat dan kemudian meletakkan kotak itu di atasnya, aku langsung saja meraih kryptonite-ku itu dan memilih untuk memberi dia the silent treatment. Dengan sengaja aku mengabaikan sosok yang kini tengah duduk di tepi tempat tidur, yang terus saja mengamatiku sepanjang waktu aku mengunyah kue mangkuk-kue mangkuk itu.

Aku tetap diam bukan semata-mata karena aku memiliki tata krama yang sempurna sehingga aku tidak mau berbicara sambil mengunyah. Hanya saja, sekarang aku membencinya karena membuatku merasa seperti ini.

Aneh. Kacau. Tidak karuan.

Aku bisa merasakan hangat tubuh besarnya di kakiku melalui selimut tipis yang menutupi. Aku bisa merasakan mata gelapnya melacak setiap gerakanku. Tatapan tajam Angga tak pelak membakar kulitku. "Stop merhatiin gue. Kayak gak ada kerjaan lain aja lo," tuntutku ketika aku tidak tahan akan panas tatapannya lagi. "Mending lo cepetan pergi, deh. Beliin cupcake buat perawat cantik dan imut fans lo itu. Entar kalau dia nunggu kelamaan, gak jadi dikasih nomor hapenya lagi lo."

Hening. Tidak ada jawaban. Namun, aku masih bisa merasakan panas dan tajamnya tatapan manik cokelat pekatnya. Sial!

"Udah, pergi sana! Gue juga gak butuh dijagain sama lo. Gue bukan anak kecil yang gak bisa apa-apa." Aku mencoba mengusirnya lagi.

Angga tetap saja bergeming.

Sial, sial, sial! Kenapa kepalanya harus terbuat dari batu, sih? Apa maksud Tuhan menciptakan makhluk dengan sifat keras kepala yang kadarnya super duper tinggi seperti dia ini? Boleh saja badannya berotot, tinggi, wajahnya tampan, akan tetapi apa gunanya kesempurnaan di luar itu kalau bagian dalamnya busuk berulat-ulat, ha?

Argh! Aku benci di–uhuk!

Uhuk, uhuk, uhuk!

Sial! Sebongkah cupcake chocolate masuk ke pipa yang salah!

Saat aku terbatuk-batuk karena tercekik makanan, tiba-tiba saja sudah ada sebuah botol air mineral yang tutupnya sudah dibuka lengkap dengan sedotan terulur di depanku.

"Minum dulu," suruh Angga dengan lembut.

Aku mengikuti perintahnya karena memang butuh. Catat, ya. Karena memang butuh, bukan karena aku ingin. Kusedot air putih itu sampai habis setengah botolnya. "Thanks." Aku berterima kasih sambil lalu setelah berdeham beberapa kali, membersihkan tenggorokan dari sisa-sisa kue.

"Makanya, kalau makan itu makan aja. Gak usah mikir yang aneh-aneh. Aku yakin semua yang ada dalam pikiran kamu itu pasti hasil dari suuzan sampai kamu keselek gitu."

What the fudge?!

Apa yang baru saja dia katakan?

APA YANG BARU SAJA DIA KATAKAN?

Merah. Seketika segala yang kulihat berubah menjadi merah. "Get out! Get the hell out of here!" Aku menggeram.

"Ngg, what?" Dahi Angga berkerut. Nada suaranya diwarnai kebingungan. "Maksud kamu apa, La? Kenapa kamu tiba-tiba marah sama aku? Emangnya aku salah apa lagi?"

"Gue udah bilang ke elo jangan pakai panggilan aku-kamu lagi, kan? Gue gak suka!"

"Oh, come on. Kan tadi kamu yang mulai duluan? Masa kamu udah gak ingat, sih?" Dia beralasan.

Aku tahu dia benar, akan tetapi tetap saja sekarang aku tidak mau mendengarnya lagi. Aku dan kamu adalah kata ganti orang yang terlalu dekat untuk kami yang sudah terlalu asing bagi masing-masing. Lagipula, aku tidak mau jatuh ke dalam perangkap mata pekat dan kalimat ber-aku-kamu-nya lagi.

Tidak akan pernah lagi.

"Gue tetap gak suka," tolakku sembari menyilangkan tangan di dada. "In fact, gue juga udah gak suka lagi sama keberadaan lo di sini. Mending lo ke luar aja. Gue gak butuh elo. Gue gak butuh ditemenin. Oh! Iya. Gue juga gak butuh perawat centil kayak Ners Indah itu. Gue mau ajukan komplain ke pihak rumah sakit. Mereka harus sadar ada pegawai yang gak profesional banget kayak gitu di sini sebelum dia godain keluarga pasien lain dan bikin malu rumah sakit besar kayak gini."

Namun, sebelum aku berhasil menjangkau gagang telepon yang ada di atas meja samping tempat tidur itu, tangan Angga sudah terlebih dahulu meraih tanganku. "Hey, stop. Kamu mau ngapain, sih?"

"Udah aku bilang aku mau komplain!" Aku membentaknya sambil berusaha melepaskan pegangan tangan Angga.

"Hey, hey, hey. Udah, ya. Udah." Suaranya melunak. Genggaman tangannya juga, akan tetapi dia tidak melepaskan. Dia menggeser tubuhnya ke depan, mendorong meja overbed menjauh dari kasur sehingga dia dapat duduk di tempat meja itu semula berada. Tepat di hadapanku. "Olavia, stop. Please."

"Kenapa? Kenapa aku harus berhenti? Kamu kasihan sama dia? Iya?"

Kurasakan usapan-usapan lembut di punggung tangan kiriku. Maju-mundur, bolak-balik. Saat Angga merendahkan pandangan, aku juga ikut-ikutan menunduk dan menyadari bahwa kini telapak tangan kiriku sudah berada di antara kedua miliknya. Dan, memang, tangan kanannya sedang mengelus-elus tanganku.

Aku ....

Ah. Rasanya enak sekali. Gerakan yang diciptakan tangan itu sungguh menenangkan.

"Kamu cemburu, ya?"

What?

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!