[Aku ingin bertemu denganmu]
Itu adalah pesan terakhir yang dikirim Ferhat kepada Hayu minggu lalu. Hayu menatap nanar layar ponselnya. Setelah pesan itu dia balas, tak ada lagi balasan dari lelaki asal Qatar tersebut.
Hayu dan Ferhat berkenalan melalui jejaring sosial khusus kencan. Keduanya terus berkomunikasi hingga Hayu nyaman dan merasakan sesuatu yang berbeda dari perlakuan Ferhat. Dia mendapatkan perhatian yang diartikan sebagai rasa sayang dari lelaki asing tersebut.
Sebenarnya Ferhat pernah mengatakan akan datang ke Indonesia untuk menemui Hayu. Akan tetapi, setelah menunggu selama tiga bulan, lelaki itu tidak memberi kepastian. Ada rasa kecewa yang memenuhi hati Hayu. Di saat yang bersamaan, rasa penasaran terhadap lelaki yang sangat perhatian kepadanya itu memerangi kekecewaan yang dia rasakan.
"Hah, kenapa aku jadi cewek baper banget, sih!" gerutu Hayu sambil mengacak rambut frustrasi.
Akhirnya terlintas sebuah ide gila dalam kepala perempuan itu. Hayu langsung membuka aplikasi mobile banking untuk mengecek saldo tabungannya. Setelah menunggu beberapa saat, kini muncul deretan angka pada layar ponselnya.
"Lah, ini sih cuma cukup buat tiket pesawat waktu berangkat ke Qatar." Bahu Hayu merosot dan wajahnya terlihat begitu sedih.
"Untuk makan di sana dan pesawat pulang mungkin aku masih butuh 50 juta lagi!" Hayu mengusap wajah kasar.
Hayu merebahkan tubuh, lalu menatap langit-langit kamarnya. Perempuan itu berguling ke samping sehingga kini dapat melihat nakas dengan sebuah bingkai foto di atasnya.
"Haris!" Hayu langsung bangkit dari ranjang ketika melihat foto itu.
Foto itu menunjukkan momen kelulusannya ketika SMA bersama sang sahabat karib bernama Haris. Lelaki itu sudah banyak membantunya selama ini. Bahkan kini Hayu sedang bekerja di perusahaan milik Haris untuk membalas jasa orang tua Haris yang rela mengeluarkan uang untuk membiayai kuliah Hayu.
Tak menunggu waktu lama, Hayu langsung menghubungi Haris untuk mengetahui keberadaan sang sahabat. Setelah tahu di mana Haris sekarang, perempuan itu langsung bersiap dan melajukan motornya menuju rumah sang sahabat.
Lima belas menit kemudian, Hayu sudah sampai di kediaman sahabatnya itu. Ibu Haris yang bernama Riska langsung keluar rumah menyambut kedatangan Hayu. Perempuan berkacamata itu pun memeluk tubuhnya untuk mengobati rasa rindu yang dia rasakan.
"Haris di mana, Bu?" tanya Hayu.
"Masih mandi, Yu. Haris baru saja pulang dari Makasar pas kamu telepon tadi." Riska menghentikan langkah, kemudian merangkum wajah mungil Hayu.
"Hayu, sudah sarapan? Kebetulan ibu hari ini masak rawon kesukaanmu!" seru Riska sambil tersenyum lebar.
Mendengar Riska menyebut kata rawon, sontak membuat air liur Hayu meleleh. Makanan khas Jawa Timur dengan kuah berwarna hitam itu selalu sukses membuat napsu makan Hayu bangkit. Sesaat perempuan berambut pendek itu melupakan niat awalnya datang ke rumah Haris.
Keduanya pun berjalan cepat menuju meja makan. Riska menyiapkan semuanya untuk Hayu. Jika saja Hayu tidak menolak, bisa dipastikan Riska juga akan menyuapi Hayu dengan tangannya sendiri.
"Masakan Ibu memang paling enak!" ujar Hayu seraya mengacungkan kedua jempol ke arah Riska.
"Makanya, kamu buruan nikah sama Haris! Biar tiap hari bisa makan masakan Ibu!"
