Kepingan Hati di Langit Qatar
[Aku ingin bertemu denganmu]
Itu adalah pesan terakhir yang dikirim Ferhat kepada Hayu minggu lalu. Hayu menatap nanar layar ponselnya. Setelah pesan itu dia balas, tak ada lagi balasan dari lelaki asal Qatar tersebut.
Hayu dan Ferhat berkenalan melalui jejaring sosial khusus kencan. Keduanya terus berkomunikasi hingga Hayu nyaman dan merasakan sesuatu yang berbeda dari perlakuan Ferhat. Dia mendapatkan perhatian yang diartikan sebagai rasa sayang dari lelaki asing tersebut.
Sebenarnya Ferhat pernah mengatakan akan datang ke Indonesia untuk menemui Hayu. Akan tetapi, setelah menunggu selama tiga bulan, lelaki itu tidak memberi kepastian. Ada rasa kecewa yang memenuhi hati Hayu. Di saat yang bersamaan, rasa penasaran terhadap lelaki yang sangat perhatian kepadanya itu memerangi kekecewaan yang dia rasakan.
"Hah, kenapa aku jadi cewek baper banget, sih!" gerutu Hayu sambil mengacak rambut frustrasi.
Akhirnya terlintas sebuah ide gila dalam kepala perempuan itu. Hayu langsung membuka aplikasi mobile banking untuk mengecek saldo tabungannya. Setelah menunggu beberapa saat, kini muncul deretan angka pada layar ponselnya.
"Lah, ini sih cuma cukup buat tiket pesawat waktu berangkat ke Qatar." Bahu Hayu merosot dan wajahnya terlihat begitu sedih.
"Untuk makan di sana dan pesawat pulang mungkin aku masih butuh 50 juta lagi!" Hayu mengusap wajah kasar.
Hayu merebahkan tubuh, lalu menatap langit-langit kamarnya. Perempuan itu berguling ke samping sehingga kini dapat melihat nakas dengan sebuah bingkai foto di atasnya.
"Haris!" Hayu langsung bangkit dari ranjang ketika melihat foto itu.
Foto itu menunjukkan momen kelulusannya ketika SMA bersama sang sahabat karib bernama Haris. Lelaki itu sudah banyak membantunya selama ini. Bahkan kini Hayu sedang bekerja di perusahaan milik Haris untuk membalas jasa orang tua Haris yang rela mengeluarkan uang untuk membiayai kuliah Hayu.
Tak menunggu waktu lama, Hayu langsung menghubungi Haris untuk mengetahui keberadaan sang sahabat. Setelah tahu di mana Haris sekarang, perempuan itu langsung bersiap dan melajukan motornya menuju rumah sang sahabat.
Lima belas menit kemudian, Hayu sudah sampai di kediaman sahabatnya itu. Ibu Haris yang bernama Riska langsung keluar rumah menyambut kedatangan Hayu. Perempuan berkacamata itu pun memeluk tubuhnya untuk mengobati rasa rindu yang dia rasakan.
"Haris di mana, Bu?" tanya Hayu.
"Masih mandi, Yu. Haris baru saja pulang dari Makasar pas kamu telepon tadi." Riska menghentikan langkah, kemudian merangkum wajah mungil Hayu.
"Hayu, sudah sarapan? Kebetulan ibu hari ini masak rawon kesukaanmu!" seru Riska sambil tersenyum lebar.
Mendengar Riska menyebut kata rawon, sontak membuat air liur Hayu meleleh. Makanan khas Jawa Timur dengan kuah berwarna hitam itu selalu sukses membuat napsu makan Hayu bangkit. Sesaat perempuan berambut pendek itu melupakan niat awalnya datang ke rumah Haris.
Keduanya pun berjalan cepat menuju meja makan. Riska menyiapkan semuanya untuk Hayu. Jika saja Hayu tidak menolak, bisa dipastikan Riska juga akan menyuapi Hayu dengan tangannya sendiri.
"Masakan Ibu memang paling enak!" ujar Hayu seraya mengacungkan kedua jempol ke arah Riska.
"Makanya, kamu buruan nikah sama Haris! Biar tiap hari bisa makan masakan Ibu!"
Hayu yang saat ini sedang meneguk air putih pun tersedak. Riska segera beranjak dari kursi, lalu menepuk pelan punggung Hayu. Setelah batuk gadis itu reda, Riska kembali mendaratkan bokongnya ke atas kursi.
"Kamu terkejut, ya? Maaf, Ibu hanya ...." Riska tertunduk lesu karena merasa bersalah, sekilas dia teringat pertemuan pertamanya dengan Hayu dan sang ibu.
Perempuan paruh baya itu sangat menginginkan Hayu menikah dengan Haris. Dia hanya memiliki satu putra karena rahimnya diangkat ketika Haris berusia tiga tahun. Suatu hari mereka bertemu dengan Riska dan ibunya di sebuah area bermain.
