Ola
"Lo bilang apa barusan?"
Angga terlihat terkejut. "Ngomong? Maksud kamu apa? Aku gak ngomong apa-apa barusan."
"Beneran?" Aku menatapnya sejurus, mencoba mencari celah yang dapat menyatakan kebohongan pemuda itu.
"Beneran, sumpah!" yakinnya lagi.
Aku pun tidak menemukan sesuatu yang busuk di matanya itu.
"Oh. Oke." Apa aku yang salah dengar? Lalu siapa yang baru saja berbicara? Yang mengatakan aku cemburu?
Idih. Cemburu dari HongKong? Ngapain juga aku cemburu? Gak ada alasan buat cemburu. Please, deh!
Segera kubuang pikiran itu. Di kalakian kusandarkan tubuh ke tempat tidur. Kepala juga ikut menempel di bantal, dengan posisi menoleh ke arah kanan di mana floor to ceiling window yang terbuat dari kaca berada. Di luar sana, kota tengah sibuk menghabisi jiwa dan raga manusia yang berdalih mencari kehidupan, seperti biasa.
Hm.
Kurasakan dada ini sedikit demi sedikit melapang. Amarah yang semula memenuhinya perlahan-lahan mulai meleleh dan meninggalkanku.
Ah, aku tidak tahu kalau aku sangat membutuhkan ini.
Kini Angga mengubah gerakan itu menjadi pijitan-pijitan kecil dengan tempo yang teratur. Tak hanya tangan, dia juga bergerak ke lengan bawahku.
Aku tidak tahu kalau aku sangat membutuhkan ini.
Sebuah lenguhan lepas dari bibirku tanpa disengaja. Bagaimana tidak? Pijatan itu terasa sangat nikmat di otot lenganku yang ternyata sangat kaku.
Aku tidak tahu kalau aku sangat membutuhkan ini.
Kupejamkan kedua mataku agar nikmatnya lebih leluasa kuresapi.
"Enak, ya? Kamu istirahat aja, oke? Relaks." Angga menyarankan. "Tempat tidurnya mau aku bantu setel jadi lebih rendah lagi?"
"Uh-huh," jawabku sembari menggeleng dengan mata tertutup. Bukan hanya karena posisi ini sudah terlalu nyaman bagiku, akan tetapi juga karena aku tidak ingin Angga berhenti melakukan apa yang dilakukannya sekarang.
Nope. Tidak boleh. Kalau dia berhenti dan kewarasan merasukiku kembali, aku mungkin tidak akan membiarkan dia menyentuhku lagi. Oleh karena itu dia tidak boleh beranjak dari sana.
"Okay. Yang penting kamu nyaman, kan?"
"Uh-huh." Aku mengangguk kali ini.
"Okay, then. Baguslah kalau begitu. Kamu ingat apa yang dibilang sama Ners Indah tadi, kan?"
Sekonyong-konyongnya kepalaku langsung tegak dan mata terbelalak mendengar nama itu lagi. "Don't!" geramku. "Jangan sebut nama dia lagi. Atau lo emang sengaja, pengen lihat gue ngamuk-ngamuk kayak tadi lagi. Iya?"
"What? No!" sergahnya dengan cepat. "Enggak, ah. Aku gak bermaksud gitu. Aku cuma mau ngingetin kamu aja."
"Kalau gitu berhenti sebut-sebut dia atau lo mau ke luar aja sekalian? Hm?"
Angga mengembuskan napas panjang. "Sorry, okay? Aku minta maaf, ya? Aku janji gak bakal ngelakuin itu lagi."
Aku pun ikut menghela napas. "You better not." Kerebahkan tubuhku lagi. Kututup mata ini lagi. Kucoba nikmati pijatan lembut Angga lagi.
"Iya, iya. Udahan, please, marah-marahnya? Stress dan energi negatif gak baik, lho, buat kamu dan baby."
Deg.
Oh, my God.
Sontak tangan kanan yang sedang dipasangi selang infus memegang perutku yang sudah agak membesar. Oh, my God. Bagaimana bisa aku melupakan keberadaannya dan alasan aku sekarang ada di rumah sakit ini in the first place? Bagaimana bisa aku tidak mempertimbangkan keberadaannya saat bertindak? Atau berpikir? Atau merasa?
Ya, Tuhan. Sudah berapa banyak energi tidak baik yang kusalurkan padanya dari tadi.