Hayu yang saat ini sedang meneguk air putih pun tersedak. Riska segera beranjak dari kursi, lalu menepuk pelan punggung Hayu. Setelah batuk gadis itu reda, Riska kembali mendaratkan bokongnya ke atas kursi.
"Kamu terkejut, ya? Maaf, Ibu hanya ...." Riska tertunduk lesu karena merasa bersalah, sekilas dia teringat pertemuan pertamanya dengan Hayu dan sang ibu.
Perempuan paruh baya itu sangat menginginkan Hayu menikah dengan Haris. Dia hanya memiliki satu putra karena rahimnya diangkat ketika Haris berusia tiga tahun. Suatu hari mereka bertemu dengan Riska dan ibunya di sebuah area bermain.
Dari sanalah mereka mulai saling mengenal dan akrab hingga sekarang. Riska yang sangat mendambakan anak perempuan, langsung jatuh hati ketika melihat Hayu yang cantik dan menggemaskan.
"Nggak apa-apa, Bu. Aku terkejut aja karena Ibu tiba-tiba ngomong seperti itu." Hayu memotong ucapan ibu dari sahabatnya itu.
Sebenarnya Hayu tak pernah memiliki pikiran menikah dengan Haris. Dia hanya menganggap lelaki itu sahabat. Mungkin jika usia Haris lebih tua, Hayu akan memanggilnya kakak.
Hayu sangat menghormati serta menyayangi kedua orang tua Haris seperti orang tuanya sendiri. Sejak kedua orang tua Hayu meninggal, merekalah yang menjaganya. Tidak ada perasaan serta harapan lebih untuk menjadi bagian keluarga mereka secara hukum.
"Hayu," panggil Riska lirih seraya menggenggam jemari Hayu.
"Maaf, Ibu sudah berharap lebih kepadamu. Ibu sangat menyayangimu, sehingga menginginkan dirimu menjadi bagian dari keluarga ini. Apa kamu tidak merasa kalau Haris itu ...." Ucapan Riska menggantung di udara setelah melihat Haris turun dari kamarnya.
"Serius sekali? Lagi ngomongin apa, nih?" tanya Haris sambil melemparkan senyum lebar kepada dua orang perempuan di depannya itu.
"Urusan perempuan!" seru Hayu sambil tersenyum jahil.
"Dih, awas ya!" Haris melipat lengan di depan dada sambil membuang muka.
Sedetik kemudian, Hayu langsung teringat tujuan utamanya pergi ke rumah itu. Sikapnya berubah manis. Dia beranjak dari kursi kemudian mendekati Haris. Riska yang melihat gelagat Hayu, tersenyum simpul.
"Ibu ke atas dulu, ya?"
Hayu mengangguk cepat kemudian menatap tubuh Riska yang semakin menjauh. Setelah Riska masuk ke kamar, Hayu langsung menarik lengan Haris dan meminta lelaki itu duduk di kursi makan. Tak sampai di situ, perempuan itu langsung menyiapkan seporsi nasi serta rawon pada wadah terpisah.
"Ayo, makan! Kamu pasti sangat lapar setelah perjalanan jauh!"
Haris hanya tersenyum tipis karena mendapat perlakuan langka dari Hayu. Gadis di hadapannya itu biasanya bersikap cuek, kecuali jika ada mau seperti saat ini. Akhirnya Haris mulai menyuapkan makanan tersebut ke dalam mulut.
Setelah menyelesaikan makan, barulah Haris kembali menanyakan maksud dari kedatangan Hayu. Alangkah terkejutnya Haris saat mengetahui bahwa Hayu hendak meminjam uang dalam jumlah yang lumayan besar.
"Gimana? Boleh, Har?" Hayu mengerjapkan mata berulang kali seraya menautkan jemarinya.
Haris terlihat mengusap wajah kasar. Dia menyandarkan punggung pada kepala kursi. Lelaki itu masih tak percaya dengan permintaan Hayu.
"Nih, aku udah siapkan ini buat jaminan!" Hayu menyodorkan sebuah map berisi sertifikat rumah peninggalan kedua orang tuanya.
