Angga
Dia sedang tertidur pulas.
Wanita pujaan gue sedang tertidur pulas di dalam pelukan gue. Gue tidak menyangka kesempatan seperti ini datang lagi. Gue tidak menyangka bisa menikmati waktu seperti ini lagi bersama dia. Gue tidak menyangka ....
****, man. Gue bahkan tidak menyangka kalau dia membiarkan gue ada di sini untuk menemaninya. Padahal, kalau dia benar-benar tidak mau, dia bisa memanggil sekuriti, atau membuat kegaduhan yang bisa membuat gue ke luar daei kamar bahkan dilarang berada di sekitaran kawasan rumah sakit.
Namun, dia tidak melakukan itu. Dia awalnya memang menolak keberadaan gue, berulang kali menyuruh gue untuk pergi, akan tetapi itu hanya sebuah kedok. Untuk menutupi perasaan yang sebenarnya dia rasakan.
Gue yakin dengan feeling gue, akan tetapi bukan berarti gue suka dengan apa yang menjadi arti dari semua itu.
Itu berarti dia sedang merasa kesepian. Dia membutuhkan teman. Bukan hanya dari keluarganya saja. Olavia, disadarinya atau tidak, tengah merasa rapuh karena tindakan si bajingan itu.
By the way, di mana dia sekarang? Kenapa dia tidak ada di sini? Jangan bilang kalau gue benar lagi. Please God, jangan bilang kalau si Berengsek tidak mau bertanggung jawab atas akibat dari perbuatannya.
Sialan! Dasar sialan!
Tadi, dengan bodohnya gue menuruti hasrat hati dan memanjat ke tempat tidur demi mendekap wanita pujaan gue. Kalau ada hal di dunia ini yang bisa melumpuhkan gue dalam sekejap, itu adalah air mata dia. Apalagi isakannya. Gue seketika saja dibuat tidak berkutik.
Oke, oke, oke. Kalian boleh bilang gue penuh tai banteng karena kenyataannya gue meninggalkan dia setelah malam yang begitu penting dalam hidup seorang perempuan. Namun, sumpah demi nama Tuhan, guys, pada saat itu gue berpikiran bahwa itu adalah hal yang terbaik yang harus gue lakukan.
Gue harus kuliah ke luar negeri. Meski uang dan transportasi tidak pernah jadi masalah bagi keluarga kita, akan tetapi gue keberatan banget kalau dia harus menghabiskan masa SMA-nya dengan merana mikirin gue, menderita karena kangen sama gue, atau capek karena harus bolak-balik Jakarta-Massachusetts yang menghabiskan waktu dua puluh jam lebih.
Bukan hanya itu. Gue juga tidak tega membiarkan dia melalui semuanya sendiri, tanpa gue yang bisa menemani, memegang tangan dia, memeluk dia, menghapus air mata dia. Jadi, ya, begitulah. Gue memilih untuk menambah jarak di antara kami, menghancurkan jembatan yang bahkan belum selesai, dan membakar ladang tempat benih-benih harapan itu ditabur sebelum ini.
Gue memilih kabur di tengah malam, menghilang lebih dari lima tahun, berlagak menjadi orang asing di tahun-tahun berikutnya, dan berpura-pura bahwa apa yang terjadi malam itu tidak pernah berarti apa-apa buat gue.
Semua gue lakukan hanya karena satu alasan; gue pengen dia menikmati masa-masa sekolah dengan sepenuhnya. Gue pengen dia bisa mengeksplorasi diri dan dunia. Gue pengen dia menemukan dirinya sendiri. Karena, seandainya kami paksakan untuk membangun hubungan dengan kurang lebih enam belas ribu kilometer jarak yang membentang, gue rasa kami tidak akan berada di sini sekarang.
Dia sedang tertidur pulas di dalam pelukan gue.
Setelah mengatur posisi dengan sedemikian rupa, memastikan tubuhnya nyaman, tangan yang sedang dipasangi infus aman, gue bisikkan janji-janji yang kali ini bakal gue coba penuhi dengan sekuat tenaga. Percaya sama gue. Tidak ada satu pun kalimat yang ke luar dari mulut gue yang tidak gue maknai dengan sungguh-sungguh. Apalagi dalam keadaan berbaring menyamping di pinggir tempat tidur seperti ini.
Tidak ada laki-laki yang mau menempatkan dirinya di posisi paling tidak nyaman dan membuat janji palsu yang hanya akan terbuang percuma. Tidak ada. Yakin, deh. Kalaupun ada, mungkin dia adalah cowok paling tolol yang pernah ada.
