Ola
Perawat kami yang ramah, yang terlalu ramah for my liking, itu pun terkekeh. "Ah, tidak. Tidak masalah, Pak. Senang bisa membantu. Apalagi kalau nanti juga ada cupcake buat saya. Saya akan tambah senang lagi," ungkapnya sebelum terkikik-kikik lagi. Dengan itu, Ners Indah menutup pintu. Dia tidak tahu bahwa pintu untuk berada on my good side juga ikut tertutup bersamanya.
Aku benar-benar ingin melakukan komplain kepada pihak Rumah Sakit soal sikap tidak profesional karyawan mereka. What the hell, right? Apa artinya semua itu? Apa yang mereka lakukan? Apakah tidak ada, seperti, aturan atau sesuatu yang menyatakan bahwa tidak boleh sailing menggoda antara pegawai rumah sakit dan keluarga pasien?
Aku benar-benar ingin menjambak rambut hitam nan lurus dan tampak halus yang dikuncir Ners Penggoda itu. Aku benar-benar ingin melampiaskan segala amarahku padanya karena dia pikir dia siapa? Berani-beraninya dia meminta dibelikan cupcake juga pada Angga?
Lagipula, apa-apaan juga si Angga ini? Setelah mengadopsi sikap dingin, tak berperasaan, pemarah, perungut, seenaknya, dan tidak ramah itu, dia kini malah dengan mudahnya melempar senyum pada cewek genit itu? Di depanku lagi! Apakah sikap-sikap jelek itu hanya dikhususkan untukku saja?
Kenapa? KENAPA?
Dan mengapa dia bertindak seperti itu juga? Apakah dia tertarik? Oh, dia pasti tertarik juga, kan? Iya, kan?!
Benar-benar berengsek!
Tak bisa lagi kubendung amarah yang semakin meningkat berkat bencana angin ****** beliung yang memporak-porandakan isi kepala ini dan sikap Angga sendiri yang sangat, sangat, sangat menyebalkan. Bahkan setelah dia membantuku untuk menaikkan bagian kepala tempat tidur menjadi lebih tinggi demi memudahkan gerakanku saat makan, aku masih betul-betul marah.
Gantian sekarang aku yang jadi pencemberut, pemarah, dan seenaknya.
It feels like I am loosing my mind. I am going to be crazy. Atau aku sudah sungguhan jadi gila sekarang ini.
Dan sudah kubilang jangan tanya kenapa! Jangan banyak tanya, deh, pokoknya! Titik.
Jadi ketika Angga mendorong meja overbed lebih dekat dan kemudian meletakkan kotak itu di atasnya, aku langsung saja meraih kryptonite-ku itu dan memilih untuk memberi dia the silent treatment. Dengan sengaja aku mengabaikan sosok yang kini tengah duduk di tepi tempat tidur, yang terus saja mengamatiku sepanjang waktu aku mengunyah kue mangkuk-kue mangkuk itu.
Aku tetap diam bukan semata-mata karena aku memiliki tata krama yang sempurna sehingga aku tidak mau berbicara sambil mengunyah. Hanya saja, sekarang aku membencinya karena membuatku merasa seperti ini.
Aneh. Kacau. Tidak karuan.
Aku bisa merasakan hangat tubuh besarnya di kakiku melalui selimut tipis yang menutupi. Aku bisa merasakan mata gelapnya melacak setiap gerakanku. Tatapan tajam Angga tak pelak membakar kulitku. "Stop merhatiin gue. Kayak gak ada kerjaan lain aja lo," tuntutku ketika aku tidak tahan akan panas tatapannya lagi. "Mending lo cepetan pergi, deh. Beliin cupcake buat perawat cantik dan imut fans lo itu. Entar kalau dia nunggu kelamaan, gak jadi dikasih nomor hapenya lagi lo."
Hening. Tidak ada jawaban. Namun, aku masih bisa merasakan panas dan tajamnya tatapan manik cokelat pekatnya. Sial!
"Udah, pergi sana! Gue juga gak butuh dijagain sama lo. Gue bukan anak kecil yang gak bisa apa-apa." Aku mencoba mengusirnya lagi.
Angga tetap saja bergeming.
Sial, sial, sial! Kenapa kepalanya harus terbuat dari batu, sih? Apa maksud Tuhan menciptakan makhluk dengan sifat keras kepala yang kadarnya super duper tinggi seperti dia ini? Boleh saja badannya berotot, tinggi, wajahnya tampan, akan tetapi apa gunanya kesempurnaan di luar itu kalau bagian dalamnya busuk berulat-ulat, ha?