"Gini lo, Yu. Bukan masalah jaminan atau jumlah uangnya!" Haris kembali mengacak rambut frustrasi karena teringat alasan Hayu meminjam uang tersebut.
"Kalau uang itu kamu pakai untuk usaha, lanjut kuliah, atau hal mendesak lainnya aku bakalan ikhlas! Nggak perlu kamu balikin! Masalahnya ini duit mau kamu pakai buat nyamperin lelaki nggak jelas macam Ferhat!" Haris menunjukkan asal telunjuknya ke udara seakan sedang menunjuk wajah Ferhat.
"Nggak jelas katamu?" Hayu melipat lengan di depan dada kemudian menatap tajam sang sahabat.
"Kalau kamu nggak mau pinjemin aku yaudah! Aku bisa usaha sendiri buat cari pinjaman ke bank atau yang lain! Nggak perlu bilang kalau Ferhat itu lelaki nggak jelas!"
Hayu kembali menarik map yang dia letakkan di atas meja. Perempuan itu pun beranjak pergi meninggalkan Haris yang masih tertegun di meja makan. Ketika Hayu baru sampai depan pintu, dia balik kanan dan menatap tajam Haris.
"Apa?"
Rasa kesal kini tengah memenuhi dada Haris. Dia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya itu. Bisa-bisanya Hayu meminjam sejumlah besar uang hanya untuk menemui lelaki asing.
Akhirnya dia mengeluarkan sebuah kalimat yang membuat Hayu merajuk. Perempuan itu langsung melangkah menuju pintu keluar. Akan tetapi, ketika sudah memegang tuas pintu, Haris memanggil namanya.
"Apa?" ketus Hayu.
"Sudah kutransfer!" Haris menunjukkan layar ponsel yang menampilkan bukti transaksi pengiriman sejumlah uang ke rekening Hayu.
Bibir Hayu yang awalnya mengerucut kini berubah. Ujungnya sekarang tertarik ke atas hingga menciptakan sebuah senyuman yang begitu menawan. Perempuan itu setengah berlari ke arah Haris dan memeluk tubuh sahabatnya tersebut.
"Akkk, makasih, Har! Kamu memang yang terbaik!" seru Hayu sambil terus melompat kegirangan.
Sebuah pelukan penuh suka cita yang dirasakan lain oleh Haris itu, membuatnya tersenyum. Entah mengapa melihat Hayu bahagia rasanya sudah cukup untuk membuat Haris ikut tersenyum. Meski dia harus kembali menekan perasaannya sendiri.
Di sisi lain, Riska yang melihat dua sejoli itu berpelukan tersenyum lebar. Perempuan yang sedari tadi mengintip keduanya dari celah pintu salah mengartikan pelukan Hayu. Dia mengira hubungan keduanya berubah menjadi hubungan percintaan.
"Sepertinya mereka masih malu mengungkapkan hubungan itu? Ahhh, manisnya! Jadi ingat masa mudaku dulu." Riska tersenyum tipis, kemudian menutup rapat pintu kamarnya.
***
Setelah menempuh perjalanan udara lebih dari 10 jam, akhirnya Hayu sampai di Bandar Udara Hamad. Bandara yang terletak di Doha itu terlihat begitu mewah, sehingga membuat Hayu terperangah. Mulut perempuan tersebut sampai menganga lebar karena melihat arsitektur bangunan yang sangat mewah.
Tak lupa Hayu berfoto di depan lampu dengan boneka beruang raksasa berwarna kuning. Aura kebahagiaan jelas terpancar di wajah perempuan cantik itu. Setelah puas mengagumi kemegahan bandara Hamad, Hayu langsung keluar untuk memesan taksi melalui aplikasi Uber.
Tak selang berapa lama, sebuah taksi berhenti tepat di depannya. Hayu langsung menarik kopernya, dibantu oleh sang sopir untuk memasukkan benda tersebut ke dalam bagasi. Usai itu, Hayu masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan.
"Turun di mana, Bu?" tanya sang sopir dengan Bahasa Inggris.
"Sesuai aplikasi," sahut Pradha singkat sambil terus memperhatikan jalanan.