Dari sanalah mereka mulai saling mengenal dan akrab hingga sekarang. Riska yang sangat mendambakan anak perempuan, langsung jatuh hati ketika melihat Hayu yang cantik dan menggemaskan.
"Nggak apa-apa, Bu. Aku terkejut aja karena Ibu tiba-tiba ngomong seperti itu." Hayu memotong ucapan ibu dari sahabatnya itu.
Sebenarnya Hayu tak pernah memiliki pikiran menikah dengan Haris. Dia hanya menganggap lelaki itu sahabat. Mungkin jika usia Haris lebih tua, Hayu akan memanggilnya kakak.
Hayu sangat menghormati serta menyayangi kedua orang tua Haris seperti orang tuanya sendiri. Sejak kedua orang tua Hayu meninggal, merekalah yang menjaganya. Tidak ada perasaan serta harapan lebih untuk menjadi bagian keluarga mereka secara hukum.
"Hayu," panggil Riska lirih seraya menggenggam jemari Hayu.
"Maaf, Ibu sudah berharap lebih kepadamu. Ibu sangat menyayangimu, sehingga menginginkan dirimu menjadi bagian dari keluarga ini. Apa kamu tidak merasa kalau Haris itu ...." Ucapan Riska menggantung di udara setelah melihat Haris turun dari kamarnya.
"Serius sekali? Lagi ngomongin apa, nih?" tanya Haris sambil melemparkan senyum lebar kepada dua orang perempuan di depannya itu.
"Urusan perempuan!" seru Hayu sambil tersenyum jahil.
"Dih, awas ya!" Haris melipat lengan di depan dada sambil membuang muka.
Sedetik kemudian, Hayu langsung teringat tujuan utamanya pergi ke rumah itu. Sikapnya berubah manis. Dia beranjak dari kursi kemudian mendekati Haris. Riska yang melihat gelagat Hayu, tersenyum simpul.
"Ibu ke atas dulu, ya?"
Hayu mengangguk cepat kemudian menatap tubuh Riska yang semakin menjauh. Setelah Riska masuk ke kamar, Hayu langsung menarik lengan Haris dan meminta lelaki itu duduk di kursi makan. Tak sampai di situ, perempuan itu langsung menyiapkan seporsi nasi serta rawon pada wadah terpisah.
"Ayo, makan! Kamu pasti sangat lapar setelah perjalanan jauh!"
Haris hanya tersenyum tipis karena mendapat perlakuan langka dari Hayu. Gadis di hadapannya itu biasanya bersikap cuek, kecuali jika ada mau seperti saat ini. Akhirnya Haris mulai menyuapkan makanan tersebut ke dalam mulut.
Setelah menyelesaikan makan, barulah Haris kembali menanyakan maksud dari kedatangan Hayu. Alangkah terkejutnya Haris saat mengetahui bahwa Hayu hendak meminjam uang dalam jumlah yang lumayan besar.
"Gimana? Boleh, Har?" Hayu mengerjapkan mata berulang kali seraya menautkan jemarinya.
Haris terlihat mengusap wajah kasar. Dia menyandarkan punggung pada kepala kursi. Lelaki itu masih tak percaya dengan permintaan Hayu.
"Nih, aku udah siapkan ini buat jaminan!" Hayu menyodorkan sebuah map berisi sertifikat rumah peninggalan kedua orang tuanya.
"Gini lo, Yu. Bukan masalah jaminan atau jumlah uangnya!" Haris kembali mengacak rambut frustrasi karena teringat alasan Hayu meminjam uang tersebut.
"Kalau uang itu kamu pakai untuk usaha, lanjut kuliah, atau hal mendesak lainnya aku bakalan ikhlas! Nggak perlu kamu balikin! Masalahnya ini duit mau kamu pakai buat nyamperin lelaki nggak jelas macam Ferhat!" Haris menunjukkan asal telunjuknya ke udara seakan sedang menunjuk wajah Ferhat.
"Nggak jelas katamu?" Hayu melipat lengan di depan dada kemudian menatap tajam sang sahabat.
"Kalau kamu nggak mau pinjemin aku yaudah! Aku bisa usaha sendiri buat cari pinjaman ke bank atau yang lain! Nggak perlu bilang kalau Ferhat itu lelaki nggak jelas!"
Hayu kembali menarik map yang dia letakkan di atas meja. Perempuan itu pun beranjak pergi meninggalkan Haris yang masih tertegun di meja makan. Ketika Hayu baru sampai depan pintu, dia balik kanan dan menatap tajam Haris.
"Apa?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Roroazzahra
next
2023-04-26
1
💜⃞⃟𝓛 ༄༅⃟𝐐🇺𝗠𝗠𝗜ᵈᵉʷᶦ㊍㊍❣️
lanjut Thor,,
2023-01-08
1
💜⃞⃟𝓛 ༄༅⃟𝐐🇺𝗠𝗠𝗜ᵈᵉʷᶦ㊍㊍❣️
lanjut Thor,,
2023-01-08
1