Argh! Aku benci di–uhuk!
Uhuk, uhuk, uhuk!
Sial! Sebongkah cupcake chocolate masuk ke pipa yang salah!
Saat aku terbatuk-batuk karena tercekik makanan, tiba-tiba saja sudah ada sebuah botol air mineral yang tutupnya sudah dibuka lengkap dengan sedotan terulur di depanku.
"Minum dulu," suruh Angga dengan lembut.
Aku mengikuti perintahnya karena memang butuh. Catat, ya. Karena memang butuh, bukan karena aku ingin. Kusedot air putih itu sampai habis setengah botolnya. "Thanks." Aku berterima kasih sambil lalu setelah berdeham beberapa kali, membersihkan tenggorokan dari sisa-sisa kue.
"Makanya, kalau makan itu makan aja. Gak usah mikir yang aneh-aneh. Aku yakin semua yang ada dalam pikiran kamu itu pasti hasil dari suuzan sampai kamu keselek gitu."
What the fudge?!
Apa yang baru saja dia katakan?
APA YANG BARU SAJA DIA KATAKAN?
Merah. Seketika segala yang kulihat berubah menjadi merah. "Get out! Get the hell out of here!" Aku menggeram.
"Ngg, what?" Dahi Angga berkerut. Nada suaranya diwarnai kebingungan. "Maksud kamu apa, La? Kenapa kamu tiba-tiba marah sama aku? Emangnya aku salah apa lagi?"
"Gue udah bilang ke elo jangan pakai panggilan aku-kamu lagi, kan? Gue gak suka!"
"Oh, come on. Kan tadi kamu yang mulai duluan? Masa kamu udah gak ingat, sih?" Dia beralasan.
Aku tahu dia benar, akan tetapi tetap saja sekarang aku tidak mau mendengarnya lagi. Aku dan kamu adalah kata ganti orang yang terlalu dekat untuk kami yang sudah terlalu asing bagi masing-masing. Lagipula, aku tidak mau jatuh ke dalam perangkap mata pekat dan kalimat ber-aku-kamu-nya lagi.
Tidak akan pernah lagi.
"Gue tetap gak suka," tolakku sembari menyilangkan tangan di dada. "In fact, gue juga udah gak suka lagi sama keberadaan lo di sini. Mending lo ke luar aja. Gue gak butuh elo. Gue gak butuh ditemenin. Oh! Iya. Gue juga gak butuh perawat centil kayak Ners Indah itu. Gue mau ajukan komplain ke pihak rumah sakit. Mereka harus sadar ada pegawai yang gak profesional banget kayak gitu di sini sebelum dia godain keluarga pasien lain dan bikin malu rumah sakit besar kayak gini."
Namun, sebelum aku berhasil menjangkau gagang telepon yang ada di atas meja samping tempat tidur itu, tangan Angga sudah terlebih dahulu meraih tanganku. "Hey, stop. Kamu mau ngapain, sih?"
"Udah aku bilang aku mau komplain!" Aku membentaknya sambil berusaha melepaskan pegangan tangan Angga.
"Hey, hey, hey. Udah, ya. Udah." Suaranya melunak. Genggaman tangannya juga, akan tetapi dia tidak melepaskan. Dia menggeser tubuhnya ke depan, mendorong meja overbed menjauh dari kasur sehingga dia dapat duduk di tempat meja itu semula berada. Tepat di hadapanku. "Olavia, stop. Please."
"Kenapa? Kenapa aku harus berhenti? Kamu kasihan sama dia? Iya?"
Kurasakan usapan-usapan lembut di punggung tangan kiriku. Maju-mundur, bolak-balik. Saat Angga merendahkan pandangan, aku juga ikut-ikutan menunduk dan menyadari bahwa kini telapak tangan kiriku sudah berada di antara kedua miliknya. Dan, memang, tangan kanannya sedang mengelus-elus tanganku.
Aku ....
Ah. Rasanya enak sekali. Gerakan yang diciptakan tangan itu sungguh menenangkan.
"Kamu cemburu, ya?"
What?
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
ℤℍ𝔼𝔼💜N⃟ʲᵃᵃ࿐ⁿʲᵘˢ⋆⃝🌈
pake di tnya,,, yaa menurut ngana?? masinperlu di jawab y???
2023-01-13
1
💜Ϝιαℓσνα💜
sabar bumil sabar,,, jgn emosian dan cemburu gitu.. mood nya emg gt ya klo hamil🤔🤔
2023-01-13
1
Cintah517
Ciyeeee
cembokur nih yeeee
icikiwiirrr
2023-01-13
0