Sang sopir awalnya mengerutkan dahi. Akan tetapi, sedetik kemudian dia tersenyum licik. Lelaki itu pun langsung melajukan mobil. Lelaki berwajah khas Timur-Tengah itu terus memperhatikan Hayu melalui kaca spion yang menggantung di atasnya.
Tanpa Hayu sadari, ternyata mobil tersebut bukanlah taksi yang dia pesan. Dia sudah salah sangka. Sopir tersebut sebenarnya batu akan menawarinya jasa angkut.
"Gadis yang ceroboh," gumam sang sopir dengan Bahasa Arab, sehingga Hayu tidak mengetahui maksud dari ucapannya.
Tak lama kemudian, Hayu meminta sang sopir untuk menghentikan mobil karena dia ingin buang air kecil. Sopir tersebut pun menuruti permintaan Hayu. Rasa ingin mengeluarkan hasil sekresi pun membuat Hayu lalai.
Hayu meninggalkan semua barang bawaannya di dalam mobil. Sopir taksi itu pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Setelah Hayu menghilang dari pandangan, dia melepaskan sabut pengaman dan menoleh ke kursi belakang.
"Gadis bodoh!" ujar sang sopir, kemudian mengambil tas selempang milik Hayu.
Setelah selesai melancarkan aksinya, sopir tersebut mengeluarkan koper Hayu dan langsung tancap gas meninggalkan tempat tersebut. Alangkah terkejutnya Hayu ketika keluar dari toilet yang ada di stasiun pengisian bahan bakar itu. Taksi yang mengantarnya sudah tidak ada di tempat semula.
"Ke mana perginya dia?" Hayu menoleh ke kiri dan kanan berharap menemukan taksi yang tadi mengantarnya.
Sedetik kemudian, pupil mata perempuan cantik itu melebar. Dia langsung berlari ke arah kopernya. Hayu memeriksa semua barang bawaannya dan ternyata tas selempang berisi uang, serta dokumen penting miliknya raib.
Kekuatan perempuan itu seketika menguap ke udara. Hayu berjongkok, lalu menenggelamkan wajah ke dalam telapak tangan. Air matanya meleleh seketika.
Bayangan menjadi gelandangan di Doha membuatnya terus menangis. Hanya satu harapan Hayu. Dia harus segera menemukan rumah Ferhat untuk meminta bantuan.
"Ferhat pasti mau membantuku. Dia orang baik! Aku yakin!" Hayu mengusap air mata lalu beranjak pergi.
Hayu pun berjalan kaki menyusuri jalanan Kota Doha. Berbekal sebuah buku catatan kecil, perempuan itu mencari kediaman Ferhat. Dia bertanya kepada setiap orang yang ditemui. Akan tetapi, mereka hanya tersenyum mengejek dan mengeluarkan kalimat yang sama.
"Untuk apa kamu menemuinya? Apa kamu sedang bermimpi? Lelaki itu tidak akan menemui kamu?"
Kalimat itu terus berulang. Hingga langit berubah gelap, Hayu belum berhasil menemukan alamat tersebut. Dia memutuskan untuk beristirahat di depan toko kue.
Aroma khas mentega menyeruak memasuki rongga hidung Hayu hingga membuat perutnya terasa semakin melilit. Sejak menginjakkan kaki di Doha, perempuan itu sama sekali belum mengisi perutnya. Hayu berdiri, lalu balik kanan.
Di hadapan Hayu, kini berjajar beraneka macam roti dengan bermacam-macam taburan serta isian. Perempuan itu menelan ludah kasar seiring dengan perutnya yang terus berteriak minta diisi. Akan tetapi, Hayu harus menahan rasa lapar karena tidak memiliki uang sepeser pun.
"Sabar, ya. Kita akan segera menemukan Ferhat." Hayu mengusap perutnya dan kembali duduk di atas lantai dengan punggung yang disandarkan pada dinding toko.
Hayu menunduk dengan dahi menempel pada lengan yang dia lipat. Tiba-tiba suara bariton seseorang menyapa pendengarannya. Sontak Hayu mendongak.
Seorang pria gendut dan berkumis tebal tersenyum tipis ke arahnya. Lelaki itu memakai kemeja koki berwarna putih dengan celemek yang melapisi bagian luar tubuhnya. Sebuah topi tinggi menutup kepala lelaki tersebut.