Maafkan Mama, ya, Sayang. Mama sudah bertindak bodoh. Mama sudah berkelakuan tidak baik. Mama sudah membahayakan kamu dan sekarang Mama malah sibuk memikirkan hal-hal lain yang tidak penting selain kamu.
Mama sadar Mama maaih sangat tidak dewasa. Ya, Tuhan. Bagaimana bisa kamu ada di dalam perut Mama yang tidak berguna ini? Mama sudah melakukan banyak kesalahan sama kamu sementara kamu masih berumur empat bulan di dalam perut Mama. Bagaimana Mama akan mengajarimu kebenaran kalau Mama saja masih tolol begini?
Kasihan sekali kamu, Nak. Maafkan Mama, ya. Mama benar-benar minta maaf. Mama sudah salah. Mama tidak tahu kenapa Mama melakukan semua itu, memikirkan hal-hal tidak penting itu, dan merasa labil, aneh, kacau seperti ini. Walaupun begitu, Mama tahu itu tidak bisa dijadikan alasan. Mama sekarang punya kamu. Mama seharusnya berusaha agar tidak melakukan kesalahan, sekecil apa pun itu. Mama berjanji akan mengupayakannya sekuat tenaga Mama.
Maafkan Mama, ya. Kamu baik-baik di dalam sana. Kamu sehat terus biar kita bisa kumpul dan bersama menjalani kehidupan di dunia. Mama sayang sama kamu. Sayang banget. Sekali lagi, maafkan Mama.
Kurasakan kedua bola mataku memanas. Tak lama, air mulai menggenang di bawah kelopak, bersiap untuk jatuh dari sudutnya. Kugigit bibir yang ikut-ikutan bergetar. Namun, tidak ada yang dapat menghentikan isak yang ke luar dan mengguncang dada.
Seketika saja tubuh kecilku diselimuti oleh badan yang jauh lebih besar dan kokoh. Dekapannya lembut namun kuat di saat yang sama. Dia menegakkan tubuhku agar bisa memasukkan aku ke dalam pagutannya dengan lebih menyeluruh. "Shh, Baby. It's okay. It's fine. Everything is going to be okay. Everything will be fine. You are good. You're doing good. You both are. Shh. Sshh. Aku di sini. Aku ada di sini. Aku gak akan ke mana-mana. Aku janji. Ya? Aku bakal temanin kamu menghadapi semuanya. Aku janji. Aku janji. Semuanya akan berjalan dengan lancar. Semuanya akan baik-baik aja. Aku janji."
Kalimat-kalimat penuh janji itu ke luar dari mulut Angga dengan mulus. Entah bagaimana caranya, entah apa penyebabnya, aku bisa merasakan bahwa dia juga mengucapkannya dengan tulus.
Lagi-lagi, dia bisa memberikan rasa tenang ke dalam diri ini.
Seiring dengan usaha Angga menenangkan aku, aku juga melancarkan kata-kata maaf di dalam hati bagi calon bayi yang sedang kukandung. Maaf karena aku sudah ceroboh, lalai, dan agak tidak bertanggung jawab terhadap dia. Maaf karena aku belum bisa sepenuhnya memegang peranan sebagai orang tua. Maaf karena aku hanya manusia, dan kesalahan adalah aku.
Namun, satu hal yang tidak akan pernah kusesali. Aku tidak akan meminta maaf karena keberadaannya di sini. Di samping caranya ada dan siapa ayahnya, meski baru empat bulan, bisa kurasakan bahwa bayiku ini adalah anugrah terindah yang diberikan Tuhan untukku.
Di suatu saat, aku merasa tubuhku direbahkan lagi. Hangat dan wangi yang familier; aku tidak menyangka dia masih menggunakan parfum yang sama setelah lebih dari sepuluh tahun yang lalu, segera melingkupi. Perpaduan aroma citrus dan lavender yang segar dari Calvin Klein CK One membuaiku hingga dunia menjadi gelap dan tidak ada yang dapat mengganggu lagi.
Yang ada hanya aku dan bayiku.
Berdua akan kami hadapi dunia. Atau, bolehkah aku mengatakan, kami bertiga?
Bisakah Angga kini menepati janjinya?
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
ℤℍ𝔼𝔼💜N⃟ʲᵃᵃ࿐ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
laki² itunyg dinoengan janjinya,,, jd tepati janjimu angga
2023-01-13
1
💜Ϝιαℓσνα💜
Angga tepati janji mu jgn buat kecewa bumil
2023-01-13
1
Cintah517
ya semoga saja bisa
2023-01-13
0