Dan gue tidak akan menjadi salah satu dari cowok tolol itu lagi.
Gue akan melakukan apa saja untuk menebus kesalahan gue dulu. Gue akan melakukan apa pun agar bisa mendapatkan wanita pujaan gue, the lofe of my life lagi. Gue akan melakukan apa saja biar dia tidak kesepian dan merasa sedih seperti tadi lagi.
Gue terkejut ketika mendengar suara pintu dibuka. Gue segera mengecek wanita gue. Untung dia tidak terganggu dengan suara itu.
"Maaf, Pak. Saya harap saya tidak membangunkan Bu Ola." Ners Indah berjalan mendekat dengan sebuah nampan di tangan.
Gue menggeleng, kemudian meletakkan jari telunjuk di depan bibir sebagai isyarat agar dia memelankan suaranya.
"Oops!" serunya sambil terkekeh saat meletakkan nampan di atas meja di samping tempat tidur yang ada di belakang gue.
Perasaan jengkel sekonyong-konyongnya tumbuh di dalam hati gue. Kenapa, sih, ini orang? Masa gak paham banget disuruh diam malah cengengesan?
Gue lagi-lagi terkejut ketika merasakan sentuhan asing di lengan gue. Langsung saja gue menyentakkan sesuatu yang ternyata tangan si Ners.
Sialan!
"What the f*ck?" geram gue. Gue tidak menyangka kalau Ners ini memiliki keberanian untuk melakukan hal yang baru saja dia lakukan.
Sekarang giliran dia yang terperanjat. Mungkin otaknya yang biasa dipakai untuk menggoda pria itu baru bisa menangkap sinyal kalau gue bukan salah satu orang yang bisa dijadikan mangsanya.
"Sentuh gue sekali lagi, gue bikin jadi pengangguran seumur hidup lo!" Gue mengancam sambil berusaha untuk menahan suara agar tidak membangunkan wanita yang ada di dalam dekapan gue.
An jing benar ini cewek!
Matanya membesar, jelas rasa takut mulai menjalar di tubuhnya. "Sa-sa-saya c-cu-cuma mau bi-bilang kalau su-sudah waktun-nya B-Bu Ol-la ma-kan s-siang, P-Pak."
"Get the f*ck out. Dan jangan pernah muncul di ruangan ini lagi," perintah gue sambil terus mempertahankan tatapan lurus ke matanya. Tidak apa-apa kalau nanti leher gue harus diurut karena pegal nengok ke belakang kelamaan. Yang jelas, dia harus menjauh dari wanita gue.
Ners Indah tidak bisa ke luar dari ruangan itu lebih cepat lagi.
Sialan. Berani-beraninya dia megang-megang gue. Padahal gue bukan pasiennya. Buat apa coba?
Gue mencoba untuk kembali menenangkan detak jantung gue yang sekarang sedang kencang-kencangnya karena emosi.
Mungkin gue harus mulai percaya sama instingnya Olavia. Seharusnya gue tidak menganggap remeh penilaiannya dan semata-mata menyalahkan hormonnya yang sedang tidak stabil. Seharusnya gue tidak semata-mata menganggap dia cemburu.
Ah, akan tetapi apa mungkin dia benar-benar cemburu dengan sikap si Ners Kurang Ajar itu tadi? Apa iya, di balik ketidaksukaannya terhadap pelanggaran kode etik keperawatan—eh, bergenit-genit ria ke keluarga pasien memang termasuk pelanggaran kode etik, kan?, Olavia lebih tidak suka lagi karena yang digoda adalah gue?
Apa mungkin kalau yang digoda si Kunyuk Oliver dia juga akan semarah tadi?
Hm. Kenapa gue jadi kepikiran, ya? Dan kenapa rasanya kram di kaki kanan gue jadi hilang seketika begini mikirin wanita pujaan gue ternyata cemburu kalau ada cewek lain yang deketin gue?
Ah!
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
ℤℍ𝔼𝔼💜N⃟ʲᵃᵃ࿐ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
g profesionsl nih perawat,,, genit gitu.. wajar aja lah jd cemburu
2023-01-13
2
💜Ϝιαℓσνα💜
ehh ehh ko perawat kyk gitu siih g bener itu mah dasar genit
2023-01-13
1
🍭ͪ ͩ☠ᵏᵋᶜᶟ印尼🇮🇩小姐ᗯ𝐢DYᗩ 𝐙⃝🦜
perawat nya aneh, kecentilan amat sih, ada ya kayak gitu
2023-01-13
0