"Kamu lapar?" tanya lelaki tersebut.
Hayu mengangguk cepat. Lelaki tersebut memindai Hayu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia pun meminta perempuan tersebut untuk berdiri dan mengikutinya masuk ke toko kue.
"Duduklah, aku akan membawakanmu beberapa potong kue dan coklat hangat!" perintah lelaki itu sambil menunjuk sebuah bangku kosong yang ada di sudut ruangan.
"Terima kasih, Pak."
Hayu pun mendaratkan bokongnya ke atas kursi. Dia memperhatikan jalanan dengan kendaraan yang sedang berlalu lalang. Lampu merkuri jalanan mulai menyala menggantikan cahaya matahari, agar kota tersebut tetap terang di malam hari.
Tak lama kemudian, lelaki pemilik toko kue datang menghampiri Hayu. Dia membawa beberapa potong kue dan secangkir coklat hangat. Sang pemilik toko meletakkan semuanya ke atas meja dan meminta Hayu untuk segera memakannya.
"Makanlah, Nak. Siapa namamu?"
"Namaku Hayu, Pak. Terima kasih atas kebaikan Anda." Hayu menundukkan kepala sekilas kemudian mulai meraih sepotong roti berisi daging yang ada di depannya.
"Aku Adam. Kamu mau ke mana?" tanya Adam seraya melirik koper besar yang dibawa oleh Hayu.
Hayu menghentikan aktivitas mengunyahnya. Dia meraih cangkir dan mulai meneguk isinya. Setelah itu, Hayu mengeluarkan kembali buku catatan dari dalam saku jaketnya.
"Saya mencari alamat ini, Pak." Hayu menyodorkan buku kecil itu kepada Adam.
Lelaki tersebut pun meraih buku itu dan mulai membaca deretan huruf yang tertulis di atasnya. Matanya melebar seketika. Dia pun menatap Hayu dengan tatapan heran.
"Dari mana kamu tahu alamat ini?"
"Ferhat sendiri yang memberikannya kepadaku, Pak."
"Astaga, nggak mungkin!" seru Adam.
Melihat perubahan ekspresi Adam setelah membaca alamat rumah Ferhat membuat Hayu mengerutkan dahi. Sebuah tanda tanya besar kini memenuhi kepala perempuan itu. Kenapa semua orang merasa apa yang sedang dia cari adalah sesuatu yang aneh?
"Mereka semua kenapa?"
Adam yang merasa kasihan kepada Hayu, akhirnya memutuskan untuk mengantar gadis tersebut ke rumah Ferhat. Dia menutup toko lebih awal dan mengantar Hayu ke rumah lelaki itu. Akan tetapi, Adam yang tak ingin terlibat lebih jauh lagi, memutuskan untuk langsung pulang usai mengantar Hayu.
"Aku langsung pulang, ya? Siapkan hati serta mental untuk menerima kenyataan," pesan Adam.
Hayu hanya tersenyum simpul. Dia tidak tahu maksud dari ucapan Adam. Akan tetapi, perempuan cantik itu memutuskan untuk mengangguk saja.
Tak lama kemudian mobil Adam kembali melaju kencang meninggalkan tubuh mungil Hayu sendirian. Hayu balik kanan, menatap bangunan mewah yang ada di depannya. Dia tak berhenti berdecap kagum.
Rumah itu memiliki pagar besi yang sangat tinggi dengan cat berwarna emas. Dari celah pagar, Hayu dapat melihat kalau kediaman Ferhat memiliki halaman yang sangat luas. Bangunan rumah tersebut memiliki tiga lantai dengan arsitektur bernuansa modern.
"Aku nggak menyangka kalau kamu sekaya ini, Fer!" seru Hayu sambil terus berdecap kagum dan menggelengkan kepala.
Hayu pun kembali melancarkan niatnya. Perempuan itu menarik koper dan mendekati bangunan tersebut. Dia mulai menekan tombol yang ada di dinding samping gerbang.
Tak lama kemudian, seorang laki-laki tinggi dengan badan atletik keluar. Tatapannya begitu dingin ketika melihat Hayu. Lelaki itu meneliti penampilan Hayu dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Malam, Pak. Apa benar ini kediaman Ferhat?" tanya Hayu sopan diikuti dengan sebuah senyum manis.
"Hm," jawab sang penjaga dengan nada bicara yang sedikit ditinggikan.
"Saya ...." Hayu terlihat berpikir sejenak.
Perempuan itu bingung harus memperkenalkan diri sebagai siapa. Untuk sekarang ini, Hayu tidak bisa mengaku kalau dia adalah teman kencan online Ferhat. Akhirnya Hayu memperkenalkan diri sebagai teman Ferhat.
"Tuan tidak mungkin memiliki teman seperti Anda, Nona." Penjaga tersebut tersenyum miring sambil melemparkan tatapan penuh hinaan.
"A-aku benar-benar temannya. Mintalah dia turun, maka kamu akan percaya dengan ucapanku." Hayu berusaha membujuk sang penjaga dengan suara yang bergetar.
"Halah! Sudah banyak sekali orang sepertimu yang datang ke sini! Aku tidak akan percaya! Pulanglah, sudah malam!" usir lelaki bertubuh kekar itu sambil bersiap kembali masuk ke pekarangan rumah Ferhat.
"Pak, tolong panggilkan Ferhat sebentar saja! Aku harus memastikan sesuatu! Jika memang dia tidak ingin menemuiku, aku ingin mendengar langsung dari mulutnya!" Hayu terus mengguncang pintu pagar yang kini sudah tertutup.
Penjaga itu tidak menggubris teriakan Hayu. Justru dia kini memasang headphone pada telinga dan mulai mendengarkan lagu kesukaannya dengan volume keras, agar tidak mendengar lagi teriakan Hayu. Kepala lelaki itu sesekali bergerak seiring dengan alunan musik.
"Tolong, Pak. Panggilkan dia! Aku janji, kalau dia tidak ingin bertemu denganku, aku akan langsung angkat kaki dari sini!" Hayu terus mengatakan kalimat tersebut berulang kali.
Jarum jam terus berputar, sudah satu jam lebih Hayu ada di depan rumah Ferhat. Kini udara dingin semakin menusuk tulang. Rasa kantuk mulai menyerang mata perempuan itu.
Berulang kali Hayu menggelengkan kepala untuk mengusir kantuk yang bergelayut pada pelupuk matanya. Hayu mulai berdiri dari atas lantai. Dia mengintip dari celah pagar untuk mengetahui keadaan di dalam pekarangan rumah Ferhat.
Penjaga rumah tersebut kini sedang tertidur dengan posisi duduk di atas kursi yang ada dalam pos jaga. Tubuhnya bersandar pada dinding bangunan. Sesekali dengkuran keras keluar dari bibir lelaki tersebut.
"Bagus, tidurlah yang nyenyak! Aku akan bisa masuk jika memanjat pagar!" Hayu pun mulai bersiap untuk memanjat pagar di hadapannya.
Di sisi lain, seorang lelaki bermata elang dan bertubuh tegap sedang menatap Hayu di balik tirai kamarnya. Dia terus memperhatikan tingkah Hayu selama satu jam terakhir. Rasa penasaran kini memenuhi hati lelaki tersebut.
Sampai akhirnya lelaki tersebut melihat Hayu berhasil melompati pagar, lalu berlari kecil ke arah pintu rumahnya. Dia tersenyum miring, kemudian balik kanan untuk keluar dari kamar. Langkah kaki lelaki tersebut menggema memenuhi rumah besar itu ketika dia menuruni satu per satu anak tangga di bawahnya.
Gedoran pintu mulai terdengar sehingga mengusik ketenangan malam itu. Lelaki tampan dengan rambut tipis yang memenuhi dagu itu pun segera meraih tuas pintu, lalu membukanya. Kini tatapan Hayu dan lelaki itu bertemu.
"Ferhat!" Hayu terbelalak ketika menatap paras tampan lelaki di depannya itu.
Hayu tak menyangka bahwa Ferhat jauh lebih tampan ketika dilihat secara langsung. Tiba-tiba lidah Hayu kelu. Tak ada sepatah kata pun yang mau keluar dari mulutnya.
"Kamu siapa?" tanya Ferhat dengan suara dingin yang begitu menusuk.
Hayu tertegun ketika memdengar pertanyaan itu keluar dari bibir Ferhat. Rasa kecewa kini memenuhi dadanya. Hatinya bergemuruh hebat, sehingga mata perempuan cantik itu mulai berkabut.
"A-aku Hayu! Apa kamu ... sudah melupakanku?" Mata Hayu pun berkaca-kaca.
Hatinya terasa nyeri karena Ferhat tidak mengenalinya. Lelaki itu sangat berbeda 180 derajat dari Ferhat yang dia kenal. Namun, Hayu masih berusaha berpikir positif.
"Ferhat, apa kabar? Kenapa tidak membalas pesanku?" tanya Hayu dengan suara bergetar karena menahan tangis.
"Pesan apa? Aku tidak pernah menerima pesan apa pun dari kamu. Aku tanya lagi, siapa kamu?" tanya Ferhat lagi dengan suara yang semakin terdengar dingin.
"Jadi begini caramu memperlakukanku?" Hayu tersenyum kecut.
Hatinya seakan dicabik-cabik ketika mendapati kenyataan saat ini. Ferhat bahkan tidak tahu namanya. Entah lelaki tersebut sengaja melupakan dirinya, atau terpaksa melakukan hal tersebut.
Air mata mulai menetes membasahi pipi Hayu. Rasa sesak di dada perlahan keluar dari bibir perempuan itu dengan wujud sebuah isak tangis. Ferhat hanya melemparkan tatapan dingin kepada Hayu.
Lelaki tersebut sama sekali tak tersentuh melihat Hayu yang sedang menangis sesenggukan. Dia terus bergeming, menatap Hayu yang semakin menangis keras. Tubuh Hayu sampai bergetar karena tangis yang pecah.
"A-aku tak menyangka kamu setega ini kepadaku. Ka-kamu bahkan berjanji untuk menemui aku di negara asalku," ucap Hayu terbata-bata.
Ferhat masih terdiam. Bahkan tangisan pilu Hayu tidak serta merta membuat hatinya luluh. Dia tetap bungkam sambil mendengarkan Hayu yang terus berbicara di antara isak tangis.
Tak lama kemudian, sang penjaga rumah berlari tergopoh-gopoh menghampiri Hayu. Dia terlihat panik. Kepala lelaki tersebut terus menunduk karena merasa lalai dalam bertugas.
"Maaf, Tuan. Saya akan membawa gadis ini pergi!" seru penjaga rumah sambil menarik lengan Hayu.
"Bawa saja dia pergi! Aku tidak suka melihat wajah gadis seperti dia!" ujar Ferhat dengan suara dingin yang berjasil membuat hati Hayu semakin remuk.
"Kamu tega, Fer! Kamu akan menyesali keputusanmu ini!" Hayu setengah berteriak sambil terus meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman sang penjaga rumah.
Hayu terus berusaha melepaskan diri dari sang penjaga rumah. Bahkan dia nekat menggigit lengan lelaki tersebut sehingga bisa lolos dan kembali berlari ke arah Ferhat yang masih mematung di teras rumah. Hayu berhenti tepat di depan Ferhat, kemudian menengadahkan tangan.
"Aku akan pergi! Tapi, pinjami aku uang untuk membeli tiket pulang ke Indonesia! aku akan mengembalikannya setelah aku sampai di Indonesia," pinta Hayu dengan suara yang masih terbata-bata karena sisa tangis.
Ferhat mengerutkan dahi. Dia tak habis pikir dengan sikap ajaib perempuan di depannya itu. Lelaki tersebut melipat lengan di depan dada dan perlahan tubuhnya condong ke depan mendekati wajah Hayu.
Sebuah senyum miring terukir di bibir lelaki itu. Tatapan keduanya pun bertemu. Hayu si perempuan bodoh itu bahkan masih sempat terpesona dengan ketampanan Ferhat.
"Kamu mau meminjam uang dariku?" tanya Ferhat dengan senyum licik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!